Monday, November 5, 2018

MAHJUR ‘ALAIH DAN KLASIFIKASINYA

Oleh:
Muhammad Nur Muzakki

 (Sekolah Tinggi Ilmu Syariah Nahdlatul Ulama Nusantara Tangerang)


Abstrak
Islam adalah agama yang sempurna semua aturan hidup di bahas secara rinci untuk dijadikan pedoman hidup bagi umat Islam, dari lahirnya Islam hingga di zaman sekarang ini ajaran Islam tetap fleksibel dengan perkembangan zaman dan akhirnya itu menuntut kita sebagai umat Islam untuk terus memperdalam ilmu keislaman kita. Dalam kehidupan sosial pasti kita akan selalu berhadapan dengan masalah-masalah fiqih muamalah khususnya pembahasan tentang Mahjur ‘Alaih ( Hajru / alhajr ) dan klasifikasinya, maksudnya siapakah orang-orang yang termasuk golongan dari Mahjur ini, yang merupakan orang – orang yang telah terhalang untuk mengelola hartanya sendiri dikarenakan sebab-sebab tertentu atau mencegah hak tasarufnya / hak mengelola harta. Dalam masa pengampunan ini ada batas waktunya sampai ada pernyataan bahwa orang-orang yang masuk golongan pengampunan ini berakhir, dinyatakan layak atau cakap untuk kembali mengelola hartanya kembali menurut wali atau hakim. Masalah ini menjadi penting dibahas karena Mahjur ‘Alaih ini kurang populer dibandingkan dengan masalah fiqih muamalah lainnya jarang sekali masalah ini dibahas secara khusus, Mahjur harus kita ketahui hukum- hukumnya agar masalah ini tidak dimanfaatkan untuk kepentingan orang-orang tertentu. Dalam pembahasan ini akan dijelaskan definisi Mahjur ‘Alaih, Klasifikasi Mahjur ‘Alaih dan Dalil Alquran yang menjadi dasar hukum dari Mahjur ‘Alaih.

Kata kunci: Definisi Mahjur ‘Alaih, Klasifikasi Mahjur ‘Alaih, Dalil Mahjur

A.      Pendahuluan
Seiring perkembangan zaman saat ini di semua bidang berkembang dengan sangat cepat dan memunculkan beraneka ragam masalah dan rumit dengan berbagai permasalahan sosial di sekitar kita. Terutama dalam bidang fiqih muamalah untuk itulah menuntut kita sebagai umat Islam untuk lebih bisa dan pandai menyelesaikan semua persoalan dengan benar sesuai syariah Islam, khususnya tentang kehidupan bermasyarakat. Semaksimal mungkin kita sebagai umat Islam mampu menguasai tentang ilmu Fiqih Muamalah, agar bisa menyelesaikan semua permasalahan ini sesuai syariah.
Agama Islam telah mengatur bagaimana kita sebagai manusia bersikap dalam pergaulan sosial agar tercipta masyarakat yang teratur sesuai aturan-aturan Allah SWT. Aturan-aturan atau hukum Allah SWT. untuk mengatur manusia dalam kaitannya dengan urusan duniawi, pergaulan sosial, dan mengatur hubungan manusia dengan manusia lain dalam hidup ini adalah salah satu ilmu Fiqih yang harus diketahui oleh kita sebagai umat Islam yaitu Fiqih Muamalah.
Salah satu hal yang harus kita ketahui dari Fiqih Muamalah yaitu Mahjur ‘Alaih dan Klasifikasinya. Bagaimana solusi untuk masalah Mahjur A’laih ini yaitu bagaimana seseorang yang menurut syara terhalang atau tercegah dari hak pengelolaan hartanya dikarenakan orang tersebut termasuk dari sembilan (9) klasifikasi Mahjur ‘Alaih dan ada hal-hal tertentu yang mengharuskan adanya pencegahan. Diharapkan kita bisa menrealisasikan tentang Mahjur ‘Alaih ini dalam kehidupan sehari-hari sesuai dengan hukum syariah Islam. Tema masalah sosial tentang Mahjur ‘Alaih ini memang tidak sepopuler masalah Fiqih Muamalah lain seperti bidang ekonomi yaitu hukum transaksi jual beli dan perbankan syariah yang begitu marak akhir-akhir ini, tapi masalah inipun sangat penting untuk kita ketahui tentang bagaimana klasifikasi Mahjur ‘Alaih dan bagaimana Islam menyelesaikan persoalan ini.

