Oleh:
Muhammad Nur Muzakki
(Sekolah
Tinggi Ilmu Syariah Nahdlatul Ulama Nusantara Tangerang)
Abstrak
Islam adalah agama yang
sempurna semua aturan hidup di bahas secara rinci untuk dijadikan pedoman hidup
bagi umat Islam, dari lahirnya Islam hingga di zaman sekarang ini ajaran Islam
tetap fleksibel dengan perkembangan zaman dan akhirnya itu menuntut kita
sebagai umat Islam untuk terus memperdalam ilmu keislaman kita. Dalam kehidupan
sosial pasti kita akan selalu berhadapan dengan masalah-masalah fiqih muamalah
khususnya pembahasan tentang Mahjur ‘Alaih ( Hajru / alhajr ) dan
klasifikasinya, maksudnya siapakah orang-orang yang termasuk golongan dari
Mahjur ini, yang merupakan orang – orang yang telah terhalang untuk mengelola
hartanya sendiri dikarenakan sebab-sebab tertentu atau mencegah hak tasarufnya
/ hak mengelola harta. Dalam masa pengampunan ini ada batas waktunya sampai ada
pernyataan bahwa orang-orang yang masuk golongan pengampunan ini berakhir,
dinyatakan layak atau cakap untuk kembali mengelola hartanya kembali menurut
wali atau hakim. Masalah ini menjadi penting dibahas karena Mahjur ‘Alaih ini
kurang populer dibandingkan dengan masalah fiqih muamalah lainnya jarang sekali
masalah ini dibahas secara khusus, Mahjur harus kita ketahui hukum- hukumnya
agar masalah ini tidak dimanfaatkan untuk kepentingan orang-orang tertentu. Dalam
pembahasan ini akan dijelaskan definisi Mahjur ‘Alaih, Klasifikasi Mahjur
‘Alaih dan Dalil Alquran yang menjadi dasar hukum dari Mahjur ‘Alaih.
Kata kunci: Definisi Mahjur ‘Alaih, Klasifikasi Mahjur ‘Alaih, Dalil
Mahjur
A.
Pendahuluan
Seiring perkembangan
zaman saat ini di semua bidang berkembang dengan sangat cepat dan memunculkan beraneka ragam masalah dan
rumit dengan berbagai permasalahan sosial di sekitar kita. Terutama dalam
bidang fiqih muamalah untuk itulah menuntut kita sebagai umat Islam untuk lebih
bisa dan pandai menyelesaikan semua persoalan dengan benar sesuai syariah
Islam, khususnya tentang kehidupan bermasyarakat. Semaksimal mungkin kita
sebagai umat Islam mampu menguasai tentang ilmu Fiqih Muamalah, agar bisa
menyelesaikan semua permasalahan ini sesuai syariah.
Agama Islam telah mengatur bagaimana kita sebagai manusia bersikap dalam
pergaulan sosial agar tercipta masyarakat yang teratur sesuai aturan-aturan
Allah SWT. Aturan-aturan atau hukum Allah SWT. untuk mengatur manusia dalam
kaitannya dengan urusan duniawi, pergaulan sosial, dan mengatur hubungan
manusia dengan manusia lain dalam hidup ini adalah salah satu ilmu Fiqih yang
harus diketahui oleh kita sebagai umat Islam yaitu Fiqih Muamalah.
Salah satu hal yang harus kita ketahui dari Fiqih Muamalah yaitu Mahjur
‘Alaih dan Klasifikasinya. Bagaimana solusi untuk masalah Mahjur A’laih ini
yaitu bagaimana seseorang yang menurut syara terhalang atau tercegah dari hak
pengelolaan hartanya dikarenakan orang tersebut termasuk dari sembilan (9)
klasifikasi Mahjur ‘Alaih dan ada hal-hal tertentu yang mengharuskan adanya
pencegahan. Diharapkan kita bisa menrealisasikan tentang Mahjur ‘Alaih ini
dalam kehidupan sehari-hari sesuai dengan hukum syariah Islam. Tema masalah
sosial tentang Mahjur ‘Alaih ini memang tidak sepopuler masalah Fiqih Muamalah
lain seperti bidang ekonomi yaitu hukum transaksi jual beli dan perbankan
syariah yang begitu marak akhir-akhir ini, tapi masalah inipun sangat penting
untuk kita ketahui tentang bagaimana klasifikasi Mahjur ‘Alaih dan bagaimana
Islam menyelesaikan persoalan ini.
