Oleh:
Muhammad Nur Muzakki
Abstrak
Perikatan atau
perjanjian merupakan kegiatan manusia dalam menjalin suatu perbuatan hukum dan
menjadi hukum bagi mereka sendiri yang telah melakukan perjanjian. Hal ini
dilakukan untuk melindungi hak-hak manusia dalam kehidupan sosial. Perjanjian
atau kontrak adalah suatu peristiwa di mana seorang atau satu pihak berjanji
kepada seorang atau pihak lain atau di mana dua orang atau dua pihak itu saling
berjanji untuk melaksanakan suatu hal (Pasal 1313 Kitab Undang-undang Hukum
Perdata Indonesia). Hukum perikatan memiliki arti yang luas daripada perjanjian
karena mengatur juga suatu hubungan hukum yang tidak bersumber dari persetujuan
atau perjanjian.4 Hukum perikatan memungkinkan suatu perjanjian diatur oleh
suatu aturan yang berlaku.
Hukum perikatan
Islam merupakan seperangkat kaedah hukum yang berasal dari bersumber dari
Al-Qur'an, As-Sunnah Al-Hadits, dan Ar-Ra'yu yaitu Ijtihad yang mengatur dua
orang atau lebih yang saling melakukan suatu perikatan. Ada dua hal yang
mendasari berlakunya hukum perikatan Islam. Yang pertama adalah dasar Akidah
yang berkaitan dengan keyakinan yang memaksa pelaksanaannya dalam melakukan
bertransaksi, dan dasar kedua adalah Syariah yang mengharamkan riba. Dalam
hukum Islam, perikatan disebut iltizam yang menurut istilah fiqh, perikatan iltizam ini didefinisikan sebagai
suatu tindakan yang meliputi pemunculan, pemindahan, dan pelaksanaan hak.
Kata Kunci:
Hukum Perikatan, Perjanjian.
A.
Pendahuluan
Di dalam kehidupan sosial manusia setiap hari, memerlukan suatu
bentuk interaksi guna menjalin hubungan satu manusia dengan manusia lainnya.
Hubungan tersebut guna melangsungkan kehidupan yang layak yang memenuhi
kebutuhan bagi individu manusia masing-masing. Di dalam hubungan tersebut
membutuhkan apa yang disebut dengan perjanjian. Perjanjian ini berfungsi untuk
mengikatkan diri satu sama lain untuk menjalin kesepakatan dalam memenuhi
kebutuhan ekonomi masing-masing individu. Selain itu pula, perjanjian berfungsi
untuk melindungi hak-hak manusia tersebut dari sikap dan perilaku yang
menyimpang manusia lainnya.
Beberapa unsur-unsur dalam perikatan ataupun perjanjian antara
lain:
1.
Adanya suatu hubungan hukum;
2.
Di antar dua pihak, yaitu pihak yang memiliki kewajiban (debitur)
dan pihak yang memperoleh hak (kreditur);
3.
Berada di bidang hukum harta kekayaan;
4.
Tujuannya adalah prestasi.
Perikatan atau perjanjian merupakan kegiatan manusia dalam menjalin
suatu perbuatan hukum dan menjadi hukum bagi mereka sendiri yang telah
melakukan perjanjian. Hal ini dilakukan untuk melindungi hak-hak manusia dalam
kehidupan sosial. Perjanjian atau kontrak adalah suatu peristiwa di mana
seorang atau satu pihak berjanji kepada seorang atau pihak lain atau di mana
dua orang atau dua pihak itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal
(Pasal 1313 Kitab Undang-undang Hukum Perdata Indonesia).[1]
Hukum perikatan memiliki arti yang luas daripada perjanjian karena mengatur
juga suatu hubungan hukum yang tidak bersumber dari persetujuan atau
perjanjian. Hukum perikatan memungkinkan suatu perjanjian diatur oleh suatu
aturan yang berlaku.
Perjanjian
telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1313, yaitu bahwa
perjanjian atau persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau
lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Kata persetujuan
tersebut merupakan terjemahan dari perkataan overeekomst dalam bahasa Belanda.
Kata overeekomst tersebut lazim diterjemahkan juga dengan kata perjanjian. Jadi
persetujuan dalam Pasal 1313 KUH Perdata tersebut sama artinya dengan
perjanjian.
