Oleh:
Muhammad Nur Muzakki
Abstrak
Pada dasarnya Hukum
Dagang adalah Hukum Perdata, namun karena mempunyai kekhususannya di bidang
perniagaan maka para pakar Hukum Dagang Indonesia cenderung mempertahankan
pemisahan Hukum Dagang dari Hukum Perdata Umum yang diatur dalam KUHPerdata.
Terlebih lagi, perkembangan Hukum Dagang yang sekarang meliputi perikatanan
khusus, karena kemajuan zaman istilahnya berubah menjadi kegiatan Perusahaan,
yang tujuan utamanya mencari nilai tambah atau mencari laba yang berbeda dengan
kegiatan yang tujuannya untuk keilmuan atau kegiatan untuk konsumsi sendiri.
Berbicara mengenai Hukum
Dagang, yang merupakan kegiatan perusahaan yang tujuan utamanya mencari laba,
tidak lepas dengan kegiatan utang-piutang atau pinjam-meminjam, antara
perusahaan yang satu dengan lainnya. Apabila terjadi wanprestasi terkait dengan
kegiatan utang-piutang atau pinjam-meminjam, antara perusahaan ini maka akan
timbul pembahasan mengenai Kepailitan, yang tentunya juga menjadi bagian dari
Modul ini.
Kata Kunci: KUHD,
KUHPerdata, Hukum Dagang, Perjanjian
A.
Pembahasan
Berbicara Hukum Dagang tidak lain adalah berbicara
mengenai Hukum Perdata. Menurut Soekardono, Hukum Perdata adalah:
“Hukum
yang mengatur saling hubungan pribadi antara manusia dan manusia sebagai subyek
hukum karena bersamaan hidup dalam suatu masyarakat”, misalnya barang yang
dibawa pihak perempuan dalam perkawinan, jual beli, pegadaian sawah dsb. Tetapi
hubungan pribadi, tersebut terdapat antara subyek hukum saja.”.
Selain
itu, Subekti dalam buku yang berjudul “Hukum Perdata Indonesia”, Hukum Perdata
didefinisikan sebagai “hukum yang mengatur hubungan pribadi antara manusia dan
manusia sebagai subyek-subyek hukum karena bersamaan hidup dalam suatu
masyarakat”[1] Hubungan pribadi tersebut
dapat terjadi antara subyek-subyek hukum, tetapi dapat pula antara negara
sebagai badan hukum dengan subyek hukum lainnya.
Hukum
Perdata sendiri ada yang dalam arti luas dan dalam arti sempit yang diatur
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) dan Kitab Undang-Undang
Hukum Dagang (KUHD). Hukum Perdata dalam arti luas adalah Hukum Perdata yang
diatur dalam KUHPerdata dan Hukum Dagang yang diatur dalam KUHDagang. Hukum
Perdata dalam arti sempit hanya Hukum Perdata yang diatur dalam KUHPerdata
saja. Sedangkan, Hukum Perdata dalam arti luas meliputi semua “hukum materiil”
yang meliputi hukum pokok yang mengatur kepentingan perorangan.[2]
Sistematika
Hukum Perdata dapat dilihat dari sudut ilmu pengetahuan dan dari sudut
sistematika yang terdapat dalam KUHPerdata. Jika dilihat dari sudut ilmu
pengetahuan, sistematika Hukum Perdata adalah sebagai berikut:[3]
1.
Hukum tentang diri seseorang (personnenrecht)
2.
Hukum kekeluargaan (familierecht)
3.
Hukum kekayaan (vermogensrecht)
4.
Hukum warisan (erfrecht)
Jika
dilihat dari sudut sistematika yang terdapat dalam KUHPerdata, berikut adalah
sistematika Hukum Perdata:[4]
1.
Buku I mengatur tentang orang termasuk hukum keluarga
(van Personen).
2.
Buku II mengatur tentang benda termasuk hukum waris (van Zaken)
3.
Buku III tentang Perikatan (van Verbintenissen)
4.
Buku IV tentang Bukti dan Daluwarsa (van Bewujs en Verjaring)
Dari
penjelasan Hukum Perdata umum tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa
Hukum Dagang itu bagian Hukum Perdata umum yang mengatur tentang perjanjian dan
perikatan yang diatur di dalam Buku III KUHPerdata yang berjudul “tentang
Perikatan”. Buku III KUHPerdata, antara lain mengatur tentang asas-asas umum
hukum perjanjian, maupun perjanjian khusus misalnya perjanjian jual beli,
pinjam meminjam, dan perbuatan melawan hukum. Namun demikian, dalam perkembangannya
ada perjanjian-perjanjian yang erat hubungannya dengan perniagaan, misalnya
perjanjian perantaraan, perjanjian menjalankan perdagangan secara perusahaan
yang berbentuk Firma, Perseroan Terbatas, perjanjian pengangkutan, perjanjian
asuransi, perjanjian-perjanjian tersebut termasuk perjanjian khusus, yang semua
itu diatur dalam KUHD maupun di luar KUHD.[5]
Oleh
karena itu, untuk mempelajari Hukum Dagang mahasiswa diwajibkan mempelajari
Hukum Perdata yang bersifat Umum yaitu yang diatur dalam KUHPerdata lebih dulu.
Jadi, Hukum Perdata umum merupakan prasyarat untuk mempelajari Hukum
Dagang yang merupakan perkembangan Hukum Perdata Umum. Sebab, untuk melakukan
kegiatan perjanjian khusus di bidang perniagaan, Anda harus paham tentang
pengertian dan asas-asas penjanjian serta perikatan bahkan faham tentang barang
yang menjadi obyek perjanjianya yang diatur dalam KUHPerdata.
