Monday, November 5, 2018

KEBEBASAN JUAL BELI ALAT KONTRASEPSI SECARA ONLINE PERSPEKTIF HUKUM POSITIF (UU-ITE DAN PP-PSTE) DAN HUKUM EKONOMI ISLAM (SAD ADZ-DZARI’AH)

Oleh:
Muhammad Nur Muzakki

Abstrak
Kebebasan jual beli alat kontrasepsi secara online merupakan tidak ada batasan dalam melakuukan proses transaksi jual beli secara online. Proses yang dimaksud ialah transaksi elektronik yang memperjual belikan alat kontrasepsi pada semua kalangan. Baik yang sudah dewasa, belum dewasa (di bawah umur 18 tahun), dan status sudah menikah ataupun belum menikah.
Dalam makalah ini ada dua yang menjadi pokok pembahasan yaitu bagaimana model kebebasan jual beli alat kontrasepsi secara online, kemudian bagaimana tinjauan dalam hukum positif dalam hal ini Peraturan Pemerintah nomor 82 tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PP-PSTE), Undang-undang nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU-ITE), dan hukum ekonomi islam dalam hal ini sadd adz-dzari’ah. Terhadap model jual beli alat kontrasepsi secara online. Adapun tujuan dari makalah ini adalah untuk mengetahui kebebasan jual beli alat kontrasepsi secara online, dan untuk mengetahui pandangan Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PP-PSTE), Undang-undang nomor 11 tahun 2008 tentang Transaksi Elektronik (PP-ITE)  dah hukum ekonomi islam, sadd adz-dzari’ah terhadap kebebasan jual beli alat kontrasepsi secara online.

Kata kunci: kebebasan jual beli online, Alat kontrasepsi, Sadd Adz-Dzari’ah




A.      LATAR BELAKANG
pada era teknologi yang maju saat ini, jual beli tidak hanya dilakukan dengan bertatap muka melainkan tanpa harus bertatap muka antara penjual dan pembeli, kegiatan jual belipun bisa dilakukan, jual beli yang dimaksud adalah jual beli online.
Menutur M. Ramli “kemajuan teknoligi internet telah mengubah perilaku masyarakat dan peradaban manusia secara global. Disamping itu, perkembangan internet telah menyebabkan dunia menjadi tanpa batas (borderless) dan menyebabkan perubahan sosial yang secara signifikan berlangsung demikian cepat”.[1] Hal ini akibat banyaknya aktifitas manusia yang mulai ddiwakilkan oleh teknologi.
Saat ini, transaksi jual beli telah beralih kepada era dimana tidak lagi harus dilakukan secara bertatap muka, melainkan melalui media online. Cukup menggunakan teknologi internet dan bisa langsung melakukan transaksi entara penjual dan pembeli. Seiring dengan lahirnya berbagai teknologi baru seperti telepon pintar (smartphone), tablet dan berbagai macam lainnya. Pada teknologi baru tetsebut, konsumen dapat membeli berbagai macan barang dari pasar online yang terdapat pada berbagai tersebut tanpa harus bertatap muka.
Perihal yang membadakan bisnis offline dan bisnis online yaitu pada proses transaksi (akad), merupakan hal utama dalam proses jual beli. Akad merupakan unsur penting dalam jual beli. Secara umum, jual beli dalam islam menjelaskan adanya transaksi yang bersifat fisik, dengan menghadirkan benda tersebut ketika transaksi, atau tanpa menghadirkan benda yang dipesan. Tetapi dengan ketentuan harus dinyatakan sifat benda secara detail, baik diserahkan langsung, atau diserahkan kemudian sampai batas waktu tertentu. Ketika seuatu jual beli jelas sejak awal akan dilaksanakannya akad maka tujuan yang dituju oleh kedua belah pihak akan semakin jalas. Baik untuk tujuan yang baik atau untuk tujuan yang tidak baik.
Sebab dalam hokum islam, jual beli merupakan yang diperbolehkan, sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah ayat 275 yaitu:
...واحل الله البيع وحرم الربوا...
Artinya:....” dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba......”(Q.S Al-Baqarah : 275)
Ayat diatas telah mensyariatkan bahwa jual beli diperbolehkan. Sebagaimana ketentuan yang ada. Begitu juga yang dimaksud dengan transaksi elektronik tentang hukum kebollehannya. Sedangkan yang dimaksud dengan transaksi elektronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan komputer, jaringan komputer atau media elektronik lainnya.[2] Kemudahan yang ditawarkan transaksi elektronik sangat mudah dan hemat biaya nemun terdapat beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam melaksanakan transaksi elektronik.
Jual beli online menjadi alternatif menarik bagi konsumen untuk beerbelanja karena memudahkan konsumen melakukan transaksi jual beli dengan setiap orang, dimanapun dan kapanpun. Umumnya jual beli online dilakukan melalui media social seperti: twiter, Instagram, pach dan facebook dan media elektronik lainnya sepeti Lazada, olx, took bagus, buka lapak, serta berbagai onlineshop lainnya. Objek penjualan ditampilkan secara visual mulai dari gambar, video, dan deskripsinya.
Kebebasan jual beli alat kontrasepsi secara online, telah memberikan dampak buruk terhadap generasi muda atau remaja. Padahal generasi muda ini adalah penerus bangsa, yang diharapkan kehadirannya kelaksebagai pembuka cakrawala baru bagi peradaban. Titik temunya adalah keadaan moralitas seorang remaja yang kian terancap sisi akhlak dan moralnya. Diakibatkan dari adanya konten pornografi dalam iklan dari praktik jual beli alat kontrasepsi secara online. Konten yang digunakan oleh penjual sangat berpengaruh cepat terhadap pemikiran seorang remaja, dengan berbagai daya ketertarikan objek yang ditampilkan dalam prodak penjual. Semakin sering konten yang berbau pornografi diserap informasinya oleh ramaja, maka akan meningkatkan kadar pemahaman dan ingatan tentang informasi tersebut. Terutama dalam hal ini iklan alat kontrasepsi secara online yang menampilkan pornografi.
Iklan yang digunakan dalam media online untuk promosi alat kontrasepsi sangat jauh dari nilai-nilai moral yang belum pantas diterima oleh anak dibawah umur[3]. Proses jual beli alat kontrasepsi secara online secara bebas memang tidak dapat dibendunng. Pemerintah melalui kekuatan hukumnya selalu berusaha mengeluarkan aturan yang dapat membendung kebebasan tersebut. Perkembangan teknologi memang memiliki dampak positif dan negative[4].
Maraknya konten pornografi yang tersebar luas didunia maya. Dampak yang diakibatkan oleh pornografi sangat memprihatinkan jika dilihat dari data penelitian yang dilakukan oleh Komisi Nasional Perlindungan Anak (KNPA) merilis data survey di 12 kota besar di Indonesia pada tahun 2007, dimana 62,7% yang duduk di bangku SMP (Sekolah Menengah Pertama) pernah berhubungan intim dan 21,2% Siswi SMA (Sekolah Menengah Atas) pernah menggugurkan kandungannya[5].
Hasil data survey tersebut tidak sesuai dengan nilai-nilai moral bangsa Indonesi serta berpotensi merusak cita-cita bangsa Indonesia. Banyak dari mereka yang melampiaskan hasrat seksualnya dengan cara berhubungan badan dengan pasangan yang belum terikat perkawinan, bahkan sebagian remaja masih dibawah umur. Seharusnya alat kontrasepsi digunakan oleh orang yang sudah berhak menggunakannya atau sudah menikah tetapi hari ini banyak alat kontrasepsi yang digunakan oleh remaja atau belum menikah.

