Oleh:
Muhammad Nur
Muzakki
Abstrak
Kebebasan jual beli alat kontrasepsi secara online merupakan tidak
ada batasan dalam melakuukan proses transaksi jual beli secara online. Proses
yang dimaksud ialah transaksi elektronik yang memperjual belikan alat
kontrasepsi pada semua kalangan. Baik yang sudah dewasa, belum dewasa (di bawah
umur 18 tahun), dan status sudah menikah ataupun belum menikah.
Dalam makalah ini ada dua yang menjadi pokok pembahasan yaitu
bagaimana model kebebasan jual beli alat kontrasepsi secara online, kemudian
bagaimana tinjauan dalam hukum positif dalam hal ini Peraturan Pemerintah nomor 82
tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PP-PSTE),
Undang-undang nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
(UU-ITE), dan hukum ekonomi islam dalam hal ini sadd adz-dzari’ah. Terhadap model jual beli alat
kontrasepsi secara online. Adapun tujuan dari makalah ini adalah untuk
mengetahui kebebasan jual beli alat kontrasepsi secara online, dan untuk
mengetahui pandangan Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PP-PSTE),
Undang-undang nomor 11 tahun 2008 tentang Transaksi Elektronik (PP-ITE) dah hukum ekonomi islam, sadd adz-dzari’ah
terhadap kebebasan jual beli alat kontrasepsi secara online.
Kata kunci:
kebebasan jual beli online, Alat kontrasepsi, Sadd Adz-Dzari’ah
A.
LATAR BELAKANG
pada era teknologi yang maju saat ini, jual
beli tidak hanya dilakukan dengan bertatap muka melainkan tanpa harus bertatap
muka antara penjual dan pembeli, kegiatan jual belipun bisa dilakukan, jual
beli yang dimaksud adalah jual beli online.
Menutur M. Ramli “kemajuan teknoligi internet
telah mengubah perilaku masyarakat dan peradaban manusia secara global.
Disamping itu, perkembangan internet telah menyebabkan dunia menjadi tanpa
batas (borderless) dan menyebabkan perubahan sosial yang secara
signifikan berlangsung demikian cepat”.[1] Hal ini akibat banyaknya aktifitas manusia yang mulai ddiwakilkan
oleh teknologi.
Saat ini, transaksi jual beli telah beralih kepada era dimana tidak
lagi harus dilakukan secara bertatap muka, melainkan melalui media online.
Cukup menggunakan teknologi internet dan bisa langsung melakukan transaksi
entara penjual dan pembeli. Seiring dengan lahirnya berbagai teknologi baru
seperti telepon pintar (smartphone), tablet dan berbagai macam lainnya. Pada
teknologi baru tetsebut, konsumen dapat membeli berbagai macan barang dari
pasar online yang terdapat pada berbagai tersebut tanpa harus bertatap muka.
Perihal yang membadakan bisnis offline dan bisnis online yaitu pada
proses transaksi (akad), merupakan hal utama dalam proses jual beli. Akad
merupakan unsur penting dalam jual beli. Secara umum, jual beli dalam islam
menjelaskan adanya transaksi yang bersifat fisik, dengan menghadirkan benda
tersebut ketika transaksi, atau tanpa menghadirkan benda yang dipesan. Tetapi
dengan ketentuan harus dinyatakan sifat benda secara detail, baik diserahkan
langsung, atau diserahkan kemudian sampai batas waktu tertentu. Ketika seuatu
jual beli jelas sejak awal akan dilaksanakannya akad maka tujuan yang dituju
oleh kedua belah pihak akan semakin jalas. Baik untuk tujuan yang baik atau
untuk tujuan yang tidak baik.
Sebab dalam hokum islam, jual beli merupakan yang diperbolehkan,
sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah ayat 275 yaitu:
...واحل
الله البيع وحرم الربوا...
Artinya:....” dan Allah telah menghalalkan jual
beli dan mengharamkan riba......”(Q.S Al-Baqarah : 275)
Ayat diatas telah
mensyariatkan bahwa jual beli diperbolehkan. Sebagaimana ketentuan yang ada.
Begitu juga yang dimaksud dengan transaksi elektronik tentang hukum
kebollehannya. Sedangkan yang dimaksud dengan transaksi elektronik adalah
perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan komputer, jaringan komputer
atau media elektronik lainnya.[2]
Kemudahan yang ditawarkan transaksi elektronik sangat mudah dan hemat biaya
nemun terdapat beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam melaksanakan
transaksi elektronik.
Jual beli online menjadi alternatif menarik
bagi konsumen untuk beerbelanja karena memudahkan konsumen melakukan transaksi
jual beli dengan setiap orang, dimanapun dan kapanpun. Umumnya jual beli online
dilakukan melalui media social seperti: twiter, Instagram, pach dan facebook
dan media elektronik lainnya sepeti Lazada, olx, took bagus, buka lapak,
serta berbagai onlineshop lainnya. Objek penjualan ditampilkan secara
visual mulai dari gambar, video, dan deskripsinya.
Kebebasan jual beli alat kontrasepsi secara
online, telah memberikan dampak buruk terhadap generasi muda atau remaja. Padahal
generasi muda ini adalah penerus bangsa, yang diharapkan kehadirannya kelaksebagai
pembuka cakrawala baru bagi peradaban. Titik temunya adalah keadaan moralitas
seorang remaja yang kian terancap sisi akhlak dan moralnya. Diakibatkan dari
adanya konten pornografi dalam iklan dari praktik jual beli alat kontrasepsi
secara online. Konten yang digunakan oleh penjual sangat berpengaruh cepat
terhadap pemikiran seorang remaja, dengan berbagai daya ketertarikan objek yang
ditampilkan dalam prodak penjual. Semakin sering konten yang berbau pornografi
diserap informasinya oleh ramaja, maka akan meningkatkan kadar pemahaman dan
ingatan tentang informasi tersebut. Terutama dalam hal ini iklan alat
kontrasepsi secara online yang menampilkan pornografi.
Iklan yang digunakan dalam media online
untuk promosi alat kontrasepsi sangat jauh dari nilai-nilai moral yang belum
pantas diterima oleh anak dibawah umur[3].
Proses jual beli alat kontrasepsi secara online secara bebas memang tidak dapat
dibendunng. Pemerintah melalui kekuatan hukumnya selalu berusaha mengeluarkan
aturan yang dapat membendung kebebasan tersebut. Perkembangan teknologi memang
memiliki dampak positif dan negative[4].
Maraknya konten pornografi yang tersebar
luas didunia maya. Dampak yang diakibatkan oleh pornografi sangat
memprihatinkan jika dilihat dari data penelitian yang dilakukan oleh Komisi
Nasional Perlindungan Anak (KNPA) merilis data survey di 12 kota besar di
Indonesia pada tahun 2007, dimana 62,7% yang duduk di bangku SMP (Sekolah
Menengah Pertama) pernah berhubungan intim dan 21,2% Siswi SMA (Sekolah
Menengah Atas) pernah menggugurkan kandungannya[5].
Hasil data survey tersebut tidak sesuai
dengan nilai-nilai moral bangsa Indonesi serta berpotensi merusak cita-cita
bangsa Indonesia. Banyak dari mereka yang melampiaskan hasrat seksualnya dengan
cara berhubungan badan dengan pasangan yang belum terikat perkawinan, bahkan
sebagian remaja masih dibawah umur. Seharusnya alat kontrasepsi digunakan oleh
orang yang sudah berhak menggunakannya atau sudah menikah tetapi hari ini
banyak alat kontrasepsi yang digunakan oleh remaja atau belum menikah.
B. PEMBAHASAN
1.
Transaksi Elektronik Menurut Perundang-Undangan
Transaksi elektronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan
computer, jaringan komputer, atau media elektronik lainnya. Perbuatan hukum yang
dimasud tidak ditemukan dalam UU-ITE dan PP-PSTE sehingga definisi perbuatan
hukum yang dimaksud mengacu pada pendapat Prof. Sudikmo Martokusumo yang
menjelaskan bahwa, “perbuatan hukum adalah perbuatan subjek hukum yang
ditujukan untuk menimbulkan akibat hukum yang sengaja dikehendaki oleh subjek
hukum”.[6] Dengan
demikian perbuatan hukum merupakan tindakan-tindakan yang dilakukan oleh orang
yang sudah cakap hukum. Mempu mempertanggungjawabkan segala perbuatannya.
Proses transaksi elektronik merupakan proses melakukan akad melalui media
elektronik. Sehingga tanpa bertemunya kedua belah pihak, akad tetap terjadi.
Meskipun tidak bertemu secara langsung mereka tetap terkena hukum yang mengikat
sebab transaksi elektroniknya.
Kegiatan jual beli secara online
atau yang biasa disebut e-commerce saat ini telah banyak dilakukan oleh
pelaku usaha. Sebagai
suatu perdagangan yang berbasis teknologi canggih, e-commerce telah
merevormasi perdagangan konvensional dimana transaksi antara konsumen dan perusahaan
yang sebelumnya dilakukan secara langsung menjadi transaksi yang tidak langsung[7]. Sehingga dapat dijelaskan bahwa sebuah
ancaman baru terhadap konsumen alat kontrasepsi yagn tidak terdeteksi.
Maksudnya tidak ada kontrol atas penyebaran alat kontrasepsi, baik anak-anak, orang dewasa,
ibu atau bapak yang sudah berumah tangga. Semua bisa mendapatkanya dengan
mudah, sebab tidak bertemunya penjual dan pembeli menjadi celah keburukan yang
masuk bagi remaja yang belum berhak menerimanya.
Transaksi meskipun dilakukan
secara online atau disebut dengan trassaksi elektronik berdasarkan PP-PSTE dan UU_ITE
tetap diakui sebagai transaksi elektronik yang dapat dipertanggungjawabkan.