Hal tersebut disebabkan
kenyataan bahwa kebutuhan-kebutuhan hukum masyarakat berniaga itu, sejajar
dengan perkembangan kegiatan perniagaan, yang makin lama makin luas dan maju
sesuai perkembangan zaman. Namun demikian, perkembangan kegiatan perniagaan
tersebut sudah tidak tertampung atau dapat diselesaikan oleh Hukum Perdata umum
serta lembaga-lembaga hukum yang sudah diatur di dalam KUHPerdata, maka perlu
hukum perikatan/perdata khusus yang antara lain bergerak di bidang perdagangan
atau perniagaan. Hukum perikatan/perdata khusus tetap merupakan bagian dari
Hukum Perdata/perikatan umum karena suatu perikatan, dalam keperdataan umum
maupun dalam keperdataan khusus, selalu membebankan pelaksanaan prestasi yang
berupa perbuatan, bukan perbuatan, pemberian atau penyerahan.
Hukum Perdata umum dan
Hukum Perdata khusus yang juga disebut Hukum Dagang itu dijaga kesatuan, yaitu
diatur dalam Pasal 1 KUHD yang mengatur bahwa:[6]
“KUHPerdata, seberapa jauh daripadanya dalam Kitab ini tidak
khusus diadakan penyimpangan-penyimpangan, berlaku juga terhadap hal-hal yang
dibicarakan dalam Kitab ini.”
Pada dasarnya Hukum
Dagang adalah Hukum Perdata, namun karena mempunyai kekhususannya di bidang
perniagaan maka para pakar Hukum Dagang Indonesia cenderung mempertahankan
pemisahan Hukum Dagang dari Hukum Perdata Umum yang diatur dalam KUHPerdata.
Terlebih lagi, perkembangan Hukum Dagang yang sekarang meliputi perikatanan
khusus, karena kemajuan zaman istilahnya berubah menjadi kegiatan Perusahaan,
yang tujuan utamanya mencari nilai tambah atau mencari laba yang berbeda dengan
kegiatan yang tujuannya untuk keilmuan atau kegiatan untuk konsumsi sendiri.
Berbicara mengenai Hukum
Dagang, yang merupakan kegiatan perusahaan yang tujuan utamanya mencari laba,
tidak lepas dengan kegiatan utang-piutang atau pinjam-meminjam, antara
perusahaan yang satu dengan lainnya. Apabila terjadi wanprestasi terkait dengan
kegiatan utang-piutang atau pinjam-meminjam,
antara perusahaan ini maka akan timbul pembahasan mengenai Kepailitan, yang
tentunya juga menjadi bagian dari Modul ini.
B.
PENGERTIAN
HUKUM PERDATA
Hakikat dari Hukum Dagang
adalah Hukum Perdata. Sistem Hukum Perdata yang berlaku di Indonesia berasal
dari sistem hukum Eropa Kontinental, yang diatur dalam KUHPerdata. Untuk
membuktikan bahwa Hukum Dagang adalah Hukum Perdata maka harus dipahami dasar
Hukum Perdata dan sistematikanya, sebagaimana telah dijelaskan di bagian
Pendahuluan. Penting untuk dinyatakan kembali bahwa, Hukum Perdata adalah
hubungan pribadi antara manusia dan manusia sebagai subyek hukum karena
bersamaan hidup dalam suatu masyarakat.[7]
Manusia sebagai subyek hukum adalah pembawa hak dan kewajiban, yang terdiri
dari:
1. Orang sebagai manusia menurut kodrat
(disebut pula dengan pribadi kodrati). Setiap manusia hidup itu mempunyai
wewenang berhak; dan
2. Orang sebagai subyek hukum berbentuk badan
hukum adalah subyek hukum yang tidak memiliki wujud jasmani, yang terdiri badan
publik misalnya negara dan badan hukum perdata, misalnya Perseroan Terbatas
(PT), Yayasan, dan Koperasi.
Sistematika Hukum Perdata
dapat dilihat dari sudut ilmu pengetahuan dan dari sudut sistematika yang
terdapat dalam KUHPerdata. Jika dilihat dari sudut ilmu pengetahuan,
sistematika Hukum Perdata adalah sebagai berikut:[8]
1. Hukum tentang diri seseorang (personnenrecht)
2. Hukum kekeluargaan (familierecht)
3. Hukum kekayaan (vermogensrecht)
4. Hukum warisan (erfrecht)
5.
Perikatan dalam lapangan harta kekayaan dapat
bersumber dari perjanjian dan undang-undang.
1. Perikatan yang Bersumber pada Perjanjian Pasal
1313 KUHPerdata mendefinisikan perikatan yang bersumber dari perjanjian sebagai
perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya dengan satu
orang atau lebih. Adanya perjanjian timbul hubungan hukum antara yang memberi
janji dan yang menerima janji yang disebut dengan Perikatan, namun tidak
meliputi semua janji. Sebab, tidak semua janji atau perikatan adalah perbuatan
hukum. Ada bahkan banyak janji yang hanya merupakan perikatan moral, sehingga
kewajiban yang timbul juga hanya berupa kewajiban moral saja, misalnya janji
untuk ngobrol-ngobrol di kafe. Namun demikian, ada janji yang menimbulkan hubungan
hukum yaitu dalam perjanjian pinjam-meminjam, ini yang menimbulkan perikatan
sehingga para pihak dalam perikatan disebut Kreditur dan Debitur.
2. Perikatan yang Bersumber dari Undang-Undang
Perikatan jenis ini diatur Dalam Pasal 1352 dan Pasal 1353 KUHPerdata yaitu:
(a) perikatan yang lahir dari Undang-undang semata-mata, misalnya perikatan
untuk memberi nafkah dan (b) perikatan yang lahir dari Undangundang karena
perbuatan manusia yang menurut hukum dan yang melawan hukum.
Undang-undang mengatur syarat-syarat sahnya membuat
perjanjian, hal itu diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata:
a. Adanya kesepakatan antara mereka yang mengikatkan
diri.
b. Adanya kecakapan untuk membuat perikatan, mereka
harus sudah dewasa umur 21 tahun dan sehat, namun meskipun belum dewasa tetapi
sudah nikah dianggap dewasa c. Adanya sesuatu hal tertentu yang diperjanjikan
yang disebut obyek perjanjian
d. Adanya sesuatu sebab yang diperbolehkan oleh
Undang-undang (sesuatu yang halal).
