Monday, November 5, 2018

KHIYAR DAN KLASIFIKASINYA

 Oleh:
Muhammad Nur Muzakki

Abstrak
Makalah ini mengungkap tentang Khiyar (hak opsional) yang mengenai dalil khiyar, definisi khiyar, dan klasifikasi khiyar. Berdagang merupakan sunnah Rasulullah yang harus diikuti oleh umatnya. Beliau telah memberikan suri tauladan dengan mengandalkan kejujuran dan kepercayaan meraih kesuksesan dalam berdagang. Dalam berdagang dibutuhkan sebuah etika agar terciptanya kepuasan dan kerelaan kedua pihak, karna sering kali pembeli merasa kurang puas dengan barang yang dibeli karena ada cacat ataupun kerusakan yang tidak diketahui sebelumnya dalam barang. Oleh karna itu diperlukan kesepakatan antara penjual dan pembeli dalam melangsungkan proses jual beli apabila terdapat masalah seperti ini.  
Keyword : Dalil, Definisi, Klafikasi
                                                                         
A.    Pendahuluan
Dalam Islam pada hakikatnya Rasulallah SAW. di utus keatas muka bumi adalah sebagai uswat al-hasanat rahmat lil-alamin. Semua sunnah Rasulullah SAW. menjadi panduan utama setelah Al-Qur’an bagi berbagai aspek kehidupan manusia terutama aspek pendidikan. Dan salah satu yang terlihat pada diri Rasuullah SAW adalah ketika berhijrah ke Madinah, dan salah satu dakwah Rasulullah SAW adalah di pasar yang ditempati panjual dan pembeli. Maka dari adanya penjual dan pembeli tersebut, maka terjadilah transaksi jual beli yang melibatkan istilah pilihan terhadap barang yang akan diperjual belikan.
Dalam Islam istilah pilihan biasa di sebut khiyar. Yang mana khiyar ini merupakan salah satu hak yag harus dimiliki antara penjual dan pembeli. Dengan demikian proses jual beli akan berlangsung dengan prasaan yang aman dan nyaman. Maka dari itu, Rasulullah SAW mencontohkan kepada setiap manusia yang di muka bumi pada masa-masanya untuk selalu berjalan sesuai syariat yang telah ditentukan oleh Allah SWT.
Berdasarkan uraian di atas, maka makalah dirumuskan kedalam beberapa penjelasan, yaitu; (1) bagaimana dalil khiyar; (2) bagaimana definisi khiyar; (3) bagaiamana klafikasi khiyar.
Oleh sebab itu, makalah ini (1) mengulas dalil khiyar; (2) mengulas definisi khiyar; (3) mengulas klafikasi khiyar.

1.      Dalil
Berdasarkan prinsip wajib menegakan kejujuran dan kebenaran dalam perdagangan, maka haram bagi penjual menyembunyikan cacat barang. Apabila dalam barang yang akan dijual itu terdapat cacat maka yag diketahui oleh pemilik barang (penjual), maka wajiblah dia menerangkan hal itu dan tidak boleh menyembunyikannya. Menyembunyikan cacat barang dengan sengaja termasuk penipuan dan kecurangan.[1]
Khiyar hukumnya boleh berdasarkan sunnah Rasulullah Saw. Diantara sunah tersebut adalah hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari Abdullah bin Harits:
عن عبد اللّه بن الحارث قال: سمعت حكيم بن حزام رضي اللّه عنه عن النبي صلى اللّه عليه وسلم قال: البيعان بالخيار مالم يتفرقا، فان صدقا وبينا بورك لهما بيعهما وان كذبا وكتما محقت بركة بيعهما (رواه البحاري)
Artinya: Dari Abdullah bin Harits ia berkata: saya mendengar Hakim bin Hizam r.a dari Nabi Saw beliau bersabda: “penjual dan pembeli boleh melakukan khiyar selama mereka berdua belum berpisah. Apabila mereka berdua benar dan jelas, maka mereka berdua diberi keberkahan didalam jual beli mereka, dan apabila mereka berdua berbohong dan merasiakan, maka dihapuslah keberkahan jual beli mereka berdua. (HR. Al-bukhari).[2]

