Monday, November 5, 2018

KUHP SEBAGAI SUMBER HUKUM DAGANG

Oleh:
Muhammad Nur Muzakki


Abstrak
Pada dasarnya Hukum Dagang adalah Hukum Perdata, namun karena mempunyai kekhususannya di bidang perniagaan maka para pakar Hukum Dagang Indonesia cenderung mempertahankan pemisahan Hukum Dagang dari Hukum Perdata Umum yang diatur dalam KUHPerdata. Terlebih lagi, perkembangan Hukum Dagang yang sekarang meliputi perikatanan khusus, karena kemajuan zaman istilahnya berubah menjadi kegiatan Perusahaan, yang tujuan utamanya mencari nilai tambah atau mencari laba yang berbeda dengan kegiatan yang tujuannya untuk keilmuan atau kegiatan untuk konsumsi sendiri.
Berbicara mengenai Hukum Dagang, yang merupakan kegiatan perusahaan yang tujuan utamanya mencari laba, tidak lepas dengan kegiatan utang-piutang atau pinjam-meminjam, antara perusahaan yang satu dengan lainnya. Apabila terjadi wanprestasi terkait dengan kegiatan utang-piutang atau pinjam-meminjam, antara perusahaan ini maka akan timbul pembahasan mengenai Kepailitan, yang tentunya juga menjadi bagian dari Modul ini.

Kata Kunci: KUHD, KUHPerdata, Hukum Dagang, Perjanjian



A.    Pembahasan

Berbicara Hukum Dagang tidak lain adalah berbicara mengenai Hukum Perdata. Menurut Soekardono, Hukum Perdata adalah: 
“Hukum yang mengatur saling hubungan pribadi antara manusia dan manusia sebagai subyek hukum karena bersamaan hidup dalam suatu masyarakat”, misalnya barang yang dibawa pihak perempuan dalam perkawinan, jual beli, pegadaian sawah dsb. Tetapi hubungan pribadi, tersebut terdapat antara subyek hukum saja.”.
Selain itu, Subekti dalam buku yang berjudul “Hukum Perdata Indonesia”, Hukum Perdata didefinisikan sebagai “hukum yang mengatur hubungan pribadi antara manusia dan manusia sebagai subyek-subyek hukum karena bersamaan hidup dalam suatu masyarakat”[1] Hubungan pribadi tersebut dapat terjadi antara subyek-subyek hukum, tetapi dapat pula antara negara sebagai badan hukum dengan subyek hukum lainnya.
Hukum Perdata sendiri ada yang dalam arti luas dan dalam arti sempit yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) dan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD). Hukum Perdata dalam arti luas adalah Hukum Perdata yang diatur dalam KUHPerdata dan Hukum Dagang yang diatur dalam KUHDagang. Hukum Perdata dalam arti sempit hanya Hukum Perdata yang diatur dalam KUHPerdata saja. Sedangkan, Hukum Perdata dalam arti luas meliputi semua “hukum materiil” yang meliputi hukum pokok yang mengatur kepentingan perorangan.[2]
Sistematika Hukum Perdata dapat dilihat dari sudut ilmu pengetahuan dan dari sudut sistematika yang terdapat dalam KUHPerdata. Jika dilihat dari sudut ilmu pengetahuan, sistematika Hukum Perdata adalah sebagai berikut:[3] 
1.      Hukum tentang diri seseorang (personnenrecht)
2.      Hukum kekeluargaan (familierecht)
3.      Hukum kekayaan (vermogensrecht)
4.      Hukum warisan (erfrecht)
Jika dilihat dari sudut sistematika yang terdapat dalam KUHPerdata, berikut adalah sistematika Hukum Perdata:[4]
1.      Buku I mengatur tentang orang termasuk hukum keluarga (van Personen).
2.      Buku II mengatur tentang benda termasuk hukum waris (van Zaken) 
3.      Buku III tentang Perikatan (van Verbintenissen)
4.      Buku IV tentang Bukti dan Daluwarsa (van Bewujs en Verjaring)
Dari penjelasan Hukum Perdata umum tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa Hukum Dagang itu bagian Hukum Perdata umum yang mengatur tentang perjanjian dan perikatan yang diatur di dalam Buku III KUHPerdata yang berjudul “tentang Perikatan”. Buku III KUHPerdata, antara lain mengatur tentang asas-asas umum hukum perjanjian, maupun perjanjian khusus misalnya perjanjian jual beli, pinjam meminjam, dan perbuatan melawan hukum. Namun demikian, dalam perkembangannya ada perjanjian-perjanjian yang erat hubungannya dengan perniagaan, misalnya perjanjian perantaraan, perjanjian menjalankan perdagangan secara perusahaan yang berbentuk Firma, Perseroan Terbatas, perjanjian pengangkutan, perjanjian asuransi, perjanjian-perjanjian tersebut termasuk perjanjian khusus, yang semua itu diatur dalam KUHD maupun di luar KUHD.[5]
Oleh karena itu, untuk mempelajari Hukum Dagang mahasiswa diwajibkan mempelajari Hukum Perdata yang bersifat Umum yaitu yang diatur dalam KUHPerdata lebih dulu. Jadi, Hukum Perdata umum merupakan prasyarat untuk mempelajari Hukum Dagang yang merupakan perkembangan Hukum Perdata Umum. Sebab, untuk melakukan kegiatan perjanjian khusus di bidang perniagaan, Anda harus paham tentang pengertian dan asas-asas penjanjian serta perikatan bahkan faham tentang barang yang menjadi obyek perjanjianya yang diatur dalam KUHPerdata.
Hal tersebut disebabkan kenyataan bahwa kebutuhan-kebutuhan hukum masyarakat berniaga itu, sejajar dengan perkembangan kegiatan perniagaan, yang makin lama makin luas dan maju sesuai perkembangan zaman. Namun demikian, perkembangan kegiatan perniagaan tersebut sudah tidak tertampung atau dapat diselesaikan oleh Hukum Perdata umum serta lembaga-lembaga hukum yang sudah diatur di dalam KUHPerdata, maka perlu hukum perikatan/perdata khusus yang antara lain bergerak di bidang perdagangan atau perniagaan. Hukum perikatan/perdata khusus tetap merupakan bagian dari Hukum Perdata/perikatan umum karena suatu perikatan, dalam keperdataan umum maupun dalam keperdataan khusus, selalu membebankan pelaksanaan prestasi yang berupa perbuatan, bukan perbuatan, pemberian atau penyerahan.
Hukum Perdata umum dan Hukum Perdata khusus yang juga disebut Hukum Dagang itu dijaga kesatuan, yaitu diatur dalam Pasal 1 KUHD yang mengatur bahwa:[6]
“KUHPerdata, seberapa jauh daripadanya dalam Kitab ini tidak khusus diadakan penyimpangan-penyimpangan, berlaku juga terhadap hal-hal yang dibicarakan dalam Kitab ini.”
Pada dasarnya Hukum Dagang adalah Hukum Perdata, namun karena mempunyai kekhususannya di bidang perniagaan maka para pakar Hukum Dagang Indonesia cenderung mempertahankan pemisahan Hukum Dagang dari Hukum Perdata Umum yang diatur dalam KUHPerdata. Terlebih lagi, perkembangan Hukum Dagang yang sekarang meliputi perikatanan khusus, karena kemajuan zaman istilahnya berubah menjadi kegiatan Perusahaan, yang tujuan utamanya mencari nilai tambah atau mencari laba yang berbeda dengan kegiatan yang tujuannya untuk keilmuan atau kegiatan untuk konsumsi sendiri.
Berbicara mengenai Hukum Dagang, yang merupakan kegiatan perusahaan yang tujuan utamanya mencari laba, tidak lepas dengan kegiatan utang-piutang atau pinjam-meminjam, antara perusahaan yang satu dengan lainnya. Apabila terjadi wanprestasi terkait dengan kegiatan utang-piutang atau pinjam-meminjam, antara perusahaan ini maka akan timbul pembahasan mengenai Kepailitan, yang tentunya juga menjadi bagian dari Modul ini.