Dalam hukum perjanjian dikenal dua macam Perjanjian:
a. Perjanjian
bernama (nominat) adalah perjanjian yang diatur atau dikenal dalam KUHPerdata
atau KUHD. Baik pengertiannya maupun syarat-syaratnya dan tatacaranya sudah
diatur dalam kedua peraturan tersebut. Contohnya antara lain: perjanjian
jual-beli, sewa menyewa, tukar-menukar dan pinjam-meminjam.
b. Perjanjian tidak bernama (innominaat)
adalah perjanjian yang tidak diatur dalam KUHPerdata tetapi perjanjian itu
tumbuh dan hidup serta dikenal dalam masyarakat, misalnya perjanjian leasing
atau sewaguna usaha dan perjanjian waralaba.
Sebenarnya perjanjian apakah bernama atau tidak
bernama, dalam arti terutama apakah ia diatur dalam undang-undang atau tidak
dan bukan karena ia mempunyai nama tertentu.
a. Leasing Pengaturan leasing di Indonesia berpegang
pada definisi yang termaktub dalam Surat Keputusan Bersama Menteri Keuangan,
Menteri Perindustrian dan Menteri Perdagangan Republik Indonesia
No.KEP-122/MK/IV/2/1974, No.32/M/SK/2/1974, No.30/Kpb/I/1974 tanggal 7 Februari
1974 tentang Perizinan Usaha Leasing tersebut. Berdasarkan peraturan dasar
mengenai kegiatan usaha leasing, dapat dikemukakan bahwa yang dimaksudkan
dengan leasing adalah:[9]
“Setiap kegiatan pembiayaan perusahaan dalam bentuk
penyediaan barang-barang modal untuk digunakan oleh suatu perusahaan untuk
suatu jangka waktu tertentu, berdasarkan pembayaran-pembayaran secara berkala
disertai dengan hak pilih (optie) bagi perusahaan tersebut untuk membeli
barang-barang modal yang bersangkutan atau memperpanjang jangka waktu leasing
berdasarkan nilai sisa yang telah disepakati bersama”.
Sedangkan definisi umum mengenai leasing adalah
perjanjian antara Lessor dan Lessee untuk menyewa suatu jenis barang modal
tertentu yang diperoduksi/dijual oleh pabrikan/supplier dan ditentukan/dipilih
oleh Lessee. Hak pemilikan barang modal berada pada Lessor sedangkan Lessee
berhak memakai/menggunakan barang modal tersebut berdasarkan uang sewa yang
telah ditentukan dalam jangka waktu tertentu.
Hak opsi ini bersyarat dan baru menjadi efektif
setelah Lessee memenuhi semua kewajiban kepada Lessor sehubungan dengan
perjanjian leasing. Lessor berkepentingan, bahwa pada saat adanya peristiwa
cidera janji oleh Lessee, Lessor dapat menarik kembali atau memutuskan
perjanjian leasing danmengambil disposisi lain tentang barang leasing tanpa hak
dari Lessee sehubungan dengan pembelian tersebut atas nilai sisa yang telah
disepakati. Di lain pihak ada suatu aspek yang belum lazim di Indonesia, sudah
menjadi kebiasaan bahwa Lessor mensyaratkan jaminan-jaminan tertentu sehubungan
dengan kewajiban pembayaran-pembayaran Lessee berdasarkan perjanjian leasing.
Para Lessee di Indonesia belum lazim meminta jaminan atas kewajiban Lessor.
Tidak ada jaminan bagi Lessee yang telah memenuhi seluruh kewajibannya berdasarkan
perjanjian leasing bahwa pada akhir jangka waktu leasing, Lessor bersedia
mengalihkan miliknya kepada Lessee berdasarkan opsi pembelian. Pembelian dan
pengalihan hak atas barang leasing tidak terjadi secara otomatis, tetapi
memerlukan perbuatan hukum tambahan, yaitu jual beli (dan penyerahan). Ada
pemikiran-pemikiran tertentu untuk memberikan hak jaminan atas barang leasing
kepada Lessee.
b. Franchise/ Waralaba. Istilah Franchise juga disebut
Waralaba adalah cara kerja sama di bidang bisnis antara dua atau lebih
perusahaan di mana satu pihak akan bertindak sebagai Franshisor dan pihak yang
lain sebagai Franchisee. Dalam perjanjian franchise diatur bahwa pihak
franchisor sebagai pemilik suatu merek yang terkenal, memberikan hak kepada
franchisee untuk melakukan kegiatan bisnis dari/atas suatu produk barang atau
jasa berdasarkan dan sesuai dengan rencana dari waktu ke waktu, baik atas dasar
hubungan yang eksklusif ataupun non-eksklusif, dan sebaiknya suatu imbalan
tertentu akan dibayarkan kepada franchisor sehubungan dengan hal tersebut.[10]
Waralaba
menurut Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan R I
No.259/MPP/kep/7/1997 tanggal 30 Juli 1997 tentang Ketentuan dan Tata Cara
Pelaksanaan Pendaftaran Usaha Waralaba, yaitu Waralaba adalah perikatan di mana
salah satu pihak diberikan hak untuk memanfaatkan dan atau menggunakan hak atas
kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas usaha yang dimiliki oleh
pihak lain dengan suatu imbalan berdasarkan.
C.
Hubungan
Hukum Perdata dengan Hukum Dagang
Hukum dagang adalah hukum
perikatan yang timbul khusus dari lapangan perusahaan. Hukum perdata diatur
dalam KUH Perdata dan Hukum Dagang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Dagang (KUHD). Kesimpulan ini sekaligus menunjukkan bagaimana hubungan antara
hukum dagang dan hukum perdata. Hukum perdata merupakan hukum umum (lex
generalis) dan hukum dagang merupakan hukum khusus (lex specialis). Dengan
diketahuinya sifat dari kedua kelompok hukum tersebut, maka dapat disimpulkan
keterhubungannya sebagai lex specialis derogat lex generalis, artinya hukum
yang bersifat khusus mengesampingkan hukum yang bersifat umum. Adagium ini
dapat disimpulkan dari pasal 1 Kitab undang-Undang Hukum Dagang yang pada
pokoknya menyatakan bahwa: “Kitab Undang-Undang Hukum Perdata seberapa jauh
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang tidak khusus diadakan
penyimpangan-penyimpangan, berlaku juga terhadap hal-hal yang disinggung dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang.