Persetujuan membeli barang secara online dengan cara melakukan klik persetujuan
atas transaksi merupakan bentukk tindakan penerimaan yang menyatakan
persetujuan dalam kesepakatan pada transaksi elektronik. Tindakan penerimaan
tersebut biasanya didahului pernyataan persetujuan atas syarat dan ketantuan
jual beli secara online yang dapat dikatakan juga sebagai salah satu bentuk
kontrak elektronik. Kontrak elektronik menurut pasal 47 ayat (2) PP-PSTE
dianggap sah apabila:[8]
a)
Terdapat kesepakatan para pihak;
b)
Dilakukan oleh subjek hukum yang
cakap atau yang berwenang mewakili sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan;
c)
Terdapat hal tertentu; dan
d)
Objek transaksi tidak boleh bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan, kesusilaan, dan ketertiban umum.
Kontrak elektronik itu sendiri menurut Pasal 48
ayat 3 PP-PSTE setidaknya harus memuat hal-hal sebagai berikut:
1.
Data identitas para pihak;
2.
Objek dan spesifikasinya;
3.
Persyaratan transaksi elektronik;
4.
Harga dan biaya;
5.
Prosedur dalam hal terdapat
pembatalan oleh para pihak;
6.
Ketentuan yang mmemberikan hak
kepada pihak yang dirugikan untuk dapat mengembalikan barang atau menerima
penggantian produk jika terdapat cacat tersembunyi; dan pilihan
7.
Pilihan hukum penyelesaian
transaksi elektronik.
Terkait dengan perlindungan
konsumen, pasal 49 ayat 1 PP-PSTE menegaskan bahwa “pelaku usaha yang
menawarkan prudok melalui system elektronik wajib menyediakan informasi yang
lengkapdan benar berkaitan dengan syarat kontrak, produsen, dan produk yang
ditawarkan.” Pada ayat berikutnya lebih ditegaskan lagi bahwa “pelaku usaha wajib
memberikan kejelasan informasi tentang penawaran kontrak atau iklan.”[9]
2. Transaksi
Elektronik Menurut Hukum Islam
dalam islam jual beli disyariatkan dengan
berlandaskan dalil-dalil yang bersumber dari Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat
275 yaitu:
…وَاَحَلَّ اللهَ البَيعَ وَحَرَّمَ الرِّبَوْا...
Artinya: “...dan
Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba...”[10]
Semua ulama telah
sepakat diperbolehkannya praktek jual beli, dari dulu hingga zaman yang akan
datang.[11]
Disyariatkan jual beli
adalah untuk untuk memberikan kelapangan kepada hamba-nya. Untuk memenuhi
kebutuhan manusia, berupa mekanan, pakaian atau hal lainnya, yang tidak dapat
dipisahkan dari kehidupannya. Menusia tidak dapat memenuhi sendiri semua
kebutuhan itu, karena sebagai mahluk sosial menusia membutuhkan orang lain.
Dalam hal ini tidak ada cara yang lebih sempurna dari pada pertukaran. Menusia
dengan manusia lainnya memberikan apa yang dimilikinya dan apa yang tidak
dibutuhkannya sebagai ganti yang dibutuhkan oleh orang lain.
Mayoritas praktek
perdagangan atau jual beli dimasyarakat penuh dengan unsur penipuan, kebohongan
dan keszoliman.[12]
Oleh karena itu sebagai muslim wajib memperhatikan syarat sah dalam jual beli,
sehingga bisa melakukannya sesuai syariah dan tidak terjerumus dalam tindakan
yang diharamkan oleh syariah.
Namun keadaan umat
muslim dalam praktek jual beli online atau offline, mereka tidak terlalu peduli
dengan syariah. Mereka melalaikan ajaran agama dan sedikitnya rasa takut kepada
Allah adalah faktor yang mendorong mereka untuk berlaku curang. Bahkan,
berbagai upaya dilakukan yang penting memperoleh keuntungan. Oleh karena itu
praktek yang tidak halal itu harus ditinggalkan oleh setiap pelaku bisnis umat
muslim, dengan mempelajari fikih jual beli agar bisa membedakan mana yang halal
dan haram. Sehingga yang mereka peroleh menjadi berkah, jauh dari wilayah
syuhbat. Jua beli yang mengandung praktek halal dan haram sekaligus, apabila
transaksi jual beli mengandung sesuatu yang mubah dan sesuatu yang haram
sekaligus, maka akad sah pada suatu yang mubah dan batal pada suatu yang haram.
Ini adalah yang paling kuat diantara dua pendapat Syafi’i dan Maliki. Sedangkan
pendapat yang lain mengatakan bahwa akad batal pada keduanya.[13]
a.
Jual Beli Online atau Transaksi
Elektronik Menurut Nahdlatul Ulama
Seiring dengan
perkembangan zaman, interaksi sesama manusia guna memenuhi kebutuhan juga
mengalami modifikasi sedimikian rupa. Pada mulanya sistem pertukaran barang
hanya bisa dilakukan secara manual (barter) dengan mengharuskan kehadiran
antara penjual dan pembeli di suatu tempat dengan adanya barang disertai dengan
transaksi (ijab dan qabul). Namun dengan adanya fasilitas teknoligi,
proses jual beli barang yang tadinya mengharuskan secara menual bisa dilakukan
melalui media internet.
Sesuai dengan apa yang pernah dibahas dalam
forum Bathsul Masail Mukhtamar NU ke-32 di Makasar pada tahun 2010. Bahwasannya
hokum akad atau transaksi jual beli melalui elektroik (online) sah, apabila
sebelum transaksi kedua belah pihak sudah melihat barang yang diperjualbelikan
atau telah dijelaskan baik sifat maupun jenisnya, serta memenuhi syarat dan
rukun jual beli lainnya dengan dasar pengambilan hukum.[14]
Dalam pandangan
madzhab Imam Syafi’i, barang yang diperjual belikan disyaratkan dapat dilihat
secara langsung oleh kedua belah pihak. Hal ini merupakan bentuk kehati-hatian
agar tidak terjadi penipuan (gharar) dalam jual beli karena Rasulallah melarang
praktek yang demikian, sebagaimana dalam sebuah hadits dinyatakan:
نَهَي رَسُولُ اللهِ صَلَي اللهُ عَلَيهِ
وَ سَلَّمَ عَن بَيعِ الغَرَرِ
Artinya: “Rasulullah
SAW melarang jual beli yang didalamnya terdapat penipuan.” (HR. Muslim).[15]
Beberapa dalil diatas kiranya menjadi acuan dalam
tindakan yang dilakukan dalam transaksi online. Karena pada dasarnya Islam
sangat menekankan kepuasan (taradhin) di antara penjual dan pembeli disamping
juga mengantisipasi terjadinya penipuan dalam transaksi jual beli.
b.
Kaidah Fiqhiyah Aqad (Transaksi)
اَلاَصلُ فِي المُعَامَلَاتِ الصَّحَةُ,
وَفِي العُقُودِ اللُزُومِ
Artinya: “pada
dasarnya hukum bermuamalah adalah sah dan hukum bertransaksi adalah mengikat
pihak-pihak yang bertransaksi”.[16]
Maksud bermuamalah disini mencakupa makna yang
banyak, baik berinteraksi sosial kemasyarakatan mapun berinteraksi bisnis
dengan segala konsekuensinya.
الاَصْلُ فِي العَقْدِرِضَي المَتِعَاقِدَيْنِ
وَنَتَيْجَتُهُ مَا اِلتَزَمَاهُ بِااتَّعَاقُدِ
Artinya: “suatu
transaksi pada dasarnya harus dilandasi kerelaan kedua belah pihak dan hasilnya
adalah sah dan mengikat kedua belah pihak terhadap diktum yang ditransaksikan”.[17]
العَقْدُ عَلَى الاَعْيَانِ كَالعَقْدِ
عَلَى مَنَافِعِهَا
Artinya: “Bertransaksi
dengan obyek benda, sama hukumnya dengan bertransaksi dengan obyek manfaat
benda tersebut”
Misalnya seseorang
mengontrak rumah dengan mengambil manfaat untuk tinggal atau hunian, atau
membeli rumah tersebut, maka syarat dan rukunnya transaksi tersebut akan
berlaku sama harus terpenuhinya.[18]
كُلُّ مَا يَصِحُّ تَأْبِيْدُهُ مِنَ
العُقُودِ المَعَاوَضَاتِ فَلَا يَصِحَّ تَوْقِيْتُهُ
Artinya: “Setiap
akad mu’awadhah[19]yang
sah diberlakukan selamanya, maka tidak sah diberlakukan sementara”.[20]
Contoh pada transaksi
jual beli, pedagang menyerahkan barang dagangannya dan pembeli menyerahkan
sejumlah uang yang telah disepakati kedua belah pihak sebagai harga. Bila
kepeilikan barang dagangan dibatasi dalam transaksi jual-beli tersebut, maka
transaksi itu berubah dari jual beli menjadi sewa-menyewa.
كُلُ شَرْطٍ كَانَ مِنْ مَصْلَحَةِ
العُقْدِ أَوْ مِنْ مُقْتَضَاهُ فَهُوَ جَائِزٌ
Artinnya: “Setiap
syarat dalam suatu transaksi yang bertujuan untuk kesuksesan dan tujuan
transaksi tersebut, maka dibolehkan.”[21]
Misalnya dalam jual
beli salam, bila dalam transaksi tersebut diisyaratkan bahwa dana
pembelian dititipkan kepada bank (pihak ketiga) sebelum serah terima barang
yang dibeli untuk menghindari wanprestasi salah satu pihak, maka dibolehkan.
الخَرَاجُ بِالضَّمَانُ
Artinya: “Manfaat suatu benda adalah faktor
pengganti kerugian”.