B.      PENGERTIAN HUKUM PERDATA

Hakikat dari Hukum Dagang adalah Hukum Perdata. Sistem Hukum Perdata yang berlaku di Indonesia berasal dari sistem hukum Eropa Kontinental, yang diatur dalam KUHPerdata. Untuk membuktikan bahwa Hukum Dagang adalah Hukum Perdata maka harus dipahami dasar Hukum Perdata dan sistematikanya, sebagaimana telah dijelaskan di bagian Pendahuluan. Penting untuk dinyatakan kembali bahwa, Hukum Perdata adalah hubungan pribadi antara manusia dan manusia sebagai subyek hukum karena bersamaan hidup dalam suatu masyarakat.[7] Manusia sebagai subyek hukum adalah pembawa hak dan kewajiban, yang terdiri dari:
1.      Orang sebagai manusia menurut kodrat (disebut pula dengan pribadi kodrati). Setiap manusia hidup itu mempunyai wewenang berhak; dan
2.      Orang sebagai subyek hukum berbentuk badan hukum adalah subyek hukum yang tidak memiliki wujud jasmani, yang terdiri badan publik misalnya negara dan badan hukum perdata, misalnya Perseroan Terbatas (PT), Yayasan, dan Koperasi.
Sistematika Hukum Perdata dapat dilihat dari sudut ilmu pengetahuan dan dari sudut sistematika yang terdapat dalam KUHPerdata. Jika dilihat dari sudut ilmu pengetahuan, sistematika Hukum Perdata adalah sebagai berikut:[8] 
1.      Hukum tentang diri seseorang (personnenrecht)
2.      Hukum kekeluargaan (familierecht)
3.      Hukum kekayaan (vermogensrecht)
4.      Hukum warisan (erfrecht)
5.       
Perikatan dalam lapangan harta kekayaan dapat bersumber dari perjanjian dan undang-undang.

1. Perikatan yang Bersumber pada Perjanjian   Pasal 1313 KUHPerdata mendefinisikan perikatan yang bersumber dari perjanjian sebagai perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya dengan satu orang atau lebih. Adanya perjanjian timbul hubungan hukum antara yang memberi janji dan yang menerima janji yang disebut dengan Perikatan, namun tidak meliputi semua janji. Sebab, tidak semua janji atau perikatan adalah perbuatan hukum. Ada bahkan banyak janji yang hanya merupakan perikatan moral, sehingga kewajiban yang timbul juga hanya berupa kewajiban moral saja, misalnya janji untuk ngobrol-ngobrol di kafe. Namun demikian, ada janji yang menimbulkan hubungan hukum yaitu dalam perjanjian pinjam-meminjam, ini yang menimbulkan perikatan sehingga para pihak dalam perikatan disebut Kreditur dan Debitur.

2. Perikatan yang Bersumber dari Undang-Undang Perikatan jenis ini diatur Dalam Pasal 1352 dan Pasal 1353 KUHPerdata yaitu: (a) perikatan yang lahir dari Undang-undang semata-mata, misalnya perikatan untuk memberi nafkah dan (b) perikatan yang lahir dari Undangundang karena perbuatan manusia yang menurut hukum dan yang melawan hukum.

Undang-undang mengatur syarat-syarat sahnya membuat perjanjian, hal itu diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata:

a. Adanya kesepakatan antara mereka yang mengikatkan diri.
b. Adanya kecakapan untuk membuat perikatan, mereka harus sudah dewasa umur 21 tahun dan sehat, namun meskipun belum dewasa tetapi sudah nikah dianggap dewasa c. Adanya sesuatu hal tertentu yang diperjanjikan yang disebut obyek perjanjian
d. Adanya sesuatu sebab yang diperbolehkan oleh Undang-undang (sesuatu yang halal).