Hubungan antara KUHD dengan
KUH perdata adalah sangat erat, hal ini dapat dimengerti karena memang semula
kedua hukum tersebut terdapat dalam satu kodefikasi. Pemisahan keduanya
hanyalah karena perkembangan hukum dagang itu sendiri dalam mengatur pergaulan
internasional dalam hal perniagaan.
Hukum Dagang merupakan
bagian dari Hukum Perdata, atau dengan kata lain Hukum Dagang meruapkan
perluasan dari Hukum Perdata. Untuk itu berlangsung asas Lex Specialis dan Lex
Generalis, yang artinya ketentuan atau hukum khusus dapat mengesampingkan
ketentuan atau hukum umum. KUHPerdata (KUHS) dapat juga dipergunakan dalam hal
yang daitur dalam KUHDagang sepanjang KUHD tidak mengaturnya secara khusus.[11]
1.
Berlakunya Hukum Dagang
Kitab Undang-Undang
Hukum Dagang masih berlaku di Indonesia berdasarkan Pasal 1 aturan peralihan
UUD 1945 yang pada pokoknya mengatur bahwa peraturan yang ada masih tetap
berlaku sampai pemerintah Indonesia memberlakukan aturan penggantinya. Di
negeri Belanda sendiri Wetbook van Koophandel telah mengalami perubahan, namun
di Indonesia Kitab Undang-Undang Hukum Dagang tidak mengalami perubahan yang
komprehensif sebagai suatu kodifikasi hukum. Namun demikian kondisi ini tidak
berarti bahwa sejak Indonesia merdeka, tidak ada pengembangan peraturan
terhadap permasalahan perniagaan. Perubahan pengaturan terjadi, namun tidak
tersistematisasi dalam kodifikasi Kitab Undang-Undang Hukum Dagang. Strategi
perubahan pengaturan terhadap masalah perniagaan di Indonesia dilakukan secara
parsial (terhadap substansi Kitab Undang-Undang Hukum Dagang) dan membuat
peraturan baru terhadap substansi yang tidak diatur dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Dagang
2.
Hubungan Pengusaha dan Pembantunya
Pengusaha (pemilik perusahaan) yang mengajak pihak
lain untuk menjalankan usahanya secara bersama-sama, atau perusahaan yang
dijalankan dan dimiliki lebih dari satu orang, dalam istilah bisnis disebut
sebagai bentuk kerjasama. Bagi perusahaan yang sudah besar, Memasarkan
produknya biasanya dibantu oleh pihak lain, yang disebut sebagai pembantu
pengusaha. Secara umum pembantu pengusaha dapat digolongkan menjadi 2 (dua),
yaitu:
a. Pembantu-pembantu
pengusaha di dalam perusahaan, misalnya pelayan toko, pekerja keliling,
pengurus fillial, pemegang prokurasi dan pimpinan perusahaan.
b. Pembantu pengusaha
diluar perusahaan, misalnya agen perusahaan, pengacara, noratis, makelar, komisioner.
3. Pengusaha dan
Kewajibannya
- Memberikan ijin kepada buruh untuk
beristirahat, menjalankan kewajiban menurut agamanya
- Dilarang memperkerjakan buruh lebih dari 7
jam sehari dan 40 jam seminggu, kecuali ada ijin penyimpangan
- Tidak boleh mengadakan diskriminasi upah
laki/laki dan perempuan
- Bagi perusahaan yang memperkerjakan 25
orang buruh atau lebih wajib membuat peraturan perusahaan
- Wajib membayar upah pekerja pada saat
istirahat / libur pada hari libur resmi
- Wajib memberikan Tunjangan Hari Raya (THR)
kepada pekerja yang telah mempunyai masa kerja 3 bulan secara terus menerus
atau lebih
- Wajib mengikut sertakan dalam program
Jamsostek
4 . Bentuk-Bentuk Badan Usaha
Perusahaan Perorangan
Perusahaan Perorangan
adalah perusahaan yang dikelola dan diawasi oleh satu orang sehingga semua
keuntungan yang didapatkan akan menjadi haknya secara penuh dan
jika terdapat kerugian maka yang bersangkutan harus menanggung resiko
tersebut secara sendiri.
Firma
Firma adalah Bentuk badan
usaha yang didirikan oleh beberapa orang dengan menggunakan nana bersama atau
satu nama digunakan bersama. Dalam firma semua anggota bertanggung-jawab
sepenuhnya, baik sendiri-sendiri maupun bersama terhadap utang-utang perusahaan
kepada pihak lainnya.
D.
Perjanjian Jual Beli menurut KUHPerdata
1. Pengertian Perjanjian
Jual Beli
Dalam suatu masyarakat,
dimana sudah ada peredaran uang berupa mata uang sebagai alat pembayaran yang
sah, perjanjian jual beli merupakan suatu perjanjian yang paling lazim diadakan
diantara para anggota masyarakat. Wujud dari perjanjian jual beli ialah
rangkaian hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari kedua belah pihak, yang saling
berjanji, yaitu sipen jual dan si pembeli.Perjanjian jual beli diatur dalam
Pasal 1457 sampai dengan Pasal 1540 KUHPerdata. Pengertian jual beli menurut Pasal
1457KUHPerdata adalah;
“suatu persetujuan,
dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk
menyerahkan suatu kebendaan, danpihak yang lain untuk membayar harga yang telah
dijanjikan.”
Dari pengertian menurut
Pasal 1457 KUHPerdata tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa jual beli
adalah suatu perjanjian bertimbal balik, dimanapihak penjual berjanji untuk
menyerahkan hak milik atas suatu barang danpihak pembeli berjanji untuk membayar
sejumlah uang sebagai imbalan. Hak milik suatu barang yang semula dimiliki
pihak penjual, akan berpindah tangan kepada si pembeli apabila sudah ada
penyerahan secara yuridis sesuai dengan ketentuan Pasal 1459 KUHPerdata.
