Monday, November 5, 2018

KHIYAR DAN KLASIFIKASINYA

 Oleh:
Muhammad Nur Muzakki

Abstrak
Makalah ini mengungkap tentang Khiyar (hak opsional) yang mengenai dalil khiyar, definisi khiyar, dan klasifikasi khiyar. Berdagang merupakan sunnah Rasulullah yang harus diikuti oleh umatnya. Beliau telah memberikan suri tauladan dengan mengandalkan kejujuran dan kepercayaan meraih kesuksesan dalam berdagang. Dalam berdagang dibutuhkan sebuah etika agar terciptanya kepuasan dan kerelaan kedua pihak, karna sering kali pembeli merasa kurang puas dengan barang yang dibeli karena ada cacat ataupun kerusakan yang tidak diketahui sebelumnya dalam barang. Oleh karna itu diperlukan kesepakatan antara penjual dan pembeli dalam melangsungkan proses jual beli apabila terdapat masalah seperti ini.  
Keyword : Dalil, Definisi, Klafikasi
                                                                         
A.    Pendahuluan
Dalam Islam pada hakikatnya Rasulallah SAW. di utus keatas muka bumi adalah sebagai uswat al-hasanat rahmat lil-alamin. Semua sunnah Rasulullah SAW. menjadi panduan utama setelah Al-Qur’an bagi berbagai aspek kehidupan manusia terutama aspek pendidikan. Dan salah satu yang terlihat pada diri Rasuullah SAW adalah ketika berhijrah ke Madinah, dan salah satu dakwah Rasulullah SAW adalah di pasar yang ditempati panjual dan pembeli. Maka dari adanya penjual dan pembeli tersebut, maka terjadilah transaksi jual beli yang melibatkan istilah pilihan terhadap barang yang akan diperjual belikan.
Dalam Islam istilah pilihan biasa di sebut khiyar. Yang mana khiyar ini merupakan salah satu hak yag harus dimiliki antara penjual dan pembeli. Dengan demikian proses jual beli akan berlangsung dengan prasaan yang aman dan nyaman. Maka dari itu, Rasulullah SAW mencontohkan kepada setiap manusia yang di muka bumi pada masa-masanya untuk selalu berjalan sesuai syariat yang telah ditentukan oleh Allah SWT.
Berdasarkan uraian di atas, maka makalah dirumuskan kedalam beberapa penjelasan, yaitu; (1) bagaimana dalil khiyar; (2) bagaimana definisi khiyar; (3) bagaiamana klafikasi khiyar.
Oleh sebab itu, makalah ini (1) mengulas dalil khiyar; (2) mengulas definisi khiyar; (3) mengulas klafikasi khiyar.

1.      Dalil
Berdasarkan prinsip wajib menegakan kejujuran dan kebenaran dalam perdagangan, maka haram bagi penjual menyembunyikan cacat barang. Apabila dalam barang yang akan dijual itu terdapat cacat maka yag diketahui oleh pemilik barang (penjual), maka wajiblah dia menerangkan hal itu dan tidak boleh menyembunyikannya. Menyembunyikan cacat barang dengan sengaja termasuk penipuan dan kecurangan.[1]
Khiyar hukumnya boleh berdasarkan sunnah Rasulullah Saw. Diantara sunah tersebut adalah hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari Abdullah bin Harits:
عن عبد اللّه بن الحارث قال: سمعت حكيم بن حزام رضي اللّه عنه عن النبي صلى اللّه عليه وسلم قال: البيعان بالخيار مالم يتفرقا، فان صدقا وبينا بورك لهما بيعهما وان كذبا وكتما محقت بركة بيعهما (رواه البحاري)
Artinya: Dari Abdullah bin Harits ia berkata: saya mendengar Hakim bin Hizam r.a dari Nabi Saw beliau bersabda: “penjual dan pembeli boleh melakukan khiyar selama mereka berdua belum berpisah. Apabila mereka berdua benar dan jelas, maka mereka berdua diberi keberkahan didalam jual beli mereka, dan apabila mereka berdua berbohong dan merasiakan, maka dihapuslah keberkahan jual beli mereka berdua. (HR. Al-bukhari).[2]

Disamping itu ada hadits lain yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari Ibnu Umar:
عن ابن عمر رضي اللّه عنهما قال: قال النبي صلى اللّه عليه وسلم: البيعان بالخيار مالم يتفرق, او يقول احدهما لصاحبه: اختر. وربما قال: اويكون بيع خيار. (رواه بخارى)
Artinya: Dari Ibnu Umar r.a ia berkata: Telah bersabda Nabi Saw: Penjual dan pembeli boleh melakukan khiyar selagi keduanya belum berpisah, atau salah seorang mengatakan pada temannya: Pilihlah. Dan kadang-kadang beliau bersabda: atau terjadi jual beli khiyar. (HR. Al-Bukhari).[3]

Dari hadits tersebut jelaslah bahwa Khiyar dalam akad jual beli hukumnya dibolehkan. Apabila dalam barang yang dibeli terdapat cacat (‘aib) yang bisa merugikan kepada pihak pembeli. Hak khiyar ditetapkan oleh syariat islam bagi orang-orang yang melakukan transaksi terdata agar tidak dirugikan dalam transaksi yang mereka lakukan, sehingga kemaslahatan yang dituju dalam suatu transaksi tercapai dengan sebaik-baiknya. Status khiyar, menurut ulama fiqh adalah disyariatkan atau dibolehkan karena masing-masing pihak yang melakukan transaksi supaya tidak ada pihak yang merasa tertipu.[4]

Dalil yang mendasari legislasi khiyar adalah Hadits dan Ijma’.
البيعان با الخيار ماا لم يتفرّقا اوْ يقوْل أحدهمَا لِلْآخرِاخترْ (رواه الشيخان)
Artinya:“Penjual dan pembei memiliki pilihan sebelum keduanya berpisah, atau salah satunya megatakan pada yang lain, pilihlah! (HR. Bukhari dan Muslim)
 عن ابن عمر قال : سمعْت رجلا من الْانْصارِ وكانتْ بلسانه لوثة يشكو إلي رسول الله  صلى الله عليه وسلم أنه لا يزال يغْبنُ فى الْبيْع فقال له رسول الله صلى الله عليه وسلم : اذا بايعت فقل لا خلابة ثم انت بالخيار في كل سلعة ابتعتها ثلاث ليال فان رضيت فأمسك وان سخطت فاردد  (رواه البيهقى)
Artinya:“Dari Ibn Umar ra. Berkata seorang sahabat Anshar yang lugu mengadu kepada Rasulullah Saw., bahwa ia selalu dirugikan dalam jual beli, maka katakan, “tidak ada manipulasi!”, selanjutnya kamu berhak menentukan pilihan pada setiap barang yang kamu beli selama tiga malam. Jika kamu berminat, ambil, jika tidak, kembalikan”. (HR. Albaihaqi).