B.     PEMBAHASAN
1.        Transaksi Elektronik Menurut Perundang-Undangan
Transaksi elektronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan computer, jaringan komputer, atau media elektronik lainnya. Perbuatan hukum yang dimasud tidak ditemukan dalam UU-ITE dan PP-PSTE sehingga definisi perbuatan hukum yang dimaksud mengacu pada pendapat Prof. Sudikmo Martokusumo yang menjelaskan bahwa, “perbuatan hukum adalah perbuatan subjek hukum yang ditujukan untuk menimbulkan akibat hukum yang sengaja dikehendaki oleh subjek hukum”.[6] Dengan demikian perbuatan hukum merupakan tindakan-tindakan yang dilakukan oleh orang yang sudah cakap hukum. Mempu mempertanggungjawabkan segala perbuatannya. Proses transaksi elektronik merupakan proses melakukan akad melalui media elektronik. Sehingga tanpa bertemunya kedua belah pihak, akad tetap terjadi. Meskipun tidak bertemu secara langsung mereka tetap terkena hukum yang mengikat sebab transaksi elektroniknya.
Kegiatan jual beli secara online atau yang biasa disebut e-commerce saat ini telah banyak dilakukan oleh pelaku usaha. Sebagai suatu perdagangan yang berbasis teknologi canggih, e-commerce telah merevormasi perdagangan konvensional dimana transaksi antara konsumen dan perusahaan yang sebelumnya dilakukan secara langsung menjadi transaksi yang tidak langsung[7]. Sehingga dapat dijelaskan bahwa sebuah ancaman baru terhadap konsumen alat kontrasepsi yagn tidak terdeteksi. Maksudnya tidak ada kontrol atas penyebaran alat kontrasepsi, baik anak-anak, orang dewasa, ibu atau bapak yang sudah berumah tangga. Semua bisa mendapatkanya dengan mudah, sebab tidak bertemunya penjual dan pembeli menjadi celah keburukan yang masuk bagi remaja yang belum berhak menerimanya.
Transaksi meskipun dilakukan secara online atau disebut dengan trassaksi elektronik berdasarkan PP-PSTE dan UU_ITE tetap diakui sebagai transaksi elektronik yang dapat dipertanggungjawabkan. Persetujuan membeli barang secara online dengan cara melakukan klik persetujuan atas transaksi merupakan bentukk tindakan penerimaan yang menyatakan persetujuan dalam kesepakatan pada transaksi elektronik. Tindakan penerimaan tersebut biasanya didahului pernyataan persetujuan atas syarat dan ketantuan jual beli secara online yang dapat dikatakan juga sebagai salah satu bentuk kontrak elektronik. Kontrak elektronik menurut pasal 47 ayat (2) PP-PSTE dianggap sah apabila:[8]
a)      Terdapat kesepakatan para pihak;
b)      Dilakukan oleh subjek hukum yang cakap atau yang berwenang mewakili sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
c)      Terdapat hal tertentu; dan
d)      Objek transaksi tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesusilaan, dan ketertiban umum.
Kontrak elektronik itu sendiri menurut Pasal 48 ayat 3 PP-PSTE setidaknya harus memuat hal-hal sebagai berikut:
1.      Data identitas para pihak;
2.      Objek dan spesifikasinya;
3.      Persyaratan transaksi elektronik;
4.      Harga dan biaya;
5.      Prosedur dalam hal terdapat pembatalan oleh para pihak;
6.      Ketentuan yang mmemberikan hak kepada pihak yang dirugikan untuk dapat mengembalikan barang atau menerima penggantian produk jika terdapat cacat tersembunyi; dan pilihan
7.      Pilihan hukum penyelesaian transaksi elektronik.
Terkait dengan perlindungan konsumen, pasal 49 ayat 1 PP-PSTE menegaskan bahwa “pelaku usaha yang menawarkan prudok melalui system elektronik wajib menyediakan informasi yang lengkapdan benar berkaitan dengan syarat kontrak, produsen, dan produk yang ditawarkan.” Pada ayat berikutnya lebih ditegaskan lagi bahwa “pelaku usaha wajib memberikan kejelasan informasi tentang penawaran kontrak atau iklan.”[9]



2.      Transaksi Elektronik Menurut Hukum Islam
dalam islam jual beli disyariatkan dengan berlandaskan dalil-dalil yang bersumber dari Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 275 yaitu:
وَاَحَلَّ اللهَ البَيعَ وَحَرَّمَ الرِّبَوْا...
Artinya: “...dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba...”[10]
Semua ulama telah sepakat diperbolehkannya praktek jual beli, dari dulu hingga zaman yang akan datang.[11]
Disyariatkan jual beli adalah untuk untuk memberikan kelapangan kepada hamba-nya. Untuk memenuhi kebutuhan manusia, berupa mekanan, pakaian atau hal lainnya, yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupannya. Menusia tidak dapat memenuhi sendiri semua kebutuhan itu, karena sebagai mahluk sosial menusia membutuhkan orang lain. Dalam hal ini tidak ada cara yang lebih sempurna dari pada pertukaran. Menusia dengan manusia lainnya memberikan apa yang dimilikinya dan apa yang tidak dibutuhkannya sebagai ganti yang dibutuhkan oleh orang lain.
Mayoritas praktek perdagangan atau jual beli dimasyarakat penuh dengan unsur penipuan, kebohongan dan keszoliman.[12] Oleh karena itu sebagai muslim wajib memperhatikan syarat sah dalam jual beli, sehingga bisa melakukannya sesuai syariah dan tidak terjerumus dalam tindakan yang diharamkan oleh syariah.
Namun keadaan umat muslim dalam praktek jual beli online atau offline, mereka tidak terlalu peduli dengan syariah. Mereka melalaikan ajaran agama dan sedikitnya rasa takut kepada Allah adalah faktor yang mendorong mereka untuk berlaku curang. Bahkan, berbagai upaya dilakukan yang penting memperoleh keuntungan. Oleh karena itu praktek yang tidak halal itu harus ditinggalkan oleh setiap pelaku bisnis umat muslim, dengan mempelajari fikih jual beli agar bisa membedakan mana yang halal dan haram. Sehingga yang mereka peroleh menjadi berkah, jauh dari wilayah syuhbat. Jua beli yang mengandung praktek halal dan haram sekaligus, apabila transaksi jual beli mengandung sesuatu yang mubah dan sesuatu yang haram sekaligus, maka akad sah pada suatu yang mubah dan batal pada suatu yang haram. Ini adalah yang paling kuat diantara dua pendapat Syafi’i dan Maliki. Sedangkan pendapat yang lain mengatakan bahwa akad batal pada keduanya.[13]
a.       Jual Beli Online atau Transaksi Elektronik Menurut Nahdlatul Ulama
Seiring dengan perkembangan zaman, interaksi sesama manusia guna memenuhi kebutuhan juga mengalami modifikasi sedimikian rupa. Pada mulanya sistem pertukaran barang hanya bisa dilakukan secara manual (barter) dengan mengharuskan kehadiran antara penjual dan pembeli di suatu tempat dengan adanya barang disertai dengan transaksi (ijab dan qabul). Namun dengan adanya fasilitas teknoligi, proses jual beli barang yang tadinya mengharuskan secara menual bisa dilakukan melalui media internet.
Sesuai dengan apa yang pernah dibahas dalam forum Bathsul Masail Mukhtamar NU ke-32 di Makasar pada tahun 2010. Bahwasannya hokum akad atau transaksi jual beli melalui elektroik (online) sah, apabila sebelum transaksi kedua belah pihak sudah melihat barang yang diperjualbelikan atau telah dijelaskan baik sifat maupun jenisnya, serta memenuhi syarat dan rukun jual beli lainnya dengan dasar pengambilan hukum.[14]
Dalam pandangan madzhab Imam Syafi’i, barang yang diperjual belikan disyaratkan dapat dilihat secara langsung oleh kedua belah pihak. Hal ini merupakan bentuk kehati-hatian agar tidak terjadi penipuan (gharar) dalam jual beli karena Rasulallah melarang praktek yang demikian, sebagaimana dalam sebuah hadits dinyatakan:
نَهَي رَسُولُ اللهِ صَلَي اللهُ عَلَيهِ وَ سَلَّمَ عَن بَيعِ الغَرَرِ
Artinya: “Rasulullah SAW melarang jual beli yang didalamnya terdapat penipuan.” (HR. Muslim).[15]
Beberapa dalil diatas kiranya menjadi acuan dalam tindakan yang dilakukan dalam transaksi online. Karena pada dasarnya Islam sangat menekankan kepuasan (taradhin) di antara penjual dan pembeli disamping juga mengantisipasi terjadinya penipuan dalam transaksi jual beli.
b.      Kaidah Fiqhiyah Aqad (Transaksi)
اَلاَصلُ فِي المُعَامَلَاتِ الصَّحَةُ, وَفِي العُقُودِ اللُزُومِ
Artinya: “pada dasarnya hukum bermuamalah adalah sah dan hukum bertransaksi adalah mengikat pihak-pihak yang bertransaksi”.[16]
Maksud bermuamalah disini mencakupa makna yang banyak, baik berinteraksi sosial kemasyarakatan mapun berinteraksi bisnis dengan segala konsekuensinya.
الاَصْلُ فِي العَقْدِرِضَي المَتِعَاقِدَيْنِ وَنَتَيْجَتُهُ مَا اِلتَزَمَاهُ بِااتَّعَاقُدِ
Artinya: “suatu transaksi pada dasarnya harus dilandasi kerelaan kedua belah pihak dan hasilnya adalah sah dan mengikat kedua belah pihak terhadap diktum yang ditransaksikan”.[17]
العَقْدُ عَلَى الاَعْيَانِ كَالعَقْدِ عَلَى مَنَافِعِهَا
Artinya: “Bertransaksi dengan obyek benda, sama hukumnya dengan bertransaksi dengan obyek manfaat benda tersebut”
Misalnya seseorang mengontrak rumah dengan mengambil manfaat untuk tinggal atau hunian, atau membeli rumah tersebut, maka syarat dan rukunnya transaksi tersebut akan berlaku sama harus terpenuhinya.[18]
كُلُّ مَا يَصِحُّ تَأْبِيْدُهُ مِنَ العُقُودِ المَعَاوَضَاتِ فَلَا يَصِحَّ تَوْقِيْتُهُ
Artinya: “Setiap akad mu’awadhah[19]yang sah diberlakukan selamanya, maka tidak sah diberlakukan sementara”.[20]
Contoh pada transaksi jual beli, pedagang menyerahkan barang dagangannya dan pembeli menyerahkan sejumlah uang yang telah disepakati kedua belah pihak sebagai harga. Bila kepeilikan barang dagangan dibatasi dalam transaksi jual-beli tersebut, maka transaksi itu berubah dari jual beli menjadi sewa-menyewa.
كُلُ شَرْطٍ كَانَ مِنْ مَصْلَحَةِ العُقْدِ أَوْ مِنْ مُقْتَضَاهُ فَهُوَ جَائِزٌ
Artinnya: “Setiap syarat dalam suatu transaksi yang bertujuan untuk kesuksesan dan tujuan transaksi tersebut, maka dibolehkan.”[21]
Misalnya dalam jual beli salam, bila dalam transaksi tersebut diisyaratkan bahwa dana pembelian dititipkan kepada bank (pihak ketiga) sebelum serah terima barang yang dibeli untuk menghindari wanprestasi salah satu pihak, maka dibolehkan.
الخَرَاجُ بِالضَّمَانُ
Artinya: “Manfaat suatu benda adalah faktor pengganti kerugian”.
Misalnya, seseorang mengembalikan seekor sapi yang belum lama dibelinya kepada pemiliknya karena sapi tersebut memiliki cacat. Maka pemilik sapi tidak boleh menuntut penghasilan sapi ketika berada di tangan pembeli, sebab mempekerjakan sapi merupakan hak pembeli.