Perjanjian jual beli di anggap telah terjadi antara kedua belah pihak, seketika
setelahnya orang-orang ini mencapai sepakat tentang kebendaan tersebut dan
harganya, meskipun kebendaan itu belum diserahkan, maupun harganya belum
dibayar (Pasal1458 KUHPerdata). Barang dan harga inilah yang menjadi unsur
pokok dari perjanjian jual beli. Menurut Pasal 1517 KUHPerdata, jika pihak
pembeli tidak membayar harga pembelian, maka itu merupakan suatu wanprestasi yang
memberikan alasan kepada pihak penjual untuk menuntut ganti rugiatau pembatalan
perjanjian menurut ketentuan-ketentuan Pasal 1266 dan1267 KUHPerdata. “Harga“ tersebut
harus berupa sejumlah uang. Jika dalam suatu perjanjian tidak menunjuk kepada
dua hal tersebut (barang danuang), maka itu akan merubah perjanjiannya menjadi
tukar menukar, atau kalau harga itu berupa jasa, perjanjiannya akan menjadi
suatu perjanjian kerja, dan begitulah seterusnya. Dalam pengertian jual beli
sudah termasuk pengertian bahwa disatu pihak ada barang dan dilain pihak ada
uang. Tentang macamnya uang, dapat diterangkan bahwa, meskipun jual beli
ituterjadi di Indonesia, tidak diharuskan bahwa harga itu ditetapkan dalam
matauang rupiah, namun diperbolehkan kepada para pihak untuk menetapkan nya dalam
mata uang apa saja.
Mengenai sifat dari
perjanjian jual beli, menurut para ahli hokum Belanda, perjanjian jual beli
hanya mempunyai sifat obligator, atau bersifat mengikat para pihak. Jual beli
yang bersifat obligator dalam Pasal 1459 KUHPerdata menerangkan bahwa hak milik
atas barang yang dijual belum akanber pindah tangan kepada pembeli selama belum
diadakan penyerahan yuridis menurut Pasal 612, 613, dan 616 KUHPerdata. Dari
sifat obligator tersebut dalam perjanjian jual beli, dapat dijabarkan menjadi
beberapa hal yang pada intinya juga termasuk dalam sifat obligator tersebut.
Hal ini dapat dilihat dari obyeknya (apa saja yang menjadi obyeknya), harga
yang telah disepakati kedua belah pihak dalam perjanjian jual beli, dan yang
terakhir adalah hak dan kewajiban para pihak.
2. Timbulnya Perjanjian
Jual Beli
Berpijak dari asas
konsensualitas dalam perjanjian jual beli sejak tercapainya kata sepakat
mengenai jual beli atas barang dan harga walaupun belum dilakukan penyerahan
barang ataupun pembayaran maka sejak saat itulah sudah lahir suatu perjanjian
jual beli. Asas konsensualitas itu sendiri menurut pasal 1458 KUHPer mengatur
sebagai berikut :
Jual beli sudah terjadi
antara kedua belah pihak seketika setelah mereka mencapai
kata sepakat tentang barang
dan harga meskipun barang
belum diserahkan dan hargabelum dibayar.
Kata Kosensualitas itu
sendiri berasal dari bahasa latin consensus yang artinya kesepakatan. Kata
kesepakatan tersebut mengandung makna bahwa dari para pihak yang bersangkutan
telah tercapai suatu persesuaian kehendak. Artinya apa yang dikehendaki oleh
para pihak telah tercapai suatu kesamaan, kemudian dari persesuaian kehendak
tersebut tercapai kata sepakat. Sebagai contoh pihak penjual sebagai pihal
pertama ingin melepaskan hak milik atas suatu barang sertelah mendapatkan
sejumlah uang sebagai imbalannya.Begitu pula dipihak kedua sebagai pihak
pembeli yang menghendaki hak milik atas barang tersebut harus bersedia memberikan
sejumlah nominal (uang) tertentu kepada penjual sebagaipemegang hak milik
sebelumnya.Jual beli yang bersifat obligator dalam KUHPerdata (Pasal 1359)bahwa
hak milik atas barang yang dijual belum akan berpindah ke tangan pembeli selama
belum diadakan penyerahan menurut ketentuan Pasal 612yang menyebutkan bahwa
penyerahan atas benda bergerak dilakukan dengan penyerahan nyata, Pasal 613
bahwa penyerahan piutang atas nama,dilakukan dengan membuat.
sebuah akta otentik atau
dibawah tangan. Sifat obligatoir dalam perjanjian jual beli menurut KUHPerdata maksudnya
bahwa perjanjian jual beli akan timbul hak dan kewajiban bertimbal balik pada
para pihak. Yaitu saat meletakkan kepada penjual kewajiban untuk menyerahkan
hak milik atas barang yang dijual, selanjutnya memberikan kepadanya hak untuk
menuntut pembayaran atas harga yang telah menjadi kesepakatan. Sementara pihak
pembeli berkewajiban untuk membayar harga sebagai imbalan haknya untuk mendapatkan
penyerahan hak milik atas barang yang dibeli, dengan kata lain hak milik akan
berpindah dari pihak penjual kepada pembeli setelah diadakan penyerahan.
a.
SUBYEK HUKUM DALAM PERJANJIAN
JUAL-BELI
Seperti yang sudah
dijelaskan sebelumnya bahwa perjanjian timbul disebabkan oleh karena adanya
kata sepakat antara dua orang atau lebih. Pendukung Perjanjian
sekurang-kurangnya harus ada 2 (dua) orang tertentu. Masing-masing orang
tersebut menduduki tempat yang berbeda.Satu orang menjadi pihak kreditur, dan
seorang lagi sebagai pihak debitur.Kreditur dan debitur itulah yang menjadi
subyek perjanjian. Kreditur mempunyai hak atas prestasi dan debitur wajib
memenuhi pelaksanaan prestasi. Maka sesuai dengan teori dan praktek hukum,
kreditur terdiri dari:
1. Individu sebagai Persoon
yang bersangkutan.
a. Manusia tertentu.
b. Badan Hukum.