2.      Definisi Khiyar
Dalam perspektif islam, jelas bahwa acuan kejujuran dalam berdagang harus diletakan dalam kerangka ukuran-ukuran yang bersumber dari ajaran Islam, yakni al-Qur’an dan Hadits. Karena itu, sistem nilai yang islami mendasari perilaku perdagangan masalah penting untuk diungkapkan. Dari perspektif islam tersebut, perdagangan ternyata memiliki dua dimensi, yakni dimensi duniawi dan dimensi ukhrawi. Perdangan yang dijalankan berlandaskan nilai-nilai islam dalam penelaahan ini dipahami sebagai yang berdimensi ukhrawi, dan demikian sebaliknya berdimensi duniawi apabila suatu aktivitas perdagangan terlepas dari nilai-nilai islam yang dimaksud.[5]
Allah menciptakan manusia dengan suatu sifat saling membutuhkan antara satu dengan lainnya. Tidak ada seorang pun yang dapat menguasai seluruh apa yang diinginkan. Tetapi manusia hanya dapat mencapai sebagian yang diharapkan itu. Dia mesti memerlukan apa yang menjadi kebutuhan orang lain. Untuk itu Allah memberikan inspirasi kepada mereka untuk mengadakan penukaran perdagangan dan semua yang kiranya dapat bermanfaat dengan cara jual beli dan semua hubungan yang lain. Sehingga hidup manusia dapat berdiri dengan baik dan proses hidup ini berjalan dengan baik.
Nabi Muhammad SAW diutus, sedang waktu itu bangsa Arab memiliki  aneka macam perdagangan dan penukaran. Oleh karna itu, sebagian yang mereka lakukan dibenarkan oleh Nabi sepanjang tidak bertentagan dengan syariat yang di bawanya. Sedang sebagian lain dilarang yang kiranya tidak sesuai dengan tujuan dan jiwa syariat. Larangan ini berkisar dalam beberapa sebab, diantaranya:
a.       Karena ada usaha untuk membantu perbuatan maksiat.
b.      Karena ada unsur penipuan.
c.       Karena ada unsur pemaksaan.[6]
Untuk dapat mengaplikasikan nilai positif dan menghindarkan dari perbuatan-perbuatan yang negatif dalam perdagangan, sangat perlu kiranya untuk menerapkan prinsip-prinsip yang berlandaskan pada nilai-nilai Islam, khususnya dalam perdagangan yang modern seperti sekarang ini yang sangat rentan terhadap aksi penipuan. Sangat perlu adanya hak khiyar antara penjual dan pembeli tidak merasa dirugikan atau  tertipu dari jual beli yang telah dibeli.
Khiyar dalam arti bahasa berasal dari akar kata: khara-yakhiru-khairan-wa khiyaratan (خار – يخير – خيرا – وخيارة ) yang sinonimnya: اعطاه ماهوخيرله , yang artinya: “memberikan kepadanya suatu yang lebih baik baginya”. Menurut istilah kalangan ulama fiqih yaitu mencari yang baik dari dua urusan baik berupa meneruskan akad atau membatalkannya.[7] Sayyid Sabiq memberikan deifinisi khiyar sebagai berikut.
الخيار هو طلب خير الآمرين من الإمضاء او الإلغاء
Artinya: khiyar dalah menunut  yang terbaik dari dua perkara, berupa meneruskn (akad jual jual beli) atau membatalkannya.
Khiyar itu dimaksud untuk menjamin adanya kebebasan berfikir antara pembeli anatar pembeli dan penjual atau salah seorang yang membutuhkan khiyar. Akan tetapi oleh karena dengan sistem khiyar ini adakalanya  menimbulkan penyelesalan kepada salah seorang dari pembeli atau penjual yaitu jika pedagang mengharap barangnya segera laku, tentu tidak senang kalau barangnya dikembalikan lagi sesudah jual beli atau kalau pembeli sangat mengharapkan mendapat barang yang dibelinya, tentu tidak senang hati kalau uangnya dikembalikan lagi sesudah akad jual beli. Maka karena itu, untuk menetapkan syahnya ada khiyar harus ada ikrar dari kedua belah pihak atau salah satu pihak yang diterima oleh pihak lainnya atau kedua pihaknya, kalau kedua belah pihak menghendakinya.[8]
Dari difinisi yang telah dikemukakan di atas dapat diambil intisari bahwa khiyar adalah pilihan untuk melanjutkan jual beli atau membatalkannya, karena terdapat cacat terhadap barang yang dijual, atau ada perjanjian pada waktu akad, atau karena sebab yang lain. Tujuan diadakannya khiyar tersebut adalah untuk mewujudkan kemaslahatan bagi kedua belah pihak sehingga tidak ada rasa menyesal setelah akad selesai, karena mereka sama-sama rela dan setuju.

3.        Klasifikasi Khiyar
A.       Khiyar Majlis
Khiyar majlis ialah hak pelaku transaksi untuk menentukan pilihan terbaik antara melangsungkan atau mengurungkan transaksi ketika kedua pihak masih berada di majlis akad. Menurut qaul ashah Syafi’iyah, khiyar ini bersifat otoritatif (qahri’). Dalam arti, eksistensinya dalam sebuah transaksi mu’awadlah telah dilegitimasi syari’at yang tidak bisa dinafikan, sehingga menafikan khiyar majlis dari akad mu’awadlah, akan berkonsekuensi membatalkan akad itu sendiri. namun menurut qaul kedua, transaksi sah tanpa ada hak khiyar, dan menurut qaul ketiga, transaksi sah dan tetap ada hak khiyar[9].
 Khiyar majlis artinya si pembeli dan si penjual boleh memilih antara dua perkara tadi selama keduanya masih tetap berada ditempat jual beli. Khiyar majlis diperbolehkan dalam segala macam jual beli.[10]
Sabda Rasulullah SAW:
البيعان بالخيار ما لم يتفرقا (رواه الشيخان)
penjual dan pembeli boleh khiyar selama belum berpisah” (riwayat bukhari dan muslim).
Khiyar majlis yaitu khiyar yang memperbolehkan bagi kedua belah pihak untuk membatalkan akad setelah akad tersebut dinyatakan sah selama keduanya secara umum masih dikatakan berada ditempat transaksi dan belum berpisah atau keduanya belum memilih untuk melangsungkan akad. Jika salah satu pihak telah memilih dan yang lain belum menentukan sikap maka hak yang lain untuk khiyar dinyatakan gugur.[11]

