Oleh:
Abstrak
Islam sejak awal seluruh umat yang diamanatkan untuk melindungi dan
menempatkan perempuan dalam posisi yang aman. Jadi yang mencakup syar'i, wanita
sebenarnya posisi aman dan terhormat. Namun pada kenyataannya, banyak kendala
dan rintangan yang sebenarnya diciptakan oleh Muslim sendiri. Mayoritas
penafsiran hukum Islam dan hasilnya ditulis oleh ulama dan orang-orang sering
membawa bias dalam pandangan mereka. Budaya patriarki telah meminggirkan
perempuan, menyangkal perempuan sebagai khalifah fil ard, dan menolak ajaran
keadilan dipromosikan oleh AlQur'an. Islam Ideal-normatif tidak membedakan
antara pria dan wanita, apalagi mendiskriminasikan perempuan. Sebagai pembawa
keselamatan dan kerahmatan seluruh alam semesta (rahmatan li al-'aalamiin),
Islam menempatkan posisi perempuan sebagai bukti keutamaan. Wanita tidak
dihargai pada saat kebodohan, dengan kedatangan Islam ia mendapatkan tempat
terhormat, mendapatkan pendidikan, membuka kesempatann yang lebih luas untuk
aktualisasi dan pengembangan diri.
Kata Kunci: Hak Pepempuan, Hukum, HAM, Syariah
A.
PENDAHULUAN
Manusia adalah mahluk yang paling sempurna yang diciptakan dengan
memiliki sedikitnya tiga instrumen, yakni cipta (akal, pikiran) rasa, (panca
indera) dan karsa (kreativitas)[1]. Karena memiliki akal pikiran maka manusia disebut mahluk yang
berfikir,[2] dengan ketiga instrumen inilah manusia mampu menciptakan
kebudayaan dan peradaban melalui ilmu dan moral.[3]
Pandangan dunia dan ideologi manusia berkaitan erat dengan
pandangan dunia dan ideologi yang disodorkan oleh agama yang dipeluknya. Dalam
berbagai hakikat wujud dan substansi yang dimilikinya, pemeluk suatu agama
mempunyai perspektif terhadap agama berupa serapan pikiran atas apa yang dibaca
atau didengarnya. Ketika proses penerimaan kebenaran terhadap konsep agama
tidak dibarengi dengan koreksi dan kritik, maka kemungkinan kesalahan
memperspektifkan berbagai subtansi wujud akan semakin melebar.
Di saat konsep yang sudah menjadi keyakinan atau masih dalam proses
berpikir tidak sesuai dengan kenyataan dan kejadian, (alam misdaq) maka sudah pasti manusia akan tergiring jauh dari
hakekat wujud dan terjerumuslah ia dalam dunia khayal, kehampaan, dan berbagai
kesalahan. Akar kesalahan dalam keyakinan terhadap idealitas wujud adalah
kesalahan dalam memperspektifkannya.
Kesalahan perspektif terhadap konsep di dalam Islam telah sampai
pada pembahasan perempuan, yang oleh sebagian kalangan masih dianggap tabu.
Walaupun pembahasan perspektif gender dalam Islam telah muncul sejak
kelahirannya, namun ketika terjadi benturan dengan tuntutan sosial misalnya,
diskursus ini ramai dibicarakan kembali. Banyak hal yang harus diluruskan dalam
persepsi masyarakat tentang perempuan terutama anggapan kaum laki-laki lebih
utama daripada kaum perempuan. Banyak kalangan yang berbicara tentang
ketimpangan sosial berdasarkan jenis kelamin. Islam tidak sejalan dengan paham
patriarki yang tidak memberikan peluang bagi perempuan untuk berkarya lebih
besar di dalam atau di luar rumah. Al-Qur’an tidak mengenalkan konsep dosa
warisan dari ibu-bapak umat manusia (Hawa dan Adam) dalam skandal buah
terlarang, melainkan itu tanggung jawab bersama keduanya. Perbedaan anatomi
fisik dan biologis antara laki–laki dan perempuan tidak mengharuskan adanya
perbedaan status dan kedudukan.
Ilmu Logika menjelaskan standar kebenaran suatu argumentasi,
ditandai oleh kesesuaiannya dengan fakta kejadian di alam misdaq. Dengan membandingkan korelasi mafhum maudhu dan mahmul
suatu premis dengan misdaq-nya, kita
dapat mengecek kebenaran sebuah argumentasi.
Urgensi sebuah keyakinan
tidak dapat dipungkiri oleh siapapun. Bahkan Tuhan Yang Maha Kuasa, melihat dan
menilai kredibilitas amal manusia berdasarkan keyakinan dan niatnya dalam
beramal.
Gerakan reformasi yang terjadi pada tahun 1997 telah membawa arah
perubahan bagi peran dan kedudukan perempuan dalam kehidupan politik, social,
dan kemasyarakatan. Hal tersebut tercermin dalam Garis-garis Besar Haluan
Negara (GBHN), tentang kedudukan dan peranan perempuan yang memuat hal-hal
sebagai berikut:[4]
a.
Meningkatkan kedudukan dan peranan perempuan dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara melalui kebijakan yang diemban oleh lembaga yang mampu
memperjuangkan terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender.
b.