Jika Badan hukum yang
menjadi subyek, perjanjian yang diikat bernama “perjanjian atas nama” atauveerbintenls
op naam, dan kreditur yang bertindak sebagai penuntut disebut “tuntutan atas
nama”.
2. Seseorang atas keadaan
tertentu mempergunakan kedudukan atauhak orang lain tertentu: misalnya seorang
bezitter atas kapal. Bezitter ini dapat bertindak sebagai kreditur dalam suatu perjanjian.
Kedudukannya sebagai subyek kreditur bukan atasnama pemilik kapal inpersoon.
Tapi atas nama persoon tadi sebagai bezitter. Contoh lain, seorang menyewa
rumah A.Penyewa bertindak atas keadaan dan kedudukannya sebagai penyewa rumah
A, bukan atas nama A inpersoon, tapi atas namaA sebagai pemilik sesuai dengan
keadaannya sebagai penyewa.Lebih nyata dapat dilihat pada Pasal 1576
KUHPerdata.
3. Persoon yang dapat
diganti.
Mengenai persoon kreditur
yang “dapat diganti” atau vervangbaar, berarti kreditur yang menjadi subyek
semula, telah ditetapkan dalam perjanjian (sewaktu-waktu dapat digantikan kedudukannya
dengan kreditur baru). Perjanjian yang dapat diganti ini, dapat dijumpai dalam
bentuk perjanjian “aan order”atau perjanjian atas perintah. Demikian juga dalam
perjanjian “aan toonder”, perjanjian “atas nama“ atau “kepada pemegang atau pembawa” pada
surat-surat tagihan hutang.
Sedangkan menurut
KUHPerdata, pihak-pihak dalam perjanjiandiatur secara sporadis di dalam Pasal
1340, Pasal 1315, Pasal 1317, Pasal 1318, antara lain:
1. Para pihak yang
mengadakan perjanjian itu sendiri.
2. Para ahli waris mereka
dan mereka yang mendapat hak daripadanya.
3. Pihak ketiga.
Sedangkan menurut Wiryono Prodjodikoro,
dalam setiap perjanjian ada dua macam subyek. Yang pertama dapat berupa
individu, yaitu: penjual dan pembeli, dan yang kedua adalah seorang dapat
berupa suatu badan hukum. Kedua subyek hukum tersebut dalam suatu perjanjian
jual beli, masing-masing mempunyai hak dan kewajiban. Jika subyek-subyek
tersebut (Usaha Dagang dan pembeli) mengandung larangan-larangan yang diatur
dalam Pasal 1468, 1469, dan1470 KUHPerdata, maka mereka tidak dapat
melaksanakan perjanjian jualbeli. UD (Usaha Dagang) yang berperan sebagai
penjual dalam melayanipembeli dapat bertindak langsung tanpa keterikatan dengan
perusahaan sebagai pihak yang memproduksi barang. Namun ada pula penjual yang berkedudukan
sebagai penyalur resmi yang bertindak dan bergerak atas nama perusahaan atau
agen resmi, seperti dalam perjanjian jual beli tersebut disini. Agen itu
sendiri di artikan sebagai pihak yang menjalankan tugas sebagai penyalur untuk
melayani konsumen dalam memenuhi kebutuhannya. Melihat dalam menjalankan
tugasnya, keberadaan penjual tersebut memiliki persamaan dalam melayani pembeli
untuk mendapatkan apa yangdiinginkan, tetapi yang menyangkut masalah klaim dari
pembeli terhadap barang yang megalami kesalahan produksi pabrik tentu tidak
sama. Jika subyek perjanjian jual beli adalah anasir , yang bertindak, yang aktif,
maka obyek dalam suatu perjanjian dapat diartikan sebagai hal yang diperlakukan
oleh subyek, berupa suatu hal yang penting dalam tujuan untuk membentuk suatu
perjanjian, yaitu berupa barang. Oleh karena itu, obyek, dalam
perhubungan hukum perihal
perjanjian ialah: hal yang
diwajibkan kepada pihak berwajib (debitur), dan hal terhadap mana
pihak-berhak(kreditur) mempunyai hak. Pasal 1332 KUHPerdata menyebutkan bahwa
hanya benda yangberada dalam perdagangan saja yang dapat menjadi obyek suatu
perjanjian jual beli. Dengan demikian obyek dari perjanjian jual beli tidak
hanya bendayang berupa hak milik saja, tetapi benda yang menjadi kekuasaannya
dandapat di perdagangkan, asalkan pada waktu penyerahan dapat ditentukan jenis
dan jumlahnya.
b.
HAK DAN KEWAJIBAN PARA
PIHAK DALAM PERJANJIAN JUAL-BELI
Hak dan Kewajiban Pihak
Penjual
Menurut Gunawan Widjaja dan
Kartini Muljadi, ketentuan umum mengenai perikatan untuk menyerahkan sesuatu
(Pasal 1235KUHPerdata), dan ketentuan yang diatur secara khusus dalam ketentuan
jual-beli (Pasal 1474), penjual memiliki 3 (tiga) kewajibanpokok mulai dari
sejak jual-beli terjadi menurut ketentuan Pasal 1458KUHPerdata. Menurut
ketentuan tersebut, secara prinsip penjualmemiliki kewajiban untuk:
Memelihara dan merawat
kebendaan yang akan diserahkan kepada pembeli hingga saat penyerahannya.
Menyerahkan kebendaan yang
dijual pada saat yang telahdi tentukan, atau jika tidak telah ditentukan
saatnya, ataspermintaan pembeli.
Menanggung kebendaan yang dijual
tersebut. Dalam Pasal 1474 KUHPerdata menjelaskan bahwa, sebagai pihak penjual
memiliki dua kewajiban penting dalam pelaksanaan perjanjian. Kewajiban tersebut
adalah menyerahkan suatu barang dan menanggungnya.
