Oleh:
Muhammad Nur Muzakki
Abstrak
Makalah ini mengungkap tentang Khiyar (hak opsional) yang mengenai
dalil khiyar, definisi khiyar, dan klasifikasi khiyar. Berdagang merupakan
sunnah Rasulullah yang harus diikuti oleh umatnya. Beliau telah memberikan suri
tauladan dengan mengandalkan kejujuran dan kepercayaan meraih kesuksesan dalam
berdagang. Dalam berdagang dibutuhkan sebuah etika agar terciptanya kepuasan
dan kerelaan kedua pihak, karna sering kali pembeli merasa kurang puas dengan
barang yang dibeli karena ada cacat ataupun kerusakan yang tidak diketahui
sebelumnya dalam barang. Oleh karna itu diperlukan kesepakatan antara penjual
dan pembeli dalam melangsungkan proses jual beli apabila terdapat masalah
seperti ini.
Keyword : Dalil, Definisi, Klafikasi
A.
Pendahuluan
Dalam Islam pada hakikatnya Rasulallah SAW. di utus
keatas muka bumi adalah sebagai uswat al-hasanat rahmat lil-alamin. Semua sunnah
Rasulullah SAW. menjadi panduan utama setelah Al-Qur’an bagi berbagai aspek
kehidupan manusia terutama aspek pendidikan. Dan salah satu yang terlihat pada
diri Rasuullah SAW adalah ketika berhijrah ke Madinah, dan salah satu dakwah
Rasulullah SAW adalah di pasar yang ditempati panjual dan pembeli. Maka dari
adanya penjual dan pembeli tersebut, maka terjadilah transaksi jual beli yang
melibatkan istilah pilihan terhadap barang yang akan diperjual belikan.
Dalam Islam istilah pilihan biasa di sebut khiyar. Yang
mana khiyar ini merupakan salah satu hak yag harus dimiliki antara penjual dan
pembeli. Dengan demikian proses jual beli akan berlangsung dengan prasaan yang
aman dan nyaman. Maka dari itu, Rasulullah SAW mencontohkan kepada setiap
manusia yang di muka bumi pada masa-masanya untuk selalu berjalan sesuai
syariat yang telah ditentukan oleh Allah SWT.
Berdasarkan uraian di atas, maka makalah dirumuskan
kedalam beberapa penjelasan, yaitu; (1) bagaimana dalil khiyar; (2) bagaimana
definisi khiyar; (3) bagaiamana klafikasi khiyar.
Oleh sebab itu, makalah ini (1) mengulas dalil khiyar;
(2) mengulas definisi khiyar; (3) mengulas klafikasi khiyar.
1.
Dalil
Berdasarkan
prinsip wajib menegakan kejujuran dan kebenaran dalam perdagangan, maka haram
bagi penjual menyembunyikan cacat barang. Apabila dalam barang yang akan dijual
itu terdapat cacat maka yag diketahui oleh pemilik barang (penjual), maka
wajiblah dia menerangkan hal itu dan tidak boleh menyembunyikannya.
Menyembunyikan cacat barang dengan sengaja termasuk penipuan dan kecurangan.[1]
Khiyar hukumnya
boleh berdasarkan sunnah Rasulullah Saw. Diantara sunah tersebut adalah hadits
yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari Abdullah bin Harits:
عن
عبد اللّه بن الحارث قال: سمعت حكيم بن حزام رضي اللّه عنه عن النبي صلى اللّه
عليه وسلم قال: البيعان بالخيار مالم يتفرقا، فان صدقا وبينا بورك لهما بيعهما وان
كذبا وكتما محقت بركة بيعهما (رواه البحاري)
Artinya: Dari
Abdullah bin Harits ia berkata: saya mendengar Hakim bin Hizam r.a dari Nabi
Saw beliau bersabda: “penjual dan pembeli boleh melakukan khiyar selama
mereka berdua belum berpisah. Apabila mereka berdua benar dan jelas, maka
mereka berdua diberi keberkahan didalam jual beli mereka, dan apabila mereka
berdua berbohong dan merasiakan, maka dihapuslah keberkahan jual beli mereka
berdua. (HR. Al-bukhari).[2]
Disamping itu ada hadits lain yang
diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari Ibnu Umar:
عن ابن عمر رضي اللّه عنهما قال: قال النبي صلى اللّه
عليه وسلم: البيعان بالخيار مالم يتفرق, او يقول احدهما لصاحبه: اختر. وربما قال:
اويكون بيع خيار. (رواه بخارى)
Artinya: Dari
Ibnu Umar r.a ia berkata: Telah bersabda Nabi Saw: Penjual dan pembeli boleh
melakukan khiyar selagi keduanya belum berpisah, atau salah seorang mengatakan
pada temannya: Pilihlah. Dan kadang-kadang beliau bersabda: atau terjadi jual
beli khiyar. (HR. Al-Bukhari).[3]
Dari hadits
tersebut jelaslah bahwa Khiyar dalam akad jual beli hukumnya dibolehkan.