Disamping itu ada hadits lain yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari Ibnu Umar:
عن ابن عمر رضي اللّه عنهما قال: قال النبي صلى اللّه عليه وسلم: البيعان بالخيار مالم يتفرق, او يقول احدهما لصاحبه: اختر. وربما قال: اويكون بيع خيار. (رواه بخارى)
Artinya: Dari Ibnu Umar r.a ia berkata: Telah bersabda Nabi Saw: Penjual dan pembeli boleh melakukan khiyar selagi keduanya belum berpisah, atau salah seorang mengatakan pada temannya: Pilihlah. Dan kadang-kadang beliau bersabda: atau terjadi jual beli khiyar. (HR. Al-Bukhari).[3]

Dari hadits tersebut jelaslah bahwa Khiyar dalam akad jual beli hukumnya dibolehkan. Apabila dalam barang yang dibeli terdapat cacat (‘aib) yang bisa merugikan kepada pihak pembeli. Hak khiyar ditetapkan oleh syariat islam bagi orang-orang yang melakukan transaksi terdata agar tidak dirugikan dalam transaksi yang mereka lakukan, sehingga kemaslahatan yang dituju dalam suatu transaksi tercapai dengan sebaik-baiknya. Status khiyar, menurut ulama fiqh adalah disyariatkan atau dibolehkan karena masing-masing pihak yang melakukan transaksi supaya tidak ada pihak yang merasa tertipu.[4]

Dalil yang mendasari legislasi khiyar adalah Hadits dan Ijma’.
البيعان با الخيار ماا لم يتفرّقا اوْ يقوْل أحدهمَا لِلْآخرِاخترْ (رواه الشيخان)
Artinya:“Penjual dan pembei memiliki pilihan sebelum keduanya berpisah, atau salah satunya megatakan pada yang lain, pilihlah! (HR. Bukhari dan Muslim)
 عن ابن عمر قال : سمعْت رجلا من الْانْصارِ وكانتْ بلسانه لوثة يشكو إلي رسول الله  صلى الله عليه وسلم أنه لا يزال يغْبنُ فى الْبيْع فقال له رسول الله صلى الله عليه وسلم : اذا بايعت فقل لا خلابة ثم انت بالخيار في كل سلعة ابتعتها ثلاث ليال فان رضيت فأمسك وان سخطت فاردد  (رواه البيهقى)
Artinya:“Dari Ibn Umar ra. Berkata seorang sahabat Anshar yang lugu mengadu kepada Rasulullah Saw., bahwa ia selalu dirugikan dalam jual beli, maka katakan, “tidak ada manipulasi!”, selanjutnya kamu berhak menentukan pilihan pada setiap barang yang kamu beli selama tiga malam. Jika kamu berminat, ambil, jika tidak, kembalikan”. (HR. Albaihaqi).