Mengenai penyerahan atau
levering dalam KUHPerdata, menganut ‘sistem causal’ yaitu suatu sistem yang
menggantungkan sahnya levering itu pada dua syarat :
Penyerahan atau levering
telah dilaksanakan oleh yangberhak berbuat bebas (beschikking sbevoegd)
terhadap orang yang dilevering.
Sahnya titel dalam
perjanjian jual beli yang menjadi dasar levering (penyerahan).Dari syarat
tersebut diatas, khususnya sahnya titel yang menjadi dasar levering,
dimaksudkan perjanjian obligator yang menjadi dasar leveringtersebut. Adapun
orang yang ‘berhak berbuat bebas‘ adalah
pemilik barang sendiri atau orang yang dikuasakan olehnya.Mengenai penanggungan
terhadap suatu barang dan atau barangyang kondisinya rusak (cacat produk) lebih
lanjut diatur dalam Pasal1504 KUHPerdata, yang menyatakan bahwa:
Si penjual diwajibkan
menanggung terhadap cacat-cacat tersembunyi pada barang yang dijual, yang
membuat barang itu tidak sanggup untuk pemakaian yang dimaksudkan, atau yang
demikian mengurangi pemakaian itu sehingga, seandainya si pembeli mengetahui
cacat cacat itu, ia sama sekali tidak akan membeli barangnya, atau tidak akan
membelinya selain dengan harga yang kurang .
Maksud dari Pasal tersebut
bahwa cacat yang membuat barang tersebut tidak dapat dipakai untuk keperluan
yang dimaksud dan cacat tersebut tidak diketahui oleh pembeli secara normal
atau wajar pada saat ditutupnya perjanjian, dalam hal ini perjanjian jual beli.
Mengapa dikatakan sebagai cacat tersembunyi, karena cacat tersebut tidakmudah
kelihatan apabila tidak dilihat secara jeli dan teliti. Tetapi apabila cacat
yang dimaksud sudah terlihat sebelumnya, maka barang tersebut tentu bukan lagi
disebut sebagai cacat tersembunyi, melainkan dikategorikan sebagai cacat yang
nampak atau kelihatan. Menurut Yahya Harahap, cacat tersembunyi ialah cacat
yang mengakibatkan kegunaan barang tidak sesuai lagi dengan tujuan pemakaian
yang semestinya.
Pengertian cacat
tersembunyi dapat dibedakan menjadi 2 (dua) pengertian, yaitu:
a. Cacat tersembunyi
positif.
Maksudnya adalah apabila
cacat barang itu tidak diberitahukan oleh penjual kepada pembeli atau pembeli sendiri
tidak melihat atau mengetahui bahwa barang tersebut cacat, maka terhadap cacat
tersebut penjual berkewajiban untuk menanggungnya.Tentang cacat tersembunyi
positif, lebih lanjut diatur dalam Pasal 1504sampai dengan Pasal 1510
KUHPerdata.Dalam hal ini menurut Pasal 1504 KUHPerdata bila dikaitkan dengan
Pasal 1506 KUHPerdata, dapat dikatakan bahwa penjual harus bertanggung jawab
apabila barang20 M. Yahya Harahap, Segi – Segi Hukum Perjanjian, Alumni,
Bandung, 1986, hal.198.tersebut mengandung cacat tersembunyi, lepas dari
penjualmengetahui adanya cacat atau tidak melihat, kecuali jikadalam hal yang
sedemikian telah meminta diperjanjiakanbahwa ia tidak diwajibkan menanggung
sesuatu apapun.
b. Cacat tersembunyi negatif.
Apabila cacat terhadap
suatu barang sebelum nyasudah diberitahukan oleh penjual kepada pembeli, dan dalam
masalah ini pembeli benar-benar sudah melihat adanya cacat terhadap barang
tersebut, maka pembeli sendiri yang akan menanggungnya. Dalam hal ada tidaknya
cacat tersembunyi yang diderita oleh suatu barang sangat perlu di adakan suatu
pembuktian. Untuk itu perlu dilihat mengenai apa, bagaimana, serta siapa yang
dibebani tugas pembuktian. Pertama-tama diperingatkan, bahwa dalam pemeriksa andi
depan hakim hanyalah hal-hal yang dibantah saja oleh pihak lawan yang harus
dibuktikan. Hal-hal yang diakui kebenarannya, sehingga antara kedua pihak yang
berperkara tidak ada perselisihan, tidak usah dibuktikan. Oleh karena itu,
sebenarnya tidak tepat bila Undang-Undang menganggap “pengakuan“ juga sebagai suatu alat pembuktian. Sebab
hal-hal yang diakui kebenarannya, oleh hakim harus dianggap terang dan nyata,
dengan membebaskan penggugat untuk mengadakan suatu pembuktian. Juga hal-hal
yang dapat dikatakan sudah diketahui oleh setiap orang atau hal-hal yang secara
kebetulan sudah diketahui sendiri oleh hakim, tidak perlu dibuktikan.Sebagai
pedoman, diberikan oleh Pasal 1865 KitabUndangUndang Hukum Perdata, bahwa;
Barang siapa mengajukan
peristiwa-peristiwa atas namaia mendasarkan suatu hak, diwajibkan membuktikan peristiwa-peristiwa
itu; sebaliknya barang siapa mengajukan peristiwa-peristiwa guna pembantahan
hakorang lain, diwajibkan pula membuktikan peristiwa itu.