Apabila dalam barang yang dibeli terdapat cacat (‘aib) yang bisa merugikan
kepada pihak pembeli. Hak khiyar ditetapkan oleh syariat islam bagi orang-orang
yang melakukan transaksi terdata agar tidak dirugikan dalam transaksi yang
mereka lakukan, sehingga kemaslahatan yang dituju dalam suatu transaksi
tercapai dengan sebaik-baiknya. Status khiyar, menurut ulama fiqh adalah
disyariatkan atau dibolehkan karena masing-masing pihak yang melakukan transaksi
supaya tidak ada pihak yang merasa tertipu.[4]
Dalil yang
mendasari legislasi khiyar adalah Hadits dan Ijma’.
البيعان با الخيار ماا لم يتفرّقا اوْ يقوْل أحدهمَا
لِلْآخرِاخترْ (رواه الشيخان)
Artinya:“Penjual
dan pembei memiliki pilihan sebelum keduanya berpisah, atau salah satunya
megatakan pada yang lain, pilihlah! (HR. Bukhari dan Muslim)
عن ابن عمر قال : سمعْت
رجلا من الْانْصارِ وكانتْ بلسانه لوثة يشكو إلي رسول الله صلى الله عليه وسلم أنه لا يزال يغْبنُ فى
الْبيْع فقال له رسول الله صلى الله عليه وسلم : اذا بايعت فقل لا خلابة ثم انت
بالخيار في كل سلعة ابتعتها ثلاث ليال فان رضيت فأمسك وان سخطت فاردد (رواه البيهقى)
Artinya:“Dari
Ibn Umar ra. Berkata seorang sahabat Anshar yang lugu mengadu kepada Rasulullah
Saw., bahwa ia selalu dirugikan dalam jual beli, maka katakan, “tidak ada
manipulasi!”, selanjutnya kamu berhak menentukan pilihan pada setiap barang
yang kamu beli selama tiga malam. Jika kamu berminat, ambil, jika tidak,
kembalikan”. (HR. Albaihaqi).
2.
Definisi Khiyar
Dalam
perspektif islam, jelas bahwa acuan kejujuran dalam berdagang harus diletakan
dalam kerangka ukuran-ukuran yang bersumber dari ajaran Islam, yakni al-Qur’an
dan Hadits. Karena itu, sistem nilai yang islami mendasari perilaku perdagangan
masalah penting untuk diungkapkan. Dari perspektif islam tersebut, perdagangan
ternyata memiliki dua dimensi, yakni dimensi duniawi dan dimensi ukhrawi.
Perdangan yang dijalankan berlandaskan nilai-nilai islam dalam penelaahan ini
dipahami sebagai yang berdimensi ukhrawi, dan demikian sebaliknya berdimensi
duniawi apabila suatu aktivitas perdagangan terlepas dari nilai-nilai islam
yang dimaksud.[5]
Allah
menciptakan manusia dengan suatu sifat saling membutuhkan antara satu dengan
lainnya. Tidak ada seorang pun yang dapat menguasai seluruh apa yang
diinginkan. Tetapi manusia hanya dapat mencapai sebagian yang diharapkan itu.
Dia mesti memerlukan apa yang menjadi kebutuhan orang lain. Untuk itu Allah memberikan
inspirasi kepada mereka untuk mengadakan penukaran perdagangan dan semua yang
kiranya dapat bermanfaat dengan cara jual beli dan semua hubungan yang lain.
Sehingga hidup manusia dapat berdiri dengan baik dan proses hidup ini berjalan
dengan baik.