Meningkatkan kualitas peran kemandirian organisasi perempuan dengan
tetap mempertahankan nilai persatuan dan kesatuan serta nilai historis
perjuangan kaum perempuan, dalam rangka melanjutkan usaha pemberdayaan serta kesejahteraan
keluarga dan masyarakat (bab IV, F3).
Selanjutnya dalam Bab IV, tentang hukum (A) dapat dibaca butirbutir
yang ada kaitannya dengan masalah gender sebagai berikut:
“Menata sistem hukum nasional yang menyeluruh dan terpadu dengan mengikuti
dan menghormati hukum agama dan hukum adat serta memperbaharui
perundangundangan warisan kolonial dan hukum nasional yang diskriminatif,
termasuk ketidakadilan gender dan ketidaksesuaiannya dengan ketentuan
reformasi.”
Dari kutipan di atas dapat dilihat bahwa pemberdayaan perempuan
dianggap dapat meningkatkan kesejahteraan keluarga. Lebih lanjut dapat dibaca
dalam Bab IV bahwa hukum harus ditegakkan secara konsisten, untuk lebih
menjamin kepastian hukum, keadilan dan kebenaran, supremasi hukum, serta
menghargai hak asasi manusia (butir IV 3). Dikemukakan juga bahwa harus
dilanjutkan ratifikasi konvensi internasional, terutama yang berkaitan dengan
hak asasi manusia sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan bangsa dalam bentuk
undang-undang (butir IV 4).
Dalam rangka ratifikasi konvensi internasional, hal yang secara
khusus disoroti adalah Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap
Wanita (Konvensi Wanita) yang telah diratifikasi melalui Undang-undang No. 17
Tahun 1984. Dalam hukum nasional, terdapat terdapat ketentuan-ketentuan yang
melindungi kepentingan perempuan, dan secara formal, Indonesia telah menyatakan
komitmen untuk memajukan hakhak asasi manusia, yang mencakup hak asasi
perempuan. Namun berbagai kenyataan dilapangan menunjukan terjadinya
pelanggaran-pelanggaran hak-hak perempuan, dan belum terwujudnya kesetaraan
gender.
Dalam Konvensi Wanita yang
telah diratifikasi melalui UU No. 17 Tahun 1984, tercantum beberapa alasan
mengenai pentinganya pemajuan hak asasi perempuan dan komitmenkomitmen dari
negara-negara penandatangan konvensi dan hanya bila komitmen itu
diimplementasikan, maka barulah akan terwujud kesetaraan gender.
Adapun fokus masalah yang dibahas dalam penelitian ini adalah: (1)
Bagaimanakah pandangan dan kedudukan wanita dalam Islam pendekatan Al-Quran dan
tafsir? (2) Bagaimanakah pemajuan Hak Asasi Perempuan di Indonesia? (3)
Bagaimana Indonesia melakukan penyesuaian peraturan perundangan serta Kebijakan
Pembangunannya terhadap Konvensi Wanita?
B.
PEMBAHASAN
1. Asal Penciptaan Perempuan dan kedudukannya dalam Islam
Pandangan Islam
Berbicara mengenai kedudukan[5] dan hak wanita[6] dalam Islam, mengantarkan kita untuk terlebih dahulu melihat
pandangan Al-Qur’an tentang asal kejadian perempuan. Dalam hal ini, salah satu
ayat yang dapat diangkat adalah firman Allah:
"Wahai seluruh manusia, sesungguhnya kami telah menciptakan
kamu (terdiri) dari laki-laki dan perempuan dan kami jadikan kamu
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang
paling mulia di antara kamu adalah yang paling bertakwa". (Al-Hujurat ayat
13)
Ayat ini berbicara tentang asal kejadian manusia dari seorang
laki-laki dan perempuan, sekaligus berbicara tentang kemuliaan manusia baik
laki-laki maupun perempuan yang dasar kemuliaannya bukan keturunan, suku, atau
jenis kelamin, tetapi ketakwaan kepada Allah SWT. Secara tegas dapat dikatakan
bahwa perempuan dalam pandangan Al-Qur’an memiliki kedudukan terhormat.
Dalam hal ini Mahmud Syaltut, mantan Syeikh Al-Azhar, menulis dalam
bukunya Min Tawjihat al-Islam bahwa:
"Tabiat kemanusiaan antara laki-laki dan perempuan hampir
dapat dikatakan sama. Allah telah menganugerahkan kepada perempuan sebagaimana menganugerahkan
kepada laki-laki potensi dan kemampuan yang cukup untuk memikul tanggung jawab,
dan menjadikan kedua jenis kelamin ini dapat melaksanakan aktivitas-aktivitas
yang bersifat umum maupun khusus. Karena itu hukum-hukum syariat pun meletakan
keduanya dalam satu kerangka. Yang ini (laki-laki) menjual dan membeli,
mengawinkan dan kawin, melanggar dan dihukum, menuntut dan menyaksikan, dan
yang itu (perempuan) juga demikian dapat menjual dan membeli, mengawinkan dan
kawin, melanggar dan dihukum, serta menuntut dan menyaksikan".[7]
Ayat Al-Qur’an yang populer
dijadikan rujukan dalam pembicaraan tentang asal kejadian perempuan adalah
firman Allah dalam surat An-Nisa ayat 1:
"Hai sekalian manusia bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah
menciptakan kamu dari nafs yang satu (sama). Dan darinya Allah menciptakan
pasangannya, dan dari keduanya Allah memperkembangbiakan laki-laki dan
perempuan yang banyak."