Misalnya, seseorang
mengembalikan seekor sapi yang belum lama dibelinya kepada pemiliknya karena
sapi tersebut memiliki cacat. Maka pemilik sapi tidak boleh menuntut
penghasilan sapi ketika berada di tangan pembeli, sebab mempekerjakan sapi
merupakan hak pembeli.
3.
Penggunaan Sadd
adz-dzari’ah
Sadd adz-dzari’ah banyak disebut di
dalam kitab-kitab Malikiyah dan Hanabilah, walaupun pmikiran secara praktis
didapatkan dalam fikih Hanafi dan Syafi’i. Adz-dzari’ah artinya wasilah
(jalan), yang menyampaikan kepada
tujuan. Yang dimaksud sadd adz-dzari’ah disini iyalah jalan untuk sampai
kepada yang haram atau kepada yang halal.[22] Maka
jalan atau cara yang menyampaikan kepada haram maka hukumnya menjadi haram, dan
cara yang menyampaikan kepada halal meka hukumnya menjadi halal, dan apa yang
menyampaikan kepada wajib maka hukumnya akan menjadi wajib juga.
1.
Definisi Sadd adz-dzari’ah
Kata adz-dzari’ (jamak: adz-dzara’i)
berarti: media yang menyampaikan kepada sesuatu. Sedangkan dalam pengertian
ushul fikih, yang dimaksud adz-dzari’ah ialah, sesuatu yang berkaitan
dengan hukum syara’, baik yang halal maupun yang haram (yang terlarang
atau yang dibenarkan), dan yang menuju ketaatan atau kemaksiatan.[23] Oleh
karena itu dalam kajian Ushul Fikih, Sadd adz-dzari’ah terbagi menjadi
dua: adz-dzari’ah dan fath adz-dzari’ah. Namun dikalangan Ulama
Ushul Fikih, jika ada kata adz-dzari’ah disebut secara sebdiri, tidak
dalam kalimat majemuk, maka kata itu selalu digunakan untuk menunjuk pengertian
Sadd adz-dzari’ah.[24]
Menurut istilah Ushul Fikih,
seperti dikemukakan Abdul Karim Zaidan, Sadd adz-dzari’ah berarti:
menutup jalan yang membawa kepada kebinasaan atau kejahatan.
Perbuatan-perbuatan yang menjadi wasilah kepada kebinasaan, lanjut Abdul
Karim Zaidan, terbagi menjadi dua macam:[25]
a.
Perbuatan yang keharamannya bukan
saja karena ia sebagai wasilah bagi sesuatu yang diharamkan, tetapi esensi
perbuatan itu sendiri adalah haram. Oleh karena itu, keharaman perbuatan
seperti itu bukan termasuk ke dalam kajian Sadd adz-dzari’ah.
b.
Perbuatan yang secara esensial
dibolehkan (mubah), namun perbuatan itu memungkinkan untuk digunakan sebagai wasilah
kepada sesuatu yang diharamkan.
2.
Metode Penentuan Hukum Sadd
adz-dzari’ah
Predikat-perdikat hukum syara’
yang diletakan kepada perbuatan yang
bersifat adz-dzari’ah dapat ditinjau dari dua segi, yaitu;[26]
a.
Ditinjau dari segi al-ba’its (motif
pelaku)
b.
Ditinjau dari segi dampak yang
ditimbulkan semata-mata, tanpa meninjaunya dari segi motif dan niat pelaku.
Al-ba’its adalah motif yang
mendorong pelaku untuk melakukan sesuatu perbuatan, baik motifnya untuk menimbulkan
sesuatu yang dibenarkan maupun motifnya untuk menghasilkan sesuatu yang
terlarang.[27]
Contoh, seseorang menikahi wanita bukan karena niat seperti yang ditentukan
syariat yakni untuk membangun rumah tangga yang abadi, melainkan agar setelah
diceraikannya, wanita tersebut halal menikah lagi dengan mantan suaminya yang
telah menalaknya dengan tiga talak. Dari contoh diaatas motif pelaku adalah
melakukan perbuatan yang halal dengan tujuan terlarang (haram).
Tinjauan yang kedua, difokuskan
pada segi mashlahah dan mafsadah yang ditimbulkan oleh suatu
perbuatan. Jika dampak yang ditimbulkan oleh urutan suatu perbuatan adalah
kemaslahatan, maka perbuatan tersebut diperintahkan, sesuai dengan kadar
kemaslahatannya (wajib atau sunnah). Sebaliknya, jika urutan perbuatan tersebut
membawa pada kerusakan, maka perbuatan tersebut dilarang, sesuai dengan
kadarnya (haram atau makruh).[28]
Berkenaan Sadd adz-dzari’ah, ada
beberapa hal-hal yang perlu diperhatikan antara lain:[29]
a.
Sadd adz-dzari’ah digunakan apabila
menjadi cara untuk menghindarkan dari keburukan yang ditentukan oleh nash
dan sudah tentu. Fath adz-dzari’ah digunakan apabila menjadi cara/jalam
untuk sampai kepada maslahah yang dinashkan, kerena maslahat dan
mafsadat yang dinashkan adalah qath’i maka dzari’ah dalam hal ini
berfungsi sebagai pelayan terhadap nash.
b.
Tentang masalah-masalah yang
berhubungan dengan soal amanat (tugas-tugas keagamaan) telah jelas bahwa
kemudharatan meninggalkan amanat lebih besar dari pada pelaksanaan sesuatu
perbuatan atas dasar Sadd adz-dzari’ah.
3.
Kedudukan Sadd adz-dzari’ah dalam
Hukum Islam
Imam Malik dan Ahmad Bin Hambal
manjadikan Sadd adz-dzari’ah sebagai dalil hukum syara’. Sementara
Abu Hanifah dan Asy-Syafi’i terkadang menjadikan Sadd adz-dzari’ah sebagai
dalil, tetapi pada waktu yang lain menolaknya sebagai dalil.[30]
Demikian dapat dipahami banwa Sadd
adz-dzari’ah adalah menetapkan hukum larangan atas suatu perbuatan tertentu
yang pada dasarnya diperbolehkan maupun dilarang untuk mencegah terjadinya
perbuatan lain yang dilarang.
Di dalam al-Qur’an ketentuan yang
mengenai Sadd adz-dzari’ah terdapat dalam surat al-An’am ayat 108:
وَلاَ تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُوْنِ اللهِ فَيَسُبُّوا
اللَّهَ عَدْوَا بِغَيْرِ عِلْمٍ, كَذَ لِكَ زَيَّنَا لِكُلِّ أُمَّةٍ عَمَلَهُمْ
ثُمَّ إِلَى رَبِّهِمْ مَّرْجِعُهُمْ بِمَا كَانُوْا يَعْمَلُونَ
Artinya: “Dan sesungguhnya kamu memaki
sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan
mengaku Allah dengan melampaui batas taspa pengetahuan. Demikianlah kami
jadikan setia umat menganggap baik pekarjaan mereka. Kemudian kepada tuhan
merekalah kembali mereka, lalu dia memberitakan kepasa mereka apa yang dahulu
mereka kerjakan”.[31]
Pada ayat diatas, mencaci maki tuhan atau sembahan agama lain adalah adz-dzari’ah
yang akan menimbulkan adanya suatu mafsadah yang dilarang. Orang
yang Tuhannya dicaci kemungkinan akan membalas mencaci Tuhan yang diyakini oleh
orang sebelumnya mencaci. Karena itulah sebelum caci maki itu terjadi, maka
larangan mencaci maki Tuhan agama lain merupakan tindakan buruk Sadd adz-dzari’ah.
Selanjutnya terdapat ayat lain yang juga menjelaskan
tentang Sadd adz-dzari’ah yakni terdapat di dalam surat Al-Baqarah ayat 104:
يَأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَقُولُواْ رَعِنَا وَقُولُواْ
أنْظُرْنَا وَاْسْمَعُوأ, وَلِلْكَفِرِينَ عَذَأبٌ أَلِيمٌ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu katakan (kepada muhammad): “Raa’ina”, tetapi katakanlah:
“Undhurna”, dan “Dengarlah”. Dan bagi orang-orang kafir siksaan yang pedih”.[32]
pada surat al-Baqarah diatas, bisa dipahami adanya suatu
bentuk pelarangan terhadap suatu perbuatan karena adanya khawatiran terhadap
dampak negatif yang akan terjadi. Kata raa’ina berarti “sudilah
kiranya kamu memperhatikan kami.” Saat para sahabat mmenggunakan kata ini
terhadap Rasulullah, orang yahudi pun memakai kata ini dengan nada mengejek
atau menggumam dan menghina Rasulullah SAW, padahal yang mereka yahudi katakan
adalah “ru’uunah yang berarti kebodohan yang sangat. Itulah sebabnya
Allah menyuruh supaya sahabat-sahabat menukar kata raa’ina dengan udhurnaa
(اُنْظُرْنَا) yang juga sama
artinya dengan raa’ina (رَأغِنَا).[33]
4. Pendangan
Ulama Tentang Sadd adz-dzari’ah
Dasar pegangan ulama untuk menggunakan Sadd adz-dzari’ah adalah
kehati-hatian dalam beramal ketika menghadapi perbenturan antara maslahah dan
mafsadah. Bila maslahat yang dominan, maka boleh dilakukan, dan apabila
mafsadat yang dominan, maka harus ditinggalkan. Bila sama kuat diantara
keduanya maka harus menjaga kehati-hatian, harus mengambil prinsip yang
berlaku, yaitu sebagaimana telah dirumuskan dalam kaidah fiqhiyah:
دَرْءُ الْمَفَاسِدِ أَوْلَى مِنْ جَلْبِ
الْمَصَالِحِ
Artinya: Menolak kerusakan diutamakan atas mengambil kebaikan.[34]
Bila antara yang halal dan yang haram
berbaur (bercampur), maka prinsip dirumuskan dalam kaidah:
ذَا اجْتَمَعَ الْحَلَالُ
وَالْحَرَامُ غَلَبَ الْحَرَام
Artinya: bila berbaur yang haram
dengan yang halal, maka yang haram mengalahkan yang halal.[35]
Sebagai
pegangan bagi ulama yang mengambil tindakan kehati-hatian dalam beramal, sabda
nabi SAW:
دَعْ مَا يَرِيبُكَ إِلَى مَا لَا يَرِيبُكَ
Artinya: Tinggalkan
apa-apa yang meragukanmu untuk mengambil apa yang tidak meragukanmu.[36]
Sadd adz-dzari’ah merupakan metode istinbat hukum yan gtentu
tidak semua ulama mengakuinya. Dalam hal ini ada tiga pengelompokan sebagai
berikut:[37]
a. Ulama yang
menerima sepenuhnya Sadd adz-dzari’ah sebagai metode dalam
menetapkan hukum, adalah mazhab Maliki dan mazhab Hambali seperti Imam Qarafi dan
Imam Asy-Syatibi.