B.       Khiyar Syarat
Khiyar syarat yaitu hak pelaku transaksi untuk menentukan pilihan terbaik antara melangsungkan atau mengurungkan transaksi yang berlaku atas dasar kesepakatan muta’aqidain terhadap sebuah klausul (syarat) berupa batas waktu tertentu.   Khiyar syarat tidak bersifat otoritatif (qahri) sebagaimana khiyar majlis, melainkan bersifat opsional. Artinya, eksistensinya dalam sebuah transaksi mu’awadlah bukan atas dasar legitimasi  syara’ tetapi atas dasar inisiatif (iradah) dari pelaku transaksi. Karena itu, khiyar syarat boleh ditiadakan dari sebuah transaksi mu’awadlah.[12]
Khiyar syarat artinya khiyar itu dijadikan syarat sewaktu akad oleh keduanya atau oleh salah seorang, seperti kata si penjual, “ saya jual barang ini dengan harga sekian dengan syarat khiyar dalam tiga hari atau kurang tiga hari , “
Khiyar  syarat boleh dilakukan dalam segala macam jual beli,  kecuali barang yang wajib di terima di tempat jual beli,  seperti barang-barang riba.  masa khiyar syarat paling lama hanya tiga hari tiga malam, terhitung dari waktu akad.[13]
Sabda Rasulullah Saw:
انت با الخيار في كل سلعة ابتعتها ثلاث ليال (رواه البيهقي وابن ماجه)
 “ engkau boleh khiyar pada segala barang yang telah engkau beli selama tiga hari malam . “ ( Riwayat  Baihaqi dan Ibnu Majah )
Barang yang terjual itu sewaktu dalam masa khiyar kepunyaan orang yang mensyaratkan khiyar, kalau yang khiyar hanya salah seorang dari mereka. Tetapi kalau kedua-duanya mensyaratkan khiyar, maka barang itu tidak di punyai oleh seorang pun dari keduanya. Jika jual beli sudah tetap akan diteruskan, barulah diketahui bahwa barang itu kepunyaan pembeli mulai dari masa akad. Tetapi jika jual beli tidak diteruskan, barang itu tetap kepunyaan si penjual. Untuk meneruskan jual beli atau tidaknya, hendaklah dengan lafaz yang jelas menunjukan terus atau tidaknya jual beli.
Khiyar syarat yakni kedua belah pihak atau salah satu dari keduanya mensyaratkan untuk membatalkan akad pada masa mulai dari pensyaratan hingga tiga hari kemudian. Bila khiyar melebihi dari waktu tiga hari atau barang yang diperjualbelikan termasuk barang yang cepat rusak dalam masa khiyar maka akad dihukumi batal.[14]

C.      Khiyar Aib
Khiyar aib yakni hak opsional antara melangsungkan atau mengurungkan transaksi ketika komoditi didapati tidak sesuai dengan kondisi yang diharapkan dari suatu ikatan kontrak (iltizam syarthiyyin), tidak sesuai kondisi standar umum (qadla’ ‘urfiyyin), atau tidak sesuai akibat aksi manipulatif (taghrir fi’liyyin).[15]
Hak khiyar ini bersifat otoritatif (qahri). Artinya, opsi antara melangsungkan atau membatalkan transaksi atas dasar legitimasi syar’i seperti khiyar majlis,  bukan atas dasar inisiatif atau kesepakatan pelaku transaksi seperti khiyar syarat.
Khiyar aib artinya si pembeli boleh mengembalikan barang yang dibelinya apabila pada barang itu terdapat suatu cacat yang mengurangi kualitas barang itu, atau mengurangi harganya, sedangkan biasanya barang yang seperti itu baik; dan sewaktu akad cacatnya itu sudah ada, tetapi si pembeli tidak tahu; atau terjadi sudah akad, yaitu sebelum diterimanya. Keterangannya adalah ijma’ (sepakat ulama mujtahid).
روت عائشة رضى الله عنها ان رجلا ابتاع غلاما فاقام عنده ماشاء الله ثم وجدبه عيبا فخا صمه الى النبى صلى الله عليه وسلم فرده عليه (رواه أحمد و أبو داود و الترمذى)
Aisyah telah meriwayatkan, bahwasannya seorang laki-laki telah membeli seorang budak, budak itu tinggal beberapa lama dengan dia, kemudian kedapatan bahwa budak itu ada cacatnya, lalu dia adukan perkaranya kepada Rasulullah Saw. Keputusan dari beliau, budak iyu dikembalikan kepada si penjual. ( RIWAYAT Ahmad, Abu Daud, dan Tirmizi )[16]
Adapun cacat yang terjadi sesudah akad sebelum barang diterima, maka barang yang dijual sebelum diterima oleh si pembeli masih dalam tanggungan si penjual. Kalau barang ada di tangan si pembeli, boleh dikembalikan serta diminta kembali uangnya. Akan tetapi, kalau barang itu tidak ada lagi; umpanya yang dibeli itu kambing, sedangkan kambingnya sudah mati; atau yang dibeli tanah, sedangkan tanah itu sudah diwakafkannya, sesudah itu si pembeli baru mengetahui bahwa yang dibelinya itu ada cacat nya, maka dia berhak meminta ganti kerugian saja sebanyak kekurangan harga barang sebab adanya cacat itu.
Barang yang bercacat itu hendaknya segera dikembalikan, karna melalaikan hal ini berarti ridho pada barang yang bercacat, kecuali kalau ada halangan. Yang dimaksud dengan “segera” disini adalah menurut kebiasaan yang berlaku. Kalau si penjual tidak ada (sedang berpergian), hendaklah jangan dipakai lagi. Jika dia pakai juga, hilanglah hak nya untuk mengembalikan barang itu, dan hak meminta ganti rugi pun hilang pula.
Barang yang dikembalikan karna cacat tadi, apabila ada tambahannya sewaktu di tangan si pembeli, sedangkan tambahannya itu tidak dapat dipisahkan; misalnya binatang yang dibeli itu tadinya kurus, sekarang sudah gemuk, maka tambahan itu hendaklah dikembalikan juga bersama binatangnya, berarti si pembeli tidak boleh meminta ganti rugi. Akan tetapi, apabila tambahan itu dapat dipisahkan; misalkan anaknya,atau sewanya yang menghasikan ditangan si pembeli, maka tambahan ini menjadi keuntungan si pembeli, berarti tidak ikut dikembalikan. Sebaliknya kalau tambahan itu terjadi dari uang (harga barang), maka menjadi keuntungan si penjual. Berarti hasil uang itu semasa ditangan si penjual, kalau jual beli tidak diteruskan, tetap menjadi hak si penjual (tidak ikut bersama uang harga yang dikembalikan kepada si pembeli). Hukum ini berlaku kalau barang dikembalikan sesudah diterima.
Sabda junjungan kita, telah diriwayatkan bahwa seorang laki-laki telah mengadukan keadaannya kepada Rasulullah Saw. Ia mengadu bahwa dia telah membeli barang yang bercacat. Hasil pertimbangan beliau, barang itu dikembalikan kepada si penjual. Setelah laki-laki itu mendengar keputusan tersebut, lalu dia bertanya,” barang itu sudah saya pakai beberapa lama, apakah saya harus membayar sewanya atau tidak?
Jawab Rasulullah Saw.;
الخراج باالضمان (رواه االترمذى)
Buah (hasil) sesuatu adalah tanggungan si pembeli.” (RIWAYAT Tirmizi)
Jadi, apabila barang itu hilang dari tangannya, dia harus mengganti, karena dia yang bertanggung jawab atas barang yang berada di tangannya.