B.       Pembahasan
1.         Definisi dari Mahjur ‘Alaih.
Kata “Hajru” menurut bahasa artinya “mencegah”. Sedangkan menurut syara’ ialah mencegah seseorang dari mengelola hartanya, berbeda mengelola selain hartanya seperti thalaq, maka thalaq yang keluar dari orang yang bodoh akan tetap jalan.[1]
Secara etimologi hajr atau hijr ialah mencegah, menghalangi, atau mempersempit, sedangkan secara terminology hajr ialah membekukan tasaruf seseorang atas hartanya, karena sebab-sebab tertentu.[2]  Mahjur berasal dari kata al-hajr, Hujranan atau hajara arti secara bahasa adalah al-man’u (terlarang, terdinding, tercegah, dan terhalang). Menurut Muhamad al-Syarbini al-Khatib bahwa yang dimaksud dengan Mahjur adalah :
المنع من التصرفات المالية
“Cegahan untuk pengelolaan harta”.[3]
Hajr menurut bahasa adalah mencegah. Sedangkan menurut istilah adalah mencegah hak tasharruf dengan sebab-sebab tertentu. Melihat faktor yang melatarbelakanginya, hajr terbagi menjadi dua kelompok yaitu :
a.         Kemaslahatan yang kembali kepada mahjur a’laih (pihak yang tercegah tasharrufnya).
b.         Kemaslahatan yang kembali pada pihak lain.
Menurut Idris Ahmad dalam bukunya Fiqh al-Syafi’iyah berpendapat bahwa yang dimaksud dengan Mahjur menurut istilah adalah orang-orang yang terlarang mengendalikan harta bendanya disebabkan oleh beberapa hal yang terdapat pada dirinya, yang mengeluarkan pengawasan.[4]
Sedangkan Sulaiman Rasyid berpendapat bahwa yang di maksud al-Hajr ialah melarang, atau menahan seseorang dari membelanjakan hartanya, yang berhak melarangnya ialah wali atau hakim.[5]
Dari beberapa pendapat di atas dapat diketahui bahwa yang dimaksud dengan Mahjur adalah cegahan bagi seseorang untuk mengelola hartanya karena adanya hal-hal tertentu yang mengharuskan adanya pencegahan.[6]
Menurut  Al-Mawardi ada  delapan  orang  yang termasuk  dalam al-Hajru (pengampuan), yang mana bagian-bagian tersebut adalah : Yang pertama adalah al-Hajru  (Pengampuan)  terhadap  anak  kecil,  al-Hajru  (Pengampuan)  terhadap orang gila, (Pengampuan)  terhadap orang yang safih (idiot), (Pengampuan) atas orang yang bangkrut,  al-Hajru (Pengampuan) terhadap orang sakit), al-Hajru (Pengampuan)  terhadap  orang  murtad, al-Hajru (Pengampuan) terhadap   budak,  al-hajru   (Pengampuan)nya   seseorang   yang  menggunakan perjanjian  atau  karena  adanya  keterkaitan  setelah  mengucapkan  akad,  atau  juga dikatakan dengan wanita yang telah bersuami.[7]
Golongan mahjur ‘alaih ialah golongan yang terhalang dari menguruskan harta sendiri disebabkan wujudnya sebab-sebab khusus yang terdapat pada diri mereka sendiri sehingga boleh menghalang mereka dari mengurus dan mentadbirkan harta mereka sendiri.[8]
Tujuan dari legislas hajr adalah demi kemaslahatan harta (hifdhu al-mal). Dalam hal ini ada 3 klasifikasi :
a.         Demi  menjaga kemaslahatan harta pihak yang dibekukan tasarufnya (Mahjur ‘Alaih), seperti pembekuan tasaruf anak kecil, orang gila, dan orang safih.
b.         Demi menjaga kemaslahatan harta pihak lain, seperti pembekuan tasaruf orang bangkrut (muflis), orang sakit kritis (makhuf), orang murtad, budak, rahin, dll.
c.         Demi menjaga kemaslahatan harta kedua belah pihak, baik secara pokok (qashdan) seperti pembekuan tasaruf sayyid atas budak mukatab-nya yakni untuk kepentingan sayyid berupa cicilan (nujum) dan untuk kepentingan budak berupa kemerdekaan dirinya, atau secara konsekuensi logis (taba’an) seperti pembekuan tasaruf orang muflis, yakni untuk kepentingan ghurama secara qashdan dan untuk kepentingan dirinya secara taba’an berupa terbebas dari hutang, dll.[9]