Hukum perikatan
didefinisikan sebagai hukum yang mengatur hubungan hukum antara dua orang atau
lebih yang terletak dalam lapangan harta kekayaan dimana pihak yang satu wajib
berprestasi, dan pihak lainnya berhak atas prestasi dan berlaku pada wilayah
tertentu. Dengan demikian berlakunya hukum perjanjian tersebut sesuai dengan
aturan hukum yang diberlakukan pada wilayah tertentu sesuai dengan hukum yang
dianutnya. Hukum tersebut berlaku di wilayah tertentu dan menjadi kesepakatan
antara pihak yang telah melakukan perjanjian sebagai hukum yang berlaku bagi
para pihak yang melakukan perjanjian.
Berlakunya
hukum pada suatu Negara bergantung pada hukum yang berlaku pada waktu itu juga.
Hukum nasional yang merupakan hukum positif merupakan hukum yang berlaku di
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hukum positif bersifat memaksa, berlaku
pada seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan harus ditaati dan
dipatuhi oleh seluruh rakyat Indonesia. Hukum berfungsi sebagai sarana mengatur
masyarakat kearah yang lebih baik, tertib, dan aman. Oleh sebab itu, hukum
wajib dipatuhi oleh semua masayarakat demi terciptanya suasana yang kondusif.
Pelanggaran terhdap hukum tersebut memunculkan sanksi agar menimbulkan efek
jera pada pelaku kejahatan ataupun pelanggaran.
Dalam hukum
perikatan di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia muncul dua aturan yang
mengatur tentang perikatan menurut hukum Islam dan perjanjian menurut hukum
Nasional. Permasalahan yang muncul adalah berlakunya kedua aturan hukum
tersebut, baik perikatan menurut hukum Islam ataupun perikatan menurut hukum
Nasional. Dalam pembahasan yang akan
kita kaji yaitu meliputi berlakunya kedua aturan hukum tersebut yaitu perikatan
menurut Islam dan perjanjian menurut hukum Nasional.
Hukum perikatan
Islam dan hukum perjanjian nasional memang berjalan saling beriringan. Dengan
asas kebebasan berkontrak yang diatur di dalam undang-undang, maka perjanjian
maupun perikatan memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada pihak yang
malakukan perjanjian dalam menentukan perjanjian atau perikatan mereka
masing-masing. Negara kita adalah Negara hukum, oleh sebab itu dalam asas
kebebasan berkontrak tersebut tidak boleh mengesampingkan aturan hukum yang
berlaku. Aturan hukum tetap menjadi tonggak utama dalam menegakkan keadilan.
Aturan hukum Islam maupun aturan hukum nasional membutuhkan kejelasan
berlakunya agar tidak menimbulkan tumpang tindihnya aturan yang berlaku di
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
B.
Pembahasan
1.
Perjanjian Menurut Hukum Nasional
Hukum perikatan/perjanjian didefinisikan sebagai hukum yang
mengatur hubungan hukum antara dua orang atau lebih yang terletak dalam
lapangan harta kekayaan dimana pihak yang satu wajib berprestasi, dan pihak
lainnya berhak atas prestasi. Dengan demikian yang menjadi obyek hukum dari
suatu perikatan adalah prestasi atau pemenuhan perikatan. Dalam hukum Nasional
suatu perikatan dapat muncul atau bersumber dari dua hal, yaitu dari perjanjian
(kontrak/akad), dan dari undang-undang. Perikatan yang bersumber dari
undang-undang dibedakan menjadi dua macam yaitu perikatan yang bersumber dari
undang-undang saja, dan perikatan yang bersumber dari undang-undang yang
berkaitan dengan perbuatan manusia baik yang sesuai hukum maupun yang melawan
hukum.[2]
Asas kebebasan berkontrak dalam hukum Nasional di Indonesia
menganut asas terbuka,yang artinya hukum perjanjian memberikan kebebasan yang
seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian yang berisi apa
saja sesuai denga kehendak para pihak yang melakukan perjanjian. Asas terbuka
yang mengandung asas kebebasan berkontrak itu pada dasarnya disimpulkan dari
pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang berbunyi “semua perjanjian yang dibuat
secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.[3]
Pasal tersebut jelas, dalam perjanjian para pihak membuat hukum bagi dirinya
sendiri untuk dilaksanakan sesuai dengan asas pacta sunt servanda (Asas Kepastian
Hukum).
Sudikno Mertokusumo berpendapat bahwa ada tiga asas perjanjian
yaitu:
a.