B. Pembahasan
1.
Definisi dari Mahjur ‘Alaih.
Kata “Hajru” menurut bahasa artinya “mencegah”. Sedangkan menurut syara’
ialah mencegah seseorang dari mengelola hartanya, berbeda mengelola selain
hartanya seperti thalaq, maka thalaq yang keluar dari orang yang bodoh akan
tetap jalan.[1]
Secara etimologi hajr
atau hijr ialah mencegah,
menghalangi, atau mempersempit, sedangkan secara terminology hajr ialah
membekukan tasaruf seseorang atas hartanya, karena sebab-sebab tertentu.[2] Mahjur berasal dari kata al-hajr, Hujranan atau hajara arti secara bahasa adalah al-man’u (terlarang, terdinding,
tercegah, dan terhalang). Menurut Muhamad al-Syarbini al-Khatib bahwa yang dimaksud
dengan Mahjur adalah :
المنع من التصرفات المالية
“Cegahan untuk pengelolaan harta”.[3]
Hajr menurut bahasa adalah mencegah. Sedangkan menurut
istilah adalah mencegah hak tasharruf dengan sebab-sebab tertentu. Melihat
faktor yang melatarbelakanginya, hajr terbagi menjadi dua kelompok yaitu :
a.
Kemaslahatan yang kembali
kepada mahjur a’laih (pihak yang tercegah tasharrufnya).
b.
Kemaslahatan yang kembali
pada pihak lain.
Menurut Idris Ahmad dalam bukunya Fiqh al-Syafi’iyah berpendapat bahwa yang dimaksud dengan Mahjur
menurut istilah adalah orang-orang yang terlarang mengendalikan harta bendanya
disebabkan oleh beberapa hal yang terdapat pada dirinya, yang mengeluarkan
pengawasan.[4]
Sedangkan Sulaiman Rasyid berpendapat bahwa yang di
maksud al-Hajr ialah melarang, atau menahan seseorang dari membelanjakan
hartanya, yang berhak melarangnya ialah wali atau hakim.[5]
Dari beberapa pendapat di atas dapat diketahui bahwa
yang dimaksud dengan Mahjur adalah cegahan bagi seseorang untuk mengelola
hartanya karena adanya hal-hal tertentu yang mengharuskan adanya pencegahan.[6]
Menurut
Al-Mawardi ada delapan orang
yang termasuk dalam al-Hajru
(pengampuan), yang mana bagian-bagian tersebut adalah : Yang pertama adalah
al-Hajru (Pengampuan) terhadap
anak kecil, al-Hajru
(Pengampuan) terhadap orang gila,
(Pengampuan) terhadap orang yang safih
(idiot), (Pengampuan) atas orang yang bangkrut,
al-Hajru (Pengampuan) terhadap orang sakit), al-Hajru (Pengampuan) terhadap
orang murtad, al-Hajru
(Pengampuan) terhadap budak, al-hajru
(Pengampuan)nya seseorang yang
menggunakan perjanjian atau karena
adanya keterkaitan setelah
mengucapkan akad, atau
juga dikatakan dengan wanita yang telah bersuami.[7]
Golongan mahjur ‘alaih ialah golongan yang terhalang
dari menguruskan harta sendiri disebabkan wujudnya sebab-sebab khusus yang
terdapat pada diri mereka sendiri sehingga boleh menghalang mereka dari
mengurus dan mentadbirkan harta mereka sendiri.[8]
Tujuan dari legislas hajr adalah demi kemaslahatan harta (hifdhu al-mal). Dalam hal ini
ada 3 klasifikasi :
a.
Demi menjaga kemaslahatan harta pihak yang
dibekukan tasarufnya (Mahjur ‘Alaih), seperti pembekuan tasaruf anak kecil,
orang gila, dan orang safih.
b.