b. Ulama yang
tidak menerima sepenuhnya sebagai metode dalam menetapkan hokum adalah mazhab
Hanafi dan Imam Syafi’i. dengan kata lain, kelompok ini menolak Sadd adz-dzari’ah sebagai metode
istinbat hukum kasus tertantu, namun menggunakannya pada kasus-kasus yang lain.
Contoh kasus Imam Syafi’i menggunakan Sadd adz-dzari’ah adalah ketika beliau
melarang seseorang mencegah mengalirnya air keperkebunan atau sawah. Hal ini
menurut beliau akan menjadi sarana (adz-dzari’ah) kepada tindakan
mencegah memperoleh sesuatu yang dihalalkan oleh Allah dan juga adz-dzari’ah,
kepada tindakan mengharamkan sesuatu yang dihalalkan oleh Allah. Padahal
air adalah rahmat dari Allah yang boleh diakses oleh siapapun.[38]
Sedangkan kasus paling menonjol yan
gmenunjukan penolakan terhadap metode Sadd adz-dzari’ah adalah
transaksi-transaksi jual beli berjangka (bay’u al-ajal). Dalam kasus
jual beli transaksi berjangka. Transasksi inilah yang oleh mazhab Maliki dan
Hambali dilarang karena terdapat unsur riba yang sangat jelas, sementara bagi
mazhab Hanafi, transaksi semacam itu juga dilarang, namun mereka menolak
menggunakan Sadd adz-dzari’ah dalam pelarangan tersebut.[39]
c. Ulama yang menolak metode Sadd adz-dzari’ah secara mutlak adalah
ulama Zhahiriyah. Penolakan itu secara panjang lebar dibeberkan oleh ibn Hazm
yang intisarinya sebagai berikut:
1. Hadits yang dikemukakan oleh ulama yang
mengamalkan Sadd adz-dzari’ah itu dilemahkan dari segi sanad dan maksud artinya.
Hadits itu diriwayatkan dalam banyak versi yang berbeda perawinya.
2. Dasar pemikiran Sadd adz-dzari’ah itu adalah ijtihad
dengan berpatokan kepada pertimbangan kemaslahatan, sedangkan dzahiriyah
menolak secara mutlak ijtihad dengan ra’yu (daya nelar) seperti itu. [40]
3. Hukum syara’ hanya menyangkut apa-apa yang
ditetapkan Allah dalam Al-Quran atau dalam sunah dan ijma’ Ulama. Adapun
yang ditetappkan diluar ketiga sumber itu bukanlah hukum syara’. Dalam
hubungannya dengan Sadd adz-dzari’ah dalam bentuk kehati-hatian yang ditetapkan hukumnya
dengan nash atau ijma’, hanyalah hukum pokok atau muqosid, sedangkan
hukum pada washilah atau dzari’ah
tidak perlu ditetapkan oleh nash atau ijma’.[41]
Dalam hubungannya dengan Sadd adz-dzari’ah dalam bentuk
kehati-hatian yang ditetapkan hukumnya dengan nash atau ijma’ hanyalah hukum
pokok atau maqasid, sedangkan hukum pada adz-dzariah tidak pernah
ditetapkan.
Adapun sebab terjadinya perbedaan pendapat tersebut adalah:[42]
a. Karena berbeda dalam memahami dan mengartikan
kata-kata dan istilah baik dalam al-Qur’an maupun hadits.
b. Karena berbeda tanggapan terhadap hadits. Ada
hadits yang sampai kepada ulama, tetapi tidak sampai kepada ulama yang lain.
c. Berbeda dalam menanggapi kaidah-kaidah Ushul.
Misalnya ada ulama yang berpendapat bahwa lafal am yang sudah di takh’sis
itu bisa dijadikan hujjah. Demikian pula ada yang berpendapat segala
macam mafhum tidak bisa dijadikan hujjah. Ulama-ulama yang
berpendapat bahwa mafhum itu adalah hujjah, kemudian berbeda lagi tanggapannya
terhadap mafhum mukhallaf.
d. Berbeda tanggapannya tentang ta’arudl[43]
dan tarjih[44]
seperti tentang nasakh dan mansukh, tentang pentakwilan, dan
sebagainya yang dibahas secara luas dalam ilmu Ushul Fikih.
e. Berbeda pendapat dalam menetapkan dalil uang
bersifat ijtihad. Ulama sepakat bahwa Al-Qur’an dan Al-Sunah adalah sumber
hukum. Tetapi berbeda pendapat tentang istishan, al-maslahah al-mursalah, pendapat
sahabat, dan lain-lainnya yang digunakan dalam era berijtihad. Sering pula
tetjadi, disepakati tentang dalilnya, tetapi penerapannya berbeda-beda.
Sehingga mengakibatkan hukumnya berbeda pula.[45]
5. Penggunaan Sadd adz-dzari’ah dalam Transaksi
Elektronik
Sadd adz-dzari’ah merupakan sumber hukum
pokok dan dalil fikih yang dipakai oleh para ulama secara konsensus. Perbedaan
pendapat disini hanya terletak pada penentuan kriterianya. Pada prinsipnya,
mereka sepakat bahwa adz-dzari’ah merupakan sumber pokok dan hujjah yang
diakui dan berdiri sendiri.
Adapun masalah-masalah Fikih yang mendapat
ketetapan hukum berdasarkan adz-dzari’ah diantaranya sebagai berikut:
a. Penyerahan harta tebusan umtuk mengambil kaum
muslimin yang tertawan. Ditinjau dari hukum asalnya, perbuatan itu adalah haram
karena memperkuat musuh dan mengancam kedudukan kaum muslimin. Kemudian,
penyerahan tebusan itu menjadi boleh kerena menyangkut pembebasan sejumlah
tawanan perang dari perbudakan sekaligus memperkukuh pesukan kaum muslim.
Contoh ini termasuk dalam konteks fath adz-dzari’ah dan bukan Sadd adz-dzari’ah.
b. Pemberian upeti kaum muslimin kepada negara
musuh untuk menghindari kedzalimannya, apabila kaum muslimin tidak memiliki
kekuatan untuk menghadapi pemerintah yang berkuasa, dan demi mempertahankan
wilayahnya.
c. Pengaturan pemberangkatan jamaah haji sebagai
suatu kebijakan yang memberi peluang bagi umat islam untuk menunaikan rukun
Islam kelima secara tertib, aman dan nyaman merupakan suatu keharusam karena
menunaikan ibadah haji adalah wajib hukumnya.[46]
4. Pandangan
PP-PSTE dan UU-ITE Terhadap Model Kebebasan Jual Beli Alat Kontrasepsi Secara
Online.
Dalam UU-ITE dan PP-PSTE hukum jual beli alat kontrasepsi secara online
tetap diakui sebagai transaksi elektronik yang dapat dipertanggungjawabkan.
Persetujuan untuk membeli barang (dalam hal ini alat kontrasepsi) secara online
dengan cara melakukan klik persetujuan atas transaksi merupakan bentuk tindakan
penerimaan yang menyatakan persetujuan dalam kesepakatan pasa transaksi
eleltronik. Tindakan penerimaan tersebut biasanya didahului peryataan
persetujuan atas syarat dan ketentuan jual beli secara online yang dapat
dikatakan juga sebagai salah satu bentuk Kontrak Elektronik. Selanjutnya
terdapat asas-asas yang terdapat pada Bab 2 asas dan tujuan UU-ITE: Pemanfaatan
Teknoligi Informasi dan Transaksi Elektronik dilaksanakan berdasarkan asas-asas
kepastian hukum, asas memfaat, asas kehati-hatian, asas itikad baik, asas
kebebasan memilih teknoligi atau netral teknoligi.[47]
Namun, penerapan asas-asas yang terdapat dalam UU-ITE ini belum
sepenuhnya diterapkan oleh pelaku usaha khususnya dalam penjualan alat kontrasepsi
secara online. Dimana mengenai asas kepastian hukum siapa yang bileh menggunakan/membeli alat
kontrasepsi belum secara detail dilaksanskan pada transaksi elektronik.
Melainkan bebas, siapa saja yang dapat menggunakan tanpa ada kontrol dan
pengawasan. Sehingga ini perlu kiranya begi orang tua untuk memperhatikan
anaknya ketika mengakses media online. Guna mengurangi kesenjangan moral yang
diakibatkan konten-konten iklan yang mengandung unsur pornografi, yang secara
bebas ditampilkan oleh pelaku usaha. Selanjutnya dalam PP-PSTE disebutkan
bahwa; 1. Transaksi Elektronik yang dilakukan para pihak memberi akibat hukum kepada
para pihak. 2. Penyelenggara Transaksi Elektonik yang dilakukan para pihak
wajib memperhatikan: a. Itikad baik; b.