Nabi Muhammad
SAW diutus, sedang waktu itu bangsa Arab memiliki aneka macam perdagangan dan penukaran. Oleh
karna itu, sebagian yang mereka lakukan dibenarkan oleh Nabi sepanjang tidak
bertentagan dengan syariat yang di bawanya. Sedang sebagian lain dilarang yang
kiranya tidak sesuai dengan tujuan dan jiwa syariat. Larangan ini berkisar
dalam beberapa sebab, diantaranya:
a.
Karena
ada usaha untuk membantu perbuatan maksiat.
b.
Karena
ada unsur penipuan.
c.
Karena
ada unsur pemaksaan.[6]
Untuk dapat mengaplikasikan nilai positif dan menghindarkan dari
perbuatan-perbuatan yang negatif dalam perdagangan, sangat perlu kiranya untuk
menerapkan prinsip-prinsip yang berlandaskan pada nilai-nilai Islam, khususnya
dalam perdagangan yang modern seperti sekarang ini yang sangat rentan terhadap
aksi penipuan. Sangat perlu adanya hak khiyar antara penjual dan pembeli tidak
merasa dirugikan atau tertipu dari jual
beli yang telah dibeli.
Khiyar dalam arti bahasa berasal dari akar
kata: khara-yakhiru-khairan-wa khiyaratan (خار – يخير – خيرا – وخيارة )
yang sinonimnya: اعطاه ماهوخيرله , yang artinya: “memberikan kepadanya suatu yang lebih baik
baginya”. Menurut istilah kalangan ulama fiqih yaitu mencari yang baik dari
dua urusan baik berupa meneruskan akad atau membatalkannya.[7] Sayyid
Sabiq memberikan deifinisi khiyar sebagai berikut.
الخيار هو طلب خير الآمرين من
الإمضاء او الإلغاء
Artinya: khiyar dalah menunut
yang terbaik dari dua perkara, berupa meneruskn (akad jual jual beli)
atau membatalkannya.
Khiyar itu dimaksud untuk menjamin adanya kebebasan berfikir antara
pembeli anatar pembeli dan penjual atau salah seorang yang membutuhkan khiyar.
Akan tetapi oleh karena dengan sistem khiyar ini adakalanya menimbulkan penyelesalan kepada salah seorang
dari pembeli atau penjual yaitu jika pedagang mengharap barangnya segera laku,
tentu tidak senang kalau barangnya dikembalikan lagi sesudah jual beli atau
kalau pembeli sangat mengharapkan mendapat barang yang dibelinya, tentu tidak
senang hati kalau uangnya dikembalikan lagi sesudah akad jual beli. Maka karena
itu, untuk menetapkan syahnya ada khiyar harus ada ikrar dari kedua belah pihak
atau salah satu pihak yang diterima oleh pihak lainnya atau kedua pihaknya,
kalau kedua belah pihak menghendakinya.[8]
Dari difinisi yang telah dikemukakan di atas dapat diambil intisari
bahwa khiyar adalah pilihan untuk melanjutkan jual beli atau
membatalkannya, karena terdapat cacat terhadap barang yang dijual, atau ada
perjanjian pada waktu akad, atau karena sebab yang lain. Tujuan diadakannya khiyar
tersebut adalah untuk mewujudkan kemaslahatan bagi kedua belah pihak sehingga
tidak ada rasa menyesal setelah akad selesai, karena mereka sama-sama rela dan
setuju.
3.
Klasifikasi Khiyar
A.
Khiyar Majlis
Khiyar majlis
ialah hak pelaku transaksi untuk menentukan pilihan terbaik antara
melangsungkan atau mengurungkan transaksi ketika kedua pihak masih berada di
majlis akad. Menurut qaul ashah Syafi’iyah, khiyar ini bersifat
otoritatif (qahri’). Dalam arti, eksistensinya dalam sebuah transaksi mu’awadlah
telah dilegitimasi syari’at yang tidak bisa dinafikan, sehingga menafikan
khiyar majlis dari akad mu’awadlah, akan berkonsekuensi membatalkan akad
itu sendiri. namun menurut qaul kedua, transaksi sah tanpa ada hak
khiyar, dan menurut qaul ketiga, transaksi sah dan tetap ada hak khiyar[9].
Khiyar majlis artinya si pembeli dan si
penjual boleh memilih antara dua perkara tadi selama keduanya masih tetap
berada ditempat jual beli. Khiyar majlis diperbolehkan dalam segala
macam jual beli.[10]
Sabda
Rasulullah SAW:
البيعان
بالخيار ما لم يتفرقا (رواه الشيخان)
” penjual dan pembeli boleh khiyar selama belum berpisah”
(riwayat bukhari dan muslim).
