Tuesday, March 19, 2019

Definisi Hukum Acara Pidana

MAKALAH
DEFINISI HUKUM ACARA PIDANA
Diajukan Sebagai Tugas Mata Kuliah Hukum Acara Pidana Program Studi Hukum Ekonomi Syari’ah (HES) Di Sekolah Tinggi Ilmu Syari’ah Nahdlatul Ulama (STISNU) Nusantara Tangerang
Tahun 2018/2019

Dosen Pengampu:
Dr. H. Muhammad Qustulani, M.Hum

Ditulis oleh:
Muhammad Nur Muzakki
NIM. 16.10.0034

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH (HES) SEKOLAH TINGGI ILMU SYARI'AH NAHDLATUL ULAMA (STISNU) NUSANTARA TANGERANG
TAHUN 2018/2019
DEFINISI HUKUM ACARA PIDANA

Ditulis oleh
Mahasiswa Semester 4 Program Studi Hukum Ekonomi Syariah
Sekolah Tinggi Ilmu Syariah Nahdlatul Ulama (STISNU) Nusantara
Tahun 2018/2019

Abstrak
Republik Indonesia merupakan negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Adapun makna dari negara hukum yaitu bahwa hukum di negara ini ditempatkan pada posisi yang strategis di dalam konstelasi ketatanegaraan. Ungkapan bahasa latin “Quid sine leges moribus” yang bermakna apalah artinya suatu hukum jika tidak didukung oleh perilaku yang baik dari masyarakatnya. Oleh karena itu, perlu adanya upaya meningkatkan kesadaran masyarakat kepada hukum dengan penegakan hukum secara konsisten dan konsekuen. Penegakan hukum secara umum dapat diartikan sebagai penerapan hukum di berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara demi mewujudkan ketertiban dan kepastian hukum yang berorientasi kepada keadilan. Secara khusus penegakan hukum dapat diartikan sebagai rangkaian kegiatan di dalam sistem peradilan (pidana) yang bersifat preventif, represif, dan edukatif. Penegakan hukum merupakan bagian dari pembangunan hukum yang merupakan komponen integral dari pembangunan nasional. Dalam menegakkan dan mewujudkan kepastian hukum, tindakan aparatur penegak hukum secara formal harus ada pengaturannya, agar tindakannya tidak kontradiktif dengan undang-undang. Artinya, tidak hanya mengacu kepada ketentuan hukum pidana materiil, tetapi juga mengacu kepada hukum pidana formal, yang lazim disebut Hukum Acara Pidana. Hukum Acara Pidana merupakan hukum formal yang di dalamnya memuat ketentuan-ketentuan tentang bagaimana suatu proses beracara dalam rangka penegakan hukum pidana (hukum materiil). Dalam ketentuan Hukum Acara Pidana dijabarkan bagaimana proses penangkapan suatu kasus pidana mulai dari penyelidikan, penyidikan, penuntutan hingga proses pengadilannya. Adapun rumusan masalah dalam jurnal ini yaitu pengertian Hukum Acara Pidana, sejarah singkat Hukum Acara Pidana, Tujuan, fungsi Hukum Acara Pidana, sumber-sumber Hukum Acara Pidana, asas-asas Hukum Acara Pidana, Prinsip-Prinsip Hukum Acara Pidana dan proses Hukum Acara Pidana
Kata kunci : Hukum Acara Pidana, Undang-Undang, KUHP

PENDAHULUAN
Pada tanggal 24 september 1981 telah ditetapkan hukum acara pidana dengan Undang-undang RI No. 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana (disingkat: KUHAP) dan diundangkan dalam Lembaran Negara (LN) No. 76/1981 dan penjelasan Tambahan Lembaran Negara (TLN) No. 3209.
Untuk pelaksanaan KUHAP sebelum Peraturan Pemerintah RI No. 27 Tahun 1983 tentang pelaksanaan KUHAP di undangkan, maka pada tanggal 4 februari 1982 telah dikeluarkan Keputusan Menteri Kehakiman tentang Pedoman Pelaksanaan KUHAP. Pedoman Pelaksanaan ini bertujuan untuk menjamin adanya kesatuan pelaksanaan hukum acara pidana berdasarkan KUHAP itu sendiri, yaitu sejak dari penyidikan, pemutusan perkara, sampai pada penyelesaian di tingkat (lembaaga) permasyarakatan.
Sebelum secara resmi nama undang-undang hukum acara pidana disebut “Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana” (Pasal 285 KUHAP) telah menggunakan istilah “wetboek van strafvordering” (Belanda) dan kalau di terjemahkan secara harfiah menjadi Kitab Undang-undang Tuntutan Pidana, maka berbeda apabila dipakai istilah “wetboek van strafprocesrecht” (Belanda) atau “procedure of criminal” (Inggris) yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia “Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana”.
Dalam bahasa Belanda, Hukum Acara Pidana atau hukum pidana formal disebut dengan “Strafvordering”, dalam bahasa Inggris disebut “Criminal Procedure Law”, dalam bahasa Perancis “Code d’instruction Criminelle”, dan di Amerika Serikat disebut “Criminal Procedure Rules”. Simon berpendapat bahwa Hukum Acara Pidana disebut juga hukum pidana formal, yang mengatur bagaimana negara melalui perantara alat-alat kekuasaannya melaksanakan haknya untuk menghukum dan menjatuhkan hukuman, dan dengan demikian termasuk acara pidananya. Hal ini dibedakan dari hukum pidana material, atau hukum pidana yang berisi petunjuk dan uraian tentang delik, peraturan tentang syarat-syarat dapatnya dipidana sesuatu perbuatan, petunjuk tentang orang yang dapat dipidana, dan aturan tentang pemidanaan; mengatur kepada siapa dan bagaimana pidana itu dapat dijatuhkan. 
Rumusan masalah dalam jurnal ini yaitu pengertian Hukum Acara Pidana, sejarah singkat Hukum Acara Pidana, Tujuan, fungsi Hukum Acara Pidana, sumber-sumber Hukum Acara Pidana, asas-asas Hukum Acara Pidana, Prinsip-Prinsip Hukum Acara Pidana dan proses Hukum Acara Pidana
Sedangkan tujuan jurnal ini adalah agar mahasiswa mengetahui apa itu Hukum Acara Pidana dan agar mahasiswa mengetahui kewajiban dalam berpidana.