Banyak pakar tafsir yang memahami kata nafs dengan Adam, seperti Jalaluddin As-Suyuthi, Ibnu Katsir,
Al-Qurthubi, Al-Biqa'i, Abu As-Su'ud, dan lain-lain. Bahkan At-Tabarsi (abad
ke-6 Hijriah) mengemukakan dalam tafsirnya bahwa seluruh ulama tafsir sepakat
mengartikan kata tersebut dengan Adam.
Beberapa pakar tafsir seperti Muhammad Abduh, dalam tafsir
Al-Manar, tidak berpendapat demikian, begitu juga rekannya Al-Qosimi, mereka
memahami arti nafs dalam arti "jenis". Namun demikian, paling tidak
pendapat yang dikemukakan pertama itu, seperti yang ditulis tim penerjemah
Al-Qur’an Depertemen Agama R.I, adalah sebagai pendapat mayoritas ulama.
Dari pandangan yang berpendapat bahwa nafs adalah Adam, dipahami pula bahwa kata zaujaha, yang arti harfiahnya adalah (pasangannya) mengacu kepada
istri Adam, yaitu Hawa. Karena ayat di atas menerangkan bahwa pasangan tersebut
diciptakan dari nafs yang berarti
Adam, para penafsir terdahulu memahami bahwa istri Adam (perempuan) diciptakan
dari Adam sendiri. Pandangan ini, kemudian melahirkan pandangan negatif terhadap
perempuan, dengan mengatakan bahwa perempuan adalah bagian dari laki-laki,
tanpa laki-laki perempuan tidak akan ada. Al-Qurthubi, misalnya, menekankan
bahwa istri Adam itu diciptakan dari tulang rusuk Adam sebelah kiri yang
bengkok, dan karena itu wanita bersifat auja
(bengkok atau tidak lurus).
Kitab-kitab tafsir terdahulu hampir sepakat mengartikannya
demikian. Pandangan ini agaknya bersumber dari sebuah hadis yang mengatakan: "Saling pesan-memesanlah untuk berbuat
baik kepada perempuan, karena mereka diciptakan dari tulang rusuk yang
bengkok". (HR. at-Tirmidzi dari Abu Hurairah).
Hadis di atas dipahami oleh ulama-ulama terdahulu secara harfiah
namun beberapa ulama kontemporer memahaminya secara metafora, bahkan ada yang
menolak keshahihan (kebenaran) hadis tersebut. Yang memahami secara metafora
berpendapat bahwa hadis di atas memperingatkan para laki-laki agar menghadapai
perempuan dengan bijaksana, karena ada sifat, karakter dan kecenderungan mereka
yang tidak sama dengan laki-laki. Bila tidak disadari akan mengantarkan kaum
laki-laki bersikap tidak wajar, mereka juga tidak akan mampu mengubah karakter
dan sifat bawaan perempuan, kalau pun mereka berusaha akibatnya akan fatal,
sebagaimana fatalnya meluruskan tulang rusuk yang bengkok.
Ide ini, seperti ditulis Rasyid Ridha dalam tafsir alManarnya,
timbul dari apa yang termaktub dalam Perjanjian Lama (Kejadian II: 21-22) yang
mengatakan bahwa ketika Adam tidur lelap, maka diambil oleh Allah sebilah
tulang rusuknya, lalu ditutupkan pula tempat itu dengan daging. Maka dari
tulang yang telah dikeluarkan dari Adam itu, dibuat oleh Tuhan seorang
perempuan.
"Seandainya tidak tercantum kisah kejadian Adam dan Hawa dalam
kitab perjanjian lama seperti redaksi di atas, niscaya pendapat yang menyatakan
bahwa wanita diciptakan dari tulang rusuk Adam tidak pernah akan terlintas
dalam benak seorang muslim”[8]
Alamah Thabathaba’i (ra) dalam tafsirnya al-Mizan menulis, bahwa
ayat di atas menegaskan bahwa:
"Perempuan (istri Adam) diciptakan dari jenis yang sama dengan
Adam, dan ayat tersebut sedikitpun tidak mendukung paham sementara mufasir yang
beranggapan bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk Adam. Kita dapat
berkata, bahwa tidak ada satu petunjuk yang pasti dari ayat al-Qur’an yang
dapat mengantarkan kita untuk mengatakan bahwa perempuan diciptakan dari tulang
rusuk, atau bahwa unsur penciptaannya berbeda dengan laki-laki”
Bahkan kita dapat berkata bahwa banyak teks keagamaan mendukung
pendapat yang menekankan persamaan unsur kejadian Adam dan Hawa, dan persamaan
kedudukannya, antara lain surat al-Isra' ayat 70,
"Sesungguhnya kami telah memuliakan anak--anak Adam, kami
angkut mereka di daratan dan di lautan (untuk memudahkan mereka mencari
kehidupan). Kami beri mereka rezki yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka
dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang Kami ciptakan
".