Dalam hukum perjanjian dikenal dua macam Perjanjian:
 a. Perjanjian bernama (nominat) adalah perjanjian yang diatur atau dikenal dalam KUHPerdata atau KUHD. Baik pengertiannya maupun syarat-syaratnya dan tatacaranya sudah diatur dalam kedua peraturan tersebut. Contohnya antara lain: perjanjian jual-beli, sewa menyewa, tukar-menukar dan pinjam-meminjam.

b. Perjanjian tidak bernama (innominaat) adalah perjanjian yang tidak diatur dalam KUHPerdata tetapi perjanjian itu tumbuh dan hidup serta dikenal dalam masyarakat, misalnya perjanjian leasing atau sewaguna usaha dan perjanjian waralaba.

Sebenarnya perjanjian apakah bernama atau tidak bernama, dalam arti terutama apakah ia diatur dalam undang-undang atau tidak dan bukan karena ia mempunyai nama tertentu.

a. Leasing Pengaturan leasing di Indonesia berpegang pada definisi yang termaktub dalam Surat Keputusan Bersama Menteri Keuangan, Menteri Perindustrian dan Menteri Perdagangan Republik Indonesia No.KEP-122/MK/IV/2/1974, No.32/M/SK/2/1974, No.30/Kpb/I/1974 tanggal 7 Februari 1974 tentang Perizinan Usaha Leasing tersebut. Berdasarkan peraturan dasar mengenai kegiatan usaha leasing, dapat dikemukakan bahwa yang dimaksudkan dengan leasing adalah:[9]

“Setiap kegiatan pembiayaan perusahaan dalam bentuk penyediaan barang-barang modal untuk digunakan oleh suatu perusahaan untuk suatu jangka waktu tertentu, berdasarkan pembayaran-pembayaran secara berkala disertai dengan hak pilih (optie) bagi perusahaan tersebut untuk membeli barang-barang modal yang bersangkutan atau memperpanjang jangka waktu leasing berdasarkan nilai sisa yang telah disepakati bersama”.

Sedangkan definisi umum mengenai leasing adalah perjanjian antara Lessor dan Lessee untuk menyewa suatu jenis barang modal tertentu yang diperoduksi/dijual oleh pabrikan/supplier dan ditentukan/dipilih oleh Lessee. Hak pemilikan barang modal berada pada Lessor sedangkan Lessee berhak memakai/menggunakan barang modal tersebut berdasarkan uang sewa yang telah ditentukan dalam jangka waktu tertentu.

Hak opsi ini bersyarat dan baru menjadi efektif setelah Lessee memenuhi semua kewajiban kepada Lessor sehubungan dengan perjanjian leasing. Lessor berkepentingan, bahwa pada saat adanya peristiwa cidera janji oleh Lessee, Lessor dapat menarik kembali atau memutuskan perjanjian leasing danmengambil disposisi lain tentang barang leasing tanpa hak dari Lessee sehubungan dengan pembelian tersebut atas nilai sisa yang telah disepakati. Di lain pihak ada suatu aspek yang belum lazim di Indonesia, sudah menjadi kebiasaan bahwa Lessor mensyaratkan jaminan-jaminan tertentu sehubungan dengan kewajiban pembayaran-pembayaran Lessee berdasarkan perjanjian leasing. Para Lessee di Indonesia belum lazim meminta jaminan atas kewajiban Lessor. Tidak ada jaminan bagi Lessee yang telah memenuhi seluruh kewajibannya berdasarkan perjanjian leasing bahwa pada akhir jangka waktu leasing, Lessor bersedia mengalihkan miliknya kepada Lessee berdasarkan opsi pembelian. Pembelian dan pengalihan hak atas barang leasing tidak terjadi secara otomatis, tetapi memerlukan perbuatan hukum tambahan, yaitu jual beli (dan penyerahan). Ada pemikiran-pemikiran tertentu untuk memberikan hak jaminan atas barang leasing kepada Lessee.

b. Franchise/ Waralaba. Istilah Franchise juga disebut Waralaba adalah cara kerja sama di bidang bisnis antara dua atau lebih perusahaan di mana satu pihak akan bertindak sebagai Franshisor dan pihak yang lain sebagai Franchisee. Dalam perjanjian franchise diatur bahwa pihak franchisor sebagai pemilik suatu merek yang terkenal, memberikan hak kepada franchisee untuk melakukan kegiatan bisnis dari/atas suatu produk barang atau jasa berdasarkan dan sesuai dengan rencana dari waktu ke waktu, baik atas dasar hubungan yang eksklusif ataupun non-eksklusif, dan sebaiknya suatu imbalan tertentu akan dibayarkan kepada franchisor sehubungan dengan hal tersebut.[10]

 Waralaba menurut Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan R I No.259/MPP/kep/7/1997 tanggal 30 Juli 1997 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Pendaftaran Usaha Waralaba, yaitu Waralaba adalah perikatan di mana salah satu pihak diberikan hak untuk memanfaatkan dan atau menggunakan hak atas kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas usaha yang dimiliki oleh pihak lain dengan suatu imbalan berdasarkan.