Asas konsensualisme, yakni suatu persesuaian kehendak (berhubungan
dengan lahirnya suatu perjanjian);
b.
Asas kekuatan mengikat suatu perjanjian (berhubungan dengan akibat
perjanjian; dan
c.
Asas kebebasan berkontak (berhubungan dengan isi perjanjian).[4]
Hukum perjanjian memberikan kebebasan seluasluasnya kepada
masyarakat untuk mengadakan perjanjian yang berisi apa saja asalkan tidak
melanggar ketertiban umum dan kesusilaan. Pasal-pasal dalam hukum perjanjian
hanya merupakan pasal pelengkap, dalam arti boleh diabaikan manakala
dikehendaki oleh pihak-pihak yang membuat suatu perjanjian. Perjanjian
memungkinkan mengindahkan aturan-aturan yang sudah ada dengan syarat perjanjian
tersebut masih dalam koridor kewajaran dan kesepakatan antara kedua belah pihak
yang melakukan perjanjian.
Asas kebebasan berkontrak ini dalam penerapannya harus diimbangi
dan dibatasi. Oleh karena itu, dalam hukum Nasional Indonesia dikenal pula asas
konsensualitas yang disimpulkan dari pasal 1320 KUH Perdata, yang berbunyi
“Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan adanya empat syarat yaitu kesepakatan
mereka yang mengikatkan dirinya, kecakapan untuk berbuat sesuatu, dan suatu
sebab yang halal”. Dengan asas konsensualitas ini diartikan bahwa pada dasarnya
suatu perjanjian dan perikatan yang muncul, sebenarnya sudah ada sejak
tercapainya kesepakatan. Dengan kata lain perjanjian itu sudah sah apabila
kedua belah pihak sudah sepakat tentang hal-hal yang pokok dan tidak memerlukan
suatu formalitas.
Menurut Pasal 1320 KUH Perdata, suatu perjanjian itu sah harus
terpenuhi empat syarat, yaitu:
1.
Adanya kata sepakat;
2.
Kecakapan untuk membuat perjanjian;
3.
Adanya suatu hal tertentu;
4.
Adanya causa yang halal.[5]
Selain sepakat yang disetujui antara kedua belah pihak, dalam Pasal
1329 KUH Perdata menyebutkan bahwa setiap orang adalah cakap untuk membuat
suatu perjanjian dengan ketentuan oleh undang-undang tidak
ditentukan lain yaitu ditentukan sebagai orang yang tidak cakap untuk membuat
suatu perjanjian. Selanjutnya Pasal 1330 KUH Perdata menyebutkan bahwa orang
yang tidak cakap membuat perjanjian:
1. Orang yang belum dewasa,
2. Mereka yang berada di bawah
pengampuan/perwalian, dan
3. Orang perempuan/isteri dalam hal telah
ditetapkan oleh Undang-undang dan semua orang kepada siapa undangundang telah
melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.
Seperti yang telah disebutkan di atas, pasal
1338 ayat (1) KUH Perdata, dinyatakan semua perjanjian yang dibuat secara sah
berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Jadi, dalam pasal
ini terkandung 3 macam asas utama dalam perjanjian, yaitu asas kebebasan
berkontrak. Asas kebebasan berkontrak merupakan tiang dari sistem huku perdata,
khususnya hukum perikatan yang telah diatur di dalam buku III Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata tentang Perikatan. Menurut Rutten dalam Purwahid,
“hukum perdata, khususnya hukum perjanjian, seluruhnya didasarkan pada asas
kebebasan berkontrak”.[6]
Asas konsensualisme yaitu perjanjian harus
timbul adanya kesepakatan, dan asas pacta sunt servanda yang merupakan hukum
bagi para pihak yang membuat perjanjian. Asas kebebasan berkontak memberikan
wewenang seluas-luasnya kepada para pihak yang melakukan perjanjian untuk
menentukan perjanjiannya termasuk isi perjanjian tersebut dan dapat
mengesampingkan buku III KUHPer yang berperan sebagai hukum pelengkap.
Sedangkan asas konsensualisme meliputi bentuk perjanjian itu lahir atas dasar
sepakat yang dilakukan oleh kedua belah pihak dalam melakukan perjanjian.