2.         Klasifikasi Mahjur ‘Alaih
Terdapat sembilan orang yang secara hukum dibekukan tasaruf hartanya, klasifikasinya sebagai berikut :
a.         Shabi
Shabi adalah anak kecil yang belum mengalami ihtilam, atau belum keluar haid, atau orang yang belum berusia 15 tahun.
Terdapat dua faktor penyebab anak kecil dibekukan tasarufnya :
1.             Maslub al-‘ibarah
Maslub al-ibarah ialah orang yang perkataannya tidak diakui secara syar’i, baik dalam aspek duniawi seperti muamalah, atau dalam aspek keagamaan (dini) seperti ikrar masuk Islam. Tidak adanya pengakuan syar’I ini karena perkataan seorang shabi tidak didasari tujuan yang diakui (qashdun mu’tabar).
2.             Maslub al-wilayah
Maslub al-wilayah ialah orang yang otoritas atau kewenangan dalam melakukan tindakan-tindakan tertentu tidak diakui secara syar’i, seperti kewenangan menikahkan, melimpahkan wasiat, memutus hukum. Tidak adanya pengakuan syar’I terhadap anak kecil ini karena anak kecil tidak memiliki kecakapan pengaturan-pengaturan (tadbir) dalam urusannya, lebih-lebih urusan orang lain.
Shabi akan terbebas dari status mahjur ‘alaih dengan memasuki usia balig dalam kondisi rusydu (memiliki kecakapan dalam aspek keagamaan dan tasaruf harta).
b.             Majnun
Majnun atau orang gila ialah orang yang kehilangan kemampuan membedakan (tamyiz).
Dalil maupun faktor yang menyebabkan orang gila dibekukan tasafurnya, sama dengan anak kecil (shabi) di atas. Bahkan cakupan maslub al-ibarah dan maslub al-wilayah nya lebih luas dibanding anak kecil. Sehingga secara syar’i, orang gila nyaris sama sekali tidak ada yang diakui segala bentuk tasarufnya, baik yang bersifat transaksional (mu’awadlah) atau ritual (ubudiyyah). Hanya saja, hal-hal yang berupa tindakan atau aksi (af’al) dalam bentuk proses memiliki (tamalluk), seperti mencari kayu bakar, atau dalam bentuk perusakan (itlaf), seperti menghamili wanita (istilad), maka syara tetap mengakuinya, sehingga ada konsekuensi “memiliki” dalam kasus pencarian kayu bakar, dan konsekuensi “nasab” dalam kasus penghamilan yang dilakukan orang gila.
Aksi penghamilan yang dilakukan orang gila, secara hukum tidak disebut zina dalam pengertian sebenarnya (haqiqi), melainkan hanya sebatas kesan (shuwari), karena dilakukan di luar kesadaran, yang mirip dengan wathi syubhat.
Sedangkan terbebasnya orang gila dari status majhur alaih adalah dengan kondisi waras (ifaqah). Yakni steril dari unsur cacat mental.[10]