PENGERTIAN HUKUM ACARA PIDANA
Dalam bahasa Belanda, Hukum Acara Pidana atau hukum pidana formal disebut dengan “Strafvordering”, dalam bahasa Inggris disebut “Criminal Procedure Law”, dalam bahasa Perancis “Code d’instruction Criminelle”, dan di Amerika Serikat disebut “Criminal Procedure Rules”. Simon berpendapat bahwa Hukum Acara Pidana disebut juga hukum pidana formal, yang mengatur bagaimana negara melalui perantara alat-alat kekuasaannya melaksanakan haknya untuk menghukum dan menjatuhkan hukuman, dan dengan demikian termasuk acara pidananya. Hal ini dibedakan dari hukum pidana material, atau hukum pidana yang berisi petunjuk dan uraian tentang delik, peraturan tentang syarat-syarat dapatnya dipidana sesuatu perbuatan, petunjuk tentang orang yang dapat dipidana, dan aturan tentang pemidanaan; mengatur kepada siapa dan bagaimana pidana itu dapat dijatuhkan. Menurut Van Bemmelen ilmu hukum acara pidana berarti mempelajari peraturan-peraturan yang diciptakan oleh negara karena adanya dugaan terjadi pelanggaran undang-undang pidana. Sedangkan menurut Van Hattum, hukum pidana formal adalah peraturan yang mengatur bagaimana caranya hukum pidana yang bersifat abstrak itu harus diberlakukan secara nyata.
Satochid Kertanegara menyatakan bahwa Hukum Acara Pidana sebagai hukum pidana dalam arti “concreto” yaitu mengandung peraturan mengenai bagaimana hukum pidana in abstracto dibawa ke dalam suatu in concreto.
Hukum Acara Pidana menurut pendapat Andi Hamzah. memiliki ruang lingkup yang lebih sempit yaitu dimulai dari mencari kebenaran, penyelidikan, penyidikan, dan berakhir pada pelaksanaan pidana (eksekusi) oleh jaksa.
Beberapa pendapat lainnya mengenai pengertian hukum acara pidana salah satunya menurut Wiryono Prodjodikoro: 
“hukum acara pidana berhubungan erat dengan adanya hukum pidana maka dari itu merupakan suatu rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana badan-badan pemerintah yang berkuasa yaitu Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan harus bertindak guna mencapai tujuan negara dengan mengadakan hukum pidana”. 
Menurut Samidjo:
“Hukum Acara Pidana ialah rangkaian peraturan hukum yang menentukan bagaimana cara-cara mengajukan ke depan pengadilan, perkara-perkara kepidanaan, dan bagaimana cara-cara menjatuhkan hukuman oleh hakim, jika ada orang yang disangka melanggar aturan hukum pidana yang telah ditetapkan sebelum perbuatan melanggar hukum itu terjadi; dengan kata lain, Hukum Acara Pidana ialah hukum yang mengatur tata-cara bagaimana alat-alat negara (kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan) harus bertindak jika terjadi pelanggaran”.
Menurut R. Abdoel Djamali:
“Hukum Acara Pidana yang disebut juga hukum pidana formal mengatur cara pemerintah menjaga kelangsungan pelaksanaan hukum pidana material”. 
Menurut Bambang Poernomo:
“Hukum Acara Pidana ialah pengetahuan tentang hukum acara dengan segala bentuk dan manifestasinya yang meliputi berbagai aspek proses penyelenggaraan perkara pidana dalam hal terjadi dugaan perbuatan pidana yang diakibatkan oleh pelanggaran hukum pidana”. 
Berbeda dengan KUHP, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau KUHAP yang kita miliki merupakan karya agung Bangsa Indonesia. KUHAP adalah hukum pidana formal atau Hukum Acara Pidana yang berisi bagaimana cara untuk menegakkan hukum pidana materiil.
Walaupun KUHAP tidak memberikan pengertian yuridis tentang Hukum Acara Pidana, namun pada hakikatnya Hukum Acara Pidana memuat kaidah-kaidah yang mengatur tentang penerapan atau tata cara antara lain penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di depan persidangan, pengambilan keputusan oleh pengadilan, upaya hukum, dan pelaksanaan penetapan atau putusan pengadilan maka pengertian Hukum Acara Pidana dapat dirumuskan sebagai hukum yang mengatur tentang kaidah dalam beracara di seluruh proses peradilan pidana, sejak tingkat penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di depan persidangan, pengambilan keputusan oleh pengadilan, upaya hukum dan pelaksanaan penetapan atau putusan pengadilan di dalam upaya mencari dan menemukan kebenaran materiil.

SEJARAH HUKUM ACARA PIDANA DI INDONESIA
Hukum Acara Pidana pada masyarakat tradisional sebenarnya telah ada sejak sebelum zaman kolonial, sudah ada dalam pemerintahan raja–raja pada waktu itu, namun belum dibuat dalam bentuk tertulis dan masih merupakan hukum adat. Dalam setiap perbuatan yang mengganggu keseimbangan atau hubungan harmonis kehidupan yang terjadi pada waktu itu, yang merupakan pelanggaran hukum (adat) maka para penegak hukum akan berusaha mengembalikan keseimbangan yang sudah terganggu disebabkan pelanggaran tersebut.
Hukum Acara Pidana di Indonesia pada zaman penjajahan Belanda  
Pada tanggal 1 Agustus 1848 berdasarkan pengumuman Gubernur Jenderal 3 Desember 1847 Staatblaad No. 57 maka di Indonesia (Hindia Belanda), berlakulah Inlands Reglements atau di singkat IR. Diberlakukan hukum IR (Inlands Reglements staatblaad No.16) untuk orang pribumi dan Asia asing seperti Cina, Arab, dan lain-lain. Regelement of strafvordering (Hukum Acara Pidana) dan reglement of the burgelijke recht vordering (hukum acara perdata) untuk bangsa Eropa. Nama pengadilannya adalah Raad Van Justitie yang sekarang menjadi pengadilan tinggi. IR masih memuat Hukum Acara Pidana dan Hukum Acara Perdata. Rancangan IR tersebut penyusunannya diketahui oleh Mr. Wichers dan mendapat tanda tangan dari Gubernur Jenderal Rochussen sehingga mengalami perubahan. Akhirnya, setelah mendapatkan pengesahan Raja Belanda melalui firman Raja tanggal 29 September 1849 diumumkan dan disebarluaskan dalam Staatblaad 1849 No. 63. Setelah IR diubah beberapa kali akhirnya dengan Staatblaad 1941 No. 44 diumumkan dengan Het Herziene Inlands Reglement atau disingkat HIR. Diberlakukan HIR untuk orang-orang pribumi dan Asia asing seperti Cina, Arab, dan lain-lain. Nama pengadilannya adalah Landrad yang sekarang menjadi Pengadilan Negeri.
Hukum Acara Pidana di Indonesia pada zaman penjajahan Jepang.
Pada zaman Jepang tidak terjadi perubahan yang mendasar tentang hukum. UU No. 1 Tahun 1942 tanggal 7 Maret 1942 Pasal 3, menyatakan: Semua badan Pemerintah tetap diakui asal tidak bertentangan dengan aturan Pemerintah Militer Jepang.
Hukum Acara Pidana setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia
Berdasar ketentuan Pasal 2 Aturan Peralihan UUD 1945, yang berbunyi “Segala badan Negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum diadakan yang baru menurut UUD 1945 ini”. Dengan Aturan peralihan ini maka secara sah HIR masih tetap berlaku, namun pada tahun 1948 HIR diganti namanya menjadi Reglements Indonesia yang diperbaharui dan disingkat RIB. Dengan UU Darurat No. 1 Tahun 1951 HIR/RIB diunifikasikan dan berdasar Pasal 6 ayat 1 maka HIR/RIB dipakai sebagai pedoman Hukum Acara Pidana berlaku sampai tahun 1981.