3.      Penggunaan Sadd adz-dzari’ah
Sadd adz-dzari’ah banyak disebut di dalam kitab-kitab Malikiyah dan Hanabilah, walaupun pmikiran secara praktis didapatkan dalam fikih Hanafi dan Syafi’i. Adz-dzari’ah artinya wasilah  (jalan), yang menyampaikan kepada tujuan. Yang dimaksud sadd adz-dzari’ah disini iyalah jalan untuk sampai kepada yang haram atau kepada yang halal.[22] Maka jalan atau cara yang menyampaikan kepada haram maka hukumnya menjadi haram, dan cara yang menyampaikan kepada halal meka hukumnya menjadi halal, dan apa yang menyampaikan kepada wajib maka hukumnya akan menjadi wajib juga.
1.         Definisi Sadd adz-dzari’ah
 Kata adz-dzari’ (jamak: adz-dzara’i) berarti: media yang menyampaikan kepada sesuatu. Sedangkan dalam pengertian ushul fikih, yang dimaksud adz-dzari’ah ialah, sesuatu yang berkaitan dengan hukum syara’, baik yang halal maupun yang haram (yang terlarang atau yang dibenarkan), dan yang menuju ketaatan atau kemaksiatan.[23] Oleh karena itu dalam kajian Ushul Fikih, Sadd adz-dzari’ah terbagi menjadi dua: adz-dzari’ah dan fath adz-dzari’ah. Namun dikalangan Ulama Ushul Fikih, jika ada kata adz-dzari’ah disebut secara sebdiri, tidak dalam kalimat majemuk, maka kata itu selalu digunakan untuk menunjuk pengertian Sadd adz-dzari’ah.[24]
Menurut istilah Ushul Fikih, seperti dikemukakan Abdul Karim Zaidan, Sadd adz-dzari’ah berarti: menutup jalan yang membawa kepada kebinasaan atau kejahatan. Perbuatan-perbuatan yang menjadi wasilah kepada kebinasaan, lanjut Abdul Karim Zaidan, terbagi menjadi dua macam:[25]
a.         Perbuatan yang keharamannya bukan saja karena ia sebagai wasilah  bagi sesuatu yang diharamkan, tetapi esensi perbuatan itu sendiri adalah haram. Oleh karena itu, keharaman perbuatan seperti itu bukan termasuk ke dalam kajian Sadd adz-dzari’ah.
b.        Perbuatan yang secara esensial dibolehkan (mubah), namun perbuatan itu memungkinkan untuk digunakan sebagai wasilah  kepada sesuatu yang diharamkan.