Tentu kalimat anak-anak Adam mencakup laki-laki dan perempuan,
demikian pula penghormatan Tuhan yang diberikan itu mencakup anak-anak Adam
seluruhnya, baik perempuan maupun laki-laki. Pemahaman ini dipertegas oleh
Surat Al-Imran ayat 195 yang menyatakan: "Sebagian
kamu adalah bagian dari sebagian yang lain".
Ini juga berarti bahwa sebagian kamu (hai umat manusia yang
berjenis laki-laki) berasal dari pertemuan ovum perempuan dan sperma laki-laki
dan sebagian yang lain (hai umat manusia yang berjenis perempuan) demikian juga
halnya. Kedua jenis kalimat ini sama-sama manusia, dan tidak ada perbedaaan di
antara mereka dari segi asal kejadian serta kemanusiaannya.[9]
Sebagai perbandingan dalam UDHR juga dengan tegas mengenai hak
wanita sederajat dengan pria menyebutkan: “Setiap orang mempunyai hak-hak dan
kebebasan-kebebasan yang tercantum di dalam deklarasi ini tanpa perbedaan
apapun seperti perbedaan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa dan agama.”
Secara implisit pasal ini juga menegaskan adanya persamaan antara laki-laki dan
dengan demikian derajat mereka juga dianggap sama tanpa adanya diskriminasi,
sedangkan dalam Pasal 6 huruf c dan huruf d menyebutkan:
“Wanita memiliki hak yang sama dengan pria dalam mempertahankan
derajat kemanusiaannya dan memiliki hak hak untuk menikmati persamaan tersebut
disamping melaksankan kewajiban-kewajibannya. Ia memiliki hak sipil dan
kebebasan yang berhubungan dengan keuangan dan hak untuk menjaga nama baik
pribadi dan keturunannya.”
Sebagai tindak lanjut dari pelaksanaan norma UDHR tersebut di atas,
pada tahun 1967 PBB mengeluarkan deklarasi tentang penghapusan diskriminasi
terhadap wanita dimana dalam deklarasi tersebut memuat hak dan kewajiban dengan
mendasarkan pada persamaan hak antara pria dengan wanita. Deklarasi tersebut
juga menyatakan agar diambil langkahlangkah yang dianggap perlu guna menjamin
pelaksanaan deklarasi.
Atas deklarasi yang sifatnya tidak mengikat tersebut, maka PBB
kembali mengambil langkah untuk merancang konvensi penghapusan diskriminasi
terhadap wanita (selanjutnya konvensi
tersebut dikenal dengan istilah Convention
on Elimination Against Women/CEDAW) pada 18 Desember 1979. Majelis Umum PBB
akhirnya menyetujui rancangan konvensi tersebut. Berkenaan dengan itu,
pemerintah Indonesia yang menjadi salah satu peserta konvensi pada Konferensi
Sedunia PBB bagi wanita di Kopenhagen pada 29 Juli 1980 telah menandatangani
konvensi tersebut dan mengimplementasikannya dalam bentuk ratifikasi melalui
Undang-undang Nomor 7 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai
Penghapusan Segala bentuk Diskriminasi terhadap wanita.
2.
Pemajuan Hak Asasi Perempuan di Indonesia
Sebagai negara yang telah menggabungkan dirinya kepada Perserikatan
Bangsa-bangsa (PBB), Indonesia secara hukum internasional mempunyai kewajiban
untuk memajukan HAM, termasuk hak asasi perempuan.
Tujuan PBB adalah mewujudkan
kerjasama internasional dalam upaya pemajuan dan peningkatan penghargaan
terhadap HAM serta kebebasan-kebebasan dasar untuk semua orang tanpa perbedaan
berdasarkan ras, jenis kelamin, bahasa atau agama.[10] Namun laporan-laporan yang diterima oleh PBB, menunjukan bahwa
diberbagai tempat tetap terjadi pembedaan yang mendiskriminasikan perempuan.
Salah satu instrumen yang dihasilkan PBB dan telah diterima dalam
Sidang Umum tanggal 17 November 1967 adalah Deklarasi Penghapusan Diskriminasi
Terhadap Perempuan. Dalam deklarasi ini dirumuskan sejumlah bidang seperti
hukum yang mengatur ketenagakerjaan, mengatur masalah keluarga, masalah
ekonomi, politik dan dituntut bahwa negara-negara anggota PBB, berkenaan dengan
bidang-bidang tersebut, persamaan hak-hak pria dan perempuan harus diwujudkan
secara hukum dan dalam praktik sehari-hari.
Dalam kenyataan, efektifitas suatu deklarasi untuk menjadi alat
pemaksa dalam menuntut perwujudan kesetaraan gender sangat terbatas. Oleh
karena itu kalangan PBB dan para aktivis HAM merasakan keperluan untuk
menghasilkan instrumen yang secara internasional disepakati dan mengandung
ukuran-ukuran mengenai pemajuan persamaan antara pria dan perempuan. Berbeda
dengan deklarasi yang secara umum tidak mengikat, instrumen yang ingin
dikembangkan itu diharapkan bersifat mengikat dari segi hukum internasional.
Maka yang dihasilkan adalah suatu Konvensi Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi Terhadap Perempuan yang telah diterima pada Sidang Umum PBB 18
Desember 1976, dengan disetujui oleh 13 negara dan 11 negara menyatakan
abstain.