Khiyar majlis yaitu khiyar yang memperbolehkan bagi kedua belah pihak
untuk membatalkan akad setelah akad tersebut dinyatakan sah selama keduanya
secara umum masih dikatakan berada ditempat transaksi dan belum berpisah atau
keduanya belum memilih untuk melangsungkan akad. Jika salah satu pihak telah
memilih dan yang lain belum menentukan sikap maka hak yang lain untuk khiyar
dinyatakan gugur.[11]
B.
Khiyar Syarat
Khiyar syarat
yaitu hak pelaku transaksi untuk menentukan pilihan terbaik antara
melangsungkan atau mengurungkan transaksi yang berlaku atas dasar kesepakatan muta’aqidain
terhadap sebuah klausul (syarat) berupa batas waktu tertentu. Khiyar syarat tidak bersifat otoritatif (qahri)
sebagaimana khiyar majlis, melainkan bersifat opsional. Artinya, eksistensinya
dalam sebuah transaksi mu’awadlah bukan atas dasar legitimasi syara’ tetapi atas dasar inisiatif (iradah)
dari pelaku transaksi. Karena itu, khiyar syarat boleh ditiadakan dari sebuah
transaksi mu’awadlah.[12]
Khiyar syarat
artinya khiyar itu dijadikan syarat sewaktu akad oleh keduanya atau oleh
salah seorang, seperti kata si penjual, “ saya jual barang ini dengan harga
sekian dengan syarat khiyar dalam tiga hari atau kurang tiga hari , “
Khiyar syarat boleh
dilakukan dalam segala macam jual beli,
kecuali barang yang wajib di terima di tempat jual beli, seperti barang-barang riba. masa khiyar syarat paling lama hanya
tiga hari tiga malam, terhitung dari waktu akad.[13]
Sabda Rasulullah Saw:
انت
با الخيار في كل سلعة ابتعتها ثلاث ليال (رواه البيهقي وابن ماجه)
“ engkau boleh khiyar pada segala barang yang
telah engkau beli selama tiga hari malam . “ ( Riwayat Baihaqi dan Ibnu Majah )
Barang yang
terjual itu sewaktu dalam masa khiyar kepunyaan orang yang mensyaratkan khiyar,
kalau yang khiyar hanya salah seorang dari mereka. Tetapi kalau
kedua-duanya mensyaratkan khiyar, maka barang itu tidak di punyai oleh
seorang pun dari keduanya. Jika jual beli sudah tetap akan diteruskan, barulah
diketahui bahwa barang itu kepunyaan pembeli mulai dari masa akad. Tetapi jika
jual beli tidak diteruskan, barang itu tetap kepunyaan si penjual. Untuk
meneruskan jual beli atau tidaknya, hendaklah dengan lafaz yang jelas
menunjukan terus atau tidaknya jual beli.
Khiyar syarat yakni kedua belah pihak atau salah satu dari keduanya mensyaratkan
untuk membatalkan akad pada masa mulai dari pensyaratan hingga tiga hari
kemudian. Bila khiyar melebihi dari waktu tiga hari atau barang yang
diperjualbelikan termasuk barang yang cepat rusak dalam masa khiyar maka
akad dihukumi batal.[14]
C.
Khiyar Aib
Khiyar aib
yakni hak opsional antara melangsungkan atau mengurungkan transaksi ketika
komoditi didapati tidak sesuai dengan kondisi yang diharapkan dari suatu ikatan
kontrak (iltizam syarthiyyin), tidak sesuai kondisi standar umum (qadla’
‘urfiyyin), atau tidak sesuai akibat aksi manipulatif (taghrir fi’liyyin).[15]
Hak khiyar ini
bersifat otoritatif (qahri). Artinya, opsi antara melangsungkan atau
membatalkan transaksi atas dasar legitimasi syar’i seperti khiyar majlis, bukan atas dasar inisiatif atau kesepakatan
pelaku transaksi seperti khiyar syarat.