2.         Metode Penentuan Hukum Sadd adz-dzari’ah
Predikat-perdikat hukum syara’  yang diletakan kepada perbuatan yang bersifat adz-dzari’ah dapat ditinjau dari dua segi, yaitu;[26]
a.         Ditinjau dari segi al-ba’its (motif pelaku)
b.        Ditinjau dari segi dampak yang ditimbulkan semata-mata, tanpa meninjaunya dari segi motif dan niat pelaku.
Al-ba’its adalah motif yang mendorong pelaku untuk melakukan sesuatu perbuatan, baik motifnya untuk menimbulkan sesuatu yang dibenarkan maupun motifnya untuk menghasilkan sesuatu yang terlarang.[27] Contoh, seseorang menikahi wanita bukan karena niat seperti yang ditentukan syariat yakni untuk membangun rumah tangga yang abadi, melainkan agar setelah diceraikannya, wanita tersebut halal menikah lagi dengan mantan suaminya yang telah menalaknya dengan tiga talak. Dari contoh diaatas motif pelaku adalah melakukan perbuatan yang halal dengan tujuan terlarang (haram).
Tinjauan yang kedua, difokuskan pada segi mashlahah dan mafsadah yang ditimbulkan oleh suatu perbuatan. Jika dampak yang ditimbulkan oleh urutan suatu perbuatan adalah kemaslahatan, maka perbuatan tersebut diperintahkan, sesuai dengan kadar kemaslahatannya (wajib atau sunnah). Sebaliknya, jika urutan perbuatan tersebut membawa pada kerusakan, maka perbuatan tersebut dilarang, sesuai dengan kadarnya (haram atau makruh).[28]
Berkenaan Sadd adz-dzari’ah, ada beberapa hal-hal yang perlu diperhatikan antara lain:[29]
a.         Sadd adz-dzari’ah digunakan apabila menjadi cara untuk menghindarkan dari keburukan yang ditentukan oleh nash dan sudah tentu. Fath adz-dzari’ah digunakan apabila menjadi cara/jalam untuk sampai kepada maslahah yang dinashkan, kerena maslahat dan mafsadat yang dinashkan adalah qath’i maka dzari’ah dalam hal ini berfungsi sebagai pelayan terhadap nash.
b.        Tentang masalah-masalah yang berhubungan dengan soal amanat (tugas-tugas keagamaan) telah jelas bahwa kemudharatan meninggalkan amanat lebih besar dari pada pelaksanaan sesuatu perbuatan atas dasar Sadd adz-dzari’ah.
3.         Kedudukan Sadd adz-dzari’ah dalam Hukum Islam
Imam Malik dan Ahmad Bin Hambal manjadikan Sadd adz-dzari’ah  sebagai dalil hukum syara’. Sementara Abu Hanifah dan Asy-Syafi’i terkadang menjadikan Sadd adz-dzari’ah sebagai dalil, tetapi pada waktu yang lain menolaknya sebagai dalil.[30]
Demikian dapat dipahami banwa Sadd adz-dzari’ah adalah menetapkan hukum larangan atas suatu perbuatan tertentu yang pada dasarnya diperbolehkan maupun dilarang untuk mencegah terjadinya perbuatan lain yang dilarang.
Di dalam al-Qur’an ketentuan yang mengenai Sadd adz-dzari’ah terdapat dalam surat al-An’am ayat 108:
وَلاَ تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُوْنِ اللهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْوَا بِغَيْرِ عِلْمٍ, كَذَ لِكَ زَيَّنَا لِكُلِّ أُمَّةٍ عَمَلَهُمْ ثُمَّ إِلَى رَبِّهِمْ مَّرْجِعُهُمْ بِمَا كَانُوْا يَعْمَلُونَ
Artinya: “Dan sesungguhnya kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan mengaku Allah dengan melampaui batas taspa pengetahuan. Demikianlah kami jadikan setia umat menganggap baik pekarjaan mereka. Kemudian kepada tuhan merekalah kembali mereka, lalu dia memberitakan kepasa mereka apa yang dahulu mereka kerjakan”.[31]
Pada ayat diatas, mencaci maki tuhan atau sembahan agama lain adalah adz-dzari’ah yang akan menimbulkan adanya suatu mafsadah yang dilarang. Orang yang Tuhannya dicaci kemungkinan akan membalas mencaci Tuhan yang diyakini oleh orang sebelumnya mencaci. Karena itulah sebelum caci maki itu terjadi, maka larangan mencaci maki Tuhan agama lain merupakan tindakan buruk Sadd adz-dzari’ah.
Selanjutnya terdapat ayat lain yang juga menjelaskan tentang Sadd adz-dzari’ah yakni terdapat di dalam surat Al-Baqarah ayat 104:
يَأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَقُولُواْ رَعِنَا وَقُولُواْ أنْظُرْنَا وَاْسْمَعُوأ, وَلِلْكَفِرِينَ عَذَأبٌ أَلِيمٌ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada muhammad): “Raa’ina”, tetapi katakanlah: “Undhurna”, dan “Dengarlah”. Dan bagi orang-orang kafir siksaan yang pedih”.[32]
pada surat al-Baqarah diatas, bisa dipahami adanya suatu bentuk pelarangan terhadap suatu perbuatan karena adanya khawatiran terhadap dampak negatif yang akan terjadi. Kata raa’ina berarti “sudilah kiranya kamu memperhatikan kami.” Saat para sahabat mmenggunakan kata ini terhadap Rasulullah, orang yahudi pun memakai kata ini dengan nada mengejek atau menggumam dan menghina Rasulullah SAW, padahal yang mereka yahudi katakan adalah “ru’uunah yang berarti kebodohan yang sangat. Itulah sebabnya Allah menyuruh supaya sahabat-sahabat menukar kata raa’ina dengan udhurnaa (اُنْظُرْنَا) yang juga sama artinya dengan raa’ina (رَأغِنَا).[33]
4.      Pendangan Ulama Tentang Sadd adz-dzari’ah
Dasar pegangan ulama untuk menggunakan Sadd adz-dzari’ah adalah kehati-hatian dalam beramal ketika menghadapi perbenturan antara maslahah dan mafsadah. Bila maslahat yang dominan, maka boleh dilakukan, dan apabila mafsadat yang dominan, maka harus ditinggalkan. Bila sama kuat diantara keduanya maka harus menjaga kehati-hatian, harus mengambil prinsip yang berlaku, yaitu sebagaimana telah dirumuskan dalam kaidah fiqhiyah:
دَرْءُ الْمَفَاسِدِ أَوْلَى مِنْ جَلْبِ الْمَصَالِحِ
Artinya: Menolak kerusakan diutamakan atas mengambil kebaikan.[34]
Bila antara yang halal dan yang haram berbaur (bercampur), maka prinsip dirumuskan dalam kaidah:
ذَا اجْتَمَعَ الْحَلَالُ وَالْحَرَامُ غَلَبَ الْحَرَام
Artinya: bila berbaur yang haram dengan yang halal, maka yang haram mengalahkan yang halal.[35]
Sebagai pegangan bagi ulama yang mengambil tindakan kehati-hatian dalam beramal, sabda nabi SAW:
دَعْ مَا يَرِيبُكَ إِلَى مَا لَا يَرِيبُكَ
Artinya: Tinggalkan apa-apa yang meragukanmu untuk mengambil apa yang tidak meragukanmu.[36]
Sadd adz-dzari’ah merupakan metode istinbat hukum yan gtentu tidak semua ulama mengakuinya. Dalam hal ini ada tiga pengelompokan sebagai berikut:[37]
a.       Ulama yang menerima sepenuhnya Sadd adz-dzari’ah sebagai metode dalam menetapkan hukum, adalah mazhab Maliki dan mazhab Hambali seperti Imam Qarafi dan Imam Asy-Syatibi.
b.      Ulama yang tidak menerima sepenuhnya sebagai metode dalam menetapkan hokum adalah mazhab Hanafi dan Imam Syafi’i. dengan kata lain, kelompok ini menolak Sadd adz-dzari’ah sebagai metode istinbat hukum kasus tertantu, namun menggunakannya pada kasus-kasus yang lain.
Contoh kasus Imam Syafi’i menggunakan Sadd adz-dzari’ah adalah ketika beliau melarang seseorang mencegah mengalirnya air keperkebunan atau sawah. Hal ini menurut beliau akan menjadi sarana (adz-dzari’ah) kepada tindakan mencegah memperoleh sesuatu yang dihalalkan oleh Allah dan juga adz-dzari’ah, kepada tindakan mengharamkan sesuatu yang dihalalkan oleh Allah. Padahal air adalah rahmat dari Allah yang boleh diakses oleh siapapun.[38]
Sedangkan kasus paling menonjol yan gmenunjukan penolakan terhadap metode Sadd adz-dzari’ah adalah transaksi-transaksi jual beli berjangka (bay’u al-ajal). Dalam kasus jual beli transaksi berjangka. Transasksi inilah yang oleh mazhab Maliki dan Hambali dilarang karena terdapat unsur riba yang sangat jelas, sementara bagi mazhab Hanafi, transaksi semacam itu juga dilarang, namun mereka menolak menggunakan Sadd adz-dzari’ah dalam pelarangan tersebut.[39]
c.       Ulama yang menolak metode Sadd adz-dzari’ah secara mutlak adalah ulama Zhahiriyah. Penolakan itu secara panjang lebar dibeberkan oleh ibn Hazm yang intisarinya sebagai berikut:
1.      Hadits yang dikemukakan oleh ulama yang mengamalkan Sadd adz-dzari’ah itu dilemahkan dari segi sanad dan maksud artinya. Hadits itu diriwayatkan dalam banyak versi yang berbeda perawinya.
2.      Dasar pemikiran Sadd adz-dzari’ah itu adalah ijtihad dengan berpatokan kepada pertimbangan kemaslahatan, sedangkan dzahiriyah menolak secara mutlak ijtihad dengan ra’yu (daya nelar) seperti itu. [40]
3.      Hukum syara’ hanya menyangkut apa-apa yang ditetapkan Allah dalam Al-Quran atau dalam sunah dan ijma’ Ulama. Adapun yang ditetappkan diluar ketiga sumber itu bukanlah hukum syara’. Dalam hubungannya dengan Sadd adz-dzari’ah dalam bentuk kehati-hatian yang ditetapkan hukumnya dengan nash atau ijma’, hanyalah hukum pokok atau muqosid, sedangkan hukum pada washilah  atau dzari’ah tidak perlu ditetapkan oleh nash atau ijma’.[41]
Dalam hubungannya dengan Sadd adz-dzari’ah dalam bentuk kehati-hatian yang ditetapkan hukumnya dengan nash atau ijma’ hanyalah hukum pokok atau maqasid, sedangkan hukum pada adz-dzariah tidak pernah ditetapkan.
Adapun sebab terjadinya perbedaan pendapat tersebut adalah:[42]
a.       Karena berbeda dalam memahami dan mengartikan kata-kata dan istilah baik dalam al-Qur’an maupun hadits.
b.      Karena berbeda tanggapan terhadap hadits. Ada hadits yang sampai kepada ulama, tetapi tidak sampai kepada ulama yang lain.
c.       Berbeda dalam menanggapi kaidah-kaidah Ushul. Misalnya ada ulama yang berpendapat bahwa lafal am yang sudah di takh’sis itu bisa dijadikan hujjah. Demikian pula ada yang berpendapat segala macam mafhum tidak bisa dijadikan hujjah. Ulama-ulama yang berpendapat bahwa mafhum itu adalah hujjah, kemudian berbeda lagi tanggapannya terhadap mafhum mukhallaf.
d.      Berbeda tanggapannya tentang ta’arudl[43] dan tarjih[44] seperti tentang nasakh dan mansukh, tentang pentakwilan, dan sebagainya yang dibahas secara luas dalam ilmu Ushul Fikih.
e.       Berbeda pendapat dalam menetapkan dalil uang bersifat ijtihad. Ulama sepakat bahwa Al-Qur’an dan Al-Sunah adalah sumber hukum. Tetapi berbeda pendapat tentang istishan, al-maslahah al-mursalah, pendapat sahabat, dan lain-lainnya yang digunakan dalam era berijtihad. Sering pula tetjadi, disepakati tentang dalilnya, tetapi penerapannya berbeda-beda. Sehingga mengakibatkan hukumnya berbeda pula.[45]
5.      Penggunaan Sadd adz-dzari’ah dalam Transaksi Elektronik
Sadd adz-dzari’ah merupakan sumber hukum pokok dan dalil fikih yang dipakai oleh para ulama secara konsensus. Perbedaan pendapat disini hanya terletak pada penentuan kriterianya. Pada prinsipnya, mereka sepakat bahwa adz-dzari’ah merupakan sumber pokok dan hujjah yang diakui dan berdiri sendiri.
Adapun masalah-masalah Fikih yang mendapat ketetapan hukum berdasarkan adz-dzari’ah diantaranya sebagai berikut:
a.       Penyerahan harta tebusan umtuk mengambil kaum muslimin yang tertawan. Ditinjau dari hukum asalnya, perbuatan itu adalah haram karena memperkuat musuh dan mengancam kedudukan kaum muslimin. Kemudian, penyerahan tebusan itu menjadi boleh kerena menyangkut pembebasan sejumlah tawanan perang dari perbudakan sekaligus memperkukuh pesukan kaum muslim. Contoh ini termasuk dalam konteks fath adz-dzari’ah dan bukan Sadd adz-dzari’ah.
b.      Pemberian upeti kaum muslimin kepada negara musuh untuk menghindari kedzalimannya, apabila kaum muslimin tidak memiliki kekuatan untuk menghadapi pemerintah yang berkuasa, dan demi mempertahankan wilayahnya.
c.       Pengaturan pemberangkatan jamaah haji sebagai suatu kebijakan yang memberi peluang bagi umat islam untuk menunaikan rukun Islam kelima secara tertib, aman dan nyaman merupakan suatu keharusam karena menunaikan ibadah haji adalah wajib hukumnya.[46]