KESIMPULAN
Khiyar dalam arti bahasa berasal dari akar kata: khara-yakhiru-khairan-wa khiyaratan (خار – يخير – خيرا – وخيارة ) yang sinonimnya: اعطاه ماهوخيرله , yang artinya: “memberikan kepadanya suatu yang lebih baik baginya”. Menurut istilah kalangan ulama fiqih yaitu mencari yang baik dari dua urusan baik berupa meneruskan akad atau membatalkannya. Sayyid Sabiq memberikan deifinisi khiyar sebagai berikut.
الخيار هو طلب خير الآمرين من الإمضاء او الإلغاء
Artinya: khiyar dalah menunut  yang terbaik dari dua perkara, berupa meneruskn (akad jual jual beli) atau membatalkannya.
Khiyar hukumnya boleh berdasarkan sunnah Rasulullah Saw. Diantara sunah tersebut adalah hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari Abdullah bin Harits:
عن عبد اللّه بن الحارث قال: سمعت حكيم بن حزام رضي اللّه عنه عن النبي صلى اللّه عليه وسلم قال: البيعان بالخيار مالم يتفرقا، فان صدقا وبينا بورك لهما بيعهما وان كذبا وكتما محقت بركة بيعهما (رواه البحاري)
Artinya: Dari Abdullah bin Harits ia berkata: saya mendengar Hakim bin Hizam r.a dari Nabi Saw beliau bersabda: “penjual dan pembeli boleh melakukan khiyar selama mereka berdua belum berpisah. Apabila mereka berdua benar dan jelas, maka mereka berdua diberi keberkahan didalam jual beli mereka, dan apabila mereka berdua berbohong dan merasiakan, maka dihapuslah keberkahan jual beli mereka berdua. (HR. Al-bukhari).
Secara garis besar khiyar diklasifikasikan menjad tiga:
1.      Khiyar syarat
2.      Khiyar majlis
3.      Khiyar aib









DAFTAR PUSTAKA

Gemala Dewi, Hukum Perikatan Islam di Indonesia,  (Jakarta; Prenada Media. Cet. Ke-1, 2005).
Jusmaliani, Bisnis Berbasis Syariah, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008).

Sudarsono, Pokok-pokok hukum Islam,( Jakarta: Rineka Cipta, 1992).

Syekh Muhammad Yusuf Qardhawi,  Al-Halal Wa Haram Fil Islam, Ter. Mu’amalah Hamidy, “Halal dan Haram Dalam Islam”,( Jakarta: Bina Ilmu, 1993).

Ya’qub Hamzah,  Fiqh Islam Mu’amalah, (Jakarta; Pustaka Buku, 2015).








[1] Hamzah Ya’kub,  Fiqh Islam Mu’amalah, (Jakarta; Pustaka Buku, 2015), hal. 156
                                                                                                               

[4] Gemala Dewi, Hukum Perikatan Islam di Indonesia,  (Jakarta; Prenada Media. Cet. Ke-1, 2005), hal.80.
[5] Jusmaliani dkk, Bisnis Berbasis Syariah, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), hal.14.
[6] Syekh Muhammad Yusuf Qardhawi,  Al-Halal Wa Haram Fil Islam, Ter. Mu’amalah Hamidy, “Halal dan Haram Dalam Islam”, (Jakarta: Bina Ilmu, 1993), hal. 348.

[8] Sudarsono, Pokok-pokok hukum Islam, Jakarta: Rineka Cipta, 1992, hal.408.
[9] Tim Laskar Pelangi, Metodologi fiqih mu’amalah.(kediri: lirboyo pres), Hal.64
[10] H. Sulaiman rasjid, fiqh islam, (bandung: sinar baru algensindo, 2012), Hal. 286
[11] Tim kajian ilmiah Ahla_shoffah, Kamus fiqh. (kediri,lirboyo press,2013),Hal. 319
[12] Tim Laskar Pelangi, Metodologi fiqih mu’amalah.(kediri: lirboyo pres),  Hal. 69
[13] H. Sulaiman rasjid, fiqh islam, (bandung: sinar baru algensindo, 2012), Hal. 287
[14] Kmus fiqh. Hlm. 319
[15] Tim Laskar Pelangi, Metodologi fiqih mu’amalah.(kediri: lirboyo pres), hal.76
[16] H. Sulaiman rasjid, fiqh islam, (bandung: sinar baru algensindo, 2012),  hal. 287

MAHJUR ‘ALAIH DAN KLASIFIKASINYA

Oleh:
Muhammad Nur Muzakki

 (Sekolah Tinggi Ilmu Syariah Nahdlatul Ulama Nusantara Tangerang)


Abstrak
Islam adalah agama yang sempurna semua aturan hidup di bahas secara rinci untuk dijadikan pedoman hidup bagi umat Islam, dari lahirnya Islam hingga di zaman sekarang ini ajaran Islam tetap fleksibel dengan perkembangan zaman dan akhirnya itu menuntut kita sebagai umat Islam untuk terus memperdalam ilmu keislaman kita. Dalam kehidupan sosial pasti kita akan selalu berhadapan dengan masalah-masalah fiqih muamalah khususnya pembahasan tentang Mahjur ‘Alaih ( Hajru / alhajr ) dan klasifikasinya, maksudnya siapakah orang-orang yang termasuk golongan dari Mahjur ini, yang merupakan orang – orang yang telah terhalang untuk mengelola hartanya sendiri dikarenakan sebab-sebab tertentu atau mencegah hak tasarufnya / hak mengelola harta. Dalam masa pengampunan ini ada batas waktunya sampai ada pernyataan bahwa orang-orang yang masuk golongan pengampunan ini berakhir, dinyatakan layak atau cakap untuk kembali mengelola hartanya kembali menurut wali atau hakim. Masalah ini menjadi penting dibahas karena Mahjur ‘Alaih ini kurang populer dibandingkan dengan masalah fiqih muamalah lainnya jarang sekali masalah ini dibahas secara khusus, Mahjur harus kita ketahui hukum- hukumnya agar masalah ini tidak dimanfaatkan untuk kepentingan orang-orang tertentu. Dalam pembahasan ini akan dijelaskan definisi Mahjur ‘Alaih, Klasifikasi Mahjur ‘Alaih dan Dalil Alquran yang menjadi dasar hukum dari Mahjur ‘Alaih.