Prinsip kehati-hatian; c. Transparansi; d. Akuntabilitas; dan d. Kewajaran.[48]
Pada ayat dua huruf (d) disebutkan “objek transaksi tidak boleh bertetangan
dengan peraturan perundang-undangan, kesusilaan, dan ketertiban umum”. Dengan
demikian ketika penjualan alat kontrasepsi bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan kesusilaan dan ketertiban umum.melainkan malah menambah
keburukan dimasyarakat. Maka sangatlah diperlukan tindakan yang dapat
menghentikan keburukan tersebut.
Dalam pasal 9 UU-ITE menjelaskan mengenai informasi dari pelaku usaha
mengenai barang yang dijual bahwa: pelaku usaha yang menawarkan produk melalui
sistem elektronik harus menyediakan informasi yang lengkap dan benar berkaitan
dengan syarat kontrak, produsen dan produk yang ditawarkan.[49]
Kelengkapan informasi yang diberikan kepada konsumen harus sesuai dengan
yang seharusnya, beik mengenai kandungan yang terdapat pada alat kontrasepsi
tersebut, izin edar, bentuk hingga efek samping, dan legalitas penggunanya.
Kelengkapan informasi ini sangatlah penting dalam transaksi elektronik.
Namun, kenyataannya masih banyak beberapa pelaku usaha yang memberikan
informasi yang tidak sesusi dengan yang seharusnya mengenai penggunaan alat
kontrasepsi. Seperti ketentuan siapa yang boleh membeli, menggunakan alat
kontrasepsi. Lebih detail diatur dalam pasal 49 PP-PSTE: 1. Pelaku usaha yang
menawarkan produk melalui sistem elektronik wajib menyediakan informasi yang
lengkap dan benar berkaitan dengan dyarat kontrak, produsen, dan produk yang
ditawarkan. 2. Pelaku usaha wajib memberikan kejelasan informasi tentang
penawaran kontrak dan iklan. 3. Pelaku usaha wajib memberikan batas waktu
kepada konsumen untuk mengembalikan barang yang dikirim apabila tidak sesuai
dengan perjanjian atau terdpat cacat tersembunyi. 4. Pelaku usaha wajib
menyampaikan informasi mengenai barang yang telah dikirim. 5. Pelaku usaha
tidak dapat membebani konsumen mengenai keeajiban membayar barang yang dikirim
tanpa dasar kontrak.[50]
Kewajiban bagi pelaku usaha (dalam hal ini adalah penjualan online), sesuai
yang dirumuskan dalam pasal 7 huruf (a) Undang-undang Perlindungan Konsumen;
kewajiban pelaku usaha adalah: Beritikad baik dalam melakukan kegiatan
usahanya. Prakteknya para remaja yang belum menikah masih tetap bisa
mendapatkan alat kontrasepsi dan tentunya menggunakannya.[51]
Selain ketentuan dari UU-ITE dan PP-PSTE terdapat ketentuan lain yang
melarang penyebaran pornografi yaitu BAB II Larangan dan Pembatasan pasal 4
ayat 1 dan ayat 2 UU No. 44 tahun 2008 tentang pornografi. 1. Setiap orang
dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, memyebarluaskan,
menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, atau
menyediakan pornografi yang secara eksplisit memuat: a. Persenggamaan, termasuk
persenggamaan yang menyimpang; b. Kekesaran seksual; c. Masturbasi atau oani;
d. Ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan; e. Alat kelamin;
atau f. Pornografi anak. 2. Setiap orang dilarang menyediakan jasa pornografi
yang: a. Menyajikan secara eksplisit ketelanjangan atau tampilan yang
mengesankan ketelanjangan; b. Menyajikan secara eksplisit alat kelamin; c.
Mengeksploitasi atau memamerkan aktivitas seksual; atau d. Menawarkan atau
mengiklankan, baik langsung maupun tidak langsung layanan seksual.[52]
Pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi,
gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan
lainnya melalui berbagai bentuk media kuminikasu atau pertunjukan di muka umum
yang membuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan
dalam masyarakat.[53]
Sedangkan praktek jual beli alat kontrasepsi secara online merupakan
termasuk dalam kategori pornografi. Dimana adanya tindakan penyebarluasan
konten-konten mengandung unsur pornografi dalam penayangan iklan alat
kontrasepsi. Maka, praktek tersebut memiliki dampak buruk, sebagaimana larangan
yang tercantum dalam pasal 4 ayat 1 huruf (e) dan (d) Undang-undang Nomor 44
tahun 2008 tentang pornografi.
Tepat pada pasal 4 ayat 1 huruf (e0 Undang-undang Nomor 44 tahun 2008
tentang pornografi. Disebutkan “alat kelamin”, dengan demikian paraktek
penjualan alat kontrasepsi yang menggunakan iklan dalam pemasarannya haruslah
memperhatikan ketentuan-ketentuan yang mengaturnya.
Meskipun jelas secara detail disebutkan dalam undang-undang tersebut,
mengenai alat kontrasepsi, masih banyak pelaku usaha yang tetap menjalankan
ilkan tersebut. Lebih-lebih pada media yang langsung dapat diterima
informasinya oleh remaja seperti: facebook, twitter, instagram, path, blogger,
dan media lainnya.
Etika adalah standar moral yang mengatur perilaku bagaimana kita bertindak
dan mengharapkan orang lain bertindak. Pada dasarnya etika merupakan dialektika
antara kebebasan dan tanggung jawab; antara tujuan yang hendak dicapai dengan
cara untuk mencapainya.[54] Iklan
berkaitan dengan penilaian perilaku; benar atau tidak benar, baik atau tidak
baik, pantas atau tidak pantas, berguna atau tidak berguna, dan harus dilakukan
atau tidak boleh dilakukan. Penegakan etika dalam konteks periklanan menjadi
penting dikarenakan perlunya nirma untuk mengeliminasi dampak negatif dari
aktifitas periklanan dan sebagai wujud tanggung jawab sosial perudahaan
pengiklanan.
Kegiatan jual beli secara online atau yang biasa disebut dengan e-comerce
saat ini telah banyak dilakukan oleh pelaku usaha sebagai suatu perdagangan
yang yang berbasis teknoligi canggih, e-comerce telah mereformasi perdagangan konvensional
dimana interaksi antara konsumen dan perusahaan yang sebelumnya dilakukan
secara langsung menjadi interaksi yang tidak langsung.[55]
Perlunya pembatasan peredaran terhadap alat kontrasepsi berjenis kondom
sangat diperlukan pengaturannya oleh bangsa ini, salah satu langkah untuk
membatasi peredarannya adalah dengan menerbitkan suatu lembaga yang mengontrol
peredaran alat kontrasepsi.[56] Dalam
hal ini contraception center yang diberi tugas untuk menjual alat
kontrasepsi dengan beberapa persyaratan seperti menunjukan KTP dan Buku Nikah. Serta
terdapat aturan bahwa pembelian alat kontrasepsi hanya dapat dilakukan di contraception
center dan terdapat sanksi pidana apabila swalayann dan toko lainnya
menjual alat kontrasepsi.
Maka perlu dibentuk pula Badan pengawas peredaran alat kontrasepsi yang
mempunyai fungsi mengawasi dan penegakan hukum pidana apabila ketentuan dalam
undang-undang tersebut dilanggar oleh swalayan, mini market, toko online maupun
pegawai contraception center itu sendiri apabila tidak bekerja sesuai
dengan tugas dan fungsinya.
Dengan system tersebut terciptalah peredaran alat kontrasepsi satu pintu.
Pembelian hanya dapat dilakukan di contraception center yang telah
ditunjuk undang-undang sebagai satu-satunya tempat pembelian yang legal serta
menetapkan persyaratan adanya KTP dan buku nikah untuk pembelian alat
kontrasepsi.
Begitupun produsen, hanya diijinkan menyuplai produknya lewat contraception
center maka produsen dilarang untuk menjual kepada minimarket, swalayan,
dan toko online serta adanya badan pengawas yang independen yang mempunyai
atribusi wewenang untuk mengawasi peredaran kontrasepsi agar sesuai dengan
sistem yang di tetapkan undang-undang. Dengan demikian alat kontrasepsi tidak
dapat dibeli secara langsung dan bebas oleh remaja dan anak di bawah umur, dan
mengembalikan nilai-nilai moral generasi penerus bangsa Indonesia.
5. Pandangan Sadd
Adz-Dzari’ah Terhadap Model Kebebasan Jual Beli Alat Kontrasepsi Secara Online.
Dalam hukum islam jual beli online atau transaksi elektronik diperbolehkan,
dengan ketentuan dan deskripsi mengenai barang dan akadnya harus detail dan
jelas. Sebab dalam transaksi elektronik antara penjual dan pembeli tidak
bertemu secara langsung.
Jual beli yang sah menurut kesepakatan ulama jika memenuho syarat dan
rukunya, tidak mengandung sifat yang membahayakan masyarakat, syarat yang
bertentangan dengan ketentuan akad, atau pertimbangan-pertimbangan lain yang
keluar dari akad.[57] Dasar
pengambilannya berdasarkan ijtihad, berdasarkan tindakan kehati-hatian dalam
beramal dan jangan sampai melakukan perbuatan yang dapat menimbulkan kerusakan.
Kemudian yang dijadikan pedoman dalam tindakan hati-hati itu adalah faktor
menfaat dan mudharat atau baik dan buruk. Sehingga nantinya dapat ditarik
kesimpulan hukumnya.