Bagi negara yang menerima konvensi tersebut, membuat suatu komitmen
bahwa mereka akan melakukan upaya-upaya yang diperlukan, termasuk pembuatan
berbagai peraturan yang akan menjamin bahwa perempuan dapat berkembang secara
penuh dan maju dalam kedudukannya serta menjamin bahwa mereka dapat
melaksanakan serta menikmati hak-hak asasi mereka, serta kebebasan-kebebasan
dasar mereka.
Pentingnya perwujudan kesetaraan gender yang diupayakan oleh negara
dapat disimak dari sejumlah butir yang tertera dalam mukadimah konvensi.
Butir-butir tersebut antara lain yaitu: “Keyakinan bahwa pembangunan menyeluruh
dan selengkapnya suatu negara, kesejahteraan dunia, dan usaha perdamaian
menghendaki partisipasi maksimal kaum wanita atas dasar persamaan dengan kaum
pria di segala lapangan”. Butir lainnya menyebutkan pula bahwa “peringatan
mengenai besarnya sumbangan wanita terhadap kesejahteraan keluarga dan
pembangunan masyarakat, tetapi selama ini belum sepenuhnya diakui.” Peringatan
tersebut juga meliputi arti sosial dari kehamilan, dan peranan kedua orang tua
dalam keluarga dalam membesarkan anak, menghendaki pembagian tanggung jawab
antara pria dan wanita dan masyarakat secara keseluruhan.[11]
Mukadimah konvensi ini diakhiri dengan tekad negara penandatangan.
Tekad tersebut yaitu untuk melaksanakan asasasas yang tercantum dalam Deklarasi
Mengenai Penghapusan Diskriminasi Terhadap Wanita dan untuk itu membuat
peraturan yang diperlukan untuk menghapuskan diskriminasi dalam segala bentuk
dan perwujudannya.
3.
Penyesuaian Peraturan Perundang-undangan RI, serta Kebijaksanaan Pembangunan
terhadap Konvensi Wanita
Berdasarkan tekad negara penandatangan CEDAW yang telah dikutip
dimuka, terlihat jelas bahwa konsekuensi dari meratifikasi konvensi tersebut
adalah melakukan penyesuaian terhadap seluruh peraturan perundang-undangan dan
berbagai kebijakan yang ada di Indonesia dengan CEDAW. Panitia penyelenggara
Pertemuan Penyuluhan dan penyebaran Informasi Data Hukum dari Departemen Hukum
dan HAM telah melakukan inventarisasi data mengenai hukum yang bias. Beberapa
contoh peraturan yang masuk dalam kategori bias gender tersebut di antaranya
adalah Pasal 31 dan 34 UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan
bahwa “suami adalah kepala keluarga sedangkan istri adalah ibu yang bertanggung
jawab mengenai pengurusan rumah tangga”. Selanjutnya dalam peraturan yang sama
dinyatakan bahwa “hak suami untuk hal-hal tertentu diizinkan berpoligami, serta
terbatasnya hak istri untuk mengajukan gugatan terhadap suami bila ingin
bercerai di pengadilan”, serta sejumlah peraturan lainnya yang bernuansa bias
gender.[12]
Peraturan-peraturan yang bias gender ini bertentangan dengan apa
yang ditetapkan dalam Konvensi Wanita, dan untuk memenuhi komitmen yang telah
menjadi tekad Indonesia sebagai negara penandatangan konvensi seharusnya
ketentuan-ketentuan hukum tersebut dinyatakan tidak berlaku dan dilakukan
penyesuaian selaras dengan prinsip-prinsip yang terkandung dalam CEDAW.
Berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) pemerhati masalah
perempuan telah berulangkali mengemukakan bahwa peraturan-peraturan yang bias
gender tersebut adalah kendala yang dihadapi dalam upaya mewujudkan kesetaraan
gender. “Setiap pembedaan, pengucilan atau pembatasan yang dibuat atas dasar
jenis kelamin, yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau
menghapuskan pengakuan, penikmatan atau penggunaan hak-hak asasi manusia dan
kebebasankebebasan pokok dibidang politik, ekonomi, sosial dan budaya, sipil
atau apapun lainnya, oleh kaum perempuan terlepas dari status perkawinan
mereka, atas dasar persamaan antara perempuan dan laki-laki.”
Dalam relasi antara perempuan dan laki-laki, perempuan karena
gendernya, mengalami perlakuan-perlakuan yang tidak adil. Dengan menggunakan
definisi tentang diskriminasi dimuka, maka berbagai perlakuan diskriminasi
dapat teridentifikasi. Dalam bidang tenaga kerja misalnya, perempuan yang
bekerja diberi status lajang, karena menurut Pasal 31 dan 34 UU Perkawinan,
suami adalah kepala rumah tangga dan suami adalah pihak yang bertanggung jawab
untuk mencari nafkah. Bila istri bekerja maka anggapan yang mendukung norma
tersebut adalah istri hanyalah menghasilkan pendapatan tambahan saja. Akibatnya, imbalan yang diterima oleh
perempuan yang bekerja, yang kualifikasinya sama dengan seorang tenaga kerja
pria, adalah lebih kecil. Hal ini adalah perlakuan diskriminatif. Jelas bahwa
perlakuan diskriminasi merupakan pelanggaran HAM perempuan[13].