Kata kunci: Definisi Mahjur ‘Alaih, Klasifikasi Mahjur ‘Alaih, Dalil Mahjur

A.      Pendahuluan
Seiring perkembangan zaman saat ini di semua bidang berkembang dengan sangat cepat dan memunculkan beraneka ragam masalah dan rumit dengan berbagai permasalahan sosial di sekitar kita. Terutama dalam bidang fiqih muamalah untuk itulah menuntut kita sebagai umat Islam untuk lebih bisa dan pandai menyelesaikan semua persoalan dengan benar sesuai syariah Islam, khususnya tentang kehidupan bermasyarakat. Semaksimal mungkin kita sebagai umat Islam mampu menguasai tentang ilmu Fiqih Muamalah, agar bisa menyelesaikan semua permasalahan ini sesuai syariah.
Agama Islam telah mengatur bagaimana kita sebagai manusia bersikap dalam pergaulan sosial agar tercipta masyarakat yang teratur sesuai aturan-aturan Allah SWT. Aturan-aturan atau hukum Allah SWT. untuk mengatur manusia dalam kaitannya dengan urusan duniawi, pergaulan sosial, dan mengatur hubungan manusia dengan manusia lain dalam hidup ini adalah salah satu ilmu Fiqih yang harus diketahui oleh kita sebagai umat Islam yaitu Fiqih Muamalah.
Salah satu hal yang harus kita ketahui dari Fiqih Muamalah yaitu Mahjur ‘Alaih dan Klasifikasinya. Bagaimana solusi untuk masalah Mahjur A’laih ini yaitu bagaimana seseorang yang menurut syara terhalang atau tercegah dari hak pengelolaan hartanya dikarenakan orang tersebut termasuk dari sembilan (9) klasifikasi Mahjur ‘Alaih dan ada hal-hal tertentu yang mengharuskan adanya pencegahan. Diharapkan kita bisa menrealisasikan tentang Mahjur ‘Alaih ini dalam kehidupan sehari-hari sesuai dengan hukum syariah Islam. Tema masalah sosial tentang Mahjur ‘Alaih ini memang tidak sepopuler masalah Fiqih Muamalah lain seperti bidang ekonomi yaitu hukum transaksi jual beli dan perbankan syariah yang begitu marak akhir-akhir ini, tapi masalah inipun sangat penting untuk kita ketahui tentang bagaimana klasifikasi Mahjur ‘Alaih dan bagaimana Islam menyelesaikan persoalan ini.

B.       Pembahasan
1.         Definisi dari Mahjur ‘Alaih.
Kata “Hajru” menurut bahasa artinya “mencegah”. Sedangkan menurut syara’ ialah mencegah seseorang dari mengelola hartanya, berbeda mengelola selain hartanya seperti thalaq, maka thalaq yang keluar dari orang yang bodoh akan tetap jalan.[1]
Secara etimologi hajr atau hijr ialah mencegah, menghalangi, atau mempersempit, sedangkan secara terminology hajr ialah membekukan tasaruf seseorang atas hartanya, karena sebab-sebab tertentu.[2]  Mahjur berasal dari kata al-hajr, Hujranan atau hajara arti secara bahasa adalah al-man’u (terlarang, terdinding, tercegah, dan terhalang). Menurut Muhamad al-Syarbini al-Khatib bahwa yang dimaksud dengan Mahjur adalah :
المنع من التصرفات المالية
“Cegahan untuk pengelolaan harta”.[3]
Hajr menurut bahasa adalah mencegah. Sedangkan menurut istilah adalah mencegah hak tasharruf dengan sebab-sebab tertentu. Melihat faktor yang melatarbelakanginya, hajr terbagi menjadi dua kelompok yaitu :
a.         Kemaslahatan yang kembali kepada mahjur a’laih (pihak yang tercegah tasharrufnya).
b.         Kemaslahatan yang kembali pada pihak lain.
Menurut Idris Ahmad dalam bukunya Fiqh al-Syafi’iyah berpendapat bahwa yang dimaksud dengan Mahjur menurut istilah adalah orang-orang yang terlarang mengendalikan harta bendanya disebabkan oleh beberapa hal yang terdapat pada dirinya, yang mengeluarkan pengawasan.[4]
Sedangkan Sulaiman Rasyid berpendapat bahwa yang di maksud al-Hajr ialah melarang, atau menahan seseorang dari membelanjakan hartanya, yang berhak melarangnya ialah wali atau hakim.[5]
Dari beberapa pendapat di atas dapat diketahui bahwa yang dimaksud dengan Mahjur adalah cegahan bagi seseorang untuk mengelola hartanya karena adanya hal-hal tertentu yang mengharuskan adanya pencegahan.[6]
Menurut  Al-Mawardi ada  delapan  orang  yang termasuk  dalam al-Hajru (pengampuan), yang mana bagian-bagian tersebut adalah : Yang pertama adalah al-Hajru  (Pengampuan)  terhadap  anak  kecil,  al-Hajru  (Pengampuan)  terhadap orang gila, (Pengampuan)  terhadap orang yang safih (idiot), (Pengampuan) atas orang yang bangkrut,  al-Hajru (Pengampuan) terhadap orang sakit), al-Hajru (Pengampuan)  terhadap  orang  murtad, al-Hajru (Pengampuan) terhadap   budak,  al-hajru   (Pengampuan)nya   seseorang   yang  menggunakan perjanjian  atau  karena  adanya  keterkaitan  setelah  mengucapkan  akad,  atau  juga dikatakan dengan wanita yang telah bersuami.[7]
Golongan mahjur ‘alaih ialah golongan yang terhalang dari menguruskan harta sendiri disebabkan wujudnya sebab-sebab khusus yang terdapat pada diri mereka sendiri sehingga boleh menghalang mereka dari mengurus dan mentadbirkan harta mereka sendiri.[8]
Tujuan dari legislas hajr adalah demi kemaslahatan harta (hifdhu al-mal). Dalam hal ini ada 3 klasifikasi :
a.         Demi  menjaga kemaslahatan harta pihak yang dibekukan tasarufnya (Mahjur ‘Alaih), seperti pembekuan tasaruf anak kecil, orang gila, dan orang safih.
b.         Demi menjaga kemaslahatan harta pihak lain, seperti pembekuan tasaruf orang bangkrut (muflis), orang sakit kritis (makhuf), orang murtad, budak, rahin, dll.
c.         Demi menjaga kemaslahatan harta kedua belah pihak, baik secara pokok (qashdan) seperti pembekuan tasaruf sayyid atas budak mukatab-nya yakni untuk kepentingan sayyid berupa cicilan (nujum) dan untuk kepentingan budak berupa kemerdekaan dirinya, atau secara konsekuensi logis (taba’an) seperti pembekuan tasaruf orang muflis, yakni untuk kepentingan ghurama secara qashdan dan untuk kepentingan dirinya secara taba’an berupa terbebas dari hutang, dll.[9]