TUJUAN DAN FUNGSI HUKUM ACARA PIDANA
Timbulnya penemuan hukum baru dan pembentukan peraturan perundangundangan baru terutama sejak pemerintah Orde Baru cukup menggembirakan dan merupakan titik cerah dalam kehidupan hukum di Indonesia, termasuk di dalamnya adalah disusunnya KUHAP. Apabila diteliti beberapa pertimbangan yang menjadi alasan disusunnya KUHAP maka secara singkat KUHAP memiliki lima tujuan sebagai berikut. 
Perlindungan atas harkat dan martabat manusia (tersangka atau terdakwa).
Perlindungan atas kepentingan hukum dan pemerintahan.
Kodifikasi dan unifikasi Hukum Acara Pidana.
Mencapai kesatuan sikap dan tindakan aparat penegak hukum.
Mewujudkan Hukum Acara Pidana yang sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945.
Dalam Pedoman Pelaksanaan KUHAP telah dirumuskan mengenai tujuan Hukum Acara Pidana yakni “Untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil, ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan Hukum Acara Pidana secara jujur dan tepat, dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menentukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan.”
Jika menilik rumusan tersebut di atas maka dapat dirinci tujuan Hukum Acara Pidana sebagai berikut.
Suatu kebenaran materiil yaitu kebenaran hakiki dan lengkap dari suatu perkara pidana melalui penerapan ketentuan Hukum Acara Pidana secara tepat dan jujur.
Menentukan subyek hukum berdasarkan alat bukti yang sah, hingga dapat didakwa melakukan suatu tindak pidana.
Menggariskan suatu pemeriksaan dan putusan pengadilan, agar dapat ditentukan apakah suatu tindak pidana telah terbukti dilakukan orang yang didakwa itu.
Van Bemmelen dalam bukunya yang disitir Rd. Achmad Soema Dipraja, mengemukakan bahwa pokok Hukum Acara Pidana mengatur hal-hal:
Diusutnya kebenaran dari adanya persangkaan dilarangnya Undang-undang pidana, oleh alat-alat negara, yang khusus diadakan untuk keperluan tersebut.
Diusahakan diusutnya para pelaku dari perbuatan itu.
Diikhtiarkan dari segala daya upaya agar para pelaku dari perbuatan itu, dapat ditangkap, jika perlu untuk ditahan.
Alat-alat bukti yang telah diperoleh dan terkumpul hasil pengusutan dari kebenaran perasangkaan tadi diberikan kepada hakim, demikian juga diusahakan agar tersangka dapat dihadapkan kepada hakim.
Menyerahkan kepada hakim untuk mengambil keputusaan terbukti tidaknya perbuatan yang disangkakan dilakukan oleh tersangka dan tindakan atau hikuman apakah yang akan diambil adan dijatuhkan.
Menentukan upaya hukum yang dapat dipergunakan terhadap putusan yang diambil hakim.
Putusan yang diambil berupa pidana atauu tindakan untuk dilaksanakan.
Maka berdasarkan hal-hal di atas, maka dapat diambil kesimpulan, bahwa tiga fungsi pokok hukum acara pidana, yaitu:
Mencari dan menentukan kebenaran.
Pengambilan putusan oleh hakim.
Pelaksanaan dari pada putusan yang telah diambil.
Sedangkan menurut Bambang poernomo bahwa tugas dan fungsi hukum acara pidana melalui alat perlengkapannya, ialah:
Untuk mencari dan menentukan fakta menurut kebenaran.
Menerapkan hukum dan menemukan fakta menurut kebenaran.
Melaksanakan putusan secara adil.

SUMBER-SUMBER HUKUM ACARA PIDANA
Adapun beberapa sumber dasar Hukum Acara Pidana sebagai berikut:18
Undang-Undang Dasar 1945, ketentuan UUD 1945 yang langsung mengenai Hukum Acara Pidana adalah Pasal 24 ayat (1): kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang. Ayat (2): susunan dan kekuasaan badan-badan kehakiman itu diatur dengan undang-undang. Pasal 25: syaratsyarat untuk menjadi dan untuk diberhentikan sebagai hakim ditetapkan dengan undang-undang. Penjelasan kedua pasal ini mengatakan, kekuasaan kehakiman ialah kekuasaan yang merdeka, artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah. Berhubung dengan itu, harus diadakan jaminan dalam undang-undang kedudukannya para hakim. Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945; segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut undang-undang dasar ini.
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) UU No. 8 Tahun 1981, LN 1981 Nomor 76, Tambahan Lembar Negara Nomor 3209.
Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman (UU No. 48 Tahun 2009, LN 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076).
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. 
Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Mahkamah Agung. 

ASAS HUKUM ACARA PIDANA
Adapun asas-asas yang mengatur perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia yang ditegakkan, sebagaimana termuat dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), antara lain sebagai berikut:
Peradilan dilakukan “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”.
Asas persamaan di depan hukum (equality before the law), artinya setiap orang diperlakukan sama dengan tidak memperbedakan tingkat sosial, golongan, agama, warna kulit, kaya, miskin, dan lain-lainnya di muka hukum atau pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang (Pasal 4 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009)
Asas perintah tertulis dari yang berwenang, artinya segala tindakan mengenai penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan hanya dapat dilakukan berdasarkan perintah tertulis oleh pejabat yang berwenang oleh Undang-undang (Pasal 7 UU No. 48 Tahun 2009)
Asas praduga tak bersalah (presumption of innocence), artinya setiap orang yang ditangkap, ditahan, dituntut dan/atau dihadapkan didepan pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap (Pasal 8 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009)
Asas pemberian ganti rugi dan rehabilitasi atas salah tangkap, salah tahan, dan salah tuntut, mengadili tanpa alasan berdasarkan Undang-undang atau kekeliruan mengenai orangnya (error in persona) atau hukum yang diterapkannya berhak menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi, (Pasal 9 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009)
Asas peradilan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan atau lazim disebut Contante Justitie (Pasal 2 ayat (4) jo Pasal 4 ayat (4) UU No. 48 Tahun 2009)

PRINSIP-PRINSIP HUKUM ACARA PIDANA
Prinsip legalitas
Dalam konsiderans KUHAP huruf a, berbunyi: “bahwa negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang menjunjung tinggi hak asasi manusia serta menjamin segala warganegara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada pengecualian;

Prinsip keseimbangan
Dalam konsiderans KUHAP huruf c, antara lain ditegaskan bahwa “... dalam setiap penegakan hukum harus berlandaskan prinsip keseimbangan yang serasi antara lain:
Perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia dengan;
Perlindungan terhadap kepentingan dan ketertiban masyarakat.
Prinsip unifikasi
Dalam konsiderans KUHAP huruf b, bahwa demi pembangunan di bidang hukum sebagaimana termaktub dalam garis-garis besar haluan Negara (Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IV/MPR/1978) perlu mengadakan usaha peningkatan dan pemyempurnaan pembinaan hukum nasional dengan mengadakan pembaharuan kodifikasi serta unifikasi hukum dalam rangkuman pelaksanaan secara nyata dari Wawasan Nusantara;
Prinsip Differensiasi Fungsional
Yang dimaksud dengan differensiasi fungsional adalah penjelasan dan penegasan tugan dan wewenang masing-masing antara jajaran aparat penegak hukum secara instansional.
Prinsip Saling Kordinasi
Yang dimaksud saling kordinasi yaitu built in control, artinya pengawasan dilaksanakan berdasarkan struktural oleh masing-masing imstansi menurut jenjang pengawasan (span of control) oleh atasan kepada bawahan’