Demi menjaga kemaslahatan
harta pihak lain, seperti pembekuan tasaruf orang bangkrut (muflis), orang
sakit kritis (makhuf), orang murtad, budak, rahin, dll.
c.
Demi menjaga kemaslahatan
harta kedua belah pihak, baik secara pokok (qashdan) seperti pembekuan tasaruf sayyid
atas budak mukatab-nya yakni untuk kepentingan sayyid berupa cicilan (nujum)
dan untuk kepentingan budak berupa kemerdekaan dirinya, atau secara konsekuensi
logis (taba’an) seperti pembekuan tasaruf orang muflis, yakni untuk kepentingan
ghurama secara qashdan dan untuk kepentingan dirinya secara taba’an berupa
terbebas dari hutang, dll.[9]
2.
Klasifikasi Mahjur ‘Alaih
Terdapat sembilan orang yang secara hukum dibekukan
tasaruf hartanya, klasifikasinya sebagai berikut :
a.
Shabi
Shabi adalah anak kecil yang belum mengalami ihtilam,
atau belum keluar haid, atau orang yang belum berusia 15 tahun.
Terdapat dua faktor penyebab anak kecil dibekukan
tasarufnya :
1.
Maslub al-‘ibarah
Maslub al-ibarah ialah orang yang perkataannya tidak
diakui secara syar’i, baik dalam aspek duniawi seperti muamalah, atau dalam
aspek keagamaan (dini) seperti ikrar masuk Islam. Tidak adanya pengakuan syar’I
ini karena perkataan seorang shabi tidak didasari tujuan yang diakui (qashdun
mu’tabar).
2.
Maslub al-wilayah
Maslub
al-wilayah ialah orang yang otoritas atau kewenangan dalam melakukan
tindakan-tindakan tertentu tidak diakui secara syar’i, seperti kewenangan
menikahkan, melimpahkan wasiat, memutus hukum. Tidak adanya pengakuan syar’I
terhadap anak kecil ini karena anak kecil tidak memiliki kecakapan
pengaturan-pengaturan (tadbir) dalam urusannya, lebih-lebih urusan orang lain.
Shabi akan terbebas dari
status mahjur ‘alaih dengan memasuki usia balig dalam kondisi rusydu (memiliki
kecakapan dalam aspek keagamaan dan tasaruf harta).
b.
Majnun
Majnun atau orang gila ialah orang yang kehilangan
kemampuan membedakan (tamyiz).
Dalil maupun faktor yang menyebabkan orang gila
dibekukan tasafurnya, sama dengan anak kecil (shabi) di atas. Bahkan
cakupan maslub al-ibarah dan maslub al-wilayah nya lebih luas dibanding
anak kecil. Sehingga secara syar’i, orang gila nyaris sama sekali tidak ada
yang diakui segala bentuk tasarufnya, baik yang bersifat transaksional (mu’awadlah)
atau ritual (ubudiyyah). Hanya saja, hal-hal yang berupa tindakan atau
aksi (af’al) dalam bentuk proses memiliki (tamalluk), seperti
mencari kayu bakar, atau dalam bentuk perusakan (itlaf), seperti menghamili
wanita (istilad), maka syara tetap mengakuinya, sehingga ada konsekuensi
“memiliki” dalam kasus pencarian kayu bakar, dan konsekuensi “nasab” dalam
kasus penghamilan yang dilakukan orang gila.
Aksi penghamilan yang dilakukan orang gila, secara hukum
tidak disebut zina dalam pengertian sebenarnya (haqiqi), melainkan hanya
sebatas kesan (shuwari), karena dilakukan di luar kesadaran, yang mirip
dengan wathi syubhat.
Sedangkan terbebasnya orang gila dari status majhur
alaih adalah dengan kondisi waras (ifaqah). Yakni steril dari unsur
cacat mental.[10]
c.
Safih
Safih adalah orang yang memasuki usia baligh dalam
kondisi tidak rusydu. Istilah rusydu disini sama dengan penjelasan rusydu dalam
majhur alaih shabi di atas.Pembekuan tasaruf untuk orang yang pertama bersifat
syar’i, yang tidak perlu penjatuhan hajru dari pihak qadli. Safih terbagi
menjadi dua jenis yaitu :
1.