2.         Klasifikasi Mahjur ‘Alaih
Terdapat sembilan orang yang secara hukum dibekukan tasaruf hartanya, klasifikasinya sebagai berikut :
a.         Shabi
Shabi adalah anak kecil yang belum mengalami ihtilam, atau belum keluar haid, atau orang yang belum berusia 15 tahun.
Terdapat dua faktor penyebab anak kecil dibekukan tasarufnya :
1.             Maslub al-‘ibarah
Maslub al-ibarah ialah orang yang perkataannya tidak diakui secara syar’i, baik dalam aspek duniawi seperti muamalah, atau dalam aspek keagamaan (dini) seperti ikrar masuk Islam. Tidak adanya pengakuan syar’I ini karena perkataan seorang shabi tidak didasari tujuan yang diakui (qashdun mu’tabar).
2.             Maslub al-wilayah
Maslub al-wilayah ialah orang yang otoritas atau kewenangan dalam melakukan tindakan-tindakan tertentu tidak diakui secara syar’i, seperti kewenangan menikahkan, melimpahkan wasiat, memutus hukum. Tidak adanya pengakuan syar’I terhadap anak kecil ini karena anak kecil tidak memiliki kecakapan pengaturan-pengaturan (tadbir) dalam urusannya, lebih-lebih urusan orang lain.
Shabi akan terbebas dari status mahjur ‘alaih dengan memasuki usia balig dalam kondisi rusydu (memiliki kecakapan dalam aspek keagamaan dan tasaruf harta).
b.             Majnun
Majnun atau orang gila ialah orang yang kehilangan kemampuan membedakan (tamyiz).
Dalil maupun faktor yang menyebabkan orang gila dibekukan tasafurnya, sama dengan anak kecil (shabi) di atas. Bahkan cakupan maslub al-ibarah dan maslub al-wilayah nya lebih luas dibanding anak kecil. Sehingga secara syar’i, orang gila nyaris sama sekali tidak ada yang diakui segala bentuk tasarufnya, baik yang bersifat transaksional (mu’awadlah) atau ritual (ubudiyyah). Hanya saja, hal-hal yang berupa tindakan atau aksi (af’al) dalam bentuk proses memiliki (tamalluk), seperti mencari kayu bakar, atau dalam bentuk perusakan (itlaf), seperti menghamili wanita (istilad), maka syara tetap mengakuinya, sehingga ada konsekuensi “memiliki” dalam kasus pencarian kayu bakar, dan konsekuensi “nasab” dalam kasus penghamilan yang dilakukan orang gila.
Aksi penghamilan yang dilakukan orang gila, secara hukum tidak disebut zina dalam pengertian sebenarnya (haqiqi), melainkan hanya sebatas kesan (shuwari), karena dilakukan di luar kesadaran, yang mirip dengan wathi syubhat.
Sedangkan terbebasnya orang gila dari status majhur alaih adalah dengan kondisi waras (ifaqah). Yakni steril dari unsur cacat mental.[10]

c.              Safih
Safih adalah orang yang memasuki usia baligh dalam kondisi tidak rusydu. Istilah rusydu disini sama dengan penjelasan rusydu dalam majhur alaih shabi di atas.Pembekuan tasaruf untuk orang yang pertama bersifat syar’i, yang tidak perlu penjatuhan hajru dari pihak qadli. Safih terbagi menjadi dua jenis yaitu :
1.             Safih Muhmal
2.             Safih Ghairu Muhmal
d.             Muflis
Muflis ialah orang yang kekayaan hartanya tidak cukup untuk melunasi hutangnya. Dengan kata lain, jumlah hutang adami-nya yang telah mengikat (lazim) dan telah jatuh tempo (hulul), lebih besar dari asset kekayaan yang di miliki.
Dari definisi muflis demikian, maka terdapat beberapa ketentuan mengenai hutangnya muflis sehingga bisa dibekukan tasarufnya menjadi (empat) 4 yaitu hutang adami, hutang lazim, hutang hal (telah jatuh tempo) dan hutang yang lebih besar dibanding nilai aset kekayaan muflis.
Faktor yang menyebabkan seorang muflis dibekukan tasarufnya ialah demi melindungi hak pemilik piutang (ghurama). Karena itu pembekuan tasaruf diberlakukan pada aset kekayaan muflis yang ada (wujud) pada saat hajru, dan juga aset yang baru didapatkan muflis selanjutnya.[11]
Batasan pembekuan tasaruf muflis adalah segala bentuk tasaruf dengan ketentuan :
1.             Harta (mali), sehingga mengecualikan tasaruf berupa thalaq, nikah, dll.;
2.             Berupa aset yang ada (ain), sehingga mengecualikan tasaruf fi dzimmah;
3.             Merugikan hak ghurama;
4.             Atas dasar gagasan atau inisiatif sendiri (insya), sehingga sehingga mengecualikan tasaruf berupa iqrar;
5.             Permulaan (ibtida), sehingga mengecualikan tasaruf berupa raad al-mabi;
6.             Berlangsung ketika masih hidup, sehingga mengecualikan tasaruf berupa tadbir (menggantungkan kemerdekaan budak dengan kematian), wasiat.[12]
e.              Maridl Makhuf
Maridl makhuf adalah orang yang mengalami sakit parahyang secara medis berada pada level kritis yang berakhir dengan kematian. Secara hukum dianalogikan maridl makhuf adalah orang yang berada dimedan perang, diatas kapan laut yang sedang dilanda gelombang besar, orang yang mengalami kesulitan melahirkan, ditawan atau disandera, divonis eksekusi qishos atau rajam, dll.
Fakor yang menyebabkan maridl makhuf dibekukan tasarufnya adalah demi kepentingan ahli warisnya. Karena itu pembekuan tasaruf maridl makhuf hanya tertentu pada tasaruf yang bersifat non-komersial atau gratis (tabarru), seperti hibah, hadiah, sedekah, waqaf, wasiat, ibra, dll. Dan tidak dibekukan tasaruf yang bersifat komersial (mu’awadlah), seperti jual beli dll, sebab tidak merugikam hak ahli waris.[13]
f.               Budak
Budak adalah orang yang berada dibawah kepemilikan orang lain, yang meliputi budak laki-laki (‘abid) dan budak wanita (amat). Klasifikasi budak meliputi :
1.             Qinn, yaitu budak murni yang belum tersentuh sebab-sebab status merdeka (hurriyyah).
2.             Mukatab, yaitu budak yang mengadakan kontrak merdeka dengan membayar sejumlah iwadl yang diangsur ( nujum).
3.             Mudabbar, yaitu budak yang ditangguhkan kemerdekaannya dengan kematian sayyid.
4.             Ummul walad atau mustauladah, yaitu budak wanita yang telah dihamili sayyidnya dan melahirkan.
5.             Muba’adl, yaitu budak yang sebagian dirinya telah merdeka.
g.             Murtad
Seorang muslim yang murtad, maka hukum aset kekayaan nya terdapat 3 pendapat :
1.             Aset kekayaannya tetap menjadi milik murtad, karena tidak ada faktor (sebab) lain kecuali faktor yang menghalalkan darahnya.
2.             Aset kekayaannya menjadi hilang dari hak milik murtad dan menjadi harta fai’. yakni harta yang menjadi hak milik umat islam. Sebab, perlindungan atas darah dan harta diberikan karena status islam, sehingga dengan murtad perlindungan atas darah dan hartanya menjadi hilang.
3.             Aset kekayaannya ditangguhkan apabila kembali memeluk islam, maka dikembalikan, dan apabila mati dalam keadaan murtad maka menjadi harta fai’.[14]
h.             Rahin
Rahin adalah orang yang menggadaikan barang sebagai jaminan atas hutangnya.
i.               Wanita Bersuami
Seorang wanita yang mempunyai suami berada di bawah pengawasan suaminya, baik dirinya sendiri, anak-anaknya, maupun harta bendanya. Oleh karena itu, wanita tidak berkuasa atau berwenang atas hartanya, kecuali harta-harta yang dikhususkan untuknya sendiri.[15]
Menurut  Al-Mawardi ada  delapan  orang  yang termasuk  dalam al-Hajru (pengampuan), yang mana bagian-bagian tersebut adalah : Yang pertama adalah al-Hajru  (Pengampuan)  terhadap  anak  kecil,  al-Hajru  (Pengampuan)  terhadap orang gila, (Pengampuan)  terhadap orang yang safih (idiot), (Pengampuan) atas orang yang bangkrut,  al-Hajru (Pengampuan) terhadap orang sakit), al-Hajru (Pengampuan)  terhadap  orang  murtad, al-Hajru (Pengampuan) terhadap   budak,  al-hajru   (Pengampuan)nya   seseorang   yang  menggunakan perjanjian  atau  karena  adanya  keterkaitan  setelah  mengucapkan  akad,  atau  juga dikatakan dengan wanita yang telah bersuami.[16]