PROSES HUKUM ACARA PIDANA
Proses dalam Hukum acara pidana antara lain:
Tahap Penyelidikan
Secara umum penyelidikan atau dengan kata lain sering disebut penelitian adalah langkah awal atau upaya awal untuk mengidentifikasi benar tidaknya suatu peristiwa pidana itu terjadi. Dalam perkara pidana, penyidikan atau penelitian itu adalah langkah-langkah untuk melakukan penelitian berdasarkan hukum dan peraturan perundang-undangan untuk memastikan apakah peristiwa pidana itu benar-benar terjadi atau tidak terjadi.
Adapun definisi dari penyelidikan ada didalam ketentuan umum pasal 1 butir 5 yang menjelaskan bahwa penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menemukan dapat atau tidaknya dilakukan penyelidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini (KUHAP)
Dalam proses penyidikan ada pihak berwenang yaitu penyelidik dan penyidik. Penyelidik adalah pejabat polisi Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penyelidikan (Pasal 1 angka 4 KUHAP). Mengenai penyelidik lebih lanjut akan dijelaskan pada Modul 2. Sedangkan Penyidik adalah pejabat polisi Republik Indonesia/pejabat PNS tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan (Pasal 1 angka 1 KUHAP). Mengenai penyidik lebih lanjut akan dijelaskan pada Modul 2.
Tahap Penuntutan
Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadila negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan (Pasal 1 angka 7 KUHAP). Tujuannya adalah untuk mendapat penetapan dari penuntut umum tentang adanya alasan cukup untuk menuntut seorang terdakwa di muka umum.
Tahap Pemeriksaan Sidang Pengadilan
Setelah proses perkara pidana yang dimulai dari penyidikan kemudian penyelidikan yang selanjutnya diberikan ke Penuntut umum untuk mengetahui perkara itu patut untuk di lanjutkan ke Pemeriksaan sidang pengadilan. Dasar titik tolak perbedaan tata cara pemeriksaan dalam sidang pengadilan negeri ditinjau dari segi jenis tindak pidana yang diadili berdasarkan pada mudah atau sulitnya pembuktian perkara.
Dalam KUHAP acara sidang pengadillan dalam Pasal 152-159 yang dibagi menjadi tiga bentuk pemeriksaan dipengadilan, yaitu:
1.   Acara pemeriksaan biasa (Pasal 152-202 KUHAP), yaitu tindak pidana yang diperiksa dengan acara pemeriksaan biasa adalah tindak pidana yang pembuktiannya mudah serta penerapan hukumnya tidak mudah serta sifat melawan hukumnya tidak sederhana.
2.   Acara pemeriksaan singkat (Pasal 203-204 KUHAP) yaitu tindak pidana yang diperiksa dengan cara pemeriksaan singkat adalah tindak pidana yang pembuktiannya mudah serta sifat melawan hukumnya sederhana.
3.  Acara pemeriksaan cepat. Acara pemeriksaan cepat dibagi 2 yaitu tindak pidana ringan “Tipiring” (diperuntukkan bagi tindak pidana yang ancaman hukumnya berupa penjara atau kurungan 3 bulan atau denda Rp. 7.500,- dan penghinaan ringan), kemudian yang kedua adalah pelanggaran lalu lintas. Jadi setelah Penuntut umum menganggap berkas itu patut untuk dilanjutkan ke persidangan maka jaksa menentukan perkara itu harus dilakukan dengan jenis acara pemeriksaan biasa, singkat atau cepat.
Tahap Pelaksanaan Putusan Hakim
Didalam dunia pengadilan, sebenarnya hanya ada satu hal pokok yang dicari para justiabalance (pencari keadilan) yaitu Putusan Hakim.Setelah putusan tersebut sudah final dan berkekuatan hukum sacara tetap maka akan dilaksanakan eksekusi (akibat dari putusan tersebut).
Tujuan pihak-pihak yang berperkara menyerahkan perkara-perkaranya kepada pengadilan adalah untuk menyelesaikan perkara mereka secara tuntas dengan putusan pengadilan, tetapi dengan adanya putusan pengadilan bukan berarti sudah menyelesaikan perkara secara tuntas, akan tetapi perkara akan dianggap selesai apabila ada pelaksanaan putusan atau eksekusi.
Dengan kata lain pencari keadilan mempunyai tujuan akhir yaitu agar segala hak-haknya yang dirugikan oleh pihak lain dapat dipulihkan melalui putusan pengadilan/hakim. Dan pemulihan tersebut akan tercapai apabila putusan dapat dilaksanakan Dan dalam makalah singkat ini akan mengemukakan sedikit pembahasan mengenai pelaksanaan putusan/eksekusi
Pelaksanaan putusan /eksekusi adalah putusan pengadilan yang dapat dilaksanakan. Dan putusan pengadilan yang dapat dilaksanakan adalah putusan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde). Putusan yang sudah berkekuatan tetap adalah putusan yang sudah tidak mungkin lagi dilawan dengan upaya hukum verzet, banding, dan kasasi.
Pengadilan Agama sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman dapat melaksanakan segala putusan yang dijatuhkannya secara mandiri tanpa harus melalui bantuan Pengadilan Negeri. Hal ini berlaku setelah ditetapkannya UU No. 7/1989. Dan sebagai akibat dari ketentuan UU Peradilan Agama diatas adalah:
Ketentuan tentang eksekutoir verklaring dan pengukuhan oleh Pengadilan Negeri dihapuskan
Pada setiap Pengadilan Agama diadakan Juru Sita untuk dapat melaksanakan putusan-putusannya
Pelaksanaan putusan hakim dapat Secara sukarela atau Secara paksa dengan menggunakan alat Negara apabila pihak terhukum tidak mau melaksanakan secara sukarela. Semua keputusan pengadilan mempunyai kekuatan eksekutorial, yaitu kekuatan untuk dilaksanakan secara paksa oleh alat-alat Negara Keputusan pengadilan bersifat eksekutorial adalah karena pada bagian kepala keputusannya berbunyi “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Putusan yang dapat dieksekusi adalah yang memenuhi syarat-syarat untuk dieksekusi, yaitu :
Putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, kecuali dalam hal:
Pelaksanaan putusan serta merta, putusan yang dapat dilaksanakan lebih dulu
Pelaksanaan putusan provisional
Pelaksanaan Akta Perdamaian
Pelaksanaan (eksekusi) Grose akta
Putusan tidak dijalankan oleh pihak terhukum secara sukarela meskipun ia telah diberi peringatan (aan maning) oleh Ketua Pengadilan Agama
Putusan hakim yang bersifat kondemnatoir Putusan yang bersifat deklaratoir atau konstitutif tidak diperlukan eksekusi. Putusan kondemnatoir tidak mungkin berdiri sendiri, dan merupakan bagian dari putusan deklaratoir, karena sebelum bersifat menghukum terlebih dahulu ditetapkan suatu keadaan hukum.
Eksekusi dilakukan atas perintah dan dibawah pimpinan Ketua Pengadilan Agama.
Terdapat beberapa macam pelaksanaan putusan, yaitu:
Putusan yang menghukum salah satu untuk membayar sejumlah uang. Hal ini diatur dalam pasal 196 HIR, pasal 208 R.Bg
 Putusan yang menghukum salah satu pihak untuk melakukan suatu perbuatan. Hal ini diatur dalam pasal 225 HIR, pasal 259 R.Bg
Putusan yang menghukum salah satu pihak untuk mengosongkan suatu benda tetap. Putusan ini disebut juga Eksekusi Riil. Hal ini diatur dalam pasal 1033 Rv.
Eskekusi riil dalam bentuk penjualan lelang. Hal ini diatur dalam pasal 200 ayat (1) HIR, pasal 218 ayat (2) R.Bg
Pasal 196 HIR/207 R.Bg mengatur tentang pelaksanaan putusan yang diakibatkan dari tindakan tergugat/enggan untuk secara suka rela melaksanakan isi putusan untuk membayar sejumlah uang, sehingga pihak penggugat sebagai pihak yang dimenangkan mengajukan permohonan secara lisan atau tertulis kepada Ketua Pengadilan Agama agar putusan dapat dijalankan.
Pasal 225 HIR/259 R.Bg berkaitan dengan pelaksanaan putusan untuk melakukan suatu perbuatan tertentu yang tidak ditaati, sehingga dapat dimintakan pemenuhan tersebut dinilai dalam bentuk uang. Maksud pelaksanaan putusan yang diatur dalam ketentuan ini adalah untuk menguangkan bagian tertentu dari harta kekayaan pihak tergugat sebagai pihak yang dikalahkan dengan tujuan guna memenuhi isi putusan sebagai termuat dalam amarnya, yang telah memenangkan pihak penggugat sebagai pemohon eksekusi, yang dimaksudkan eksekusi riil dalam ketentuan pasal 1033 Rv. adalah dilaksanakan putusan yang memerintahkan pengosongan atas benda tidak bergerak.
Dalam praktek di pengadilan,tergugat yang dihukum untuk mengosongkan benda tidak bergerak tersebut setelah terlebih dahulu ditegur, untuk mengosongkan dan menyerahkan benda tidak bergerak tersebut kepada penggugat selaku pihak yang dimenangkan.Apabila tidak bersedia melaksanakan perintah tersebut secara sukarela, maka Ketua Pengadilan dengan penetapan akan memerintahkan Panitera atau Juru Sita, kalau perlu dengan bantuan alat negara (Polisi/ABRI) dengan paksa melakukan pengosongan terhadap tergugat dan keluarga serta segenap penghuni yang ada, ataupun yang mendapat hak dari padanya, dengan menyerahkannya kepada Penggugat selaku pemohon eksekusi.
Adapun mengenai cara melakukan penjualan barang-barang yang disita dalam hal pelaksanaan eksekusi riil dalam bentuk penjualan lelang diatur dalam pasal 200 HIR. Ketentuan pokoknya antaralain berisi:
Penjualan dilakukan dengan pertolongan Kantor Lelang;
Urutan-urutan barang yang akan dilelang ditunjuk oleh yang terkena lelang jika ia mau
Jika jumlah yang harus dibayar menurut putusan da biaya pelaksanaan putusan dianggap telah tercapai, maka pelelangan segera dihentikan. Baran-barang selebihnya segera dikembalikan kepada yang terkena lelang;
Sebelum pelelangan, terlebih dahulu harus diumumkan menurut kebiasaan setempat dan baru dapat dilaksanakan 8 hari setelah penyitaan;
Jika yang dilelang terasuk benda yang tidak berberak maka harus diumumkan dalam dua kali dengan selang waktu 15 hari;
Jika yang dilelang menyangkut benda tidak bergerak lebih dari Rp.1000.- harus diumumkan satu kali dalam surat kabar yang terbit di kota itu paling lambat 14 hari sebelum pelelangan;
Jika harga lelang telah dibayar, kepada pembeli diberikan kwitansi tanda lunas dan selain itu pula hak atas barang tidak bergerak tersebut beralih kepada pembeli;
Orang yang terkena lelang dan keluarganya serta sanak saudaranya harus menyerahkan barang tidak bergerak itu secara kosong kepada pembeli.
Iklan
Proses dalam Hukum Acara Pidana secara garis besar dapat dibagi menjadi tindakan yang mendahului pemeriksaan di muka pengadilan yang terdiri atas tingkat penyelidik/penyidik (kepolisian) dan pada tingkat penuntut umum.
Ketika dalam proses penyidikan sudah terkumpul bukti-bukti yang menguatkan maka penyidik akan mengirim BAP (berkas acara pemeriksaan) kepada kejaksaan untuk kemudian kejaksaan menunjuk penuntut umum yang kemudian membuat surat dakwaan dan selanjutnya melimpahkan ke pengadilan negeri. Ketua pengadilan membentuk majelis hakim yang bertugas memanggil terdakwa, kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan dalam sidang pengadilan hingga akhirnya tercipta putusan pengadilan.