Khiyar aib
artinya si pembeli boleh mengembalikan barang yang dibelinya apabila pada
barang itu terdapat suatu cacat yang mengurangi kualitas barang itu, atau
mengurangi harganya, sedangkan biasanya barang yang seperti itu baik; dan
sewaktu akad cacatnya itu sudah ada, tetapi si pembeli tidak tahu; atau terjadi
sudah akad, yaitu sebelum diterimanya. Keterangannya adalah ijma’ (sepakat
ulama mujtahid).
روت عائشة رضى الله عنها ان رجلا ابتاع غلاما فاقام
عنده ماشاء الله ثم وجدبه عيبا فخا صمه الى النبى صلى الله عليه وسلم فرده عليه
(رواه أحمد و أبو داود و الترمذى)
“ Aisyah telah
meriwayatkan, bahwasannya seorang laki-laki telah membeli seorang budak, budak
itu tinggal beberapa lama dengan dia, kemudian kedapatan bahwa budak itu ada
cacatnya, lalu dia adukan perkaranya kepada Rasulullah Saw. Keputusan dari
beliau, budak iyu dikembalikan kepada si penjual. ( RIWAYAT Ahmad, Abu
Daud, dan Tirmizi )[16]
Adapun cacat
yang terjadi sesudah akad sebelum barang diterima, maka barang yang dijual
sebelum diterima oleh si pembeli masih dalam tanggungan si penjual. Kalau
barang ada di tangan si pembeli, boleh dikembalikan serta diminta kembali
uangnya. Akan tetapi, kalau barang itu tidak ada lagi; umpanya yang dibeli itu
kambing, sedangkan kambingnya sudah mati; atau yang dibeli tanah, sedangkan
tanah itu sudah diwakafkannya, sesudah itu si pembeli baru mengetahui bahwa
yang dibelinya itu ada cacat nya, maka dia berhak meminta ganti kerugian saja
sebanyak kekurangan harga barang sebab adanya cacat itu.
Barang yang
bercacat itu hendaknya segera dikembalikan, karna melalaikan hal ini berarti
ridho pada barang yang bercacat, kecuali kalau ada halangan. Yang dimaksud
dengan “segera” disini adalah menurut kebiasaan yang berlaku. Kalau si penjual
tidak ada (sedang berpergian), hendaklah jangan dipakai lagi. Jika dia pakai
juga, hilanglah hak nya untuk mengembalikan barang itu, dan hak meminta ganti
rugi pun hilang pula.
Barang yang
dikembalikan karna cacat tadi, apabila ada tambahannya sewaktu di tangan si
pembeli, sedangkan tambahannya itu tidak dapat dipisahkan; misalnya binatang
yang dibeli itu tadinya kurus, sekarang sudah gemuk, maka tambahan itu
hendaklah dikembalikan juga bersama binatangnya, berarti si pembeli tidak boleh
meminta ganti rugi. Akan tetapi, apabila tambahan itu dapat dipisahkan;
misalkan anaknya,atau sewanya yang menghasikan ditangan si pembeli, maka
tambahan ini menjadi keuntungan si pembeli, berarti tidak ikut dikembalikan.
Sebaliknya kalau tambahan itu terjadi dari uang (harga barang), maka menjadi
keuntungan si penjual. Berarti hasil uang itu semasa ditangan si penjual, kalau
jual beli tidak diteruskan, tetap menjadi hak si penjual (tidak ikut bersama
uang harga yang dikembalikan kepada si pembeli). Hukum ini berlaku kalau barang
dikembalikan sesudah diterima.
Sabda junjungan
kita, telah diriwayatkan bahwa seorang laki-laki telah mengadukan keadaannya
kepada Rasulullah Saw. Ia mengadu bahwa dia telah membeli barang yang bercacat.
Hasil pertimbangan beliau, barang itu dikembalikan kepada si penjual. Setelah
laki-laki itu mendengar keputusan tersebut, lalu dia bertanya,” barang itu
sudah saya pakai beberapa lama, apakah saya harus membayar sewanya atau tidak?
Jawab
Rasulullah Saw.;
الخراج
باالضمان (رواه االترمذى)
“Buah (hasil)
sesuatu adalah tanggungan si pembeli.” (RIWAYAT Tirmizi)
Jadi, apabila
barang itu hilang dari tangannya, dia harus mengganti, karena dia yang
bertanggung jawab atas barang yang berada di tangannya.