3.         Dalil yang menjadi dasar hukum Mahjur ‘Alaih.
Sebelum dijelaskan definisi dari Mahjur ‘Alaih akan dijelaskan terlebih dahulu landasan hukum atau dasar hukum diwajibkannya Mahjur ‘Alaih antara lain firman Allah:

وَلَا تُؤْتُوا السُّفَهَاءَ أَمْوَالَكُمُ الَّتِي جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ قِيَامًا
Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. (QS. Annisa: 5).

وَابْتَلُوا الْيَتَامَىٰ حَتَّىٰ إِذَا بَلَغُوا النِّكَاحَ فَإِنْ آنَسْتُمْ مِنْهُمْ
رُشْدًا فَادْفَعُوا إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ ۖ
Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta),  maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. (QS. Annisa: 6).[17]

فَإِنْ كَانَ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيهًا أَوْ ضَعِيفًا أَوْ لَا يَسْتَطِيعُ
أَنْ يُمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُ بِالْعَدْلِ ۚ 
Jika yang berkepentingan itu bodoh, lemah dan tidak mampu mengatur kepentingannya maka hendaklah di atur oleh walinya dengan adil.  (QS. Albaqarah: 282).[18]

Demikianlah dalil yang menjadi dasar hukum dari Mahjur ‘Alaih ini.

4.         Cekal Mahjur
Ulama fiqih berpendapat bahwa disamping orang-orang yang telah disebutkan di atas yang dikenakan status hukum di bawah pengampunan maka dapat juga dikenakan hukum dibawah pengampunan (cekal) bagi orang-orang yang mengganggu dan merugikan umat :
a.              Tabib yang tidak memenuhi rujukan baku dalam memberikan obat dan diagnotis yang keliru terhadap pasien
b.             Mufti yang sering mengeluarkan fatwa yang menyesatkan dan membingungkan umat
c.              Arsitek bangunan yang sering meleset dalam membuat perencanaan dan perhitungan
d.             Para amir atau pejabat yang menyalahgunakan jabatannya untuk kepentingan pribadi dan merugikan umat.[19]

Secara umum, penjatuhan dan pencabutan status hajru dikelompokan menjadi 4 (empat):
a.              Penjatuhan dan pencabutan mahjur ‘alaih tidak butuh vonis hakim, seperti hajru Rahim dan majnun.
b.             Penjatuhan dan pencabutan butuh vonis hakim, seperti hajru safih.
c.              Penjatuhan butuh vonis hakim, dan pencabutan khilaf, seperti muflis .
d.             Penjatuhan tidak perlu vonis hakim, dan pencabutan khilaf, seperti shabi.[20]
Status pengampunan (al-hajr) berakhir apabila :
a.              Anak kecil (shabi) sudah baligh dan berakal.
b.              Orang bodoh atau dungu sudah menjadi cerdas /sadar.
c.              Pemboros sudah mulai hemat
d.             Orang Gila sudah menjadi waras.
e.              Orang yang sakit kritis sudah sembuh kembali.
f.               Khusus bagi orang yang pailit, dia baru bebas dari status pengampunan setelah dia lunasi hutang-hutangnya.[21]