Sesuai dengan tekad yang tercantum dalam Mukadimah CEDAW, Negara
penandatangan konvensi berkewajiban menghapus atau setidaknya melakukan
penyesuaian terhadap ketentuan-ketentuan yang bias gender, karena sesuai dengan
prinsip konvensi, perempuan memiliki hak untuk tidak diperlakukan
diskriminatif. Contoh ketentuan hukum lain yang bias gender adalah UU
kewarganegaraan. Perempuan Indonesia yang kawin secara sah dengan laki-laki
warga negara asing tidak dapat menjadi penerus status kewarga-negaraannya
kepada anaknya. Apabila perempuan tersebut tidak kawin secara sah dengan pria
asing itu maka barulah anaknya dapat memperoleh status kewarganegaraan
Indonesia. Ketentuan semacam ini bertentangan dengan konvensi, dan sudah
sewajarnya disesuaikan agar tidak menyebabkan perlakuan diskriminatif.
Status wanita juga amat lemah jika dikaitkan dengan rumusan-rumusan
delik pidana seperti perkosaan. Penelitian yang telah dilakukan oleh para
peneliti di seluruh dunia, seperti dilaporkan Hall (London, 1985) menyimpulkan
bahwa acap kali perkosaan:
a.
dianggap sebagai masalah pribadi yang tidak perlu dicampuri oleh
pihak ketiga (kepolisian);
b.
pihak korban menganggap seolah-olah tidak ada lagi yang dapat
dilakukan, aib bagi diri korban dan keluarga;
c.
ketakutan akan terjadi pembalasan dari pelaku apabila tindak pidana
itu dilaporkan ke pihak yang berwajib, akibatnya laporan sering terlambat;
d.
polisi sering memperlakukan korban secara tidak simpatik;
e.
laporan mereka sering tidak ditanggapi secara serius;
f.
polisi, penuntut umum, dewan juri (di negara dengan sistem juri)
dan hakim, seringkali secara skeptis menyangsikan kredibilitas korban
perkosaan.
Hal-hal tersebut di atas menyebabkan pengusutan/pembuktian terhadap
tindak pidana perkosaan menjadi sulit karena:
a.
seringkali tidak ada saksi, keengganan menjadi saksi, ancaman
terhadap saksi;
b.
memerlukan bukti fisik, seperti bekas air mani, memar/luka bekas
kekerasan;
c.
pelaku (beberapa pelaku) langsung menghilang;
d.
perkosaan harus selalu didahului, dibarengi atau diakhiri dengan
kekerasan seksual atau penyerangan seksual.[14]
Korban kejahatan seringkali wanita dibawah umur dan pada umumnya
akan mengalami trauma yang mendalam, hakhak hukum tidak terkondisi, tetapi
justru pelaku kejahatan lebih terlindungi hak-haknya. Untuk itu haruslah diadakan
reformasi terhadap hukum pidana, dan terutama pasal-pasal tentang kejahatan
kesusilaan memerlukan rumusan-rumusan baru. Keadilan gender harus tercermin
dalam rumusan baru itu.
Di awal telah disinggung
beberapa hal tentang komitmen pemerintah atau kewajiban pemerintah untuk
menyesuaikan peraturan perundang-undangan terhadap konvensi. Untuk lebih jelas
menggambarkan intensi tersebut dan bahwa diskriminasi harus dihapuskan, dapat
dibaca Pasal 2 konvensi. Dalam ketentuan tersebut dikemukakan bahwa diskriminasi
adalah hal yang dikutuk oleh negara peserta konvensi, dan akan dibuat
peraturan-peraturan yang melindungi hak-hak kaum perempuan bahkan bila perlu
dengan mencantumkan pemberian sanksi bagi pelanggarnya.
Pada Pasal 2b juga dicantumkan antara lain bahwa melalui pengadilan
nasional dan badan pemerintah lainnya, perlindungan kaum wanita yang efektif
terhadap setiap tindakan diskriminasi akan dilakukan (2c). Lebih lanjut dapat
pula diperhatikan ketentuan dalam Pasal 2d, Pasal 2e, dan Pasal 2f, yang kesemuanya
memuat tentang cara-cara yang harus ditempuh untuk dapat menghapuskan
diskriminasi itu.
Namun pada faktanya setelah konvensi ini diratifikasi oleh
pemerintah, komitmen yang kuat untuk melakukan penyesuaian/perubahan peraturan
yang melindungi hak-hak perempuan belumlah tuntas. Hal yang perlu di pahami
adalah bahwa pemerintah menghadapi berbagai tantangan dalam upaya penyesuaian
peraturan-peraturan perundang-undangan yang ada terhadap konvensi. Di dalam
ketentuan Pasal 5(a) konvensi dapat dipahami sifat dari tantangan yang
dihadapi. Pasal 5(a) menyebutkan bahwa: negara-negara peserta konvensi wajib
melakukan upaya dan langkah yang tepat untuk mengubah pola tingkah laku sosial
dan budaya pria dan wanita dengan maksud untuk mencapai penghapusan prasangka
dan kebiasaankebiasaan dan segala praktek lainnya yang berdasarkan atas
inferioritas atau superioritas salah satu jenis kelamin atau berdasar perasaan
steriotip bagi pria dan wanita.