C.     Hubungan Hukum Perdata dengan Hukum Dagang
Hukum dagang adalah hukum perikatan yang timbul khusus dari lapangan perusahaan. Hukum perdata diatur dalam KUH Perdata dan Hukum Dagang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD). Kesimpulan ini sekaligus menunjukkan bagaimana hubungan antara hukum dagang dan hukum perdata. Hukum perdata merupakan hukum umum (lex generalis) dan hukum dagang merupakan hukum khusus (lex specialis). Dengan diketahuinya sifat dari kedua kelompok hukum tersebut, maka dapat disimpulkan keterhubungannya sebagai lex specialis derogat lex generalis, artinya hukum yang bersifat khusus mengesampingkan hukum yang bersifat umum. Adagium ini dapat disimpulkan dari pasal 1 Kitab undang-Undang Hukum Dagang yang pada pokoknya menyatakan bahwa: “Kitab Undang-Undang Hukum Perdata seberapa jauh dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang tidak khusus diadakan penyimpangan-penyimpangan, berlaku juga terhadap hal-hal yang disinggung dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang.
Hubungan antara KUHD dengan KUH perdata adalah sangat erat, hal ini dapat dimengerti karena memang semula kedua hukum tersebut terdapat dalam satu kodefikasi. Pemisahan keduanya hanyalah karena perkembangan hukum dagang itu sendiri dalam mengatur pergaulan internasional dalam hal perniagaan.
Hukum Dagang merupakan bagian dari Hukum Perdata, atau dengan kata lain Hukum Dagang meruapkan perluasan dari Hukum Perdata. Untuk itu berlangsung asas Lex Specialis dan Lex Generalis, yang artinya ketentuan atau hukum khusus dapat mengesampingkan ketentuan atau hukum umum. KUHPerdata (KUHS) dapat juga dipergunakan dalam hal yang daitur dalam KUHDagang sepanjang KUHD tidak mengaturnya secara khusus.[11]
1.      Berlakunya Hukum Dagang

           Kitab Undang-Undang Hukum Dagang masih berlaku di Indonesia berdasarkan Pasal 1 aturan peralihan UUD 1945 yang pada pokoknya mengatur bahwa peraturan yang ada masih tetap berlaku sampai pemerintah Indonesia memberlakukan aturan penggantinya. Di negeri Belanda sendiri Wetbook van Koophandel telah mengalami perubahan, namun di Indonesia Kitab Undang-Undang Hukum Dagang tidak mengalami perubahan yang komprehensif sebagai suatu kodifikasi hukum. Namun demikian kondisi ini tidak berarti bahwa sejak Indonesia merdeka, tidak ada pengembangan peraturan terhadap permasalahan perniagaan. Perubahan pengaturan terjadi, namun tidak tersistematisasi dalam kodifikasi Kitab Undang-Undang Hukum Dagang. Strategi perubahan pengaturan terhadap masalah perniagaan di Indonesia dilakukan secara parsial (terhadap substansi Kitab Undang-Undang Hukum Dagang) dan membuat peraturan baru terhadap substansi yang tidak diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang

2.    Hubungan Pengusaha dan Pembantunya
Pengusaha (pemilik perusahaan) yang mengajak pihak lain untuk menjalankan usahanya secara bersama-sama, atau perusahaan yang dijalankan dan dimiliki lebih dari satu orang, dalam istilah bisnis disebut sebagai bentuk kerjasama. Bagi perusahaan yang sudah besar, Memasarkan produknya biasanya dibantu oleh pihak lain, yang disebut sebagai pembantu pengusaha. Secara umum pembantu pengusaha dapat digolongkan menjadi 2 (dua), yaitu:
a.  Pembantu-pembantu pengusaha di dalam perusahaan, misalnya pelayan toko, pekerja keliling, pengurus fillial, pemegang prokurasi dan pimpinan perusahaan.
b. Pembantu pengusaha diluar perusahaan, misalnya agen perusahaan, pengacara, noratis, makelar, komisioner.
3.  Pengusaha dan Kewajibannya
-  Memberikan ijin kepada buruh untuk beristirahat, menjalankan kewajiban menurut agamanya
-  Dilarang memperkerjakan buruh lebih dari 7 jam sehari dan 40 jam seminggu, kecuali ada ijin penyimpangan
-  Tidak boleh mengadakan diskriminasi upah laki/laki dan perempuan
-  Bagi perusahaan yang memperkerjakan 25 orang buruh atau lebih wajib membuat peraturan perusahaan
-  Wajib membayar upah pekerja pada saat istirahat / libur pada hari libur resmi
-  Wajib memberikan Tunjangan Hari Raya (THR) kepada pekerja yang telah mempunyai masa kerja 3 bulan secara terus menerus atau lebih
-  Wajib mengikut sertakan dalam program Jamsostek
4 .  Bentuk-Bentuk Badan Usaha      
Perusahaan Perorangan
Perusahaan Perorangan adalah perusahaan yang dikelola dan diawasi oleh satu orang sehingga semua keuntungan yang didapatkan akan menjadi haknya secara penuh dan jika terdapat kerugian maka yang bersangkutan harus menanggung resiko tersebut secara sendiri.
Firma
Firma adalah Bentuk badan usaha yang didirikan oleh beberapa orang dengan menggunakan nana bersama atau satu nama digunakan bersama. Dalam firma semua anggota bertanggung-jawab sepenuhnya, baik sendiri-sendiri maupun bersama terhadap utang-utang perusahaan kepada pihak lainnya.