C.      Kesimpulan
Banyak kajian yang  telah terjadi dengan masalah Mahjur alaih ini. Namun begitu, hingga kini belum ditemukan lagi kajian secara terperinci berkaitan dengan Mahjur Alaih dari Perspektif Syariah. Pada dasarnya, pembahasan mengenai ini bukanlah secara terperinci dan dibahas dalam suatu bab yang khusus tetapi merupakan bagian kecil dari bab-bab yang lain. Hasil penelitian dari kajian-kajian yang dikemukakan di atas didapatkan  bukanlah suatu kajian yang khusus tetapi diletakkan dalam perbahasan topik-topik lain. Kedua ulama fiqh klasik dan modern  juga tidak menyentuh persoalan mahjur alaih ini secara terperinci. Namun begitu, kajian-kajian yang ada ini telah meletakkan prinsip-prinsip umum dan harus dijadikan asas untuk pengembangan kajian selanjutnya yang lebih bersifat praktek dan sesaat. Sehubungan dengan itu, telah tiba waktunya saat ini lebih dibutuhkan  satu kajian yang lengkap mengenai masalah  ini dibuat untuk menjelaskan dengan lebih terperinci tentang permasalahan ini dan seterusnya dapat menyelesaikan masalah di kalangan masyarakat sekaligus membantu mereka dari kelompok orang yang minim ilmu pengetahuan tentang pengurusan mahjur alaih. Dalam kehidupan kita bermasyarakat tentunya pernah kita temui permasalahan terkait Hajr atau Mahjur ini. Pasti disekitar kita akan ada tentang masalah mahjur ini, penulis bisa memastikan belum semua orang Islam telah mengetahui dan mengerti tentang fiqih muamalah mengenai majhur dan klasifikasinya. Penulis berpikir bahwa tentang majhur ini pernah terjadi tapi mungkin luput dari perhatian kita dikarenakan keterbatasan ilmu kita tentang masalah mahjur ‘alaih ini, akhirnya persoalan tentang majhur ini terjadi pembiaran, sehingga dalam menyelesaikannya keluar dari syariat Islam.
Dengan telah dibahasnya persoalan fiqih muamalah tentang mahjur ‘alaih dan klasifikasinya maka penulis berharap masalah mahjur ‘alaih ini lebih mendapat perhatian khusus dari pemerintah, khususnya Kementrian Agama Islam agar lebih bisa disosialisasikan kepada masyarakat khususnya umat Islam yang merupakan mayoritas penduduk Indonesia, agar tidak terjadi penyelewengan oleh pihak-pihak yang ingin mengambil keuntungan dari persoalan tentang mahjur ‘alaih dan klasifikasinya, keberadaan badan atau lembaga yang berwenang untuk memutuskan status mahjur ‘alaih ini sangat dibutuhkan, agar harta yang termasuk mahjur ‘alaih bisa diamankan untuk kemudian dikembalikan kepada pemiliknya setelah dinyatakan secara hukum Islam layak kembali untuk mengelola hartanya. Semoga pemerintah dapat memberi perhatian lebih untuk persoalan ini dengan membuat payung hukum untuk melindungi rakyatnya khususnya umat Islam, agar ketika muncul persoalan mahjur ini segera dapat bisa diatasi dengan baik sesuai ajaran Islam yang menjadi tuntunan untuk kita sebagai umat Islam.
































DAFTAR PUSTAKA

Al-Ghazi,  Asy-syekh Muhamad bin Qosim. Terjemahan kitab Fat-hul Qorib; Surabaya:  Al-Hidayah. 1991.
Al-Bantani,  Muhamad Nawawi.  Nihayatuz Zein, Semarang: Darul Ulum. 2005.
Suhendi,  Hendi.  Fiqih Muamalah;  Jakarta;  PT. RajaGrafindo Persada. 2014.
Tim Laskar pelangi, Metodologi Fiqih Muamalah, Kediri; Lirboyo Press. 2015.
http://Pasar-islam.blogspot.co.id/2010/bab-14-mahjur-terhalang.html?m=1( Diunduh pada tanggal 20 April 2017 pada pukul 24.15 WIB).
http://ukmsyariah.org/terbitan/wp-content/uploads/2015/09/18-Fariza-Mohamad-Tajuddin.pdf ( Di unduh pada tanggal 20 April 2014 pada pukul 24.18 WIB).
https://scholar.google.co.di/scholar?noj=1&client=ms-unknown&hl=in ( Diunduh hari Kamis tanggal 20 April 2017 pada pukul 24.32 WIB).














[1]Asy-syekh Muhamad bin Qosim Al-Ghazi, Terjemahan Kitab Fat-hul Qorib, (Surabaya; Al-Hidayah. 1991)  hal. 362.
[2]Tim Laskar pelangi, Metodologi Fiqih Muamalah, (Kediri; Lirboyo Press. 2015) hal.128. 

[3]Muhamad Nawawi Al-Bantani,  Nihayatuz Zein, (Semarang: Darul Ulum. 2005) hal. 247
[4]Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, (Jakarta, PT. RajaGrafindo Persada. 2014) hal. 221.
[5]Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, (Jakarta, PT. RajaGrafindo Persada. 2014) hal. 221.
[6]Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, (Jakarta, PT. RajaGrafindo Persada. 2014) hal. 222.
[7]https://scholar.google.co.di/scholar?noj=1&client=ms-unknown&hl=in ( Diunduh hari Kamis tanggal 20 April 2017 pada jam 24.32 WIB.) 
[8]http://ukmsyariah.org/terbitan/wp-content/uploads/2015/09/18-Fariza-Mohamad-Tajuddin.pdf  ( Di unduh pada tanggal 20 April 2014 pukul 24.18 WIB)

[9]Tim Laskar pelangi, Metodologi Fiqih Muamalah, (Kediri; Lirboyo Press. 2015) hal.129. 

[10]Tim Laskar pelangi, Metodologi Fiqih Muamalah, (Kediri; Lirboyo Press. 2015) hal.133. 

[11]Tim Laskar pelangi, Metodologi Fiqih Muamalah, (Kediri; Lirboyo Press. 2015) hal.136. 

[12]Tim Laskar pelangi, Metodologi Fiqih Muamalah, (Kediri; Lirboyo Press. 2015) hal.138. 

[13]Tim Laskar pelangi, Metodologi Fiqih Muamalah, (Kediri; Lirboyo Press. 2015) hal.140. 

[14]Tim Laskar pelangi, Metodologi Fiqih Muamalah, (Kediri; Lirboyo Press. 2015) hal.142. 

[15]Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, (Jakarta; PT. RajaGrafindo Persada. 2014) hal. 227.
[16]https://scholar.google.co.di/scholar?noj=1&client=ms-unknown&hl=in ( Diunduh hari Kamis tanggal 20 April 2017  pukul 24.32 WIB.) 

[17]Tim Laskar pelangi, Metodologi Fiqih Muamalah, (Kediri; Lirboyo Press. 2015) hal.128. 

[18]Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, (Jakarta; PT. RajaGrafindo Persada. 2014) hal. 223.

[19]http://Pasar-islam.blogspot.co.id/2010/bab-14-mahjur-terhalang.html?m=1 ( Diunduh pada tanggal 20 April 2017 pukul 24.15 WIB ).

[20]Tim Laskar pelangi, Metodologi Fiqih Muamalah, ( Kediri; Lirboyo Press. 2015 ) hal.143. 

[21]http://Pasar-islam.blogspot.co.id/2010/bab-14-mahjur-terhalang.html?m=1 ( Diunduh pada tanggal 20 April 2017 pukul 24.15 WIB ).


Definisi Hukum Acara Pidana

MAKALAH DEFINISI HUKUM ACARA PIDANA Diajukan Sebagai Tugas Mata Kuliah Hukum Acara Pidana Program Studi Hukum Ekonomi Syari’ah (HES) Di Se...