KESIMPULAN
“Hukum acara adalah kumpulan ketentuan-ketentuan dengan tujuan memberikan pedoman dalam usaha mencari kebenaran dan keadilan bila terjadi perkosaan atas suatu ketentuan hukum dalam hukum materiil yang berarti memberikan kepada hukum acara suatu hubungan yang mengabdi kepada hukum materiil”.
Demikian pula menurut Moelyatno dengan memberikan batasan tentang pengertian hukum formil (hukum acara) adalah “hukum yang mengatur tata cara melaksanakan hukum materiel (hukum pidana), dan hukum acara pidana (hukum pidana formil) adalah hukum yang mengatur tata cara melaksanakan/ mempertahankan hukum pidana materiel.”
Hukum acara pidana merupakan pelengkap dari hukum pidana atau dengan kata lain hukum acara pidana sering disebut sebagai hukum pidana formil.
Menurut doktrin (pendapat para ahli hukum) bahwa tujuan hukum acara pidana adalah mencari dan menemukan kebenaran materil, memperoleh putusan hakim, dan melaksanakan putusan hakim.
Mencari dan Menemukan Kebenaran Materil: mencari dan menemukan kebenaran materil, artinya kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum secara jujur dan dan tepat, dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan pengadilan guna menentukan apakah terbukti bahwa suatu tindakan pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan.
Memperoleh Putusan Hakim: tujuan hukum acara pidana ini dapat diartikan bahwa setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum yang tetap.
Melaksanakan Putusan Hakim

DAFTAR PUSTAKA

Djamali Abdoel, 2010, Pengantar Hukum Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Presda.
Hamzah Andi, 2004, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta, Sinar Grafika.
Hartono, 2010, Penyidikan dan Penegakan Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika.
Kansil, 2003, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jkarta: Balai Pustaka.
Kertanegara Satochid, 2005, Hukum Pidana I (kumpulan kuliah), Jakarta: Balai Lektur Mahasiswa.
Makarao M Taufik dan Suhasril, 2004, Hukum Acara Pidana Dalam Teori Dan Praktek, Jakarta: Ghalia Indonesia.
Poernomo Bambang, 1993, Pola Dasar Teori Asas Umum Hukum Acara Pidana dan Penegakan Hukum Pidana, (Yogyakarta: Liberty.
Prodjodikoro Wiryono, 1967, Hukum Acara Pidana di Indonesia, Jakarta: Penerbit Sumur Bandung.
Rusli Muhamad, 2007, Hukum Acara Pidana Kontemporer, Bandung: Citra Aditya Bakti.
Samidjo, 1985, Pengantar Hukum Indonesia, Bandung: CV Armico.
Supomo R., 1981, Bab-bab Tentang Hukum Adat, Jakarta: Pradnya Paramita.
https://rudini76ban.wordpress.com/2009/09/29/%E2%80%9Cpelaksanaan-putusan-hakim-eksekusi%E2%80%9D/ (Diunduh pada tanggal 5 Maret 2018 jam 19.00 WIB.)

Monday, November 5, 2018

KHIYAR DAN KLASIFIKASINYA

 Oleh:
Muhammad Nur Muzakki

Abstrak
Makalah ini mengungkap tentang Khiyar (hak opsional) yang mengenai dalil khiyar, definisi khiyar, dan klasifikasi khiyar. Berdagang merupakan sunnah Rasulullah yang harus diikuti oleh umatnya. Beliau telah memberikan suri tauladan dengan mengandalkan kejujuran dan kepercayaan meraih kesuksesan dalam berdagang. Dalam berdagang dibutuhkan sebuah etika agar terciptanya kepuasan dan kerelaan kedua pihak, karna sering kali pembeli merasa kurang puas dengan barang yang dibeli karena ada cacat ataupun kerusakan yang tidak diketahui sebelumnya dalam barang. Oleh karna itu diperlukan kesepakatan antara penjual dan pembeli dalam melangsungkan proses jual beli apabila terdapat masalah seperti ini.  
Keyword : Dalil, Definisi, Klafikasi
                                                                         
A.    Pendahuluan
Dalam Islam pada hakikatnya Rasulallah SAW. di utus keatas muka bumi adalah sebagai uswat al-hasanat rahmat lil-alamin. Semua sunnah Rasulullah SAW. menjadi panduan utama setelah Al-Qur’an bagi berbagai aspek kehidupan manusia terutama aspek pendidikan. Dan salah satu yang terlihat pada diri Rasuullah SAW adalah ketika berhijrah ke Madinah, dan salah satu dakwah Rasulullah SAW adalah di pasar yang ditempati panjual dan pembeli. Maka dari adanya penjual dan pembeli tersebut, maka terjadilah transaksi jual beli yang melibatkan istilah pilihan terhadap barang yang akan diperjual belikan.
Dalam Islam istilah pilihan biasa di sebut khiyar. Yang mana khiyar ini merupakan salah satu hak yag harus dimiliki antara penjual dan pembeli. Dengan demikian proses jual beli akan berlangsung dengan prasaan yang aman dan nyaman. Maka dari itu, Rasulullah SAW mencontohkan kepada setiap manusia yang di muka bumi pada masa-masanya untuk selalu berjalan sesuai syariat yang telah ditentukan oleh Allah SWT.
Berdasarkan uraian di atas, maka makalah dirumuskan kedalam beberapa penjelasan, yaitu; (1) bagaimana dalil khiyar; (2) bagaimana definisi khiyar; (3) bagaiamana klafikasi khiyar.
Oleh sebab itu, makalah ini (1) mengulas dalil khiyar; (2) mengulas definisi khiyar; (3) mengulas klafikasi khiyar.