Hal ini mencerminkan pola tingkah laku sosial dan budaya secara
umum dari pria dan perempuan yang perlu berubah. Jika tidak, maka
prasangka-prasangka lama, nilai-nilai tradisional lama mengenai siapakah
perempuan, apakah tugas-tugasnya, kedudukannya yang harus tunduk kepada suami
atau para pria lainnya akan tetap dipertahankan oleh warga masyarakat, sehingga
pencapaian kesetaraan gender akan mengalami kendala. Hal ini adalah salah satu tantangan berat
yang dihadapi dalam upaya penyesuaian berbagai peraturan perundangundangan
kepada konvensi. Dalam konvensi antara lain dapat juga ditemukan suatu
ketentuan khusus tentang kewajiban negara untuk menjamin kecakapan hukum yang
sama bagi pria dan wanita dan bahwa pengadilan harus memberi perlakuan yang
sama pada semua tingkatan prosedur dimuka hakim dan/atau pengadilan (Pasal 15
(1,2)[15].
Dalam rangka melakukan internalisasi nilai-nilai yang terkandung
dalam konvensi, peran media massa sangat diharapkan guna diseminasi karena
media massa memiliki kemampuan untuk menyebarluaskan informasi kepada
masyarakat sekaligus melakukan kontrol terhadap pelaksanaan kewajiban negara
dalam pemenuhan HAM masyarakat.
Sebagaimana telah dikemukakan di awal, hal yang menjadi suatu
keharusan adalah terjadinya suatu perubahan sosial budaya sesuai dengan
prinsip-prinsip yang terkandung dalam konvensi yang telah diraftifikasi. Perlu
diperhatikan bahwa Indonesia sebagai Negara Peserta tunduk kepada Pasal 17
Konvensi dimana ditentukan bahwa kemajuan mengenai penerapan konvensi ini
mendapat penilaian oleh suatu panitia konvensi. Jadi terdapat prinsip
akuntabilitas yang harus dipatuhi, dan sebagai negara peserta konvensi,
Indonesia harus membuat pertanggungjawaban sesuai dengan ketentuan yang
tercantum dalam Pasal 18 konvensi.
Kemudian bila kelak
Indonesia telah meratifikasi Optional Protocol Konvensi, maka para individu
atau kelompok wanita yang dinegerinya telah melakukan semua upaya-upaya
pengaduan pelanggaran hak asasinya (have
exhausted all national remedies) dapat juga mengadukan kasusnya langsung ke
panitia CEDAW.
C. PENUTUP
a. Kesimpulan
Secara faktual, Indonesia dapat dikatakan sebagai suatu komunitas
masyarakat yang bersifat patrilinial. Dalam komunitas yang bersifat patrilinial
ini, peran laki-laki dalam memegang kekuasaan cenderung sangat besar, hal ini
secara a contrario dapat dipersepsi sebagai kondisi yang dapat mendegradasi
peran dan keberadaan perempuan. Kondisi sosio-masyarakat yang bersifat
patrilinial dapat berpengaruh hingga pengambilan kebijakan oleh pemerintah
ataupun tercermin dalam perilaku kehidupan bermasyarakat sehari-hari dengan
kecenderungan bahwa perempuan kerap berposisi sebagai subjek dan subordinat
dari kaum laki-laki sehingga terkadang masih terdapat benturan dalam masyarakat
dalam mengartikan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan.
Bagi masyarakat
perkotaan dengan latar belakang Pendidikan yang cukup, upaya diseminasi dan
internalisasi nilainilai yang terkandung dalam konvensi tidak sulit untuk
dilakukan. Namun untuk menjangkau ke lapisan masyarakat di pedesaan menjadi
sangat sulit dan memiliki tantangan tersendiri karena selain permasalah jauhnya
wilayah jangkauan, kondisi sosio-masyarakat setempat umumnya memiliki
kecenderungan yang telah terlanjur menempatkan posisi perempuan tidak seimbang
atau inferior (rentan).
Memperhatikan berbagai tantangan yang telah diuraikan, maka menjadi
tantangan bersama bagi seluruh lapisan masyarakat baik pemerintah, Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM), tokoh agama, dan para pendidik (guru/dosen) untuk
menunjukan kemauan bersama guna mendukung sepenuhnya tindakan-tindakan atau
program-program yang mempercepat terjadinya perubahan sosial yang diperlukan
dan memperkuat pelaksanaan komitmen yang telah diikrarkan dalam Konvensi
Penghapusan Diskriminasi Terhadap Kaum Wanita yang telah diratifikasi melalui Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 1984.
DAFTAR PUSTAKA
Atmasasmita Romli, Reformasi
Hukum, Hak Asasi Manusia & Penegakan Hukum, Bandung, Mandar Maju, 2000.
Hidayat Komarudidn, Tragedi Raja Muddas, Moralitas Agama dan Krisis
Modernisme, dikutip dari Amir Muallim, Kompabilitas Agama (Islam) dengan Ham,
Unisisa No. 44/XXV/I/2002, UII Yogyakarta.