c.              Safih
Safih adalah orang yang memasuki usia baligh dalam kondisi tidak rusydu. Istilah rusydu disini sama dengan penjelasan rusydu dalam majhur alaih shabi di atas.Pembekuan tasaruf untuk orang yang pertama bersifat syar’i, yang tidak perlu penjatuhan hajru dari pihak qadli. Safih terbagi menjadi dua jenis yaitu :
1.             Safih Muhmal
2.             Safih Ghairu Muhmal
d.             Muflis
Muflis ialah orang yang kekayaan hartanya tidak cukup untuk melunasi hutangnya. Dengan kata lain, jumlah hutang adami-nya yang telah mengikat (lazim) dan telah jatuh tempo (hulul), lebih besar dari asset kekayaan yang di miliki.
Dari definisi muflis demikian, maka terdapat beberapa ketentuan mengenai hutangnya muflis sehingga bisa dibekukan tasarufnya menjadi (empat) 4 yaitu hutang adami, hutang lazim, hutang hal (telah jatuh tempo) dan hutang yang lebih besar dibanding nilai aset kekayaan muflis.
Faktor yang menyebabkan seorang muflis dibekukan tasarufnya ialah demi melindungi hak pemilik piutang (ghurama). Karena itu pembekuan tasaruf diberlakukan pada aset kekayaan muflis yang ada (wujud) pada saat hajru, dan juga aset yang baru didapatkan muflis selanjutnya.[11]
Batasan pembekuan tasaruf muflis adalah segala bentuk tasaruf dengan ketentuan :
1.             Harta (mali), sehingga mengecualikan tasaruf berupa thalaq, nikah, dll.;
2.             Berupa aset yang ada (ain), sehingga mengecualikan tasaruf fi dzimmah;
3.             Merugikan hak ghurama;
4.             Atas dasar gagasan atau inisiatif sendiri (insya), sehingga sehingga mengecualikan tasaruf berupa iqrar;
5.             Permulaan (ibtida), sehingga mengecualikan tasaruf berupa raad al-mabi;
6.             Berlangsung ketika masih hidup, sehingga mengecualikan tasaruf berupa tadbir (menggantungkan kemerdekaan budak dengan kematian), wasiat.[12]
e.              Maridl Makhuf
Maridl makhuf adalah orang yang mengalami sakit parahyang secara medis berada pada level kritis yang berakhir dengan kematian. Secara hukum dianalogikan maridl makhuf adalah orang yang berada dimedan perang, diatas kapan laut yang sedang dilanda gelombang besar, orang yang mengalami kesulitan melahirkan, ditawan atau disandera, divonis eksekusi qishos atau rajam, dll.
Fakor yang menyebabkan maridl makhuf dibekukan tasarufnya adalah demi kepentingan ahli warisnya. Karena itu pembekuan tasaruf maridl makhuf hanya tertentu pada tasaruf yang bersifat non-komersial atau gratis (tabarru), seperti hibah, hadiah, sedekah, waqaf, wasiat, ibra, dll. Dan tidak dibekukan tasaruf yang bersifat komersial (mu’awadlah), seperti jual beli dll, sebab tidak merugikam hak ahli waris.[13]
f.               Budak
Budak adalah orang yang berada dibawah kepemilikan orang lain, yang meliputi budak laki-laki (‘abid) dan budak wanita (amat). Klasifikasi budak meliputi :
1.             Qinn, yaitu budak murni yang belum tersentuh sebab-sebab status merdeka (hurriyyah).
2.             Mukatab, yaitu budak yang mengadakan kontrak merdeka dengan membayar sejumlah iwadl yang diangsur ( nujum).
3.             Mudabbar, yaitu budak yang ditangguhkan kemerdekaannya dengan kematian sayyid.
4.             Ummul walad atau mustauladah, yaitu budak wanita yang telah dihamili sayyidnya dan melahirkan.
5.             Muba’adl, yaitu budak yang sebagian dirinya telah merdeka.
g.             Murtad
Seorang muslim yang murtad, maka hukum aset kekayaan nya terdapat 3 pendapat :
1.             Aset kekayaannya tetap menjadi milik murtad, karena tidak ada faktor (sebab) lain kecuali faktor yang menghalalkan darahnya.
2.             Aset kekayaannya menjadi hilang dari hak milik murtad dan menjadi harta fai’. yakni harta yang menjadi hak milik umat islam. Sebab, perlindungan atas darah dan harta diberikan karena status islam, sehingga dengan murtad perlindungan atas darah dan hartanya menjadi hilang.
3.             Aset kekayaannya ditangguhkan apabila kembali memeluk islam, maka dikembalikan, dan apabila mati dalam keadaan murtad maka menjadi harta fai’.[14]
h.             Rahin
Rahin adalah orang yang menggadaikan barang sebagai jaminan atas hutangnya.
i.               Wanita Bersuami
Seorang wanita yang mempunyai suami berada di bawah pengawasan suaminya, baik dirinya sendiri, anak-anaknya, maupun harta bendanya. Oleh karena itu, wanita tidak berkuasa atau berwenang atas hartanya, kecuali harta-harta yang dikhususkan untuknya sendiri.[15]
Menurut  Al-Mawardi ada  delapan  orang  yang termasuk  dalam al-Hajru (pengampuan), yang mana bagian-bagian tersebut adalah : Yang pertama adalah al-Hajru  (Pengampuan)  terhadap  anak  kecil,  al-Hajru  (Pengampuan)  terhadap orang gila, (Pengampuan)  terhadap orang yang safih (idiot), (Pengampuan) atas orang yang bangkrut,  al-Hajru (Pengampuan) terhadap orang sakit), al-Hajru (Pengampuan)  terhadap  orang  murtad, al-Hajru (Pengampuan) terhadap   budak,  al-hajru   (Pengampuan)nya   seseorang   yang  menggunakan perjanjian  atau  karena  adanya  keterkaitan  setelah  mengucapkan  akad,  atau  juga dikatakan dengan wanita yang telah bersuami.[16]