1.      Dalil
Berdasarkan prinsip wajib menegakan kejujuran dan kebenaran dalam perdagangan, maka haram bagi penjual menyembunyikan cacat barang. Apabila dalam barang yang akan dijual itu terdapat cacat maka yag diketahui oleh pemilik barang (penjual), maka wajiblah dia menerangkan hal itu dan tidak boleh menyembunyikannya. Menyembunyikan cacat barang dengan sengaja termasuk penipuan dan kecurangan.[1]
Khiyar hukumnya boleh berdasarkan sunnah Rasulullah Saw. Diantara sunah tersebut adalah hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari Abdullah bin Harits:
عن عبد اللّه بن الحارث قال: سمعت حكيم بن حزام رضي اللّه عنه عن النبي صلى اللّه عليه وسلم قال: البيعان بالخيار مالم يتفرقا، فان صدقا وبينا بورك لهما بيعهما وان كذبا وكتما محقت بركة بيعهما (رواه البحاري)
Artinya: Dari Abdullah bin Harits ia berkata: saya mendengar Hakim bin Hizam r.a dari Nabi Saw beliau bersabda: “penjual dan pembeli boleh melakukan khiyar selama mereka berdua belum berpisah. Apabila mereka berdua benar dan jelas, maka mereka berdua diberi keberkahan didalam jual beli mereka, dan apabila mereka berdua berbohong dan merasiakan, maka dihapuslah keberkahan jual beli mereka berdua. (HR. Al-bukhari).[2]

Disamping itu ada hadits lain yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari Ibnu Umar:
عن ابن عمر رضي اللّه عنهما قال: قال النبي صلى اللّه عليه وسلم: البيعان بالخيار مالم يتفرق, او يقول احدهما لصاحبه: اختر. وربما قال: اويكون بيع خيار. (رواه بخارى)
Artinya: Dari Ibnu Umar r.a ia berkata: Telah bersabda Nabi Saw: Penjual dan pembeli boleh melakukan khiyar selagi keduanya belum berpisah, atau salah seorang mengatakan pada temannya: Pilihlah. Dan kadang-kadang beliau bersabda: atau terjadi jual beli khiyar. (HR. Al-Bukhari).[3]

Dari hadits tersebut jelaslah bahwa Khiyar dalam akad jual beli hukumnya dibolehkan. Apabila dalam barang yang dibeli terdapat cacat (‘aib) yang bisa merugikan kepada pihak pembeli. Hak khiyar ditetapkan oleh syariat islam bagi orang-orang yang melakukan transaksi terdata agar tidak dirugikan dalam transaksi yang mereka lakukan, sehingga kemaslahatan yang dituju dalam suatu transaksi tercapai dengan sebaik-baiknya. Status khiyar, menurut ulama fiqh adalah disyariatkan atau dibolehkan karena masing-masing pihak yang melakukan transaksi supaya tidak ada pihak yang merasa tertipu.[4]

Dalil yang mendasari legislasi khiyar adalah Hadits dan Ijma’.
البيعان با الخيار ماا لم يتفرّقا اوْ يقوْل أحدهمَا لِلْآخرِاخترْ (رواه الشيخان)
Artinya:“Penjual dan pembei memiliki pilihan sebelum keduanya berpisah, atau salah satunya megatakan pada yang lain, pilihlah! (HR. Bukhari dan Muslim)
 عن ابن عمر قال : سمعْت رجلا من الْانْصارِ وكانتْ بلسانه لوثة يشكو إلي رسول الله  صلى الله عليه وسلم أنه لا يزال يغْبنُ فى الْبيْع فقال له رسول الله صلى الله عليه وسلم : اذا بايعت فقل لا خلابة ثم انت بالخيار في كل سلعة ابتعتها ثلاث ليال فان رضيت فأمسك وان سخطت فاردد  (رواه البيهقى)
Artinya:“Dari Ibn Umar ra. Berkata seorang sahabat Anshar yang lugu mengadu kepada Rasulullah Saw., bahwa ia selalu dirugikan dalam jual beli, maka katakan, “tidak ada manipulasi!”, selanjutnya kamu berhak menentukan pilihan pada setiap barang yang kamu beli selama tiga malam. Jika kamu berminat, ambil, jika tidak, kembalikan”. (HR. Albaihaqi).

2.      Definisi Khiyar
Dalam perspektif islam, jelas bahwa acuan kejujuran dalam berdagang harus diletakan dalam kerangka ukuran-ukuran yang bersumber dari ajaran Islam, yakni al-Qur’an dan Hadits. Karena itu, sistem nilai yang islami mendasari perilaku perdagangan masalah penting untuk diungkapkan. Dari perspektif islam tersebut, perdagangan ternyata memiliki dua dimensi, yakni dimensi duniawi dan dimensi ukhrawi. Perdangan yang dijalankan berlandaskan nilai-nilai islam dalam penelaahan ini dipahami sebagai yang berdimensi ukhrawi, dan demikian sebaliknya berdimensi duniawi apabila suatu aktivitas perdagangan terlepas dari nilai-nilai islam yang dimaksud.[5]
Allah menciptakan manusia dengan suatu sifat saling membutuhkan antara satu dengan lainnya. Tidak ada seorang pun yang dapat menguasai seluruh apa yang diinginkan. Tetapi manusia hanya dapat mencapai sebagian yang diharapkan itu. Dia mesti memerlukan apa yang menjadi kebutuhan orang lain. Untuk itu Allah memberikan inspirasi kepada mereka untuk mengadakan penukaran perdagangan dan semua yang kiranya dapat bermanfaat dengan cara jual beli dan semua hubungan yang lain. Sehingga hidup manusia dapat berdiri dengan baik dan proses hidup ini berjalan dengan baik.
Nabi Muhammad SAW diutus, sedang waktu itu bangsa Arab memiliki  aneka macam perdagangan dan penukaran. Oleh karna itu, sebagian yang mereka lakukan dibenarkan oleh Nabi sepanjang tidak bertentagan dengan syariat yang di bawanya. Sedang sebagian lain dilarang yang kiranya tidak sesuai dengan tujuan dan jiwa syariat. Larangan ini berkisar dalam beberapa sebab, diantaranya:
a.       Karena ada usaha untuk membantu perbuatan maksiat.
b.      Karena ada unsur penipuan.
c.       Karena ada unsur pemaksaan.[6]
Untuk dapat mengaplikasikan nilai positif dan menghindarkan dari perbuatan-perbuatan yang negatif dalam perdagangan, sangat perlu kiranya untuk menerapkan prinsip-prinsip yang berlandaskan pada nilai-nilai Islam, khususnya dalam perdagangan yang modern seperti sekarang ini yang sangat rentan terhadap aksi penipuan. Sangat perlu adanya hak khiyar antara penjual dan pembeli tidak merasa dirugikan atau  tertipu dari jual beli yang telah dibeli.
Khiyar dalam arti bahasa berasal dari akar kata: khara-yakhiru-khairan-wa khiyaratan (خار – يخير – خيرا – وخيارة ) yang sinonimnya: اعطاه ماهوخيرله , yang artinya: “memberikan kepadanya suatu yang lebih baik baginya”. Menurut istilah kalangan ulama fiqih yaitu mencari yang baik dari dua urusan baik berupa meneruskan akad atau membatalkannya.[7] Sayyid Sabiq memberikan deifinisi khiyar sebagai berikut.
الخيار هو طلب خير الآمرين من الإمضاء او الإلغاء
Artinya: khiyar dalah menunut  yang terbaik dari dua perkara, berupa meneruskn (akad jual jual beli) atau membatalkannya.
Khiyar itu dimaksud untuk menjamin adanya kebebasan berfikir antara pembeli anatar pembeli dan penjual atau salah seorang yang membutuhkan khiyar. Akan tetapi oleh karena dengan sistem khiyar ini adakalanya  menimbulkan penyelesalan kepada salah seorang dari pembeli atau penjual yaitu jika pedagang mengharap barangnya segera laku, tentu tidak senang kalau barangnya dikembalikan lagi sesudah jual beli atau kalau pembeli sangat mengharapkan mendapat barang yang dibelinya, tentu tidak senang hati kalau uangnya dikembalikan lagi sesudah akad jual beli. Maka karena itu, untuk menetapkan syahnya ada khiyar harus ada ikrar dari kedua belah pihak atau salah satu pihak yang diterima oleh pihak lainnya atau kedua pihaknya, kalau kedua belah pihak menghendakinya.[8]
Dari difinisi yang telah dikemukakan di atas dapat diambil intisari bahwa khiyar adalah pilihan untuk melanjutkan jual beli atau membatalkannya, karena terdapat cacat terhadap barang yang dijual, atau ada perjanjian pada waktu akad, atau karena sebab yang lain. Tujuan diadakannya khiyar tersebut adalah untuk mewujudkan kemaslahatan bagi kedua belah pihak sehingga tidak ada rasa menyesal setelah akad selesai, karena mereka sama-sama rela dan setuju.