Safih Muhmal
2.
Safih Ghairu Muhmal
d.
Muflis
Muflis ialah orang yang kekayaan hartanya tidak cukup untuk
melunasi hutangnya. Dengan kata lain, jumlah hutang adami-nya yang telah
mengikat (lazim) dan telah jatuh tempo (hulul), lebih besar dari asset kekayaan
yang di miliki.
Dari definisi muflis demikian, maka terdapat beberapa
ketentuan mengenai hutangnya muflis sehingga bisa dibekukan tasarufnya menjadi (empat)
4 yaitu hutang adami, hutang lazim, hutang hal (telah jatuh tempo) dan hutang
yang lebih besar dibanding nilai aset kekayaan muflis.
Faktor yang menyebabkan seorang muflis dibekukan
tasarufnya ialah demi melindungi hak pemilik piutang (ghurama). Karena itu
pembekuan tasaruf diberlakukan pada aset kekayaan muflis yang ada (wujud) pada
saat hajru, dan juga aset yang baru didapatkan muflis selanjutnya.[11]
Batasan pembekuan tasaruf muflis adalah segala bentuk tasaruf
dengan ketentuan :
1.
Harta (mali), sehingga
mengecualikan tasaruf berupa thalaq, nikah, dll.;
2.
Berupa aset yang ada (ain),
sehingga mengecualikan tasaruf fi dzimmah;
3.
Merugikan hak ghurama;
4.
Atas dasar gagasan atau
inisiatif sendiri (insya), sehingga sehingga mengecualikan tasaruf berupa
iqrar;
5.
Permulaan (ibtida), sehingga
mengecualikan tasaruf berupa raad al-mabi;
6.
Berlangsung ketika masih
hidup, sehingga mengecualikan tasaruf berupa tadbir (menggantungkan kemerdekaan
budak dengan kematian), wasiat.[12]
e.
Maridl Makhuf
Maridl makhuf adalah orang yang mengalami sakit parahyang
secara medis berada pada level kritis yang berakhir dengan kematian. Secara
hukum dianalogikan maridl makhuf adalah orang yang berada dimedan perang,
diatas kapan laut yang sedang dilanda gelombang besar, orang yang mengalami
kesulitan melahirkan, ditawan atau disandera, divonis eksekusi qishos atau
rajam, dll.
Fakor yang menyebabkan maridl makhuf dibekukan
tasarufnya adalah demi kepentingan ahli warisnya. Karena itu pembekuan tasaruf
maridl makhuf hanya tertentu pada tasaruf yang bersifat non-komersial atau
gratis (tabarru), seperti hibah, hadiah, sedekah, waqaf, wasiat, ibra, dll. Dan
tidak dibekukan tasaruf yang bersifat komersial (mu’awadlah), seperti jual beli
dll, sebab tidak merugikam hak ahli waris.[13]
f.
Budak
Budak adalah orang yang berada dibawah kepemilikan
orang lain, yang meliputi budak laki-laki (‘abid) dan budak wanita (amat). Klasifikasi
budak meliputi :
1.
Qinn, yaitu budak murni yang
belum tersentuh sebab-sebab status merdeka (hurriyyah).
2.
Mukatab, yaitu budak yang
mengadakan kontrak merdeka dengan membayar sejumlah iwadl yang diangsur (
nujum).
3.
Mudabbar, yaitu budak yang
ditangguhkan kemerdekaannya dengan kematian sayyid.
4.
Ummul walad atau mustauladah,
yaitu budak wanita yang telah dihamili sayyidnya dan melahirkan.
5.
Muba’adl, yaitu budak yang
sebagian dirinya telah merdeka.
g.
Murtad
Seorang muslim yang murtad, maka hukum aset kekayaan
nya terdapat 3 pendapat :
1.
Aset kekayaannya tetap
menjadi milik murtad, karena tidak ada faktor (sebab) lain kecuali faktor yang
menghalalkan darahnya.
2.