2.      Definisi Khiyar
Dalam perspektif islam, jelas bahwa acuan kejujuran dalam berdagang harus diletakan dalam kerangka ukuran-ukuran yang bersumber dari ajaran Islam, yakni al-Qur’an dan Hadits. Karena itu, sistem nilai yang islami mendasari perilaku perdagangan masalah penting untuk diungkapkan. Dari perspektif islam tersebut, perdagangan ternyata memiliki dua dimensi, yakni dimensi duniawi dan dimensi ukhrawi. Perdangan yang dijalankan berlandaskan nilai-nilai islam dalam penelaahan ini dipahami sebagai yang berdimensi ukhrawi, dan demikian sebaliknya berdimensi duniawi apabila suatu aktivitas perdagangan terlepas dari nilai-nilai islam yang dimaksud.[5]
Allah menciptakan manusia dengan suatu sifat saling membutuhkan antara satu dengan lainnya. Tidak ada seorang pun yang dapat menguasai seluruh apa yang diinginkan. Tetapi manusia hanya dapat mencapai sebagian yang diharapkan itu. Dia mesti memerlukan apa yang menjadi kebutuhan orang lain. Untuk itu Allah memberikan inspirasi kepada mereka untuk mengadakan penukaran perdagangan dan semua yang kiranya dapat bermanfaat dengan cara jual beli dan semua hubungan yang lain. Sehingga hidup manusia dapat berdiri dengan baik dan proses hidup ini berjalan dengan baik.
Nabi Muhammad SAW diutus, sedang waktu itu bangsa Arab memiliki  aneka macam perdagangan dan penukaran. Oleh karna itu, sebagian yang mereka lakukan dibenarkan oleh Nabi sepanjang tidak bertentagan dengan syariat yang di bawanya. Sedang sebagian lain dilarang yang kiranya tidak sesuai dengan tujuan dan jiwa syariat. Larangan ini berkisar dalam beberapa sebab, diantaranya:
a.       Karena ada usaha untuk membantu perbuatan maksiat.
b.      Karena ada unsur penipuan.
c.       Karena ada unsur pemaksaan.[6]
Untuk dapat mengaplikasikan nilai positif dan menghindarkan dari perbuatan-perbuatan yang negatif dalam perdagangan, sangat perlu kiranya untuk menerapkan prinsip-prinsip yang berlandaskan pada nilai-nilai Islam, khususnya dalam perdagangan yang modern seperti sekarang ini yang sangat rentan terhadap aksi penipuan. Sangat perlu adanya hak khiyar antara penjual dan pembeli tidak merasa dirugikan atau  tertipu dari jual beli yang telah dibeli.
Khiyar dalam arti bahasa berasal dari akar kata: khara-yakhiru-khairan-wa khiyaratan (خار – يخير – خيرا – وخيارة ) yang sinonimnya: اعطاه ماهوخيرله , yang artinya: “memberikan kepadanya suatu yang lebih baik baginya”. Menurut istilah kalangan ulama fiqih yaitu mencari yang baik dari dua urusan baik berupa meneruskan akad atau membatalkannya.[7] Sayyid Sabiq memberikan deifinisi khiyar sebagai berikut.
الخيار هو طلب خير الآمرين من الإمضاء او الإلغاء
Artinya: khiyar dalah menunut  yang terbaik dari dua perkara, berupa meneruskn (akad jual jual beli) atau membatalkannya.
Khiyar itu dimaksud untuk menjamin adanya kebebasan berfikir antara pembeli anatar pembeli dan penjual atau salah seorang yang membutuhkan khiyar. Akan tetapi oleh karena dengan sistem khiyar ini adakalanya  menimbulkan penyelesalan kepada salah seorang dari pembeli atau penjual yaitu jika pedagang mengharap barangnya segera laku, tentu tidak senang kalau barangnya dikembalikan lagi sesudah jual beli atau kalau pembeli sangat mengharapkan mendapat barang yang dibelinya, tentu tidak senang hati kalau uangnya dikembalikan lagi sesudah akad jual beli. Maka karena itu, untuk menetapkan syahnya ada khiyar harus ada ikrar dari kedua belah pihak atau salah satu pihak yang diterima oleh pihak lainnya atau kedua pihaknya, kalau kedua belah pihak menghendakinya.[8]
Dari difinisi yang telah dikemukakan di atas dapat diambil intisari bahwa khiyar adalah pilihan untuk melanjutkan jual beli atau membatalkannya, karena terdapat cacat terhadap barang yang dijual, atau ada perjanjian pada waktu akad, atau karena sebab yang lain. Tujuan diadakannya khiyar tersebut adalah untuk mewujudkan kemaslahatan bagi kedua belah pihak sehingga tidak ada rasa menyesal setelah akad selesai, karena mereka sama-sama rela dan setuju.

3.        Klasifikasi Khiyar
A.       Khiyar Majlis
Khiyar majlis ialah hak pelaku transaksi untuk menentukan pilihan terbaik antara melangsungkan atau mengurungkan transaksi ketika kedua pihak masih berada di majlis akad. Menurut qaul ashah Syafi’iyah, khiyar ini bersifat otoritatif (qahri’). Dalam arti, eksistensinya dalam sebuah transaksi mu’awadlah telah dilegitimasi syari’at yang tidak bisa dinafikan, sehingga menafikan khiyar majlis dari akad mu’awadlah, akan berkonsekuensi membatalkan akad itu sendiri. namun menurut qaul kedua, transaksi sah tanpa ada hak khiyar, dan menurut qaul ketiga, transaksi sah dan tetap ada hak khiyar[9].
 Khiyar majlis artinya si pembeli dan si penjual boleh memilih antara dua perkara tadi selama keduanya masih tetap berada ditempat jual beli. Khiyar majlis diperbolehkan dalam segala macam jual beli.[10]
Sabda Rasulullah SAW:
البيعان بالخيار ما لم يتفرقا (رواه الشيخان)
penjual dan pembeli boleh khiyar selama belum berpisah” (riwayat bukhari dan muslim).
Khiyar majlis yaitu khiyar yang memperbolehkan bagi kedua belah pihak untuk membatalkan akad setelah akad tersebut dinyatakan sah selama keduanya secara umum masih dikatakan berada ditempat transaksi dan belum berpisah atau keduanya belum memilih untuk melangsungkan akad. Jika salah satu pihak telah memilih dan yang lain belum menentukan sikap maka hak yang lain untuk khiyar dinyatakan gugur.[11]