Dalam pembahasan kali ini, penulis akan mencoba memfokuskan pembahasan guna
dapat menyentuh kasus yang diangkat. Dengan pengelompokan sadd adz-dzari’ah kepada
beberapa segi sebagai berikut:
a. Dengan memandang kepada akibat (dampak) yang
ditimbulkannya, ibn Qayyim membagi sadd adz-dzari’ah menjadi empat,
yaitu:[58]
1. sadd
adz-dzari’ah yang memang
pada dasarnya membawa kepada kerusakan seperti minum-minuman yang memabukan
yang membawa kepada kerusakan akal atau mabuk, perbuatan zina yang membawa
kepada kerusakan tata keturunan.
2. sadd
adz-dzari’ah yang ditentukan
untuk suatu yang mubah, namun ditujnukan untuk suatu yang buruk yang merusak,
baik dengan sengaja seperti nikam muhalil[59], atau
idak sengaja mencaci sembaha agama lain.
3. sadd
adz-dzari’ah yang semula
ditentukan untuk mubah, tidak ditunjukan untuk kerusakan yang mana kerusakan
itu lebih besar dari kebaikannya, seperti berhiasnya seorang perempuan dalam
masa ‘iddah yang baru mengalami kematian suaminya.
4. sadd
adz-dzari’ah yang awalnya
ditentukan mubah hukummya, namun terkadang membawa kepada kerusakan, sedangkan
kerusakannya lebih kecil dibanding kebaikannya. Contoh laki-laki melihat wajah perempuan saat
dipinang.
b. Dari segi tingkat kerusakan yang ditimbulkan,
Abu Ishak al-Syatibi membagi sadd adz-dzari’ah menjadi empat macam
yaitu:[60]
1. sadd
adz-dzari’ah yang membawa kerusakan secara pasti.
Artinya, bila perbuatan sadd adz-dzari’ah itu tidak
dihindarkan pasti terjadi kerusakan. Umpamanya menggali lubang ditanah sendiri
dekat pintu masuk rumah seseorang diwaktu gelap, dan setiap orang yang keluar
dari rumah itu pasti akan terjatuh ke dalam lubang tersebut. Sebenernya
menggali lubang itu boleh saja. Namun penggalian yang dilakukan dalam kondisi
yang seperti itu akan mendatangkan kerusakan.
2. sadd
adz-dzari’ah yang membawa kepada kerusakan menurut
biasanya, dengan arti kalua sadd adz-dzari’ah itu
dilakukan, maka kemungkinan besar akan timbul kerusakan atau akan dilakukannya
perbuatan yang dilarang. Umpamanya menjual anggur kepada pabrik pengolahan
minuman keras, atau menjual pisau kepada penjahat yang sedang mencari musuhnya.
Menjual anggur boleh-boleh saja dan tidak mesti pula anggur yang dijual itu
dijadikan minuman keras, namun menurut kebiasaan pabrik minuman keras membeli
anggur untuk diolah menjadi minuman keras. Demikian pula menjual pisau kepada
penjahat tersebut, kemungkinan besar akan digunakan untuk membunuh atau
menyakiti orang lain.
3. sadd
adz-dzari’ah membawa kepada perbuatan terlarang menurut
kebanyakannya. Hal ini bila sadd adz-dzari’ah itu tidak
dihindarkan sering kali sesudah itu akan mengakibatkan berlangsungnya perbuatan
yang dilarang. umpamanya jual beli kredit, memang tidak selalu jual beli kredit
itu membawa kepada riba, nemun dalam prakteknya sering dijadikan sarana untuk
riba.
4. sadd
adz-dzari’ah yang jarang sekali membawa kerusakan atau
perbuatan terlarang. Dalam hal ini seandainya perbuatan itu dilakukan belum
tentu akan menimbulkan kerusakan. Umpamanya menggali lubang dikebun sendiri
yang jarang dilalui orang. Menurut kebiasaan tidak ada yang berlalu (lewat)
ditempat itu yang akan terjatuh kedalam lubang. Nemun tidak menutup kemungkinan
ada yang tersesat lalu terjatuh kedalam lubang.
Dalam teori sadd
adz-dzari’ah hokum jual beli, dalam kasus alat
kontrasepsi hukumnya adalah tidak diperbolehkan. Dengan ketentuan bahwa alat
kontrasepsi digunakan oleh orang yang belum berhak/legal menggunakannya. Ketika
penggunanya adalah orang yang legal secara hokum islam maka hukumnya adalah boleh. Atau dapat menggunakan konsep fath
adz-dzari’ah.
Sebab ketika diperbolehkan, menjual kepada yang belum berhak maka akan
berdampak semakin tingginya nilau tidak keperawanan dan keperjakaan seorang
remaja diakibatkan hubungan seks. Meskipun tidak hamil, tapi ini adalah suatu
keadaan yang merugikan. Baik bagi remaja, orang tua, dan kehidupan sosial.
Sebab perjaka dan perawan merupakan hal yang sensitif dalam kehidupan sosial
masyarakat. Sebab berhubungan badan tidak dalam ikatan perkawinan dilarang dalam
hukum islam, dan berpengaruh terhadap jual beli secara online yang dilarang
atau yang berdampak negatif.
Prinsip larangan dalam Islam memiliki tujuan yang sangat mendasar guna
menjaga lima kebutuhan mendasar menusia. Kelima kebutuhan pokok manusia itu
dikenal dengan maqosid al-khomsah yaitu: menjaga nyawa, menjaga akal,
menjaga harta, menjaga keturunan, dan menjaga agama.
Maka berometer untuk mengukur dan menjadi acuan apakah suatu usaha bisnis
atau segala usaha yang dijalankan oleh seseorang memiliki unsur yang
membahayakan (dharar). Dapat menggunakan konsep sadd adz-dzari’ah.
Dari uraian diatas dapat dirumuskan bahwa; dalam transaksi elektronik atau
jual beli alat kontrasepsi secara online, dalam konsep sadd adz-dzari’ah terbagi
menjadi dua bagian:
1. penjualan alat kontrasepsi kepada
pembeli/konsumen yang digunakan dalam hal kebaikan, menimbulkan manfaat, tidak
betentangan dengan hukum islam. Konsumen/pembeli tersebut adalah orang yang
telah menikah/dihalalkan dalam menggunakan alat kontrasepsi. Sehingga dampak
dari penggunaannya tidak bertentangan dengan hukum Islam. Maka adz-dzari’ah (perantara)
yang digunakan adalah Fath adz—dzari’ah, diperbolehkan. Akibat hukum
yang timbul dari jual beli tersebut adalah halal.
2. Penjualan alat kontrasepsi kepada
pembeli/konsumen yang digukanan dalam hal diharamkan (zina), keburukan,
kerugian, kerusakan, dan bertentangan dengan Hukum Islam. Pembeli/konsumen
tersebut adalah orang yang belum menikah. Dengan demikian akibat hukum yang
timbul dari jual beli tersebut adalah haram. Maka jual beli tersebut harus
dilarang/ditutup sadd adz-dzari’ah.
6. Dampak
Kebebasan Jual Beli Alat Kontrasepsi Secara Online
Mengenai beradanya penjualan alat
konstrasepsi secara luas melalui media online. Menjadikan dampak tersendiri
bagi para penikmat media online. Mulai dari kalangan anak-anak hingga kalangan
yang lanjut usia. Hal ini memiliki dua dampak yaitu baik dan buruk. Ketika
konsumen pengguna alat kontrasepsi adalah orang yang diperbolehkan menggunakan
secara hokum. Sedangkan buruk ketika konsumen pengguna adalah anak-anak yang
belum diperbolehkan oleh hukum.
Sesuai informasi data yang diperoleh dari berbagai sumber, maraknya
kasus seksual yang dilakukan oleh anak dibawah umur. Merupakan wujud dari tidak
takunya anak-anak dalam melakukan hubungan seksual. Penyebabnya yaitu mudahnya
mendapatkan alat kontrasepsi secara online. Dengan demikian, semakin mudah
seseorang mendapatkan alat kontrasepsi maka semakin mudah pula seseorang untuk
melakukan hubungan seksual tanpa harus ditakuti akan kehamilan.
Seperti data yang diperoleh dari Kompasiana.com bahwa remaja wanita SMA
80% tidak perawan lagi, dan pria diatasnya.[61] Dengan
kata lain sudah pernah melakukan hubungan seksual. Demikian pula data hasil
survei secara acak selama kurun waktu, yang disampaikan oleh KPPA (Kantor
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak) kabupaten Tangerang.
Angka
tersebut masih jauh diatasnya data angka presentase serupa dikalangan remaja
JaBoDeTaBek sekitar 51% data yang dirilis oleh BKKBN (Badan Kependudukan dan
Keluarga Berencana Nasional) pada awal bulan November 2017 lalu.[62]
Komisi
perlindungan anak juga pernah merilis data survey di 12 kota besar di Indonesia
pada tahun 2007, dimana 62,7% yang duduk di bangku SMP (Sekolah Menengah
Pertama) pernah berhubungan intim dan 21,2% Siswi SMA (Sekolah Menengah Atas)
pernah menggugurkan kandungannya.[63]
Survey berikutnya dilaukan oleh Durex dan Harris Interactive yang menunjukan bahwa usia
rata-rata kehilangan keperawanan di Indonesia itu sekitar umur 19,1 tahun.[64]
Angka usia
di Indonesia itu berada di urutan ke 9 dari 10 Negara yang disurvei, yaitu
Malaysia (23 tahun), India (22,9 tahun), Singapura (22,8 tahun), Cina (22,1
tahun), Thailand 20,5 tahun), Hongkong (20,2 tahun ), Vietnam 19,7 tahun),
Jepang (19,4 tahun), Taiwan (18,9 tahun).