Aset kekayaannya menjadi
hilang dari hak milik murtad dan menjadi harta fai’. yakni harta yang menjadi
hak milik umat islam. Sebab, perlindungan atas darah dan harta diberikan karena
status islam, sehingga dengan murtad perlindungan atas darah dan hartanya
menjadi hilang.
3.
Aset kekayaannya ditangguhkan
apabila kembali memeluk islam, maka dikembalikan, dan apabila mati dalam
keadaan murtad maka menjadi harta fai’.[14]
h.
Rahin
Rahin adalah orang yang menggadaikan barang sebagai
jaminan atas hutangnya.
i.
Wanita Bersuami
Seorang wanita yang mempunyai suami berada di bawah pengawasan
suaminya, baik dirinya sendiri, anak-anaknya, maupun harta bendanya. Oleh
karena itu, wanita tidak berkuasa atau berwenang atas hartanya, kecuali
harta-harta yang dikhususkan untuknya sendiri.[15]
Menurut
Al-Mawardi ada delapan orang
yang termasuk dalam al-Hajru
(pengampuan), yang mana bagian-bagian tersebut adalah : Yang pertama adalah
al-Hajru (Pengampuan) terhadap
anak kecil, al-Hajru
(Pengampuan) terhadap orang gila,
(Pengampuan) terhadap orang yang safih
(idiot), (Pengampuan) atas orang yang bangkrut,
al-Hajru (Pengampuan) terhadap orang sakit), al-Hajru (Pengampuan) terhadap
orang murtad, al-Hajru
(Pengampuan) terhadap budak, al-hajru
(Pengampuan)nya seseorang yang
menggunakan perjanjian atau karena
adanya keterkaitan setelah
mengucapkan akad, atau
juga dikatakan dengan wanita yang telah bersuami.[16]
3.
Dalil yang menjadi dasar hukum Mahjur
‘Alaih.
Sebelum dijelaskan definisi dari Mahjur ‘Alaih akan dijelaskan terlebih dahulu
landasan hukum atau dasar hukum diwajibkannya Mahjur ‘Alaih antara lain firman
Allah:
وَلَا تُؤْتُوا
السُّفَهَاءَ أَمْوَالَكُمُ الَّتِي جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ قِيَامًا
Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna
akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai
pokok kehidupan. (QS. Annisa: 5).
وَابْتَلُوا الْيَتَامَىٰ
حَتَّىٰ إِذَا بَلَغُوا النِّكَاحَ فَإِنْ آنَسْتُمْ مِنْهُمْ
رُشْدًا فَادْفَعُوا
إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ ۖ
Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka
cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas
(pandai memelihara harta), maka
serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. (QS. Annisa: 6).[17]
فَإِنْ كَانَ الَّذِي
عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيهًا أَوْ ضَعِيفًا أَوْ لَا يَسْتَطِيعُ
أَنْ يُمِلَّ هُوَ
فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُ بِالْعَدْلِ ۚ
Jika yang berkepentingan itu bodoh, lemah
dan tidak mampu mengatur kepentingannya maka hendaklah di atur oleh walinya
dengan adil. (QS. Albaqarah: 282).[18]
Demikianlah dalil yang menjadi dasar hukum dari Mahjur ‘Alaih ini.
4.
Cekal
Mahjur
Ulama fiqih berpendapat bahwa
disamping orang-orang yang telah disebutkan di atas yang dikenakan status hukum
di bawah pengampunan maka dapat juga dikenakan hukum dibawah pengampunan
(cekal) bagi orang-orang yang mengganggu dan merugikan umat :
a.
Tabib yang tidak memenuhi rujukan
baku dalam memberikan obat dan diagnotis yang keliru terhadap pasien
b.
Mufti yang sering
mengeluarkan fatwa yang menyesatkan dan membingungkan umat
c.
Arsitek bangunan yang sering
meleset dalam membuat perencanaan dan perhitungan
d.
Para amir atau pejabat yang
menyalahgunakan jabatannya untuk kepentingan pribadi dan merugikan umat.[19]
Secara umum, penjatuhan dan pencabutan status hajru
dikelompokan menjadi 4 (empat):
a.
Penjatuhan dan pencabutan
mahjur ‘alaih tidak butuh vonis hakim, seperti hajru Rahim dan majnun.
b.