Untuk itu siapa yang
mengajukan suatu hak yang menunjuk pada suatu peristiwa, harus memberikan
pembuktian; sebaliknya barangsiapa yang membantah suatu hak, dia juga harus
membuktikan sehingga tidak hanya menyatakan pihak lawan yang salah, tetapi
jikadia benar juga harus membuktikan kebenarannya.Dalam suatu perjanjian jual
beli apabila pihak pembeli menuntut berdasarkan cacat tersembunyi, maka pihak
pembeli harus dapat membuktikan tentang adanya cacat tersebut kepada penjual,
dengan alasan karena hak pihak pembeli adalah untuk mendapatkan barang tanpa
cacat.Memang dalam kenyataannya, pihak pembelilah yang diberi beban untuk
membuktikan. Mengenai apa saja yang harus dibuktikan apabila barang tersebut
ternyata mengandung cacat tersembunyi, sekali lagi bila mengacu pada Pasal 1504
KUHPerdata, hal-hal yang perlu diperhatikan adalah cacat yang dimaksud sudah
ada sebelum ditutupnya perjanjian, dan kedua belah pihak tidak mengetahui
adanya cacat yang terkandung pada barang tersebut.Apabila barang tersebut tidak
dapat digunakan sesuai dengan tujuannya atau mengurangi pemakaiannya, maka
sudah sepatutnya pembeli memberikan tuntutan kepada pihak penjual untuk menanggung
atas keadaan barang yang dijualnya. Walaupun pihak penjual tidak bersalah,
namun ia tetap diwajibkan untuk menanggung kerugian yang diderita oleh pihak
pembeli
.Kewajiban penjual adalah
untuk memelihara dan merawat kebendaan dan merupakan kewajiban yang dibebankan
berdasarkan ketentuan umum mengenai perikatan untuk menyerahkan atau memberikan
sesuatu sebagaimana diatur dalam Pasal 1235KUHPerdata;
Dalam tiap-tiap perikatan
umtuk memberikan sesuatu adalah termaktub kewajiban untuk menyerahkan kebendaan
yang bersangkutan dan untuk merawat nya sebagai seorang kepala rumah tangga
yang baik, sampai
sat penyerahan. Kewajiban
yang terakhir ini adalah kurang atau lebih luas terhadap
persetujuan-persetujuan tertentu, yang akibat-akibatnya mengenai hal ini akan
ditunjuk dalam bab-bab yang bersangkutan.
Hak dan kewajiban Pihak
Pembeli.
Kewajiban utama pihak
pembeli menurut Pasal 1513KUHPerdata adalah membayar harga pembelian pada waktu
dan ditempat sebagaimana ditetapkan menurut perjanjian. Jika pada waktu membuat
perjanjian tidak ditetapkan tentang itu, si pembeli harus membayar ditempat dan
pada waktu dimana penyerahan harus dilakukan (Pasal 1514 KUHPerdata). Menurut Pasal
1515KUHPerdata, meskipun pembeli tidak ada suatu janji yang tegas, diwajibkan
membayar bunga dari harga pembelian, jika barang yangdijual dan diserahkan
memberi hasil atau lain pendapatan. Sedangkan yang menjadi hak pembeli adalah
menuntut penyerahan barang yang telah dibelinya dari si penjual. Penyerahan tersebut,
oleh penjual kepada pembeli menerut ketentuan Pasal 1459KUHPerdata merupakan
cara peralihan hak milik dari kebendaan yang dijual tersebut.
E. Kesimpulan
Ada beberapa kesimpulan yang dapat diambil
dari materi diatas diantaranya yaitu Hukum dagang adalah keseluruhan
aturan hukum yang mengatur dengan disertai sanksi terhadap perbuatan manusia di
dalam usaha mereka untuk menjalankan perdagangan. Hubungan hukum perdata dengan
hukum dagang dapat dilihat dari rumusan pasal 1 KUHPer yang berbunyi: “Ketentuan-ketentuan
dari KUH Perdata berlaku juga pada hal-hal yang diatur dalam KUH Dagang,
kecuali bila KUH Dagang sendiri mengaturnya secara khusus”. Dalam hubungan ini
berlaku adagium “Lex specialis derogat lex generalis” yaitu hukum yang
bersifat khusus mengalahkan hukum yang bersifat umum.
Hukum
adalah suatu peraturan yang mengatur tentang tingkah laku manusia dalam
bermasyarakat yang dibuat oleh badan-badan yang berwenang yang bersifat memaksa
dan diberikan sanksi yang tegas kepada orang yang melanggar.
Perdagangan
atau perniagaan adalah pekerjaan membeli suatu barang di suatu tempat
atau pada suatu waktu dan menjual kembali di suatu tempat atau pada suatu waktu
dengan tujuan agar mendapat keuntungan.
Hukum dagang adalah serangkaian
norma yang timbul khusus dalam dunia usaha atau kegiatan perusahaan.
Daftar
Pustaka
ceyawidjaya, 2011, “Hukum
Dagang”, available from : URL : http://ceyawidjaya.wordpress.com/2010/10/31/hukum-dagang/
Fuady , Munir, Pengantar Hukum Bisnis.
Menata Bisnis Modern Di Era Global, (Bandung PT. Citra Aditya Bakti, 2008),
hal. 339
Hindia Belanda, Wetboek van Koophandel 1847, Pasal 1.
Subekti, Hukum Perdata Indonesia, (Jakarta: Pembimbing Masa, 1977), hal. 1.
Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Cet. ke-31, (Jakarta: Intermasa, 2003), hal. 9.
Subekti, Pokok-pokok
Hukum Perdata, hal. 16.
Subekti, Pokok-pokok
Hukum Perdata, hal. 17.
Soekardono, Hukum Dagang Indonesia,
Jilid I, Cet. Ke-6. (Jakarta: Dian Rakjat. 1977), hal.
2.
Subekti, Hukum Perdata
Indonesia, hal. 1.
Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, hal. 16.
Surat Keputusan Bersama
No.KGP-122/MK/IV/2/1874 No.32//SK/2/1974, tanggal 7Februari 1974.
[1]
Subekti, Hukum Perdata Indonesia,
(Jakarta: Pembimbing Masa, 1977), hal. 1.
[2]
Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Cet.
ke-31, (Jakarta: Intermasa, 2003), hal.
9.
[3]
Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, hal.
16.
[4]
Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, hal.
17.
[6]
Hindia Belanda, Wetboek van Koophandel
1847, Pasal 1.
[7]
Subekti, Hukum Perdata Indonesia,
hal. 1.
[8]
Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, hal.
16.
[10] Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis. Menata
Bisnis Modern Di Era Global, (Bandung PT. Citra Aditya Bakti, 2008), hal. 339
[11] ceyawidjaya, 2011, “Hukum
Dagang”, available from : URL : http://ceyawidjaya.wordpress.com/2010/10/31/hukum-dagang/
No comments:
Post a Comment