3.        Klasifikasi Khiyar
A.       Khiyar Majlis
Khiyar majlis ialah hak pelaku transaksi untuk menentukan pilihan terbaik antara melangsungkan atau mengurungkan transaksi ketika kedua pihak masih berada di majlis akad. Menurut qaul ashah Syafi’iyah, khiyar ini bersifat otoritatif (qahri’). Dalam arti, eksistensinya dalam sebuah transaksi mu’awadlah telah dilegitimasi syari’at yang tidak bisa dinafikan, sehingga menafikan khiyar majlis dari akad mu’awadlah, akan berkonsekuensi membatalkan akad itu sendiri. namun menurut qaul kedua, transaksi sah tanpa ada hak khiyar, dan menurut qaul ketiga, transaksi sah dan tetap ada hak khiyar[9].
 Khiyar majlis artinya si pembeli dan si penjual boleh memilih antara dua perkara tadi selama keduanya masih tetap berada ditempat jual beli. Khiyar majlis diperbolehkan dalam segala macam jual beli.[10]
Sabda Rasulullah SAW:
البيعان بالخيار ما لم يتفرقا (رواه الشيخان)
penjual dan pembeli boleh khiyar selama belum berpisah” (riwayat bukhari dan muslim).
Khiyar majlis yaitu khiyar yang memperbolehkan bagi kedua belah pihak untuk membatalkan akad setelah akad tersebut dinyatakan sah selama keduanya secara umum masih dikatakan berada ditempat transaksi dan belum berpisah atau keduanya belum memilih untuk melangsungkan akad. Jika salah satu pihak telah memilih dan yang lain belum menentukan sikap maka hak yang lain untuk khiyar dinyatakan gugur.[11]

B.       Khiyar Syarat
Khiyar syarat yaitu hak pelaku transaksi untuk menentukan pilihan terbaik antara melangsungkan atau mengurungkan transaksi yang berlaku atas dasar kesepakatan muta’aqidain terhadap sebuah klausul (syarat) berupa batas waktu tertentu.   Khiyar syarat tidak bersifat otoritatif (qahri) sebagaimana khiyar majlis, melainkan bersifat opsional. Artinya, eksistensinya dalam sebuah transaksi mu’awadlah bukan atas dasar legitimasi  syara’ tetapi atas dasar inisiatif (iradah) dari pelaku transaksi. Karena itu, khiyar syarat boleh ditiadakan dari sebuah transaksi mu’awadlah.[12]
Khiyar syarat artinya khiyar itu dijadikan syarat sewaktu akad oleh keduanya atau oleh salah seorang, seperti kata si penjual, “ saya jual barang ini dengan harga sekian dengan syarat khiyar dalam tiga hari atau kurang tiga hari , “
Khiyar  syarat boleh dilakukan dalam segala macam jual beli,  kecuali barang yang wajib di terima di tempat jual beli,  seperti barang-barang riba.  masa khiyar syarat paling lama hanya tiga hari tiga malam, terhitung dari waktu akad.[13]
Sabda Rasulullah Saw:
انت با الخيار في كل سلعة ابتعتها ثلاث ليال (رواه البيهقي وابن ماجه)
 “ engkau boleh khiyar pada segala barang yang telah engkau beli selama tiga hari malam . “ ( Riwayat  Baihaqi dan Ibnu Majah )
Barang yang terjual itu sewaktu dalam masa khiyar kepunyaan orang yang mensyaratkan khiyar, kalau yang khiyar hanya salah seorang dari mereka. Tetapi kalau kedua-duanya mensyaratkan khiyar, maka barang itu tidak di punyai oleh seorang pun dari keduanya. Jika jual beli sudah tetap akan diteruskan, barulah diketahui bahwa barang itu kepunyaan pembeli mulai dari masa akad. Tetapi jika jual beli tidak diteruskan, barang itu tetap kepunyaan si penjual. Untuk meneruskan jual beli atau tidaknya, hendaklah dengan lafaz yang jelas menunjukan terus atau tidaknya jual beli.
Khiyar syarat yakni kedua belah pihak atau salah satu dari keduanya mensyaratkan untuk membatalkan akad pada masa mulai dari pensyaratan hingga tiga hari kemudian. Bila khiyar melebihi dari waktu tiga hari atau barang yang diperjualbelikan termasuk barang yang cepat rusak dalam masa khiyar maka akad dihukumi batal.[14]