Penjatuhan dan pencabutan
butuh vonis hakim, seperti hajru safih.
c.
Penjatuhan butuh vonis hakim,
dan pencabutan khilaf, seperti muflis .
d.
Penjatuhan tidak perlu vonis
hakim, dan pencabutan khilaf, seperti shabi.[20]
Status
pengampunan (al-hajr) berakhir apabila :
a.
Anak kecil (shabi) sudah
baligh dan berakal.
b.
Orang bodoh atau dungu sudah menjadi cerdas
/sadar.
c.
Pemboros sudah mulai hemat
d.
Orang Gila sudah menjadi
waras.
e.
Orang yang sakit kritis sudah
sembuh kembali.
f.
Khusus bagi orang yang
pailit, dia baru bebas dari status pengampunan setelah dia lunasi hutang-hutangnya.[21]
C. Kesimpulan
Banyak kajian yang telah terjadi dengan masalah Mahjur alaih ini.
Namun begitu, hingga kini
belum ditemukan
lagi kajian secara terperinci berkaitan dengan Mahjur Alaih dari Perspektif Syariah. Pada dasarnya, pembahasan mengenai
ini bukanlah secara terperinci dan dibahas dalam suatu bab yang khusus tetapi
merupakan bagian kecil dari bab-bab yang lain. Hasil penelitian dari kajian-kajian yang dikemukakan di atas didapatkan bukanlah suatu kajian yang khusus tetapi
diletakkan dalam perbahasan topik-topik lain. Kedua ulama fiqh klasik dan modern juga tidak menyentuh persoalan mahjur alaih ini secara terperinci. Namun
begitu, kajian-kajian yang ada ini telah meletakkan prinsip-prinsip umum dan
harus dijadikan asas untuk pengembangan kajian selanjutnya yang lebih bersifat
praktek dan sesaat. Sehubungan dengan itu, telah tiba waktunya saat ini lebih
dibutuhkan satu kajian yang lengkap
mengenai masalah ini dibuat untuk
menjelaskan dengan lebih terperinci tentang permasalahan ini dan seterusnya dapat
menyelesaikan masalah di kalangan masyarakat sekaligus membantu mereka dari
kelompok orang yang minim ilmu pengetahuan tentang pengurusan mahjur alaih. Dalam kehidupan kita bermasyarakat tentunya
pernah kita temui permasalahan terkait Hajr atau Mahjur ini. Pasti disekitar
kita akan ada tentang masalah mahjur ini, penulis bisa memastikan belum semua
orang Islam telah mengetahui dan mengerti tentang fiqih muamalah mengenai
majhur dan klasifikasinya. Penulis berpikir bahwa tentang majhur ini pernah
terjadi tapi mungkin luput dari perhatian kita dikarenakan keterbatasan ilmu
kita tentang masalah mahjur ‘alaih ini, akhirnya persoalan tentang majhur ini
terjadi pembiaran, sehingga dalam menyelesaikannya keluar dari syariat Islam.
Dengan telah dibahasnya persoalan fiqih muamalah tentang mahjur ‘alaih
dan klasifikasinya maka penulis berharap masalah mahjur ‘alaih ini lebih mendapat
perhatian khusus dari pemerintah, khususnya Kementrian Agama Islam agar lebih
bisa disosialisasikan kepada masyarakat khususnya umat Islam yang merupakan
mayoritas penduduk Indonesia, agar tidak terjadi penyelewengan oleh pihak-pihak
yang ingin mengambil keuntungan dari persoalan tentang mahjur ‘alaih dan
klasifikasinya, keberadaan badan atau lembaga yang berwenang untuk memutuskan
status mahjur ‘alaih ini sangat dibutuhkan, agar harta yang termasuk mahjur
‘alaih bisa diamankan untuk kemudian dikembalikan kepada pemiliknya setelah
dinyatakan secara hukum Islam layak kembali untuk mengelola hartanya. Semoga
pemerintah dapat memberi perhatian lebih untuk persoalan ini dengan membuat
payung hukum untuk melindungi rakyatnya khususnya umat Islam, agar ketika
muncul persoalan mahjur ini segera dapat bisa diatasi dengan baik sesuai ajaran
Islam yang menjadi tuntunan untuk kita sebagai umat Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Ghazi, Asy-syekh Muhamad bin
Qosim. Terjemahan kitab Fat-hul Qorib; Surabaya:
Al-Hidayah. 1991.