B.       Khiyar Syarat
Khiyar syarat yaitu hak pelaku transaksi untuk menentukan pilihan terbaik antara melangsungkan atau mengurungkan transaksi yang berlaku atas dasar kesepakatan muta’aqidain terhadap sebuah klausul (syarat) berupa batas waktu tertentu.   Khiyar syarat tidak bersifat otoritatif (qahri) sebagaimana khiyar majlis, melainkan bersifat opsional. Artinya, eksistensinya dalam sebuah transaksi mu’awadlah bukan atas dasar legitimasi  syara’ tetapi atas dasar inisiatif (iradah) dari pelaku transaksi. Karena itu, khiyar syarat boleh ditiadakan dari sebuah transaksi mu’awadlah.[12]
Khiyar syarat artinya khiyar itu dijadikan syarat sewaktu akad oleh keduanya atau oleh salah seorang, seperti kata si penjual, “ saya jual barang ini dengan harga sekian dengan syarat khiyar dalam tiga hari atau kurang tiga hari , “
Khiyar  syarat boleh dilakukan dalam segala macam jual beli,  kecuali barang yang wajib di terima di tempat jual beli,  seperti barang-barang riba.  masa khiyar syarat paling lama hanya tiga hari tiga malam, terhitung dari waktu akad.[13]
Sabda Rasulullah Saw:
انت با الخيار في كل سلعة ابتعتها ثلاث ليال (رواه البيهقي وابن ماجه)
 “ engkau boleh khiyar pada segala barang yang telah engkau beli selama tiga hari malam . “ ( Riwayat  Baihaqi dan Ibnu Majah )
Barang yang terjual itu sewaktu dalam masa khiyar kepunyaan orang yang mensyaratkan khiyar, kalau yang khiyar hanya salah seorang dari mereka. Tetapi kalau kedua-duanya mensyaratkan khiyar, maka barang itu tidak di punyai oleh seorang pun dari keduanya. Jika jual beli sudah tetap akan diteruskan, barulah diketahui bahwa barang itu kepunyaan pembeli mulai dari masa akad. Tetapi jika jual beli tidak diteruskan, barang itu tetap kepunyaan si penjual. Untuk meneruskan jual beli atau tidaknya, hendaklah dengan lafaz yang jelas menunjukan terus atau tidaknya jual beli.
Khiyar syarat yakni kedua belah pihak atau salah satu dari keduanya mensyaratkan untuk membatalkan akad pada masa mulai dari pensyaratan hingga tiga hari kemudian. Bila khiyar melebihi dari waktu tiga hari atau barang yang diperjualbelikan termasuk barang yang cepat rusak dalam masa khiyar maka akad dihukumi batal.[14]