4.      Pandangan PP-PSTE dan UU-ITE Terhadap Model Kebebasan Jual Beli Alat Kontrasepsi Secara Online.
Dalam UU-ITE dan PP-PSTE hukum jual beli alat kontrasepsi secara online tetap diakui sebagai transaksi elektronik yang dapat dipertanggungjawabkan. Persetujuan untuk membeli barang (dalam hal ini alat kontrasepsi) secara online dengan cara melakukan klik persetujuan atas transaksi merupakan bentuk tindakan penerimaan yang menyatakan persetujuan dalam kesepakatan pasa transaksi eleltronik. Tindakan penerimaan tersebut biasanya didahului peryataan persetujuan atas syarat dan ketentuan jual beli secara online yang dapat dikatakan juga sebagai salah satu bentuk Kontrak Elektronik. Selanjutnya terdapat asas-asas yang terdapat pada Bab 2 asas dan tujuan UU-ITE: Pemanfaatan Teknoligi Informasi dan Transaksi Elektronik dilaksanakan berdasarkan asas-asas kepastian hukum, asas memfaat, asas kehati-hatian, asas itikad baik, asas kebebasan memilih teknoligi atau netral teknoligi.[47]
Namun, penerapan asas-asas yang terdapat dalam UU-ITE ini belum sepenuhnya diterapkan oleh pelaku usaha khususnya dalam penjualan alat kontrasepsi secara online. Dimana mengenai asas kepastian hukum siapa yang bileh menggunakan/membeli alat kontrasepsi belum secara detail dilaksanskan pada transaksi elektronik. Melainkan bebas, siapa saja yang dapat menggunakan tanpa ada kontrol dan pengawasan. Sehingga ini perlu kiranya begi orang tua untuk memperhatikan anaknya ketika mengakses media online. Guna mengurangi kesenjangan moral yang diakibatkan konten-konten iklan yang mengandung unsur pornografi, yang secara bebas ditampilkan oleh pelaku usaha. Selanjutnya dalam PP-PSTE disebutkan bahwa; 1. Transaksi Elektronik yang dilakukan para pihak memberi akibat hukum kepada para pihak. 2. Penyelenggara Transaksi Elektonik yang dilakukan para pihak wajib memperhatikan: a.  Itikad baik; b. Prinsip kehati-hatian; c. Transparansi; d. Akuntabilitas; dan d. Kewajaran.[48]
Pada ayat dua huruf (d) disebutkan “objek transaksi tidak boleh bertetangan dengan peraturan perundang-undangan, kesusilaan, dan ketertiban umum”. Dengan demikian ketika penjualan alat kontrasepsi bertentangan dengan peraturan perundang-undangan kesusilaan dan ketertiban umum.melainkan malah menambah keburukan dimasyarakat. Maka sangatlah diperlukan tindakan yang dapat menghentikan keburukan tersebut.
Dalam pasal 9 UU-ITE menjelaskan mengenai informasi dari pelaku usaha mengenai barang yang dijual bahwa: pelaku usaha yang menawarkan produk melalui sistem elektronik harus menyediakan informasi yang lengkap dan benar berkaitan dengan syarat kontrak, produsen dan produk yang ditawarkan.[49]
Kelengkapan informasi yang diberikan kepada konsumen harus sesuai dengan yang seharusnya, beik mengenai kandungan yang terdapat pada alat kontrasepsi tersebut, izin edar, bentuk hingga efek samping, dan legalitas penggunanya.
Kelengkapan informasi ini sangatlah penting dalam transaksi elektronik. Namun, kenyataannya masih banyak beberapa pelaku usaha yang memberikan informasi yang tidak sesusi dengan yang seharusnya mengenai penggunaan alat kontrasepsi. Seperti ketentuan siapa yang boleh membeli, menggunakan alat kontrasepsi. Lebih detail diatur dalam pasal 49 PP-PSTE: 1. Pelaku usaha yang menawarkan produk melalui sistem elektronik wajib menyediakan informasi yang lengkap dan benar berkaitan dengan dyarat kontrak, produsen, dan produk yang ditawarkan. 2. Pelaku usaha wajib memberikan kejelasan informasi tentang penawaran kontrak dan iklan. 3. Pelaku usaha wajib memberikan batas waktu kepada konsumen untuk mengembalikan barang yang dikirim apabila tidak sesuai dengan perjanjian atau terdpat cacat tersembunyi. 4. Pelaku usaha wajib menyampaikan informasi mengenai barang yang telah dikirim. 5. Pelaku usaha tidak dapat membebani konsumen mengenai keeajiban membayar barang yang dikirim tanpa dasar kontrak.[50]
Kewajiban bagi pelaku usaha (dalam hal ini adalah penjualan online), sesuai yang dirumuskan dalam pasal 7 huruf (a) Undang-undang Perlindungan Konsumen; kewajiban pelaku usaha adalah: Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya. Prakteknya para remaja yang belum menikah masih tetap bisa mendapatkan alat kontrasepsi dan tentunya menggunakannya.[51]
Selain ketentuan dari UU-ITE dan PP-PSTE terdapat ketentuan lain yang melarang penyebaran pornografi yaitu BAB II Larangan dan Pembatasan pasal 4 ayat 1 dan ayat 2 UU No. 44 tahun 2008 tentang pornografi. 1. Setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, memyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, atau menyediakan pornografi yang secara eksplisit memuat: a. Persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang; b. Kekesaran seksual; c. Masturbasi atau oani; d. Ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan; e. Alat kelamin; atau f. Pornografi anak. 2. Setiap orang dilarang menyediakan jasa pornografi yang: a. Menyajikan secara eksplisit ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan; b. Menyajikan secara eksplisit alat kelamin; c. Mengeksploitasi atau memamerkan aktivitas seksual; atau d. Menawarkan atau mengiklankan, baik langsung maupun tidak langsung layanan seksual.[52]
Pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media kuminikasu atau pertunjukan di muka umum yang membuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat.[53]
Sedangkan praktek jual beli alat kontrasepsi secara online merupakan termasuk dalam kategori pornografi. Dimana adanya tindakan penyebarluasan konten-konten mengandung unsur pornografi dalam penayangan iklan alat kontrasepsi. Maka, praktek tersebut memiliki dampak buruk, sebagaimana larangan yang tercantum dalam pasal 4 ayat 1 huruf (e) dan (d) Undang-undang Nomor 44 tahun 2008 tentang pornografi.
Tepat pada pasal 4 ayat 1 huruf (e0 Undang-undang Nomor 44 tahun 2008 tentang pornografi. Disebutkan “alat kelamin”, dengan demikian paraktek penjualan alat kontrasepsi yang menggunakan iklan dalam pemasarannya haruslah memperhatikan ketentuan-ketentuan yang mengaturnya.
Meskipun jelas secara detail disebutkan dalam undang-undang tersebut, mengenai alat kontrasepsi, masih banyak pelaku usaha yang tetap menjalankan ilkan tersebut. Lebih-lebih pada media yang langsung dapat diterima informasinya oleh remaja seperti: facebook, twitter, instagram, path, blogger, dan media lainnya.
Etika adalah standar moral yang mengatur perilaku bagaimana kita bertindak dan mengharapkan orang lain bertindak. Pada dasarnya etika merupakan dialektika antara kebebasan dan tanggung jawab; antara tujuan yang hendak dicapai dengan cara untuk mencapainya.[54] Iklan berkaitan dengan penilaian perilaku; benar atau tidak benar, baik atau tidak baik, pantas atau tidak pantas, berguna atau tidak berguna, dan harus dilakukan atau tidak boleh dilakukan. Penegakan etika dalam konteks periklanan menjadi penting dikarenakan perlunya nirma untuk mengeliminasi dampak negatif dari aktifitas periklanan dan sebagai wujud tanggung jawab sosial perudahaan pengiklanan.
Kegiatan jual beli secara online atau yang biasa disebut dengan e-comerce saat ini telah banyak dilakukan oleh pelaku usaha sebagai suatu perdagangan yang yang berbasis teknoligi canggih, e-comerce  telah mereformasi perdagangan konvensional dimana interaksi antara konsumen dan perusahaan yang sebelumnya dilakukan secara langsung menjadi interaksi yang tidak langsung.[55]
Perlunya pembatasan peredaran terhadap alat kontrasepsi berjenis kondom sangat diperlukan pengaturannya oleh bangsa ini, salah satu langkah untuk membatasi peredarannya adalah dengan menerbitkan suatu lembaga yang mengontrol peredaran alat kontrasepsi.[56] Dalam hal ini contraception center yang diberi tugas untuk menjual alat kontrasepsi dengan beberapa persyaratan seperti menunjukan KTP dan Buku Nikah. Serta terdapat aturan bahwa pembelian alat kontrasepsi hanya dapat dilakukan di contraception center dan terdapat sanksi pidana apabila swalayann dan toko lainnya menjual alat kontrasepsi.
Maka perlu dibentuk pula Badan pengawas peredaran alat kontrasepsi yang mempunyai fungsi mengawasi dan penegakan hukum pidana apabila ketentuan dalam undang-undang tersebut dilanggar oleh swalayan, mini market, toko online maupun pegawai contraception center itu sendiri apabila tidak bekerja sesuai dengan tugas dan fungsinya.
Dengan system tersebut terciptalah peredaran alat kontrasepsi satu pintu. Pembelian hanya dapat dilakukan di contraception center yang telah ditunjuk undang-undang sebagai satu-satunya tempat pembelian yang legal serta menetapkan persyaratan adanya KTP dan buku nikah untuk pembelian alat kontrasepsi.
Begitupun produsen, hanya diijinkan menyuplai produknya lewat contraception center maka produsen dilarang untuk menjual kepada minimarket, swalayan, dan toko online serta adanya badan pengawas yang independen yang mempunyai atribusi wewenang untuk mengawasi peredaran kontrasepsi agar sesuai dengan sistem yang di tetapkan undang-undang. Dengan demikian alat kontrasepsi tidak dapat dibeli secara langsung dan bebas oleh remaja dan anak di bawah umur, dan mengembalikan nilai-nilai moral generasi penerus bangsa Indonesia.