Namun, angka
usia di Indonesia itu masih di atasnya usia rata-rata di 27 negara eropa sekitar
16 tahun, dengan usia tertinggi di Spanyol sekitar 19,2 tahun dan usia terandah
di Iceland sekitar 15,6 tahun, maupun juga si Amerika Serikat sekitar 18 tahun.[65]
Majalah
detik edisi 25 Juli 2012 dalam rubik fokusnya ternyata sebanyak 21% remaja atau
satu diantara lima remaja di Indonesia pernah melakukan aborsi. Data itu
merupakan hasil pengumpulan data yang dilakukan Komnas Perlindungan Anak.
Dengan mengumpulkan 14.726 sempel anak SMP dan SMA di 12 kota terbesar di
Indonesia. Antara lain Jakarta, Bandung, Makasar, Medan, Lampung, Palembang,
dan Kepulauan Riau. Dan kota-kota lain di Sumatra Barat dalam Forum Diskusi
Anak Remaja pada 2011. Hasilnya adalah mereka mengaku hamper 93,7% pernah
melakukan hubungan seks. Lalu 83% mengaku pernah menonton Video porno, dan 12%
mengaku pernah melakukan aborsi. Penjelasan Ketua Komnas Perlindungan Anak
Arist Merdeka Sirait.[66]
Selain itu
Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Maria Ulfa Anshori pernah
melakukan penelitian Bersama Pusat Kajian Kesehatan Perempuan Universitas
Indonesia (UI) soal aborsi pada 2003. Dari penelitian itu tercatat rata-rata
terjadi dua juta kasus aborsi per tahun. Lalu pada tahun berikutnya, 2004
penelitian yang sama menunjukan kenaikan tingkat aborsi yakni 2,1 s/d 2,2 juta
per tahun.[67]
Hasil
tersebut sangat mengerikan dan membahayakan, apalagi bagi anak-anak perempuan.
Fskts itu berbicara bahwa berdasarkan penelitian Australian National University
(ANU) dan pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia (UI) tahun 2010/2011
di Jakarta. Tangerang dan Bekasi dengan jumlah sempel 3006 responden (usia
17-24 tahun), meunjukan 20,9% remaja mengalami kehamilan dan kelahiran sebelum
menikah, kemudian 28,7% remaja mengalami kehamilan sebelum menikah dan
kelahiran setelah menikah.
Sementara riset
Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia (UI) menyebutkan 650 ribu Anak
Baru Gede (ABG) tidak perawan, riset itu dilakukan tahun 2010/2011. Jika di
tambah Tangerang dan Bekasi ada 20% remaja Hamil sebelum menikah. Angka ini
pastinya akan semakin membengkak jika riset dilakukan secara nasional.
C. Penutup
1.
Kesimpulan
a. Kebebasan jual beli
alat kontrasepsi secara online, merupakan kebebasan model tidak terbatas, yakni
dalam hal siapa saja boleh melakukan jual beli alat kontrasepsi secara online.
Tanpa adanya ketentuan menikah dan belum menikah.
b. PP-PSTE, UU-ITE dan sadd adz-dzari’ah meninjau model kebebasan jual beli alat
kontrasepsi secara online sebagai berikut:
1.
PP-PSTE dan UU-ITE belum mengatur
secara detail mengenai penjualan alat kontrasepsi secara online.
2.
Selanjutnya dalam sadd adz-dzari’ah mengenai jual beli alat kontrasepsi secara
online ketika menimbulkan hal-hal terlarang. Maka, jual beli tersebut harus
dilarang atau dihukumi haram.
Hanya saja terdapat ketentuan
lain yang mengatur mengenai larangan pornografi seperti yang tercantum dalam
pasal 4 ayat 1 UU Pornografi yang berbunyi: Setiap orang dilarang memproduksi,
membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor,
mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, atau menyediakan pornografi yang
secara eksplisit memuat: a. Persenggamaan, termasuk persenggamaan yang
menyimpang; b. Kekerasan seksual; c. Masturbasi atau onani; d. Ketelenjangan
atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan; e. Alat kelamin; atau f.
Pornografi anak.
Dalam konsep hukum islam. Jual
beli ini termasuk tolong-menolong dalam perbuatan dosa dan pelanggaran yang
tidak mengenal batas siapa yang berhak membeli dan menggunakan alat
kontrasepsi. Larangan yang menunjukan keharaman jika telah dihukumi haram, maka
jual beli menjadi haram.
Jual beli alat kontrasepsi secara
online sah secara dhahir, makruh secara tahrim menurut ulama Hanafiyah dan
haram menurut ulama Syafi’iyah. Tidak sah menurut ulama Malikiyah dan
Hanabilah. Guna untuk menutup jalan keharaman (sadd adz-dzari’ah).
Hal itu karena akadnya telah
memenuhi syarat dan rukun jual beli yang ditetapkan syariah dan dosa disebabkan
oleh niat yang salah atau ada faktor lain yang tidak dibenarkan oleh syariah.
Dalam hal ini penjualan alat kontrasepsi kepada remaja yang belum menikah tidak
ada larangan sehingga remaja dapat melakukan hubungan seksual meski belum
menikah. Sedangkan dalam konsep sadd adz-dzari’ah, jual beli hukum awalnya adalah
diperbolehkan, tetapi ketika menimbulkan keharaman maka harus dilarang.
Selanjutnya ketentuan PP-PSTE dan
UU-ITE belum sepenuhnya mengatur mengenai jual beli alat kontrasepsi secara
online. Sedangkan dalam konsep sadd adz-dzari’ah jual beli alat kontrasepsi secara online dilarang kitika pembeli adalah
orang yang belum waktunya menggunakan alat kontrasepsi.
Undang-undang nomor 11 tahun 2008
tentang informasi dan transaksi elektronik dan peraturan pemerintah nomor 82
tahun 2912 tentang penyelenggaraan sistem dan transaksi elektronik. Belum
sepenuhnya mengatur peredaran alat kontrasepsi secara online. Dengan demikian
tidak sesuai dengan konsep Hukum Islam tepatnya dalam teori Ushul Fikih sadd adz-dzari’ah. Yang melarang jual beli yang menyebabkan
dampak kerusakan.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Mushaf al-azhar, Al-Qur;an dan terjemeh, (Bandung: Penerbit Hilal, 2010)
Azhari Faturrahman, Qawai Fiqhiyah Muamalah, (Banjarmasin: LPKU,
2015)
Dahlan Rahman, Ushul Fikih, (Jakarta: Amzah, 2010)
Djazuli, Ilmu Fiqih (Penggalian, Perkembangan Dan Penerapan Hukum
Islam), (Jakarta: Kencana, 2005)
Efendi Satria, Ushul Fikih, (Jakarta: Kencana, 2005).
Faturrahman Amirudin, Pengantar Ilmu Fiqh, (Bangdung: Refika
Aditama, 2016)
Mantri Bagus Hanindyo, aperlindungan Hukum terhadap Konsumen dalam
Transaksi E-Comerce, (Semarang, Universitas Dipenogoro, 2007)
Mariam dan Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan, (Bandung:
Citra Aditya Bakti, 2001)
martokusumo Sudikmo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, (yogyakarta:
Universitas Atma Jaya, t.th)
Ramli Ahmad M, cyber
law dan HAKI dalam system hokum Indonesia, (Bandung: PT. Refika Aditama,
2011)
Sabiq Sayid, Fiqhu As-Sunnah, terj. Ahmada Cornish Creativa, fikih
sunnah 3, (surakarta: Insan Kamil, 2016)
Syarifuddin Amir, Ushul Fikih, (Jakarta: kencana, 2008)
az-Zuhaili Wahbah, Al-Fiqhu al-Islamiyyu wa ‘adillatuhu, terj. Abdul
Hayyie al-Kattani, Fiqih Islam WA Adillatuhu, (Jakarta: Gema Insani, 2011)
az-zuhaili Wahbah, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Damaskus, Dar
al-Fikr, 1976)
Adona Fitri, Etika Bisnis Periklanan: Pelanggaran Pedoman Etika dalam
Televisi 2012, E-Jurnal (Padang: Politeknik Negeri Padang, 2012)
UNDANG-UNDANG
Lihat pasal 3 Undang-undang nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elekrtonik (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4843).
Lihat pasal 46 ayat 1 dan 2 peraturan pemerintah no. 82 tahun 2012 tentang
penyelenggaraan sistem dan transaksi elektronik (Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5348).
Lihat pasal 9 Undang-undang no 11 tahun 2008 tentang informasi dan
transaksi elektronik (Tambahan lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4843).
Pasal 49 peraturan pemerintah nomor 82 tahun 2012 tentang pengaturan system
dan transaksi elektronik (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5348).
Pasal 7 huruf (a) Undang-ungdang nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan
koosumen (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3821).
Pasal dan pasal 2 UU No. 44 tahun 2008 tentang pornografi (Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3821).
Lihat ketentuan umun pasal 4 ayat 1 UU No. 44 tahun 2008 tentang pornografi
(Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3821).
Lihat pasal 4 dan ayat 2 Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2012 Tentang
Penyelenggaraan Sistem Dan Transaksi Elejtronik (Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5348).
Lihat pasal 49
ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Sistem
dan Transaksi Elektronik (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4843).
Pasal 1 ayat 2 Peraturan Pemerintah nomor 82 tahun 2012 tentang
Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PP-PSTE) (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5348).
Ade Armando,
“Apa Benar 93% Remaja Indonesia Sudah Pernah Melakukan Hubingan Seks”, http://www.mediaonline.id/c907editorial/apa-benar-93-remaja-indonesia-pernah-melakukan-hubungan-seks/.
Diakses pada hari rabu 17 oktobrt 2018, pada jam 11:45
Agung DH, Keperjakaan
dan Keperawanan Generasi Milenial, https://tirto.id/keperjakaan-dan-keperawanan-generasi-milenial,
diakses pada hari minggu 14 Oktober 2018, pada jam 11:30.
Arist Merdeka
Sirait, Rubik Fokus, Majalah Detik edisi 25 juli 2012.