D.               Perjanjian Jual Beli menurut KUHPerdata
1. Pengertian Perjanjian Jual Beli
Dalam suatu masyarakat, dimana sudah ada peredaran uang berupa mata uang sebagai alat pembayaran yang sah, perjanjian jual beli merupakan suatu perjanjian yang paling lazim diadakan diantara para anggota masyarakat. Wujud dari perjanjian jual beli ialah rangkaian hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari kedua belah pihak, yang saling berjanji, yaitu sipen jual dan si pembeli.Perjanjian jual beli diatur dalam Pasal 1457 sampai dengan Pasal 1540 KUHPerdata. Pengertian jual beli menurut Pasal 1457KUHPerdata adalah;
suatu persetujuan, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, danpihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan.
Dari pengertian menurut Pasal 1457 KUHPerdata tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa jual beli adalah suatu perjanjian bertimbal balik, dimanapihak penjual berjanji untuk menyerahkan hak milik atas suatu barang danpihak pembeli berjanji untuk membayar sejumlah uang sebagai imbalan. Hak milik suatu barang yang semula dimiliki pihak penjual, akan berpindah tangan kepada si pembeli apabila sudah ada penyerahan secara yuridis sesuai dengan ketentuan Pasal 1459 KUHPerdata. Perjanjian jual beli di anggap telah terjadi antara kedua belah pihak, seketika setelahnya orang-orang ini mencapai sepakat tentang kebendaan tersebut dan harganya, meskipun kebendaan itu belum diserahkan, maupun harganya belum dibayar (Pasal1458 KUHPerdata). Barang dan harga inilah yang menjadi unsur pokok dari perjanjian jual beli. Menurut Pasal 1517 KUHPerdata, jika pihak pembeli tidak membayar harga pembelian, maka itu merupakan suatu wanprestasi yang memberikan alasan kepada pihak penjual untuk menuntut ganti rugiatau pembatalan perjanjian menurut ketentuan-ketentuan Pasal 1266 dan1267 KUHPerdata. “Harga“ tersebut harus berupa sejumlah uang. Jika dalam suatu perjanjian tidak menunjuk kepada dua hal tersebut (barang danuang), maka itu akan merubah perjanjiannya menjadi tukar menukar, atau kalau harga itu berupa jasa, perjanjiannya akan menjadi suatu perjanjian kerja, dan begitulah seterusnya. Dalam pengertian jual beli sudah termasuk pengertian bahwa disatu pihak ada barang dan dilain pihak ada uang. Tentang macamnya uang, dapat diterangkan bahwa, meskipun jual beli ituterjadi di Indonesia, tidak diharuskan bahwa harga itu ditetapkan dalam matauang rupiah, namun diperbolehkan kepada para pihak untuk menetapkan nya dalam mata uang apa saja.
Mengenai sifat dari perjanjian jual beli, menurut para ahli hokum Belanda, perjanjian jual beli hanya mempunyai sifat obligator, atau bersifat mengikat para pihak. Jual beli yang bersifat obligator dalam Pasal 1459 KUHPerdata menerangkan bahwa hak milik atas barang yang dijual belum akanber pindah tangan kepada pembeli selama belum diadakan penyerahan yuridis menurut Pasal 612, 613, dan 616 KUHPerdata. Dari sifat obligator tersebut dalam perjanjian jual beli, dapat dijabarkan menjadi beberapa hal yang pada intinya juga termasuk dalam sifat obligator tersebut. Hal ini dapat dilihat dari obyeknya (apa saja yang menjadi obyeknya), harga yang telah disepakati kedua belah pihak dalam perjanjian jual beli, dan yang terakhir adalah hak dan kewajiban para pihak.
2. Timbulnya Perjanjian Jual Beli
Berpijak dari asas konsensualitas dalam perjanjian jual beli sejak tercapainya kata sepakat mengenai jual beli atas barang dan harga walaupun belum dilakukan penyerahan barang ataupun pembayaran maka sejak saat itulah sudah lahir suatu perjanjian jual beli. Asas konsensualitas itu sendiri menurut pasal 1458 KUHPer mengatur sebagai berikut :
Jual beli sudah terjadi antara kedua belah pihak seketika setelah mereka mencapai kata sepakat tentang barang
dan harga meskipun barang belum diserahkan dan hargabelum dibayar.
Kata Kosensualitas itu sendiri berasal dari bahasa latin consensus yang artinya kesepakatan. Kata kesepakatan tersebut mengandung makna bahwa dari para pihak yang bersangkutan telah tercapai suatu persesuaian kehendak. Artinya apa yang dikehendaki oleh para pihak telah tercapai suatu kesamaan, kemudian dari persesuaian kehendak tersebut tercapai kata sepakat. Sebagai contoh pihak penjual sebagai pihal pertama ingin melepaskan hak milik atas suatu barang sertelah mendapatkan sejumlah uang sebagai imbalannya.Begitu pula dipihak kedua sebagai pihak pembeli yang menghendaki hak milik atas barang tersebut harus bersedia memberikan sejumlah nominal (uang) tertentu kepada penjual sebagaipemegang hak milik sebelumnya.Jual beli yang bersifat obligator dalam KUHPerdata (Pasal 1359)bahwa hak milik atas barang yang dijual belum akan berpindah ke tangan pembeli selama belum diadakan penyerahan menurut ketentuan Pasal 612yang menyebutkan bahwa penyerahan atas benda bergerak dilakukan dengan penyerahan nyata, Pasal 613 bahwa penyerahan piutang atas nama,dilakukan dengan membuat.
sebuah akta otentik atau dibawah tangan. Sifat obligatoir dalam perjanjian jual beli menurut KUHPerdata maksudnya bahwa perjanjian jual beli akan timbul hak dan kewajiban bertimbal balik pada para pihak. Yaitu saat meletakkan kepada penjual kewajiban untuk menyerahkan hak milik atas barang yang dijual, selanjutnya memberikan kepadanya hak untuk menuntut pembayaran atas harga yang telah menjadi kesepakatan. Sementara pihak pembeli berkewajiban untuk membayar harga sebagai imbalan haknya untuk mendapatkan penyerahan hak milik atas barang yang dibeli, dengan kata lain hak milik akan berpindah dari pihak penjual kepada pembeli setelah diadakan penyerahan.
a.                   SUBYEK HUKUM DALAM PERJANJIAN JUAL-BELI
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa perjanjian timbul disebabkan oleh karena adanya kata sepakat antara dua orang atau lebih. Pendukung Perjanjian sekurang-kurangnya harus ada 2 (dua) orang tertentu. Masing-masing orang tersebut menduduki tempat yang berbeda.Satu orang menjadi pihak kreditur, dan seorang lagi sebagai pihak debitur.Kreditur dan debitur itulah yang menjadi subyek perjanjian. Kreditur mempunyai hak atas prestasi dan debitur wajib memenuhi pelaksanaan prestasi. Maka sesuai dengan teori dan praktek hukum, kreditur terdiri dari:
1. Individu sebagai Persoon yang bersangkutan.
a. Manusia tertentu.
b. Badan Hukum.
Jika Badan hukum yang menjadi subyek, perjanjian yang diikat bernama “perjanjian atas nama” atauveerbintenls op naam, dan kreditur yang bertindak sebagai penuntut disebut “tuntutan atas nama”.
2. Seseorang atas keadaan tertentu mempergunakan kedudukan atauhak orang lain tertentu: misalnya seorang bezitter atas kapal. Bezitter ini dapat bertindak sebagai kreditur dalam suatu perjanjian. Kedudukannya sebagai subyek kreditur bukan atasnama pemilik kapal inpersoon. Tapi atas nama persoon tadi sebagai bezitter. Contoh lain, seorang menyewa rumah A.Penyewa bertindak atas keadaan dan kedudukannya sebagai penyewa rumah A, bukan atas nama A inpersoon, tapi atas namaA sebagai pemilik sesuai dengan keadaannya sebagai penyewa.Lebih nyata dapat dilihat pada Pasal 1576 KUHPerdata.
3. Persoon yang dapat diganti.
Mengenai persoon kreditur yang “dapat diganti” atau vervangbaar, berarti kreditur yang menjadi subyek semula, telah ditetapkan dalam perjanjian (sewaktu-waktu dapat digantikan kedudukannya dengan kreditur baru). Perjanjian yang dapat diganti ini, dapat dijumpai dalam bentuk perjanjian “aan order”atau perjanjian atas perintah. Demikian juga dalam perjanjian “aan toonder”, perjanjian “atas  nama“ atau “kepada pemegang atau pembawa” pada surat-surat tagihan hutang.
Sedangkan menurut KUHPerdata, pihak-pihak dalam perjanjiandiatur secara sporadis di dalam Pasal 1340, Pasal 1315, Pasal 1317, Pasal 1318, antara lain:
1. Para pihak yang mengadakan perjanjian itu sendiri.
2. Para ahli waris mereka dan mereka yang mendapat hak daripadanya.
3. Pihak ketiga.
Sedangkan menurut Wiryono Prodjodikoro, dalam setiap perjanjian ada dua macam subyek. Yang pertama dapat berupa individu, yaitu: penjual dan pembeli, dan yang kedua adalah seorang dapat berupa suatu badan hukum. Kedua subyek hukum tersebut dalam suatu perjanjian jual beli, masing-masing mempunyai hak dan kewajiban. Jika subyek-subyek tersebut (Usaha Dagang dan pembeli) mengandung larangan-larangan yang diatur dalam Pasal 1468, 1469, dan1470 KUHPerdata, maka mereka tidak dapat melaksanakan perjanjian jualbeli. UD (Usaha Dagang) yang berperan sebagai penjual dalam melayanipembeli dapat bertindak langsung tanpa keterikatan dengan perusahaan sebagai pihak yang memproduksi barang. Namun ada pula penjual yang berkedudukan sebagai penyalur resmi yang bertindak dan bergerak atas nama perusahaan atau agen resmi, seperti dalam perjanjian jual beli tersebut disini. Agen itu sendiri di artikan sebagai pihak yang menjalankan tugas sebagai penyalur untuk melayani konsumen dalam memenuhi kebutuhannya. Melihat dalam menjalankan tugasnya, keberadaan penjual tersebut memiliki persamaan dalam melayani pembeli untuk mendapatkan apa yangdiinginkan, tetapi yang menyangkut masalah klaim dari pembeli terhadap barang yang megalami kesalahan produksi pabrik tentu tidak sama. Jika subyek perjanjian jual beli adalah anasir , yang bertindak, yang aktif, maka obyek dalam suatu perjanjian dapat diartikan sebagai hal yang diperlakukan oleh subyek, berupa suatu hal yang penting dalam tujuan untuk membentuk suatu perjanjian, yaitu berupa barang. Oleh karena itu, obyek, dalam perhubungan hukum perihal
perjanjian ialah: hal yang diwajibkan kepada pihak berwajib (debitur), dan hal terhadap mana pihak-berhak(kreditur) mempunyai hak. Pasal 1332 KUHPerdata menyebutkan bahwa hanya benda yangberada dalam perdagangan saja yang dapat menjadi obyek suatu perjanjian jual beli. Dengan demikian obyek dari perjanjian jual beli tidak hanya bendayang berupa hak milik saja, tetapi benda yang menjadi kekuasaannya dandapat di perdagangkan, asalkan pada waktu penyerahan dapat ditentukan jenis dan jumlahnya.
b.      HAK DAN KEWAJIBAN PARA PIHAK DALAM PERJANJIAN JUAL-BELI
Hak dan Kewajiban Pihak Penjual
Menurut Gunawan Widjaja dan Kartini Muljadi, ketentuan umum mengenai perikatan untuk menyerahkan sesuatu (Pasal 1235KUHPerdata), dan ketentuan yang diatur secara khusus dalam ketentuan jual-beli (Pasal 1474), penjual memiliki 3 (tiga) kewajibanpokok mulai dari sejak jual-beli terjadi menurut ketentuan Pasal 1458KUHPerdata. Menurut ketentuan tersebut, secara prinsip penjualmemiliki kewajiban untuk:
Memelihara dan merawat kebendaan yang akan diserahkan kepada pembeli hingga saat penyerahannya.
Menyerahkan kebendaan yang dijual pada saat yang telahdi tentukan, atau jika tidak telah ditentukan saatnya, ataspermintaan pembeli.
Menanggung kebendaan yang dijual tersebut. Dalam Pasal 1474 KUHPerdata menjelaskan bahwa, sebagai pihak penjual memiliki dua kewajiban penting dalam pelaksanaan perjanjian. Kewajiban tersebut adalah menyerahkan suatu barang dan menanggungnya.
Mengenai penyerahan atau levering dalam KUHPerdata, menganut ‘sistem causal’ yaitu suatu sistem yang menggantungkan sahnya levering itu pada dua syarat :
Penyerahan atau levering telah dilaksanakan oleh yangberhak berbuat bebas (beschikking sbevoegd) terhadap orang yang dilevering.
Sahnya titel dalam perjanjian jual beli yang menjadi dasar levering (penyerahan).Dari syarat tersebut diatas, khususnya sahnya titel yang menjadi dasar levering, dimaksudkan perjanjian obligator yang menjadi dasar leveringtersebut. Adapun orang yang ‘berhak berbuat bebas‘  adalah pemilik barang sendiri atau orang yang dikuasakan olehnya.Mengenai penanggungan terhadap suatu barang dan atau barangyang kondisinya rusak (cacat produk) lebih lanjut diatur dalam Pasal1504 KUHPerdata, yang menyatakan bahwa:
Si penjual diwajibkan menanggung terhadap cacat-cacat tersembunyi pada barang yang dijual, yang membuat barang itu tidak sanggup untuk pemakaian yang dimaksudkan, atau yang demikian mengurangi pemakaian itu sehingga, seandainya si pembeli mengetahui cacat cacat itu, ia sama sekali tidak akan membeli barangnya, atau tidak akan membelinya selain dengan harga yang kurang .