5.      Pandangan Sadd Adz-Dzari’ah Terhadap Model Kebebasan Jual Beli Alat Kontrasepsi Secara Online.
Dalam hukum islam jual beli online atau transaksi elektronik diperbolehkan, dengan ketentuan dan deskripsi mengenai barang dan akadnya harus detail dan jelas. Sebab dalam transaksi elektronik antara penjual dan pembeli tidak bertemu secara langsung.
Jual beli yang sah menurut kesepakatan ulama jika memenuho syarat dan rukunya, tidak mengandung sifat yang membahayakan masyarakat, syarat yang bertentangan dengan ketentuan akad, atau pertimbangan-pertimbangan lain yang keluar dari akad.[57] Dasar pengambilannya berdasarkan ijtihad, berdasarkan tindakan kehati-hatian dalam beramal dan jangan sampai melakukan perbuatan yang dapat menimbulkan kerusakan. Kemudian yang dijadikan pedoman dalam tindakan hati-hati itu adalah faktor menfaat dan mudharat atau baik dan buruk. Sehingga nantinya dapat ditarik kesimpulan hukumnya.
Dalam pembahasan kali ini, penulis akan mencoba memfokuskan pembahasan guna dapat menyentuh kasus yang diangkat. Dengan pengelompokan sadd adz-dzari’ah kepada beberapa segi sebagai berikut:
a.       Dengan memandang kepada akibat (dampak) yang ditimbulkannya, ibn Qayyim membagi sadd adz-dzari’ah menjadi empat, yaitu:[58]
1.      sadd adz-dzari’ah yang memang pada dasarnya membawa kepada kerusakan seperti minum-minuman yang memabukan yang membawa kepada kerusakan akal atau mabuk, perbuatan zina yang membawa kepada kerusakan tata keturunan.
2.      sadd adz-dzari’ah yang ditentukan untuk suatu yang mubah, namun ditujnukan untuk suatu yang buruk yang merusak, baik dengan sengaja seperti nikam muhalil[59], atau idak sengaja mencaci sembaha agama lain.
3.      sadd adz-dzari’ah yang semula ditentukan untuk mubah, tidak ditunjukan untuk kerusakan yang mana kerusakan itu lebih besar dari kebaikannya, seperti berhiasnya seorang perempuan dalam masa ‘iddah yang baru mengalami kematian suaminya.
4.      sadd adz-dzari’ah yang awalnya ditentukan mubah hukummya, namun terkadang membawa kepada kerusakan, sedangkan kerusakannya lebih kecil dibanding kebaikannya. Contoh laki-laki melihat wajah perempuan saat dipinang.
b.      Dari segi tingkat kerusakan yang ditimbulkan, Abu Ishak al-Syatibi membagi sadd adz-dzari’ah menjadi empat macam yaitu:[60]
1.      sadd adz-dzari’ah yang membawa kerusakan secara pasti. Artinya, bila perbuatan sadd adz-dzari’ah itu tidak dihindarkan pasti terjadi kerusakan. Umpamanya menggali lubang ditanah sendiri dekat pintu masuk rumah seseorang diwaktu gelap, dan setiap orang yang keluar dari rumah itu pasti akan terjatuh ke dalam lubang tersebut. Sebenernya menggali lubang itu boleh saja. Namun penggalian yang dilakukan dalam kondisi yang seperti itu akan mendatangkan kerusakan.
2.      sadd adz-dzari’ah yang membawa kepada kerusakan menurut biasanya, dengan arti kalua sadd adz-dzari’ah itu dilakukan, maka kemungkinan besar akan timbul kerusakan atau akan dilakukannya perbuatan yang dilarang. Umpamanya menjual anggur kepada pabrik pengolahan minuman keras, atau menjual pisau kepada penjahat yang sedang mencari musuhnya. Menjual anggur boleh-boleh saja dan tidak mesti pula anggur yang dijual itu dijadikan minuman keras, namun menurut kebiasaan pabrik minuman keras membeli anggur untuk diolah menjadi minuman keras. Demikian pula menjual pisau kepada penjahat tersebut, kemungkinan besar akan digunakan untuk membunuh atau menyakiti orang lain.
3.      sadd adz-dzari’ah membawa kepada perbuatan terlarang menurut kebanyakannya. Hal ini bila sadd adz-dzari’ah itu tidak dihindarkan sering kali sesudah itu akan mengakibatkan berlangsungnya perbuatan yang dilarang. umpamanya jual beli kredit, memang tidak selalu jual beli kredit itu membawa kepada riba, nemun dalam prakteknya sering dijadikan sarana untuk riba.
4.      sadd adz-dzari’ah yang jarang sekali membawa kerusakan atau perbuatan terlarang. Dalam hal ini seandainya perbuatan itu dilakukan belum tentu akan menimbulkan kerusakan. Umpamanya menggali lubang dikebun sendiri yang jarang dilalui orang. Menurut kebiasaan tidak ada yang berlalu (lewat) ditempat itu yang akan terjatuh kedalam lubang. Nemun tidak menutup kemungkinan ada yang tersesat lalu terjatuh kedalam lubang.
Dalam teori sadd adz-dzari’ah hokum jual beli, dalam kasus alat kontrasepsi hukumnya adalah tidak diperbolehkan. Dengan ketentuan bahwa alat kontrasepsi digunakan oleh orang yang belum berhak/legal menggunakannya. Ketika penggunanya adalah orang yang legal secara hokum islam maka hukumnya adalah boleh. Atau dapat menggunakan konsep fath adz-dzari’ah.
Sebab ketika diperbolehkan, menjual kepada yang belum berhak maka akan berdampak semakin tingginya nilau tidak keperawanan dan keperjakaan seorang remaja diakibatkan hubungan seks. Meskipun tidak hamil, tapi ini adalah suatu keadaan yang merugikan. Baik bagi remaja, orang tua, dan kehidupan sosial. Sebab perjaka dan perawan merupakan hal yang sensitif dalam kehidupan sosial masyarakat. Sebab berhubungan badan tidak dalam ikatan perkawinan dilarang dalam hukum islam, dan berpengaruh terhadap jual beli secara online yang dilarang atau yang berdampak negatif.
Prinsip larangan dalam Islam memiliki tujuan yang sangat mendasar guna menjaga lima kebutuhan mendasar menusia. Kelima kebutuhan pokok manusia itu dikenal dengan maqosid al-khomsah yaitu: menjaga nyawa, menjaga akal, menjaga harta, menjaga keturunan, dan menjaga agama.
Maka berometer untuk mengukur dan menjadi acuan apakah suatu usaha bisnis atau segala usaha yang dijalankan oleh seseorang memiliki unsur yang membahayakan (dharar). Dapat menggunakan konsep sadd adz-dzari’ah.
Dari uraian diatas dapat dirumuskan bahwa; dalam transaksi elektronik atau jual beli alat kontrasepsi secara online, dalam konsep sadd adz-dzari’ah terbagi menjadi dua bagian:
1.      penjualan alat kontrasepsi kepada pembeli/konsumen yang digunakan dalam hal kebaikan, menimbulkan manfaat, tidak betentangan dengan hukum islam. Konsumen/pembeli tersebut adalah orang yang telah menikah/dihalalkan dalam menggunakan alat kontrasepsi. Sehingga dampak dari penggunaannya tidak bertentangan dengan hukum Islam. Maka adz-dzari’ah (perantara) yang digunakan adalah Fath adz—dzari’ah, diperbolehkan. Akibat hukum yang timbul dari jual beli tersebut adalah halal.
2.      Penjualan alat kontrasepsi kepada pembeli/konsumen yang digukanan dalam hal diharamkan (zina), keburukan, kerugian, kerusakan, dan bertentangan dengan Hukum Islam. Pembeli/konsumen tersebut adalah orang yang belum menikah. Dengan demikian akibat hukum yang timbul dari jual beli tersebut adalah haram. Maka jual beli tersebut harus dilarang/ditutup sadd adz-dzari’ah.

6.      Dampak Kebebasan Jual Beli Alat Kontrasepsi Secara Online
Mengenai beradanya penjualan alat konstrasepsi secara luas melalui media online. Menjadikan dampak tersendiri bagi para penikmat media online. Mulai dari kalangan anak-anak hingga kalangan yang lanjut usia. Hal ini memiliki dua dampak yaitu baik dan buruk. Ketika konsumen pengguna alat kontrasepsi adalah orang yang diperbolehkan menggunakan secara hokum. Sedangkan buruk ketika konsumen pengguna adalah anak-anak yang belum diperbolehkan oleh hukum.
Sesuai informasi data yang diperoleh dari berbagai sumber, maraknya kasus seksual yang dilakukan oleh anak dibawah umur. Merupakan wujud dari tidak takunya anak-anak dalam melakukan hubungan seksual. Penyebabnya yaitu mudahnya mendapatkan alat kontrasepsi secara online. Dengan demikian, semakin mudah seseorang mendapatkan alat kontrasepsi maka semakin mudah pula seseorang untuk melakukan hubungan seksual tanpa harus ditakuti akan kehamilan.
Seperti data yang diperoleh dari Kompasiana.com bahwa remaja wanita SMA 80% tidak perawan lagi, dan pria diatasnya.[61] Dengan kata lain sudah pernah melakukan hubungan seksual. Demikian pula data hasil survei secara acak selama kurun waktu, yang disampaikan oleh KPPA (Kantor Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak) kabupaten Tangerang.
Angka tersebut masih jauh diatasnya data angka presentase serupa dikalangan remaja JaBoDeTaBek sekitar 51% data yang dirilis oleh BKKBN (Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional) pada awal bulan November 2017 lalu.[62]
Komisi perlindungan anak juga pernah merilis data survey di 12 kota besar di Indonesia pada tahun 2007, dimana 62,7% yang duduk di bangku SMP (Sekolah Menengah Pertama) pernah berhubungan intim dan 21,2% Siswi SMA (Sekolah Menengah Atas) pernah menggugurkan kandungannya.[63] Survey berikutnya dilaukan oleh Durex dan Harris Interactive yang menunjukan bahwa usia rata-rata kehilangan keperawanan di Indonesia itu sekitar umur 19,1 tahun.[64]
Angka usia di Indonesia itu berada di urutan ke 9 dari 10 Negara yang disurvei, yaitu Malaysia (23 tahun), India (22,9 tahun), Singapura (22,8 tahun), Cina (22,1 tahun), Thailand 20,5 tahun), Hongkong (20,2 tahun ), Vietnam 19,7 tahun), Jepang (19,4 tahun), Taiwan (18,9 tahun).
Namun, angka usia di Indonesia itu masih di atasnya usia rata-rata di 27 negara eropa sekitar 16 tahun, dengan usia tertinggi di Spanyol sekitar 19,2 tahun dan usia terandah di Iceland sekitar 15,6 tahun, maupun juga si Amerika Serikat sekitar 18 tahun.[65]
Majalah detik edisi 25 Juli 2012 dalam rubik fokusnya ternyata sebanyak 21% remaja atau satu diantara lima remaja di Indonesia pernah melakukan aborsi. Data itu merupakan hasil pengumpulan data yang dilakukan Komnas Perlindungan Anak. Dengan mengumpulkan 14.726 sempel anak SMP dan SMA di 12 kota terbesar di Indonesia. Antara lain Jakarta, Bandung, Makasar, Medan, Lampung, Palembang, dan Kepulauan Riau. Dan kota-kota lain di Sumatra Barat dalam Forum Diskusi Anak Remaja pada 2011. Hasilnya adalah mereka mengaku hamper 93,7% pernah melakukan hubungan seks. Lalu 83% mengaku pernah menonton Video porno, dan 12% mengaku pernah melakukan aborsi. Penjelasan Ketua Komnas Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait.[66]
Selain itu Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Maria Ulfa Anshori pernah melakukan penelitian Bersama Pusat Kajian Kesehatan Perempuan Universitas Indonesia (UI) soal aborsi pada 2003. Dari penelitian itu tercatat rata-rata terjadi dua juta kasus aborsi per tahun. Lalu pada tahun berikutnya, 2004 penelitian yang sama menunjukan kenaikan tingkat aborsi yakni 2,1 s/d 2,2 juta per tahun.[67]
Hasil tersebut sangat mengerikan dan membahayakan, apalagi bagi anak-anak perempuan. Fskts itu berbicara bahwa berdasarkan penelitian Australian National University (ANU) dan pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia (UI) tahun 2010/2011 di Jakarta. Tangerang dan Bekasi dengan jumlah sempel 3006 responden (usia 17-24 tahun), meunjukan 20,9% remaja mengalami kehamilan dan kelahiran sebelum menikah, kemudian 28,7% remaja mengalami kehamilan sebelum menikah dan kelahiran setelah menikah.
Sementara riset Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia (UI) menyebutkan 650 ribu Anak Baru Gede (ABG) tidak perawan, riset itu dilakukan tahun 2010/2011. Jika di tambah Tangerang dan Bekasi ada 20% remaja Hamil sebelum menikah. Angka ini pastinya akan semakin membengkak jika riset dilakukan secara nasional.