Al-Bantani, Muhamad Nawawi. Nihayatuz Zein, Semarang: Darul Ulum.
2005.
Suhendi, Hendi. Fiqih Muamalah; Jakarta; PT. RajaGrafindo Persada. 2014.
Tim Laskar pelangi, Metodologi Fiqih Muamalah, Kediri; Lirboyo
Press. 2015.
http://Pasar-islam.blogspot.co.id/2010/bab-14-mahjur-terhalang.html?m=1(
Diunduh pada tanggal 20 April 2017 pada pukul 24.15 WIB).
http://ukmsyariah.org/terbitan/wp-content/uploads/2015/09/18-Fariza-Mohamad-Tajuddin.pdf ( Di unduh pada tanggal
20 April 2014 pada pukul 24.18 WIB).
https://scholar.google.co.di/scholar?noj=1&client=ms-unknown&hl=in (
Diunduh
hari Kamis tanggal 20 April 2017 pada pukul 24.32 WIB).
[1]Asy-syekh Muhamad bin Qosim Al-Ghazi, Terjemahan Kitab Fat-hul Qorib, (Surabaya;
Al-Hidayah. 1991) hal. 362.
[2]Tim Laskar pelangi, Metodologi Fiqih Muamalah, (Kediri;
Lirboyo Press. 2015) hal.128.
[6]Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, (Jakarta, PT.
RajaGrafindo Persada. 2014) hal. 222.
[7]https://scholar.google.co.di/scholar?noj=1&client=ms-unknown&hl=in
( Diunduh hari Kamis tanggal 20 April 2017 pada jam 24.32 WIB.)
[8]http://ukmsyariah.org/terbitan/wp-content/uploads/2015/09/18-Fariza-Mohamad-Tajuddin.pdf ( Di unduh pada tanggal 20 April 2014 pukul
24.18 WIB)
[9]Tim Laskar pelangi, Metodologi Fiqih Muamalah, (Kediri;
Lirboyo Press. 2015) hal.129.
[10]Tim Laskar pelangi, Metodologi Fiqih Muamalah, (Kediri;
Lirboyo Press. 2015) hal.133.
[11]Tim Laskar pelangi, Metodologi Fiqih Muamalah, (Kediri;
Lirboyo Press. 2015) hal.136.
[12]Tim Laskar pelangi, Metodologi Fiqih Muamalah, (Kediri;
Lirboyo Press. 2015) hal.138.
[13]Tim Laskar pelangi, Metodologi Fiqih Muamalah, (Kediri;
Lirboyo Press. 2015) hal.140.
[14]Tim Laskar pelangi, Metodologi Fiqih Muamalah, (Kediri;
Lirboyo Press. 2015) hal.142.
[15]Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, (Jakarta; PT.
RajaGrafindo Persada. 2014) hal. 227.
[16]https://scholar.google.co.di/scholar?noj=1&client=ms-unknown&hl=in
( Diunduh hari Kamis tanggal 20 April 2017 pukul 24.32 WIB.)
[17]Tim Laskar pelangi, Metodologi Fiqih Muamalah, (Kediri;
Lirboyo Press. 2015) hal.128.
[18]Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, (Jakarta; PT.
RajaGrafindo Persada. 2014) hal. 223.
[19]http://Pasar-islam.blogspot.co.id/2010/bab-14-mahjur-terhalang.html?m=1 ( Diunduh pada tanggal 20 April 2017 pukul
24.15 WIB ).
[20]Tim Laskar pelangi, Metodologi Fiqih Muamalah, (
Kediri; Lirboyo Press. 2015 ) hal.143.
[21]http://Pasar-islam.blogspot.co.id/2010/bab-14-mahjur-terhalang.html?m=1 ( Diunduh pada tanggal 20 April 2017 pukul
24.15 WIB ).
No comments:
Post a Comment