Maksud dari Pasal tersebut bahwa cacat yang membuat barang tersebut tidak dapat dipakai untuk keperluan yang dimaksud dan cacat tersebut tidak diketahui oleh pembeli secara normal atau wajar pada saat ditutupnya perjanjian, dalam hal ini perjanjian jual beli. Mengapa dikatakan sebagai cacat tersembunyi, karena cacat tersebut tidakmudah kelihatan apabila tidak dilihat secara jeli dan teliti. Tetapi apabila cacat yang dimaksud sudah terlihat sebelumnya, maka barang tersebut tentu bukan lagi disebut sebagai cacat tersembunyi, melainkan dikategorikan sebagai cacat yang nampak atau kelihatan. Menurut Yahya Harahap, cacat tersembunyi ialah cacat yang mengakibatkan kegunaan barang tidak sesuai lagi dengan tujuan pemakaian yang semestinya.
Pengertian cacat tersembunyi dapat dibedakan menjadi 2 (dua) pengertian, yaitu:
a. Cacat tersembunyi positif.
Maksudnya adalah apabila cacat barang itu tidak diberitahukan oleh penjual kepada pembeli atau pembeli sendiri tidak melihat atau mengetahui bahwa barang tersebut cacat, maka terhadap cacat tersebut penjual berkewajiban untuk menanggungnya.Tentang cacat tersembunyi positif, lebih lanjut diatur dalam Pasal 1504sampai dengan Pasal 1510 KUHPerdata.Dalam hal ini menurut Pasal 1504 KUHPerdata bila dikaitkan dengan Pasal 1506 KUHPerdata, dapat dikatakan bahwa penjual harus bertanggung jawab apabila barang20 M. Yahya Harahap, Segi – Segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1986, hal.198.tersebut mengandung cacat tersembunyi, lepas dari penjualmengetahui adanya cacat atau tidak melihat, kecuali jikadalam hal yang sedemikian telah meminta diperjanjiakanbahwa ia tidak diwajibkan menanggung sesuatu apapun.
    b. Cacat tersembunyi negatif.
Apabila cacat terhadap suatu barang sebelum nyasudah diberitahukan oleh penjual kepada pembeli, dan dalam masalah ini pembeli benar-benar sudah melihat adanya cacat terhadap barang tersebut, maka pembeli sendiri yang akan menanggungnya. Dalam hal ada tidaknya cacat tersembunyi yang diderita oleh suatu barang sangat perlu di adakan suatu pembuktian. Untuk itu perlu dilihat mengenai apa, bagaimana, serta siapa yang dibebani tugas pembuktian. Pertama-tama diperingatkan, bahwa dalam pemeriksa andi depan hakim hanyalah hal-hal yang dibantah saja oleh pihak lawan yang harus dibuktikan. Hal-hal yang diakui kebenarannya, sehingga antara kedua pihak yang berperkara tidak ada perselisihan, tidak usah dibuktikan. Oleh karena itu, sebenarnya tidak tepat bila Undang-Undang menganggap “pengakuan“  juga sebagai suatu alat pembuktian. Sebab hal-hal yang diakui kebenarannya, oleh hakim harus dianggap terang dan nyata, dengan membebaskan penggugat untuk mengadakan suatu pembuktian. Juga hal-hal yang dapat dikatakan sudah diketahui oleh setiap orang atau hal-hal yang secara kebetulan sudah diketahui sendiri oleh hakim, tidak perlu dibuktikan.Sebagai pedoman, diberikan oleh Pasal 1865 KitabUndangUndang Hukum Perdata, bahwa;
Barang siapa mengajukan peristiwa-peristiwa atas namaia mendasarkan suatu hak, diwajibkan membuktikan peristiwa-peristiwa itu; sebaliknya barang siapa mengajukan peristiwa-peristiwa guna pembantahan hakorang lain, diwajibkan pula membuktikan peristiwa itu.
Untuk itu siapa yang mengajukan suatu hak yang menunjuk pada suatu peristiwa, harus memberikan pembuktian; sebaliknya barangsiapa yang membantah suatu hak, dia juga harus membuktikan sehingga tidak hanya menyatakan pihak lawan yang salah, tetapi jikadia benar juga harus membuktikan kebenarannya.Dalam suatu perjanjian jual beli apabila pihak pembeli menuntut berdasarkan cacat tersembunyi, maka pihak pembeli harus dapat membuktikan tentang adanya cacat tersebut kepada penjual, dengan alasan karena hak pihak pembeli adalah untuk mendapatkan barang tanpa cacat.Memang dalam kenyataannya, pihak pembelilah yang diberi beban untuk membuktikan. Mengenai apa saja yang harus dibuktikan apabila barang tersebut ternyata mengandung cacat tersembunyi, sekali lagi bila mengacu pada Pasal 1504 KUHPerdata, hal-hal yang perlu diperhatikan adalah cacat yang dimaksud sudah ada sebelum ditutupnya perjanjian, dan kedua belah pihak tidak mengetahui adanya cacat yang terkandung pada barang tersebut.Apabila barang tersebut tidak dapat digunakan sesuai dengan tujuannya atau mengurangi pemakaiannya, maka sudah sepatutnya pembeli memberikan tuntutan kepada pihak penjual untuk menanggung atas keadaan barang yang dijualnya. Walaupun pihak penjual tidak bersalah, namun ia tetap diwajibkan untuk menanggung kerugian yang diderita oleh pihak pembeli
.Kewajiban penjual adalah untuk memelihara dan merawat kebendaan dan merupakan kewajiban yang dibebankan berdasarkan ketentuan umum mengenai perikatan untuk menyerahkan atau memberikan sesuatu sebagaimana diatur dalam Pasal 1235KUHPerdata;
Dalam tiap-tiap perikatan umtuk memberikan sesuatu adalah termaktub kewajiban untuk menyerahkan kebendaan yang bersangkutan dan untuk merawat nya sebagai seorang kepala rumah tangga yang baik, sampai
sat penyerahan. Kewajiban yang terakhir ini adalah kurang atau lebih luas terhadap persetujuan-persetujuan tertentu, yang akibat-akibatnya mengenai hal ini akan ditunjuk dalam bab-bab yang bersangkutan.
Hak dan kewajiban Pihak Pembeli.
Kewajiban utama pihak pembeli menurut Pasal 1513KUHPerdata adalah membayar harga pembelian pada waktu dan ditempat sebagaimana ditetapkan menurut perjanjian. Jika pada waktu membuat perjanjian tidak ditetapkan tentang itu, si pembeli harus membayar ditempat dan pada waktu dimana penyerahan harus dilakukan (Pasal 1514 KUHPerdata). Menurut Pasal 1515KUHPerdata, meskipun pembeli tidak ada suatu janji yang tegas, diwajibkan membayar bunga dari harga pembelian, jika barang yangdijual dan diserahkan memberi hasil atau lain pendapatan. Sedangkan yang menjadi hak pembeli adalah menuntut penyerahan barang yang telah dibelinya dari si penjual. Penyerahan tersebut, oleh penjual kepada pembeli menerut ketentuan Pasal 1459KUHPerdata merupakan cara peralihan hak milik dari kebendaan yang dijual tersebut.