C.    Penutup
1.      Kesimpulan
a.       Kebebasan jual beli alat kontrasepsi secara online, merupakan kebebasan model tidak terbatas, yakni dalam hal siapa saja boleh melakukan jual beli alat kontrasepsi secara online. Tanpa adanya ketentuan menikah dan belum menikah.
b.      PP-PSTE, UU-ITE dan sadd adz-dzari’ah meninjau model kebebasan jual beli alat kontrasepsi secara online sebagai berikut:
1.      PP-PSTE dan UU-ITE belum mengatur secara detail mengenai penjualan alat kontrasepsi secara online.
2.      Selanjutnya dalam sadd adz-dzari’ah mengenai jual beli alat kontrasepsi secara online ketika menimbulkan hal-hal terlarang. Maka, jual beli tersebut harus dilarang atau dihukumi haram.
Hanya saja terdapat ketentuan lain yang mengatur mengenai larangan pornografi seperti yang tercantum dalam pasal 4 ayat 1 UU Pornografi yang berbunyi: Setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, atau menyediakan pornografi yang secara eksplisit memuat: a. Persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang; b. Kekerasan seksual; c. Masturbasi atau onani; d. Ketelenjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan; e. Alat kelamin; atau f. Pornografi anak.
Dalam konsep hukum islam. Jual beli ini termasuk tolong-menolong dalam perbuatan dosa dan pelanggaran yang tidak mengenal batas siapa yang berhak membeli dan menggunakan alat kontrasepsi. Larangan yang menunjukan keharaman jika telah dihukumi haram, maka jual beli menjadi haram.
Jual beli alat kontrasepsi secara online sah secara dhahir, makruh secara tahrim menurut ulama Hanafiyah dan haram menurut ulama Syafi’iyah. Tidak sah menurut ulama Malikiyah dan Hanabilah. Guna untuk menutup jalan keharaman (sadd adz-dzari’ah).
Hal itu karena akadnya telah memenuhi syarat dan rukun jual beli yang ditetapkan syariah dan dosa disebabkan oleh niat yang salah atau ada faktor lain yang tidak dibenarkan oleh syariah. Dalam hal ini penjualan alat kontrasepsi kepada remaja yang belum menikah tidak ada larangan sehingga remaja dapat melakukan hubungan seksual meski belum menikah. Sedangkan dalam konsep sadd adz-dzari’ah,  jual beli hukum awalnya adalah diperbolehkan, tetapi ketika menimbulkan keharaman maka harus dilarang.
Selanjutnya ketentuan PP-PSTE dan UU-ITE belum sepenuhnya mengatur mengenai jual beli alat kontrasepsi secara online. Sedangkan dalam konsep sadd adz-dzari’ah jual beli alat kontrasepsi secara online dilarang kitika pembeli adalah orang yang belum waktunya menggunakan alat kontrasepsi.
Undang-undang nomor 11 tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektronik dan peraturan pemerintah nomor 82 tahun 2912 tentang penyelenggaraan sistem dan transaksi elektronik. Belum sepenuhnya mengatur peredaran alat kontrasepsi secara online. Dengan demikian tidak sesuai dengan konsep Hukum Islam tepatnya dalam teori Ushul Fikih sadd adz-dzari’ah. Yang melarang jual beli yang menyebabkan dampak kerusakan.




DAFTAR PUSTAKA

BUKU
Mushaf al-azhar, Al-Qur;an dan terjemeh, (Bandung: Penerbit Hilal, 2010)
Azhari Faturrahman, Qawai Fiqhiyah Muamalah, (Banjarmasin: LPKU, 2015)
Dahlan Rahman, Ushul Fikih, (Jakarta: Amzah, 2010)
Djazuli, Ilmu Fiqih (Penggalian, Perkembangan Dan Penerapan Hukum Islam), (Jakarta: Kencana, 2005)
Efendi Satria, Ushul Fikih, (Jakarta: Kencana, 2005).
Faturrahman Amirudin, Pengantar Ilmu Fiqh, (Bangdung: Refika Aditama, 2016)
Mantri Bagus Hanindyo, aperlindungan Hukum terhadap Konsumen dalam Transaksi E-Comerce, (Semarang, Universitas Dipenogoro, 2007)
Mariam dan Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001)
martokusumo Sudikmo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, (yogyakarta: Universitas Atma Jaya, t.th)
Ramli Ahmad M, cyber law dan HAKI dalam system hokum Indonesia, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2011)
Sabiq Sayid, Fiqhu As-Sunnah, terj. Ahmada Cornish Creativa, fikih sunnah 3, (surakarta: Insan Kamil, 2016)
Syarifuddin Amir, Ushul Fikih, (Jakarta: kencana, 2008)
az-Zuhaili Wahbah, Al-Fiqhu al-Islamiyyu wa ‘adillatuhu, terj. Abdul Hayyie al-Kattani, Fiqih Islam WA Adillatuhu, (Jakarta: Gema Insani, 2011)
az-zuhaili Wahbah, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Damaskus, Dar al-Fikr, 1976)

JURNAL
Adona Fitri, Etika Bisnis Periklanan: Pelanggaran Pedoman Etika dalam Televisi 2012, E-Jurnal (Padang: Politeknik Negeri Padang, 2012)

UNDANG-UNDANG
Lihat pasal 3 Undang-undang nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elekrtonik (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4843).
Lihat pasal 46 ayat 1 dan 2 peraturan pemerintah no. 82 tahun 2012 tentang penyelenggaraan sistem dan transaksi elektronik (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5348).
Lihat pasal 9 Undang-undang no 11 tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektronik (Tambahan lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4843).
Pasal 49 peraturan pemerintah nomor 82 tahun 2012 tentang pengaturan system dan transaksi elektronik (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5348).
Pasal 7 huruf (a) Undang-ungdang nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan koosumen (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3821).
Pasal dan pasal 2 UU No. 44 tahun 2008 tentang pornografi (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3821).
Lihat ketentuan umun pasal 4 ayat 1 UU No. 44 tahun 2008 tentang pornografi (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3821).
Lihat pasal 4 dan ayat 2 Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Sistem Dan Transaksi Elejtronik (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5348).
Lihat pasal 49 ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4843).
Pasal 1 ayat 2 Peraturan Pemerintah nomor 82 tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PP-PSTE) (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5348).

INTERNET
Ade Armando, “Apa Benar 93% Remaja Indonesia Sudah Pernah Melakukan Hubingan Seks”, http://www.mediaonline.id/c907editorial/apa-benar-93-remaja-indonesia-pernah-melakukan-hubungan-seks/. Diakses pada hari rabu 17 oktobrt 2018, pada jam 11:45
Agung DH, Keperjakaan dan Keperawanan Generasi Milenial, https://tirto.id/keperjakaan-dan-keperawanan-generasi-milenial, diakses pada hari minggu 14 Oktober 2018, pada jam 11:30.
Arist Merdeka Sirait, Rubik Fokus, Majalah Detik edisi 25 juli 2012.
Azam Zaini M,  Perlunya Legislasi Penjualan Kondom, http://www.kompasiana.com, diakses pada hari rabu 10 november 2018, pada pukul 17:40.
Hukum jual beli online, www.nu.or.id/post/read/51520/hukum-jual-beli-online, diakses pada hari rabu 17 oktober 2018, pada jam 23:45
Kompas PA, 80 Gadis Tak Lagi Perawan, http://www.kompasiana.com/bocahndeso/80-gadis-tak-lagi/perawan, diakses pada hari minggu 14 oktober 2018 pada jam 11:15
Larangan Tipu Menipu Dalam Jual Beli, https://www.mutiarahadits.com/93/30/76/larangan-tipu-menipu-dalam-jual-beli.htm, diakses pada hari kamis 18 oktober, pada jam 00:50
Plus minus kondom online, http://www.mykondom.com/blog-section/blogart42, diakses hari jumat 12 oktober 2018,
Rifky Pradana, 80% gadis tak perawan, http://www.kompasiana.com/bocahndeso/80%-gadis-tak-lagi-perawan_550057e2a33311376f510bc4, diakses pada hari rabu 17 Oktober 2018.