3.         Dalil yang menjadi dasar hukum Mahjur ‘Alaih.
Sebelum dijelaskan definisi dari Mahjur ‘Alaih akan dijelaskan terlebih dahulu landasan hukum atau dasar hukum diwajibkannya Mahjur ‘Alaih antara lain firman Allah:

وَلَا تُؤْتُوا السُّفَهَاءَ أَمْوَالَكُمُ الَّتِي جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ قِيَامًا
Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. (QS. Annisa: 5).

وَابْتَلُوا الْيَتَامَىٰ حَتَّىٰ إِذَا بَلَغُوا النِّكَاحَ فَإِنْ آنَسْتُمْ مِنْهُمْ
رُشْدًا فَادْفَعُوا إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ ۖ
Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta),  maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. (QS. Annisa: 6).[17]

فَإِنْ كَانَ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيهًا أَوْ ضَعِيفًا أَوْ لَا يَسْتَطِيعُ
أَنْ يُمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُ بِالْعَدْلِ ۚ 
Jika yang berkepentingan itu bodoh, lemah dan tidak mampu mengatur kepentingannya maka hendaklah di atur oleh walinya dengan adil.  (QS. Albaqarah: 282).[18]

Demikianlah dalil yang menjadi dasar hukum dari Mahjur ‘Alaih ini.

4.         Cekal Mahjur
Ulama fiqih berpendapat bahwa disamping orang-orang yang telah disebutkan di atas yang dikenakan status hukum di bawah pengampunan maka dapat juga dikenakan hukum dibawah pengampunan (cekal) bagi orang-orang yang mengganggu dan merugikan umat :
a.              Tabib yang tidak memenuhi rujukan baku dalam memberikan obat dan diagnotis yang keliru terhadap pasien
b.             Mufti yang sering mengeluarkan fatwa yang menyesatkan dan membingungkan umat
c.              Arsitek bangunan yang sering meleset dalam membuat perencanaan dan perhitungan
d.             Para amir atau pejabat yang menyalahgunakan jabatannya untuk kepentingan pribadi dan merugikan umat.[19]

Secara umum, penjatuhan dan pencabutan status hajru dikelompokan menjadi 4 (empat):
a.              Penjatuhan dan pencabutan mahjur ‘alaih tidak butuh vonis hakim, seperti hajru Rahim dan majnun.
b.             Penjatuhan dan pencabutan butuh vonis hakim, seperti hajru safih.
c.              Penjatuhan butuh vonis hakim, dan pencabutan khilaf, seperti muflis .
d.             Penjatuhan tidak perlu vonis hakim, dan pencabutan khilaf, seperti shabi.[20]
Status pengampunan (al-hajr) berakhir apabila :
a.              Anak kecil (shabi) sudah baligh dan berakal.
b.              Orang bodoh atau dungu sudah menjadi cerdas /sadar.
c.              Pemboros sudah mulai hemat
d.             Orang Gila sudah menjadi waras.
e.              Orang yang sakit kritis sudah sembuh kembali.
f.               Khusus bagi orang yang pailit, dia baru bebas dari status pengampunan setelah dia lunasi hutang-hutangnya.[21]