C.      Khiyar Aib
Khiyar aib yakni hak opsional antara melangsungkan atau mengurungkan transaksi ketika komoditi didapati tidak sesuai dengan kondisi yang diharapkan dari suatu ikatan kontrak (iltizam syarthiyyin), tidak sesuai kondisi standar umum (qadla’ ‘urfiyyin), atau tidak sesuai akibat aksi manipulatif (taghrir fi’liyyin).[15]
Hak khiyar ini bersifat otoritatif (qahri). Artinya, opsi antara melangsungkan atau membatalkan transaksi atas dasar legitimasi syar’i seperti khiyar majlis,  bukan atas dasar inisiatif atau kesepakatan pelaku transaksi seperti khiyar syarat.
Khiyar aib artinya si pembeli boleh mengembalikan barang yang dibelinya apabila pada barang itu terdapat suatu cacat yang mengurangi kualitas barang itu, atau mengurangi harganya, sedangkan biasanya barang yang seperti itu baik; dan sewaktu akad cacatnya itu sudah ada, tetapi si pembeli tidak tahu; atau terjadi sudah akad, yaitu sebelum diterimanya. Keterangannya adalah ijma’ (sepakat ulama mujtahid).
روت عائشة رضى الله عنها ان رجلا ابتاع غلاما فاقام عنده ماشاء الله ثم وجدبه عيبا فخا صمه الى النبى صلى الله عليه وسلم فرده عليه (رواه أحمد و أبو داود و الترمذى)
Aisyah telah meriwayatkan, bahwasannya seorang laki-laki telah membeli seorang budak, budak itu tinggal beberapa lama dengan dia, kemudian kedapatan bahwa budak itu ada cacatnya, lalu dia adukan perkaranya kepada Rasulullah Saw. Keputusan dari beliau, budak iyu dikembalikan kepada si penjual. ( RIWAYAT Ahmad, Abu Daud, dan Tirmizi )[16]
Adapun cacat yang terjadi sesudah akad sebelum barang diterima, maka barang yang dijual sebelum diterima oleh si pembeli masih dalam tanggungan si penjual. Kalau barang ada di tangan si pembeli, boleh dikembalikan serta diminta kembali uangnya. Akan tetapi, kalau barang itu tidak ada lagi; umpanya yang dibeli itu kambing, sedangkan kambingnya sudah mati; atau yang dibeli tanah, sedangkan tanah itu sudah diwakafkannya, sesudah itu si pembeli baru mengetahui bahwa yang dibelinya itu ada cacat nya, maka dia berhak meminta ganti kerugian saja sebanyak kekurangan harga barang sebab adanya cacat itu.
Barang yang bercacat itu hendaknya segera dikembalikan, karna melalaikan hal ini berarti ridho pada barang yang bercacat, kecuali kalau ada halangan. Yang dimaksud dengan “segera” disini adalah menurut kebiasaan yang berlaku. Kalau si penjual tidak ada (sedang berpergian), hendaklah jangan dipakai lagi. Jika dia pakai juga, hilanglah hak nya untuk mengembalikan barang itu, dan hak meminta ganti rugi pun hilang pula.
Barang yang dikembalikan karna cacat tadi, apabila ada tambahannya sewaktu di tangan si pembeli, sedangkan tambahannya itu tidak dapat dipisahkan; misalnya binatang yang dibeli itu tadinya kurus, sekarang sudah gemuk, maka tambahan itu hendaklah dikembalikan juga bersama binatangnya, berarti si pembeli tidak boleh meminta ganti rugi. Akan tetapi, apabila tambahan itu dapat dipisahkan; misalkan anaknya,atau sewanya yang menghasikan ditangan si pembeli, maka tambahan ini menjadi keuntungan si pembeli, berarti tidak ikut dikembalikan. Sebaliknya kalau tambahan itu terjadi dari uang (harga barang), maka menjadi keuntungan si penjual. Berarti hasil uang itu semasa ditangan si penjual, kalau jual beli tidak diteruskan, tetap menjadi hak si penjual (tidak ikut bersama uang harga yang dikembalikan kepada si pembeli). Hukum ini berlaku kalau barang dikembalikan sesudah diterima.
Sabda junjungan kita, telah diriwayatkan bahwa seorang laki-laki telah mengadukan keadaannya kepada Rasulullah Saw. Ia mengadu bahwa dia telah membeli barang yang bercacat. Hasil pertimbangan beliau, barang itu dikembalikan kepada si penjual. Setelah laki-laki itu mendengar keputusan tersebut, lalu dia bertanya,” barang itu sudah saya pakai beberapa lama, apakah saya harus membayar sewanya atau tidak?
Jawab Rasulullah Saw.;
الخراج باالضمان (رواه االترمذى)
Buah (hasil) sesuatu adalah tanggungan si pembeli.” (RIWAYAT Tirmizi)
Jadi, apabila barang itu hilang dari tangannya, dia harus mengganti, karena dia yang bertanggung jawab atas barang yang berada di tangannya.







KESIMPULAN
Khiyar dalam arti bahasa berasal dari akar kata: khara-yakhiru-khairan-wa khiyaratan (خار – يخير – خيرا – وخيارة ) yang sinonimnya: اعطاه ماهوخيرله , yang artinya: “memberikan kepadanya suatu yang lebih baik baginya”. Menurut istilah kalangan ulama fiqih yaitu mencari yang baik dari dua urusan baik berupa meneruskan akad atau membatalkannya. Sayyid Sabiq memberikan deifinisi khiyar sebagai berikut.
الخيار هو طلب خير الآمرين من الإمضاء او الإلغاء
Artinya: khiyar dalah menunut  yang terbaik dari dua perkara, berupa meneruskn (akad jual jual beli) atau membatalkannya.
Khiyar hukumnya boleh berdasarkan sunnah Rasulullah Saw. Diantara sunah tersebut adalah hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari Abdullah bin Harits:
عن عبد اللّه بن الحارث قال: سمعت حكيم بن حزام رضي اللّه عنه عن النبي صلى اللّه عليه وسلم قال: البيعان بالخيار مالم يتفرقا، فان صدقا وبينا بورك لهما بيعهما وان كذبا وكتما محقت بركة بيعهما (رواه البحاري)
Artinya: Dari Abdullah bin Harits ia berkata: saya mendengar Hakim bin Hizam r.a dari Nabi Saw beliau bersabda: “penjual dan pembeli boleh melakukan khiyar selama mereka berdua belum berpisah. Apabila mereka berdua benar dan jelas, maka mereka berdua diberi keberkahan didalam jual beli mereka, dan apabila mereka berdua berbohong dan merasiakan, maka dihapuslah keberkahan jual beli mereka berdua. (HR. Al-bukhari).
Secara garis besar khiyar diklasifikasikan menjad tiga:
1.      Khiyar syarat
2.      Khiyar majlis
3.      Khiyar aib









DAFTAR PUSTAKA

Gemala Dewi, Hukum Perikatan Islam di Indonesia,  (Jakarta; Prenada Media. Cet. Ke-1, 2005).
Jusmaliani, Bisnis Berbasis Syariah, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008).

Sudarsono, Pokok-pokok hukum Islam,( Jakarta: Rineka Cipta, 1992).

Syekh Muhammad Yusuf Qardhawi,  Al-Halal Wa Haram Fil Islam, Ter. Mu’amalah Hamidy, “Halal dan Haram Dalam Islam”,( Jakarta: Bina Ilmu, 1993).

Ya’qub Hamzah,  Fiqh Islam Mu’amalah, (Jakarta; Pustaka Buku, 2015).








[1] Hamzah Ya’kub,  Fiqh Islam Mu’amalah, (Jakarta; Pustaka Buku, 2015), hal. 156
                                                                                                               

[4] Gemala Dewi, Hukum Perikatan Islam di Indonesia,  (Jakarta; Prenada Media. Cet. Ke-1, 2005), hal.80.
[5] Jusmaliani dkk, Bisnis Berbasis Syariah, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), hal.14.
[6] Syekh Muhammad Yusuf Qardhawi,  Al-Halal Wa Haram Fil Islam, Ter. Mu’amalah Hamidy, “Halal dan Haram Dalam Islam”, (Jakarta: Bina Ilmu, 1993), hal. 348.

[8] Sudarsono, Pokok-pokok hukum Islam, Jakarta: Rineka Cipta, 1992, hal.408.
[9] Tim Laskar Pelangi, Metodologi fiqih mu’amalah.(kediri: lirboyo pres), Hal.64
[10] H. Sulaiman rasjid, fiqh islam, (bandung: sinar baru algensindo, 2012), Hal. 286
[11] Tim kajian ilmiah Ahla_shoffah, Kamus fiqh. (kediri,lirboyo press,2013),Hal. 319
[12] Tim Laskar Pelangi, Metodologi fiqih mu’amalah.(kediri: lirboyo pres),  Hal. 69
[13] H. Sulaiman rasjid, fiqh islam, (bandung: sinar baru algensindo, 2012), Hal. 287
[14] Kmus fiqh. Hlm. 319
[15] Tim Laskar Pelangi, Metodologi fiqih mu’amalah.(kediri: lirboyo pres), hal.76
[16] H. Sulaiman rasjid, fiqh islam, (bandung: sinar baru algensindo, 2012),  hal. 287

Definisi Hukum Acara Pidana

MAKALAH DEFINISI HUKUM ACARA PIDANA Diajukan Sebagai Tugas Mata Kuliah Hukum Acara Pidana Program Studi Hukum Ekonomi Syari’ah (HES) Di Se...