[1]Ahmad M. Ramli, cyber law dan HAKI dalam system hokum Indonesia, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2011), hal. 23.
[2]Pasal 1 ayat 2 Peraturan Pemerintah nomor 82 tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PP-PSTE) (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5348).
[3]Anak dalam pasal 1 UU Pornografi disebutkan bahwa yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun.
[4]Plus minus kondom online, http://www.mykondom.com/blog-section/blogart42, diakses hari jumat 12 oktober 2018,
[5]Agung DH, Keperjakaan dan Keperawanan Generadi Milenial, https://tirto.id/keperjakaan-dan-keperawanan-generasi-milenial, diakses hari jumat 12 Otober 2018, pada jam 23:20.
[6]Sudikmo martokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, (yogyakarta: Universitas Atma Jaya, t.th), h.63.
[7]Bagus Hanindyo mentari, Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Transaksi E-Commerce, (Semarang: Universitas Dipenogoro, 2007), h. 10
[8]Lihat pasal $& ayat 2 Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Sistem Dan Transaksi Elejtronik (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5348).
[9]Lihat pasal 49 ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4843).
[10]Mushaf al-azhar, Al-Qur;an dan terjemeh, (Bandung: Penerbit Hilal, 2010), h. 47.
[11]Sayid Sabiq, Fiqhu As-Sunnah, terj. Ahmada Cornish Creativa, fikih sunnah 3, (surakarta: Insan Kamil, 2016), h. 38.
[12]Sayid Sabiq, Fiqhu As-Sunnah, terj. Ahmada Cornish Creativa, fikih sunnah 4, (surakarta: Insan Kamil, 2016), h. 20.
[13]Sayid Sabiq, Fiqhu As-Sunnah, terj. Ahmada Cornish Creativa, fikih sunnah 4, (surakarta: Insan Kamil, 2016), h. 89.
[14]Hukum jual beli online, www.nu.or.id/post/read/51520/hukum-jual-beli-online, diakses pada hari rabu 17 oktober 2018, pada jam 23:45
[15]Larangan Tipu Menipu Dalam Jual Beli, https://www.mutiarahadits.com/93/30/76/larangan-tipu-menipu-dalam-jual-beli.htm, diakses pada hari kamis 18 oktober, pada jam 00:50
[16]Faturrahman Azhari, Qawai Fiqhiyah Muamalah, (Banjarmasin: LPKU, 2015), h. 135.
[17]Faturrahman Azhari, Qawai Fiqhiyah Muamalah, h. 137.
[18]Faturrahman Azhari, Qawai Fiqhiyah Muamalah, h. 138.
[19]Akad Mu’awadhah adalah akad yang berlaku atas dasar timbal balik seperti akad jual beli.
[20]Faturrahman Azhari, Qawai Fiqhiyah Muamalah, h. 139.
[21]Faturrahman Azhari, Qawai Fiqhiyah Muamalah, h. 140.
[22]Djazuli, Ilmu Fiqih (Penggalian, Perkembangan Dan Penerapan Hukum Islam), (Jakarta: Kencana, 2005), h. 98.
[23]Amir Syarifuddin, Ushul Fikih, (Jakarta: kencana, 2008), h. 424.
[24]Rahman Dahlan, Ushul Fikih, (Jakarta: Amzah, 2010), h. 236.
[25]Satria Efendi, Ushul Fikih, (Jakarta: Kencana, 2005), h. 172-172.
[26]Satria Efendi, Ushul Fikih, h. 174.
[27]Rahman Dahlan, Ushul Fikih, h. 238.
[28]Djazuli, Ilmu Fiqih (Penggalian, Perkembangan Dan Penerapan Hukum Islam), h. 101.
[29]Djazuli, Ilmu Fiqih (Penggalian, Perkembangan Dan Penerapan Hukum Islam), h. 102.
[30]Wahbah az-Zuhaili, Al-Fiqhu al-Islamiyyu wa ‘adillatuhu, terj. Abdul Hayyie al-Kattani, Fiqih Islam WA Adillatuhu, (Jakarta: Gema Insani, 2011) jilid 5, h. 175.
[31]Mushaf al-azhar, Al-Qur;an dan terjemeh, (Bandung: Penerbit Hilal, 2010), h. 141.
[32]Mushaf al-azhar, Al-Qur;an dan terjemeh, (Bandung: Penerbit Hilal, 2010), h. 16.
[33]Amir Syarifuddin, Ushul Fikih, (Jakarta: kencana, 2008), h. 423.
[34]Amir Syarifuddin, Ushul Fikih, h. 430.
[35]Amir Syarifuddin, Ushul Fikih, h. 430.
[36]Amir Syarifuddin, Ushul Fikih, h. 431.
[37]Wahbah az-zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Damaskus, Dar al-Fikr, 1976), h. 881.
[38]Wahbah az-zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, h. 882.
[39]Wahbah az-zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, h. 883.
[40]Wahbah az-Zuhaili, Al-Fiqhu al-Islamiyyu wa ‘adillatuhu, h. 883.
[41]Wahbah az-Zuhaili, Al-Fiqhu al-Islamiyyu wa ‘adillatuhu, h. 884.
[42]Djazuli, Ilmu Fiqih (Penggalian, Perkembangan Dan Penerapan Hukum Islam), h. 118-129.
[43]Ta’arudl adalah pertentangan antara dalil.
[44]Tarjih adalah menguatkan satu dalil atas dalil yang lain.
[45]Amirudin Faturrahman, Pengantar Ilmu Fiqh, (Bangdung: Refika Aditama, 2016), h. 66-67.
[46]Mariam dan Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001), h. 85.
[47]Lihat pasal 3 Undang-undang nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elekrtonik (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4843).
[48]Lihat pasal 46 ayat 1 dan 2 peraturan pemerintah no. 82 tahun 2012 tentang penyelenggaraan sistem dan transaksi elektronik (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5348).
[49]Lihat pasal 9 Undang-undang no 11 tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektronik (Tambahan lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4843).
[50]Pasal 49 peraturan pemerintah nomor 82 tahun 2012 tentang pengaturan system dan transaksi elektronik (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5348).
[51]Pasal 7 huruf (a) Undang-ungdang nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan koosumen (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3821).
[52]Pasal dan pasal 2 UU No. 44 tahun 2008 tentang pornografi (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3821).
[53]Lihat ketentuan umun pasal 4 ayat 1 UU No. 44 tahun 2008 tentang pornografi (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3821).
[54]Fitri Adona, Etika Bisnis Periklanan: Pelanggaran Pedoman Etika dalam Televisi 2012, E-Jurnal (Padang: Politeknik Negeri Padang, 2012), H. 50.
[55]Bagus Hanindyo Mantri, aperlindungan Hukum terhadap Konsumen dalam Transaksi E-Comerce, (Semarang, Universitas Dipenogoro, 2007), h. 10.
[56]Azam Zaini M,  Perlunya Legislasi Penjualan Kondom, http://www.kompasiana.com, diakses pada hari rabu 10 november 2018, pada pukul 17:40.
[57]Wahbah az-Zuhaili, Al-Fiqhu al-Islamiyyu wa ‘adillatuhu, jilid 5, h. 884.
[58]Amir Syarifuddin, Ushul Fikih, h. 427.
[59]Perkawinan tahlil muhalil) adalah (seorang pria) mangawini (wanita) yang sudah ditalak tiga sesudah lepas masa iddahnya, atau sesudah digaulinya, kemidian ditalak (lagi) untuk menghalalkan bagi suami pertama (yang mengawininya kembali).
[60]Amir Syarifuddin, Ushul Fikih, h. 428.
[61]Kompas PA, 80 Gadis Tak Lagi Perawan, http://www.kompasiana.com/bocahndeso/80-gadis-tak-lagi/perawan, diakses pada hari minggu 14 oktober 2018 pada jam 11:15
[62]Agung DH, Keperjakaan dan Keperawanan Generasi Milenial, https://tirto.id/keperjakaan-dan-keperawanan-generasi-milenial, diakses pada hari minggu 14 Oktober 2018, pada jam 11:30.
[63]Agung DH, Keperjakaan dan Keperawanan Generasi Milenial, https://tirto.id/keperjakaan-dan-keperawanan-generasi-milenial, diakses pada hari minggu 14 Oktober 2018, pada jam 11:30.
[64]Kompas PA, 80 Gadis Tak Lagi Perawan, http://www.kompasiana.com/bocahndeso/80-gadis-tak-lagi/perawan, diakses pada hari minggu 14 oktober 2018 pada jam 11:15
[65]Rifky Pradana, 80% gadis tak perawan, http://www.kompasiana.com/bocahndeso/80%-gadis-tak-lagi-perawan_550057e2a33311376f510bc4, diakses pada hari rabu 17 Oktober 2018.
[66]Arist Merdeka Sirait, Rubik Fokus, Majalah Detik edisi 25 juli 2012.
[67]Ade Armando, “Apa Benar 93% Remaja Indonesia Sudah Pernah Melakukan Hubingan Seks”, http://www.mediaonline.id/c907editorial/apa-benar-93-remaja-indonesia-pernah-melakukan-hubungan-seks/. Diakses pada hari rabu 17 oktobrt 2018, pada jam 11:45

No comments:

Post a Comment

Definisi Hukum Acara Pidana

MAKALAH DEFINISI HUKUM ACARA PIDANA Diajukan Sebagai Tugas Mata Kuliah Hukum Acara Pidana Program Studi Hukum Ekonomi Syari’ah (HES) Di Se...