Azam Zaini M, Perlunya Legislasi
Penjualan Kondom, http://www.kompasiana.com, diakses
pada hari rabu 10 november 2018, pada pukul 17:40.
Hukum jual beli online, www.nu.or.id/post/read/51520/hukum-jual-beli-online,
diakses pada hari rabu 17 oktober 2018, pada jam 23:45
Kompas PA, 80 Gadis Tak Lagi Perawan, http://www.kompasiana.com/bocahndeso/80-gadis-tak-lagi/perawan,
diakses pada hari minggu 14 oktober 2018 pada jam 11:15
Larangan Tipu Menipu Dalam Jual Beli, https://www.mutiarahadits.com/93/30/76/larangan-tipu-menipu-dalam-jual-beli.htm,
diakses pada hari kamis 18 oktober, pada jam 00:50
Plus minus
kondom online, http://www.mykondom.com/blog-section/blogart42,
diakses hari jumat 12 oktober 2018,
Rifky Pradana,
80% gadis tak perawan, http://www.kompasiana.com/bocahndeso/80%-gadis-tak-lagi-perawan_550057e2a33311376f510bc4,
diakses pada hari rabu 17 Oktober 2018.
[1]Ahmad
M. Ramli, cyber law dan HAKI dalam system hokum Indonesia, (Bandung: PT.
Refika Aditama, 2011), hal. 23.
[2]Pasal 1 ayat 2 Peraturan Pemerintah nomor 82 tahun 2012 tentang
Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PP-PSTE)
(Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5348).
[3]Anak
dalam pasal 1 UU Pornografi disebutkan bahwa yang belum berusia 18 (delapan
belas) tahun.
[4]Plus
minus kondom online, http://www.mykondom.com/blog-section/blogart42,
diakses hari jumat 12 oktober 2018,
[5]Agung
DH, Keperjakaan dan Keperawanan Generadi Milenial, https://tirto.id/keperjakaan-dan-keperawanan-generasi-milenial,
diakses hari jumat 12 Otober 2018, pada jam 23:20.
[6]Sudikmo martokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, (yogyakarta:
Universitas Atma Jaya, t.th), h.63.
[7]Bagus
Hanindyo mentari, Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Transaksi
E-Commerce, (Semarang: Universitas Dipenogoro, 2007), h.
10
[8]Lihat pasal $& ayat 2 Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2012 Tentang
Penyelenggaraan Sistem Dan Transaksi Elejtronik (Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5348).
[9]Lihat
pasal 49 ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 Tentang
Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4843).
[10]Mushaf al-azhar, Al-Qur;an dan terjemeh, (Bandung: Penerbit Hilal, 2010),
h. 47.
[11]Sayid Sabiq, Fiqhu As-Sunnah, terj. Ahmada Cornish Creativa, fikih
sunnah 3, (surakarta: Insan Kamil, 2016), h. 38.
[12]Sayid Sabiq, Fiqhu As-Sunnah, terj. Ahmada Cornish Creativa, fikih
sunnah 4, (surakarta: Insan Kamil, 2016), h. 20.
[13]Sayid Sabiq, Fiqhu As-Sunnah, terj. Ahmada Cornish Creativa, fikih
sunnah 4, (surakarta: Insan Kamil, 2016), h. 89.
[14]Hukum jual beli online, www.nu.or.id/post/read/51520/hukum-jual-beli-online,
diakses pada hari rabu 17 oktober 2018, pada jam 23:45
[15]Larangan Tipu Menipu Dalam Jual Beli, https://www.mutiarahadits.com/93/30/76/larangan-tipu-menipu-dalam-jual-beli.htm,
diakses pada hari kamis 18 oktober, pada jam 00:50
[16]Faturrahman Azhari, Qawai Fiqhiyah Muamalah, (Banjarmasin: LPKU,
2015), h. 135.
[17]Faturrahman Azhari, Qawai Fiqhiyah Muamalah, h. 137.
[18]Faturrahman Azhari, Qawai Fiqhiyah Muamalah, h. 138.
[19]Akad Mu’awadhah adalah akad yang berlaku atas dasar timbal balik
seperti akad jual beli.
[20]Faturrahman Azhari, Qawai Fiqhiyah Muamalah, h. 139.
[21]Faturrahman Azhari, Qawai Fiqhiyah Muamalah, h. 140.
[22]Djazuli, Ilmu Fiqih (Penggalian, Perkembangan Dan Penerapan Hukum
Islam), (Jakarta: Kencana, 2005), h. 98.
[23]Amir Syarifuddin, Ushul Fikih, (Jakarta: kencana, 2008), h. 424.
[24]Rahman Dahlan, Ushul Fikih, (Jakarta: Amzah, 2010), h. 236.
[25]Satria Efendi, Ushul Fikih, (Jakarta: Kencana, 2005), h. 172-172.
[26]Satria Efendi, Ushul Fikih, h. 174.
[27]Rahman Dahlan, Ushul Fikih, h. 238.
[28]Djazuli, Ilmu Fiqih (Penggalian, Perkembangan Dan Penerapan Hukum Islam),
h. 101.
[29]Djazuli, Ilmu Fiqih (Penggalian, Perkembangan Dan Penerapan Hukum
Islam), h. 102.
[30]Wahbah az-Zuhaili, Al-Fiqhu al-Islamiyyu wa ‘adillatuhu, terj. Abdul
Hayyie al-Kattani, Fiqih Islam WA Adillatuhu, (Jakarta: Gema Insani, 2011) jilid 5, h. 175.
[31]Mushaf al-azhar, Al-Qur;an dan terjemeh, (Bandung: Penerbit Hilal, 2010),
h. 141.
[32]Mushaf al-azhar, Al-Qur;an dan terjemeh, (Bandung: Penerbit Hilal, 2010),
h. 16.
[33]Amir Syarifuddin, Ushul Fikih, (Jakarta: kencana, 2008), h. 423.
[37]Wahbah az-zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Damaskus,
Dar al-Fikr, 1976), h. 881.
[42]Djazuli, Ilmu Fiqih (Penggalian, Perkembangan Dan Penerapan Hukum Islam),
h. 118-129.
[45]Amirudin Faturrahman, Pengantar Ilmu Fiqh, (Bangdung: Refika
Aditama, 2016), h. 66-67.
[46]Mariam dan Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan, (Bandung:
Citra Aditya Bakti, 2001), h. 85.
[47]Lihat pasal 3 Undang-undang nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elekrtonik (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4843).
[48]Lihat pasal 46 ayat 1 dan 2 peraturan pemerintah no. 82 tahun 2012 tentang
penyelenggaraan sistem dan transaksi elektronik (Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5348).
[49]Lihat pasal 9 Undang-undang no 11 tahun 2008 tentang informasi dan
transaksi elektronik (Tambahan lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4843).
[50]Pasal 49 peraturan pemerintah nomor 82 tahun 2012 tentang pengaturan system
dan transaksi elektronik (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5348).
[51]Pasal 7 huruf (a) Undang-ungdang nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan
koosumen (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3821).
[52]Pasal dan pasal 2 UU No. 44 tahun 2008 tentang pornografi (Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3821).
[53]Lihat ketentuan umun pasal 4 ayat 1 UU No. 44 tahun 2008 tentang pornografi
(Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3821).
[54]Fitri Adona, Etika Bisnis Periklanan: Pelanggaran Pedoman Etika dalam
Televisi 2012, E-Jurnal (Padang: Politeknik Negeri Padang, 2012), H. 50.
[55]Bagus Hanindyo Mantri, aperlindungan Hukum terhadap Konsumen dalam
Transaksi E-Comerce, (Semarang, Universitas Dipenogoro, 2007), h. 10.
[56]Azam Zaini M, Perlunya Legislasi
Penjualan Kondom, http://www.kompasiana.com, diakses
pada hari rabu 10 november 2018, pada pukul 17:40.
[59]Perkawinan tahlil muhalil) adalah (seorang pria) mangawini (wanita)
yang sudah ditalak tiga sesudah lepas masa iddahnya, atau sesudah digaulinya,
kemidian ditalak (lagi) untuk menghalalkan bagi suami pertama (yang
mengawininya kembali).
[61]Kompas PA, 80 Gadis Tak Lagi Perawan, http://www.kompasiana.com/bocahndeso/80-gadis-tak-lagi/perawan,
diakses pada hari minggu 14 oktober 2018 pada jam 11:15
[62]Agung
DH, Keperjakaan dan Keperawanan Generasi Milenial, https://tirto.id/keperjakaan-dan-keperawanan-generasi-milenial,
diakses pada hari minggu 14 Oktober 2018, pada jam 11:30.
[63]Agung
DH, Keperjakaan dan Keperawanan Generasi Milenial, https://tirto.id/keperjakaan-dan-keperawanan-generasi-milenial,
diakses pada hari minggu 14 Oktober 2018, pada jam 11:30.
[64]Kompas PA, 80 Gadis Tak Lagi Perawan, http://www.kompasiana.com/bocahndeso/80-gadis-tak-lagi/perawan,
diakses pada hari minggu 14 oktober 2018 pada jam 11:15
[65]Rifky
Pradana, 80% gadis tak perawan, http://www.kompasiana.com/bocahndeso/80%-gadis-tak-lagi-perawan_550057e2a33311376f510bc4,
diakses pada hari rabu 17 Oktober 2018.
[66]Arist
Merdeka Sirait, Rubik Fokus, Majalah Detik edisi 25 juli 2012.
[67]Ade
Armando, “Apa Benar 93% Remaja Indonesia Sudah Pernah Melakukan Hubingan Seks”,
http://www.mediaonline.id/c907editorial/apa-benar-93-remaja-indonesia-pernah-melakukan-hubungan-seks/.
Diakses pada hari rabu 17 oktobrt 2018, pada jam 11:45
No comments:
Post a Comment