C.      Kesimpulan
Banyak kajian yang  telah terjadi dengan masalah Mahjur alaih ini. Namun begitu, hingga kini belum ditemukan lagi kajian secara terperinci berkaitan dengan Mahjur Alaih dari Perspektif Syariah. Pada dasarnya, pembahasan mengenai ini bukanlah secara terperinci dan dibahas dalam suatu bab yang khusus tetapi merupakan bagian kecil dari bab-bab yang lain. Hasil penelitian dari kajian-kajian yang dikemukakan di atas didapatkan  bukanlah suatu kajian yang khusus tetapi diletakkan dalam perbahasan topik-topik lain. Kedua ulama fiqh klasik dan modern  juga tidak menyentuh persoalan mahjur alaih ini secara terperinci. Namun begitu, kajian-kajian yang ada ini telah meletakkan prinsip-prinsip umum dan harus dijadikan asas untuk pengembangan kajian selanjutnya yang lebih bersifat praktek dan sesaat. Sehubungan dengan itu, telah tiba waktunya saat ini lebih dibutuhkan  satu kajian yang lengkap mengenai masalah  ini dibuat untuk menjelaskan dengan lebih terperinci tentang permasalahan ini dan seterusnya dapat menyelesaikan masalah di kalangan masyarakat sekaligus membantu mereka dari kelompok orang yang minim ilmu pengetahuan tentang pengurusan mahjur alaih. Dalam kehidupan kita bermasyarakat tentunya pernah kita temui permasalahan terkait Hajr atau Mahjur ini. Pasti disekitar kita akan ada tentang masalah mahjur ini, penulis bisa memastikan belum semua orang Islam telah mengetahui dan mengerti tentang fiqih muamalah mengenai majhur dan klasifikasinya. Penulis berpikir bahwa tentang majhur ini pernah terjadi tapi mungkin luput dari perhatian kita dikarenakan keterbatasan ilmu kita tentang masalah mahjur ‘alaih ini, akhirnya persoalan tentang majhur ini terjadi pembiaran, sehingga dalam menyelesaikannya keluar dari syariat Islam.
Dengan telah dibahasnya persoalan fiqih muamalah tentang mahjur ‘alaih dan klasifikasinya maka penulis berharap masalah mahjur ‘alaih ini lebih mendapat perhatian khusus dari pemerintah, khususnya Kementrian Agama Islam agar lebih bisa disosialisasikan kepada masyarakat khususnya umat Islam yang merupakan mayoritas penduduk Indonesia, agar tidak terjadi penyelewengan oleh pihak-pihak yang ingin mengambil keuntungan dari persoalan tentang mahjur ‘alaih dan klasifikasinya, keberadaan badan atau lembaga yang berwenang untuk memutuskan status mahjur ‘alaih ini sangat dibutuhkan, agar harta yang termasuk mahjur ‘alaih bisa diamankan untuk kemudian dikembalikan kepada pemiliknya setelah dinyatakan secara hukum Islam layak kembali untuk mengelola hartanya. Semoga pemerintah dapat memberi perhatian lebih untuk persoalan ini dengan membuat payung hukum untuk melindungi rakyatnya khususnya umat Islam, agar ketika muncul persoalan mahjur ini segera dapat bisa diatasi dengan baik sesuai ajaran Islam yang menjadi tuntunan untuk kita sebagai umat Islam.
