E.     Kesimpulan

Ada beberapa kesimpulan yang dapat diambil dari materi diatas diantaranya yaitu Hukum dagang adalah keseluruhan aturan hukum yang mengatur dengan disertai sanksi terhadap perbuatan manusia di dalam usaha mereka untuk menjalankan perdagangan. Hubungan hukum perdata dengan hukum dagang dapat dilihat dari rumusan pasal 1 KUHPer yang berbunyi: “Ketentuan-ketentuan dari KUH Perdata berlaku juga pada hal-hal yang diatur dalam KUH Dagang, kecuali bila KUH Dagang sendiri mengaturnya secara khusus”. Dalam hubungan ini berlaku adagium “Lex specialis derogat lex generalis” yaitu hukum yang bersifat khusus mengalahkan hukum yang bersifat umum.
Hukum adalah suatu peraturan yang mengatur tentang tingkah laku manusia dalam bermasyarakat yang dibuat oleh badan-badan yang berwenang yang bersifat memaksa dan diberikan sanksi yang tegas kepada orang yang melanggar.
Perdagangan atau  perniagaan adalah pekerjaan membeli suatu barang di suatu tempat atau pada suatu waktu dan menjual kembali di suatu tempat atau pada suatu waktu dengan tujuan agar mendapat keuntungan.
 Hukum dagang adalah serangkaian norma yang timbul khusus dalam dunia usaha atau kegiatan perusahaan.













                                                              Daftar Pustaka
ceyawidjaya, 2011, “Hukum Dagang”, available from : URL : http://ceyawidjaya.wordpress.com/2010/10/31/hukum-dagang/
Fuady , Munir, Pengantar Hukum Bisnis. Menata Bisnis Modern Di Era Global, (Bandung PT. Citra Aditya Bakti, 2008), hal. 339
Hindia Belanda, Wetboek van Koophandel 1847, Pasal 1.
Subekti, Hukum Perdata Indonesia, (Jakarta: Pembimbing Masa, 1977), hal. 1.
Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Cet. ke-31, (Jakarta: Intermasa, 2003),  hal. 9.
Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, hal. 16.
Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, hal. 17. 
Soekardono, Hukum Dagang Indonesia, Jilid I, Cet. Ke-6. (Jakarta: Dian Rakjat. 1977), hal. 2.
Subekti, Hukum Perdata Indonesia,  hal. 1.
Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, hal. 16.
 Surat Keputusan Bersama No.KGP-122/MK/IV/2/1874 No.32//SK/2/1974, tanggal 7Februari 1974.











[1] Subekti, Hukum Perdata Indonesia, (Jakarta: Pembimbing Masa, 1977), hal. 1.
[2] Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Cet. ke-31, (Jakarta: Intermasa, 2003), hal. 9.
[3] Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, hal. 16.
[4] Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, hal. 17. 
[5] Soekardono, Hukum Dagang Indonesia, Jilid I, Cet. Ke-6. (Jakarta: Dian Rakjat. 1977), hal. 2.
[6] Hindia Belanda, Wetboek van Koophandel 1847, Pasal 1.
[7] Subekti, Hukum Perdata Indonesia, hal. 1.
[8] Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, hal. 16.
[9]  Surat Keputusan Bersama No.KGP-122/MK/IV/2/1874 No.32//SK/2/1974, tanggal 7Februari 1974.
[10]  Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis. Menata Bisnis Modern Di Era Global, (Bandung PT. Citra Aditya Bakti, 2008), hal. 339

[11] ceyawidjaya, 2011, “Hukum Dagang”, available from : URL : http://ceyawidjaya.wordpress.com/2010/10/31/hukum-dagang/

No comments:

Post a Comment

Definisi Hukum Acara Pidana

MAKALAH DEFINISI HUKUM ACARA PIDANA Diajukan Sebagai Tugas Mata Kuliah Hukum Acara Pidana Program Studi Hukum Ekonomi Syari’ah (HES) Di Se...