C.      Khiyar Aib
Khiyar aib yakni hak opsional antara melangsungkan atau mengurungkan transaksi ketika komoditi didapati tidak sesuai dengan kondisi yang diharapkan dari suatu ikatan kontrak (iltizam syarthiyyin), tidak sesuai kondisi standar umum (qadla’ ‘urfiyyin), atau tidak sesuai akibat aksi manipulatif (taghrir fi’liyyin).[15]
Hak khiyar ini bersifat otoritatif (qahri). Artinya, opsi antara melangsungkan atau membatalkan transaksi atas dasar legitimasi syar’i seperti khiyar majlis,  bukan atas dasar inisiatif atau kesepakatan pelaku transaksi seperti khiyar syarat.
Khiyar aib artinya si pembeli boleh mengembalikan barang yang dibelinya apabila pada barang itu terdapat suatu cacat yang mengurangi kualitas barang itu, atau mengurangi harganya, sedangkan biasanya barang yang seperti itu baik; dan sewaktu akad cacatnya itu sudah ada, tetapi si pembeli tidak tahu; atau terjadi sudah akad, yaitu sebelum diterimanya. Keterangannya adalah ijma’ (sepakat ulama mujtahid).
روت عائشة رضى الله عنها ان رجلا ابتاع غلاما فاقام عنده ماشاء الله ثم وجدبه عيبا فخا صمه الى النبى صلى الله عليه وسلم فرده عليه (رواه أحمد و أبو داود و الترمذى)
Aisyah telah meriwayatkan, bahwasannya seorang laki-laki telah membeli seorang budak, budak itu tinggal beberapa lama dengan dia, kemudian kedapatan bahwa budak itu ada cacatnya, lalu dia adukan perkaranya kepada Rasulullah Saw. Keputusan dari beliau, budak iyu dikembalikan kepada si penjual. ( RIWAYAT Ahmad, Abu Daud, dan Tirmizi )[16]
Adapun cacat yang terjadi sesudah akad sebelum barang diterima, maka barang yang dijual sebelum diterima oleh si pembeli masih dalam tanggungan si penjual. Kalau barang ada di tangan si pembeli, boleh dikembalikan serta diminta kembali uangnya. Akan tetapi, kalau barang itu tidak ada lagi; umpanya yang dibeli itu kambing, sedangkan kambingnya sudah mati; atau yang dibeli tanah, sedangkan tanah itu sudah diwakafkannya, sesudah itu si pembeli baru mengetahui bahwa yang dibelinya itu ada cacat nya, maka dia berhak meminta ganti kerugian saja sebanyak kekurangan harga barang sebab adanya cacat itu.
Barang yang bercacat itu hendaknya segera dikembalikan, karna melalaikan hal ini berarti ridho pada barang yang bercacat, kecuali kalau ada halangan. Yang dimaksud dengan “segera” disini adalah menurut kebiasaan yang berlaku. Kalau si penjual tidak ada (sedang berpergian), hendaklah jangan dipakai lagi. Jika dia pakai juga, hilanglah hak nya untuk mengembalikan barang itu, dan hak meminta ganti rugi pun hilang pula.
Barang yang dikembalikan karna cacat tadi, apabila ada tambahannya sewaktu di tangan si pembeli, sedangkan tambahannya itu tidak dapat dipisahkan; misalnya binatang yang dibeli itu tadinya kurus, sekarang sudah gemuk, maka tambahan itu hendaklah dikembalikan juga bersama binatangnya, berarti si pembeli tidak boleh meminta ganti rugi. Akan tetapi, apabila tambahan itu dapat dipisahkan; misalkan anaknya,atau sewanya yang menghasikan ditangan si pembeli, maka tambahan ini menjadi keuntungan si pembeli, berarti tidak ikut dikembalikan. Sebaliknya kalau tambahan itu terjadi dari uang (harga barang), maka menjadi keuntungan si penjual. Berarti hasil uang itu semasa ditangan si penjual, kalau jual beli tidak diteruskan, tetap menjadi hak si penjual (tidak ikut bersama uang harga yang dikembalikan kepada si pembeli). Hukum ini berlaku kalau barang dikembalikan sesudah diterima.
Sabda junjungan kita, telah diriwayatkan bahwa seorang laki-laki telah mengadukan keadaannya kepada Rasulullah Saw. Ia mengadu bahwa dia telah membeli barang yang bercacat. Hasil pertimbangan beliau, barang itu dikembalikan kepada si penjual. Setelah laki-laki itu mendengar keputusan tersebut, lalu dia bertanya,” barang itu sudah saya pakai beberapa lama, apakah saya harus membayar sewanya atau tidak?
Jawab Rasulullah Saw.;
الخراج باالضمان (رواه االترمذى)
Buah (hasil) sesuatu adalah tanggungan si pembeli.” (RIWAYAT Tirmizi)
Jadi, apabila barang itu hilang dari tangannya, dia harus mengganti, karena dia yang bertanggung jawab atas barang yang berada di tangannya.