DAFTAR PUSTAKA

Al-Ghazi,  Asy-syekh Muhamad bin Qosim. Terjemahan kitab Fat-hul Qorib; Surabaya:  Al-Hidayah. 1991.
Al-Bantani,  Muhamad Nawawi.  Nihayatuz Zein, Semarang: Darul Ulum. 2005.
Suhendi,  Hendi.  Fiqih Muamalah;  Jakarta;  PT. RajaGrafindo Persada. 2014.
Tim Laskar pelangi, Metodologi Fiqih Muamalah, Kediri; Lirboyo Press. 2015.
http://Pasar-islam.blogspot.co.id/2010/bab-14-mahjur-terhalang.html?m=1( Diunduh pada tanggal 20 April 2017 pada pukul 24.15 WIB).
http://ukmsyariah.org/terbitan/wp-content/uploads/2015/09/18-Fariza-Mohamad-Tajuddin.pdf ( Di unduh pada tanggal 20 April 2014 pada pukul 24.18 WIB).
https://scholar.google.co.di/scholar?noj=1&client=ms-unknown&hl=in ( Diunduh hari Kamis tanggal 20 April 2017 pada pukul 24.32 WIB).














[1]Asy-syekh Muhamad bin Qosim Al-Ghazi, Terjemahan Kitab Fat-hul Qorib, (Surabaya; Al-Hidayah. 1991)  hal. 362.
[2]Tim Laskar pelangi, Metodologi Fiqih Muamalah, (Kediri; Lirboyo Press. 2015) hal.128. 

[3]Muhamad Nawawi Al-Bantani,  Nihayatuz Zein, (Semarang: Darul Ulum. 2005) hal. 247
[4]Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, (Jakarta, PT. RajaGrafindo Persada. 2014) hal. 221.
[5]Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, (Jakarta, PT. RajaGrafindo Persada. 2014) hal. 221.
[6]Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, (Jakarta, PT. RajaGrafindo Persada. 2014) hal. 222.
[7]https://scholar.google.co.di/scholar?noj=1&client=ms-unknown&hl=in ( Diunduh hari Kamis tanggal 20 April 2017 pada jam 24.32 WIB.) 
[8]http://ukmsyariah.org/terbitan/wp-content/uploads/2015/09/18-Fariza-Mohamad-Tajuddin.pdf  ( Di unduh pada tanggal 20 April 2014 pukul 24.18 WIB)

[9]Tim Laskar pelangi, Metodologi Fiqih Muamalah, (Kediri; Lirboyo Press. 2015) hal.129. 

[10]Tim Laskar pelangi, Metodologi Fiqih Muamalah, (Kediri; Lirboyo Press. 2015) hal.133. 

[11]Tim Laskar pelangi, Metodologi Fiqih Muamalah, (Kediri; Lirboyo Press. 2015) hal.136. 

[12]Tim Laskar pelangi, Metodologi Fiqih Muamalah, (Kediri; Lirboyo Press. 2015) hal.138. 

[13]Tim Laskar pelangi, Metodologi Fiqih Muamalah, (Kediri; Lirboyo Press. 2015) hal.140. 

[14]Tim Laskar pelangi, Metodologi Fiqih Muamalah, (Kediri; Lirboyo Press. 2015) hal.142. 

[15]Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, (Jakarta; PT. RajaGrafindo Persada. 2014) hal. 227.
[16]https://scholar.google.co.di/scholar?noj=1&client=ms-unknown&hl=in ( Diunduh hari Kamis tanggal 20 April 2017  pukul 24.32 WIB.) 

[17]Tim Laskar pelangi, Metodologi Fiqih Muamalah, (Kediri; Lirboyo Press. 2015) hal.128. 

[18]Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, (Jakarta; PT. RajaGrafindo Persada. 2014) hal. 223.

[19]http://Pasar-islam.blogspot.co.id/2010/bab-14-mahjur-terhalang.html?m=1 ( Diunduh pada tanggal 20 April 2017 pukul 24.15 WIB ).

[20]Tim Laskar pelangi, Metodologi Fiqih Muamalah, ( Kediri; Lirboyo Press. 2015 ) hal.143. 

[21]http://Pasar-islam.blogspot.co.id/2010/bab-14-mahjur-terhalang.html?m=1 ( Diunduh pada tanggal 20 April 2017 pukul 24.15 WIB ).


No comments:

Post a Comment

Definisi Hukum Acara Pidana

MAKALAH DEFINISI HUKUM ACARA PIDANA Diajukan Sebagai Tugas Mata Kuliah Hukum Acara Pidana Program Studi Hukum Ekonomi Syari’ah (HES) Di Se...