KESIMPULAN
Khiyar dalam arti bahasa berasal dari akar kata: khara-yakhiru-khairan-wa
khiyaratan (خار – يخير – خيرا – وخيارة ) yang sinonimnya: اعطاه
ماهوخيرله , yang artinya: “memberikan
kepadanya suatu yang lebih baik baginya”. Menurut istilah kalangan ulama
fiqih yaitu mencari yang baik dari dua urusan baik berupa meneruskan akad atau
membatalkannya. Sayyid Sabiq memberikan deifinisi khiyar sebagai berikut.
الخيار
هو طلب خير الآمرين من الإمضاء او الإلغاء
Artinya: khiyar dalah
menunut yang terbaik dari dua perkara,
berupa meneruskn (akad jual jual beli) atau membatalkannya.
Khiyar hukumnya
boleh berdasarkan sunnah Rasulullah Saw. Diantara sunah tersebut adalah hadits
yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari Abdullah bin Harits:
عن
عبد اللّه بن الحارث قال: سمعت حكيم بن حزام رضي اللّه عنه عن النبي صلى اللّه
عليه وسلم قال: البيعان بالخيار مالم يتفرقا، فان صدقا وبينا بورك لهما بيعهما وان
كذبا وكتما محقت بركة بيعهما (رواه البحاري)
Artinya: Dari
Abdullah bin Harits ia berkata: saya mendengar Hakim bin Hizam r.a dari Nabi
Saw beliau bersabda: “penjual dan pembeli boleh melakukan khiyar selama
mereka berdua belum berpisah. Apabila mereka berdua benar dan jelas, maka
mereka berdua diberi keberkahan didalam jual beli mereka, dan apabila mereka
berdua berbohong dan merasiakan, maka dihapuslah keberkahan jual beli mereka
berdua. (HR. Al-bukhari).
Secara garis besar khiyar diklasifikasikan
menjad tiga:
1.
Khiyar
syarat
2.
Khiyar
majlis
3.
Khiyar
aib
DAFTAR PUSTAKA
Gemala Dewi, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, (Jakarta; Prenada Media. Cet. Ke-1, 2005).
Jusmaliani, Bisnis Berbasis Syariah, (Jakarta: Bumi Aksara,
2008).
Sudarsono, Pokok-pokok hukum Islam,( Jakarta: Rineka Cipta,
1992).
Syekh Muhammad Yusuf Qardhawi,
Al-Halal Wa Haram Fil Islam, Ter. Mu’amalah Hamidy, “Halal dan
Haram Dalam Islam”,( Jakarta: Bina Ilmu, 1993).
Ya’qub Hamzah, Fiqh Islam
Mu’amalah, (Jakarta; Pustaka Buku, 2015).
[1] Hamzah Ya’kub, Fiqh Islam Mu’amalah, (Jakarta;
Pustaka Buku, 2015), hal. 156
[4] Gemala Dewi, Hukum
Perikatan Islam di Indonesia, (Jakarta;
Prenada Media. Cet. Ke-1, 2005), hal.80.
[5] Jusmaliani
dkk, Bisnis Berbasis Syariah, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), hal.14.
[6] Syekh Muhammad
Yusuf Qardhawi, Al-Halal Wa Haram Fil
Islam, Ter. Mu’amalah Hamidy, “Halal dan Haram Dalam Islam”, (Jakarta: Bina Ilmu, 1993), hal. 348.
[8] Sudarsono, Pokok-pokok
hukum Islam, Jakarta: Rineka Cipta, 1992, hal.408.
[9] Tim Laskar
Pelangi, Metodologi fiqih mu’amalah.(kediri: lirboyo pres), Hal.64
[10] H. Sulaiman
rasjid, fiqh islam, (bandung: sinar baru algensindo, 2012), Hal. 286
[11] Tim kajian
ilmiah Ahla_shoffah, Kamus fiqh. (kediri,lirboyo press,2013),Hal. 319
[12] Tim Laskar
Pelangi, Metodologi fiqih mu’amalah.(kediri: lirboyo pres),
Hal. 69
[13] H. Sulaiman
rasjid, fiqh islam, (bandung: sinar baru algensindo, 2012), Hal. 287
[14] Kmus fiqh.
Hlm. 319
[15] Tim Laskar
Pelangi, Metodologi fiqih mu’amalah.(kediri: lirboyo pres), hal.76
[16] H. Sulaiman
rasjid, fiqh islam, (bandung: sinar baru algensindo, 2012), hal. 287