KESIMPULAN
Khiyar dalam arti bahasa berasal dari akar kata: khara-yakhiru-khairan-wa khiyaratan (خار – يخير – خيرا – وخيارة ) yang sinonimnya: اعطاه ماهوخيرله , yang artinya: “memberikan kepadanya suatu yang lebih baik baginya”. Menurut istilah kalangan ulama fiqih yaitu mencari yang baik dari dua urusan baik berupa meneruskan akad atau membatalkannya. Sayyid Sabiq memberikan deifinisi khiyar sebagai berikut.
الخيار هو طلب خير الآمرين من الإمضاء او الإلغاء
Artinya: khiyar dalah menunut  yang terbaik dari dua perkara, berupa meneruskn (akad jual jual beli) atau membatalkannya.
Khiyar hukumnya boleh berdasarkan sunnah Rasulullah Saw. Diantara sunah tersebut adalah hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari Abdullah bin Harits:
عن عبد اللّه بن الحارث قال: سمعت حكيم بن حزام رضي اللّه عنه عن النبي صلى اللّه عليه وسلم قال: البيعان بالخيار مالم يتفرقا، فان صدقا وبينا بورك لهما بيعهما وان كذبا وكتما محقت بركة بيعهما (رواه البحاري)
Artinya: Dari Abdullah bin Harits ia berkata: saya mendengar Hakim bin Hizam r.a dari Nabi Saw beliau bersabda: “penjual dan pembeli boleh melakukan khiyar selama mereka berdua belum berpisah. Apabila mereka berdua benar dan jelas, maka mereka berdua diberi keberkahan didalam jual beli mereka, dan apabila mereka berdua berbohong dan merasiakan, maka dihapuslah keberkahan jual beli mereka berdua. (HR. Al-bukhari).
Secara garis besar khiyar diklasifikasikan menjad tiga:
1.      Khiyar syarat
2.      Khiyar majlis
3.      Khiyar aib









DAFTAR PUSTAKA

Gemala Dewi, Hukum Perikatan Islam di Indonesia,  (Jakarta; Prenada Media. Cet. Ke-1, 2005).
Jusmaliani, Bisnis Berbasis Syariah, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008).

Sudarsono, Pokok-pokok hukum Islam,( Jakarta: Rineka Cipta, 1992).

Syekh Muhammad Yusuf Qardhawi,  Al-Halal Wa Haram Fil Islam, Ter. Mu’amalah Hamidy, “Halal dan Haram Dalam Islam”,( Jakarta: Bina Ilmu, 1993).

Ya’qub Hamzah,  Fiqh Islam Mu’amalah, (Jakarta; Pustaka Buku, 2015).








[1] Hamzah Ya’kub,  Fiqh Islam Mu’amalah, (Jakarta; Pustaka Buku, 2015), hal. 156
                                                                                                               

[4] Gemala Dewi, Hukum Perikatan Islam di Indonesia,  (Jakarta; Prenada Media. Cet. Ke-1, 2005), hal.80.
[5] Jusmaliani dkk, Bisnis Berbasis Syariah, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), hal.14.
[6] Syekh Muhammad Yusuf Qardhawi,  Al-Halal Wa Haram Fil Islam, Ter. Mu’amalah Hamidy, “Halal dan Haram Dalam Islam”, (Jakarta: Bina Ilmu, 1993), hal. 348.

[8] Sudarsono, Pokok-pokok hukum Islam, Jakarta: Rineka Cipta, 1992, hal.408.
[9] Tim Laskar Pelangi, Metodologi fiqih mu’amalah.(kediri: lirboyo pres), Hal.64
[10] H. Sulaiman rasjid, fiqh islam, (bandung: sinar baru algensindo, 2012), Hal. 286
[11] Tim kajian ilmiah Ahla_shoffah, Kamus fiqh. (kediri,lirboyo press,2013),Hal. 319
[12] Tim Laskar Pelangi, Metodologi fiqih mu’amalah.(kediri: lirboyo pres),  Hal. 69
[13] H. Sulaiman rasjid, fiqh islam, (bandung: sinar baru algensindo, 2012), Hal. 287
[14] Kmus fiqh. Hlm. 319
[15] Tim Laskar Pelangi, Metodologi fiqih mu’amalah.(kediri: lirboyo pres), hal.76
[16] H. Sulaiman rasjid, fiqh islam, (bandung: sinar baru algensindo, 2012),  hal. 287

No comments:

Post a Comment

Definisi Hukum Acara Pidana

MAKALAH DEFINISI HUKUM ACARA PIDANA Diajukan Sebagai Tugas Mata Kuliah Hukum Acara Pidana Program Studi Hukum Ekonomi Syari’ah (HES) Di Se...