Kementrian Pemberdayaan Perempuan, Rencana Aksi Nasional Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan, https://www.kemenpppa.go.id/lib/uploads/list/8d214-renstra-kpppa-2015-2019.pdf diakses pada hari kamis 26-04-2018, pukul 01:30
Kosasih Ahmad, HAM dalam perspektif Islam, Jakarta, Salemba
Diniyah, 2003
Mahmasani Subhi, Konsep dasar Hak Asasi manusia suatu perbandingan
dalam syariat Islam dan perundangundangan Modern, terjemahan Hasanuddin, Tinta
Mas Indonesia, Jakarta, 1993.
Republik Indonesia, Garis-garis Besar Haluan Negara Tahun 1999-2004
Tentang Kedudukan dan Peranan Perempuan.
-------, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Ridha Rasyid, konsep teologi rasional dalam
Tafsir al-Manar, Jakarta, Erlangga, 2006,
Robertson Q.C. Geoffrey, Kejahatan
Terhadap Kemanusiaan Perjuangan Untuk Mewujudkan Keadilan Global, Jakarta,
Komisi HAM, 2002
Sapardjaja Komariah Emong, Konvensi
Wanita dan Hak Asasi Manusia, www.bphn.go.id/data/documents/hak_hak_perempuan.pdf, diakses pada hari kamis 26-04-2018, pukul 00:50
-------, Tindak Kekerasan
Terhadap Perempuan www.bphn.go.id/data/documents/Tindak
Kekerasan Terhadap_perempuan.pdf, diakses pada hari kamis 26-04-2018, pukul 00:58
Syaltut Muhammad, Min Tawjihat al-Islam.
Kairo, Al-azhar, 1959
Umar Nasaruddin, Perspektif
Gender dalam Islam, http://media.isnet.org/kmi/islam/Paramadina/Jurnal/Jender4.html, diakses pada hari kamis, 26-04-2019, pukul 00:30
[1]Komarudidn
Hidayat, Tragedi Raja Muddas, Moralitas Agama dan Krisis Modernisme,
dikutip dari Amir Muallim, Kompabilitas Agama (Islam) dengan Ham, (Unisisa
UII Yogyakarta, No. 44/XXV/I/2002), hlm 43.
[2]Seorang
Filsuf Rene Descartes dengan adagiumnya yang terkenal “Karena berpikir aku ada”
ini menunjukkan bahwa eksistensi manusia adalah karena akal dan pikirannya.
Akal pikiran (logika) itu mendapat pencerahan melalui pendidikan dan
pengajaran.
[3]Subhi
Mahmasani, Konsep dasar Hak Asasi manusia suatu perbandingan dalam syariat
Islam dan perundang-undangan Modern, (Jakarta: Tinta Mas Indonesia, 1993)
hlm 156.
[4]Republik
Indonesia, Garis-garis Besar Haluan Negara Tahun 1999-2004 tentang Kedudukan
dan Peranan Perempuan.
[5]Kedudukan
perempuan dan laki-laki dalam berumah tangga adalah setara dalam Quran Surat Al
Baqarah ayat 187 menyebutkan (Mereka itu adalah pakaian bagimu dan kamu pun
pakaian bagi mereka) oleh karena itu kedudukan suami istreri harus saling
melengkapi kekurang satu sama lain agar tercipta konsep musawwa
(kemitraasejajaran) atau hubungan yang setara.
[6]Ada
beberapa hak wanita yang disebutkan dalam Al-Quran, diantaranya hak untuk
memperoleh perlindungan yang wajar (QS. An-Nisa: 34) hak untuk memperoleh
nafkah (QS. Ath –Thalaaq: 6), Hak untuk memperoleh bagian harta warisan (QS.
An-nisa: 7) dan hak untuk berusaha dan memperoleh hasil usahanya (QS. An-Nahal:
97) dan hak memilih pasangan hidup (HR Ahmad Ibnu Majab) dikutip dari buku Ahmad Kosasih, HAM dalam perspektif Islam, (Jakarta:
Salemba Diniyah, 2003) hlm. 55-58.
[8]Rasyid
Ridha, konsep teologi rasional dalam Tafsir al-Manar, (Jakarta: Erlangga, 2006), hlm. 330.
[9]Nasaruddin Umar, Perspektif
Gender dalam Islam, http://media.isnet.org/kmi/islam/Paramadina/Jurnal/Jender4.html, diakses pada hari kamis, 26-04-2019, pukul 00:30
[11]Komariah Emong Sapardjaja, Konvensi
Wanita dan Hak Asasi Manusia, www.bphn.go.id/data/documents/hak_hak_perempuan.pdf, diakses pada hari kamis 26-04-2018, pukul 00:50
[13]Kementrian Pemberdayaan Perempuan, Rencana Aksi Nasional Penghapusan Kekerasan
Terhadap Perempuan, https://www.kemenpppa.go.id/lib/uploads/list/8d214-renstra-kpppa-2015-2019.pdf
diakses pada
hari kamis 26-04-2018, pukul 01:30
[14] Komariah Emong Sapardjaja, Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan www.bphn.go.id/data/documents/Tindak
Kekerasan Terhadap_perempuan.pdf, diakses pada hari kamis 26-04-2018, pukul 00:58
[15] Romli Atmasasmita, Reformasi
Hukum, Hak Asasi Manusia & Penegakan Hukum, (Bandung: Mandar Maju,
2000) hlm. 78
No comments:
Post a Comment