Perjanjian yang timbul menjadi undang-undang bagi pihakpihak yang telah sepakat
melakukan perjanjian yaitu sesuai dengan asas pacta sunt-servanda.[7]
Dalam hukum Nasional suatu perikatan dapat
muncul atau bersumber dari dua hal, yaitu dari perjanjian (kontrak/akad), dan
dari undang-undang. Perikatan yang bersumber dari undang-undang dibedakan
menjadi dua macam yaitu perikatan yang bersumber dari undang-undang saja, dan
perikatan yang bersumber dari undang-undang yang berkaitan dengan perbuatan
manusia baik yang sesuai hukum maupun yang melawan hukum. Perjanjian dalam
hukum nasional diatur dalam asas-asas perjanjian yang telah tertuang di dalam
peraturan perundang-undangan.[8]
2. Hukum Perikatan
Islam
Hukum perikatan Islam merupakan seperangkat
kaedah hukum yang berasal dari bersumber dari Al-Qur'an, As-Sunnah Al-Hadits,
dan Ar-Ra'yu yaitu Ijtihad yang mengatur dua orang atau lebih yang saling
melakukan suatu perikatan. Ada dua hal yang mendasari berlakunya hukum
perikatan Islam. Yang pertama adalah dasar Akidah yang berkaitan dengan
keyakinan yang memaksa pelaksanaannya dalam melakukan bertransaksi, dan dasar
kedua adalah Syariah yang mengharamkan riba. Dalam hukum Islam, perikatan
disebut iltizam yang menurut istilah
fiqh, perikatan iltizam ini didefinisikan sebagai suatu tindakan yang meliputi
pemunculan, pemindahan, dan pelaksanaan hak.
Perikatan dalam perspektif hukum Islam sering
diidentikan para ahli dengan akad, karena sama-sama menyangkut keterlibatan
kedua belah pihak sehingga menimbulkan hak dan kewajiban atau prestasi yang
harus dipenuhi.[9]
Perikatan dalam Islam atau akad secara terminologi adalah berasal dari bahasa
Arab yaitu al-rabth yang berarti “tali atau ikatan”, al-aqdatu yang berarti
“sambungan” dan al-‘ahdu yang berarti “janji”.[10] Dapat
disimpulkan bahwa perikatan menurut Islam merupakan janji yang harus ditepati
antara kedua belah pihak yang saling melakukan perikatan atau perjanjian.
Ditekankan lagi oleh Al-Shiddieqy bahwa “akad merupakan suatu perbuatan yang
dibuat dengan sengaja oleh kedua belah pihak berasarkan kesepakatan atau
kerelaan bersama.[11]
Dalam hukum Islam, perikatan yang disebut
dengan iltizam, menurut istilah fiqh, perikatan Iltizam ini didefinisikan
sebagai suatu tindakan yang meliputi pemunculan, pemindahan, dan pelaksanaan
hak. Definisi perikatan ini sejalan dengan pengertian akad (perjanjian) dalam
arti umumnya selain juga tercakup kedalamnya pengerian tasaruf dan kehendak
pribadi. Perikatan dapat muncul dari perseorangan maupun dari dua belah pihak.
Perikatan menurut Islam dibentuk guna memberikan aturan-aturan sesuai anjuran
agama agar sejalan dengan perintah agama. Tidak menyimpang dari ajaran agama
dengan akad (perjanjian) sehingga terciptalah perikatan yang memberikan manfaat
bagi pihak-pihak yang melakukan perikatan.
Di dalam suatu peraturan tentunya berasal dari
sumbersumber yang diketahui dan dipercayai kebenarannya. Kebenaran ini
merupakan kebenaran secara koheren, korespondensi dan pragmatik yaitu kebenaran
yang diakui sejak adanya kebenaran tersebut secara turun temurun, diakui oleh
orang banyak dan dalam kenyataan kebenaran tersebut memberikan manfaat bagi
umat manusia. Dalam Islam juga memiliki sumber-sumber hukumnya tersendiri.
Sumber-sumber perikatan dalam hukum Islam meliputi akad, kehendak pribadi,
perbuatan melawan hukum, perbuatan sesuai hukum dan syari’ah. Macam-macam
sumber perikatan tersebut pada hakekatnya dapat dikelompokkan menjadi tiga
macam yaitu akad, Undang-undang atau yang disebut dengan qanun, dan kehendak
perorangan.
Dalam hukum perikatan Islam dikenal juaga asas
kebebasan berkontrak. Nilai-nilai dasar asas kebebasan berkontrak dalam hukum
Islam antara lain dapat dilihat dalam Q.S Al-Maidah (5:1), dalam hadits Nabi
yang diriwayatkan oleh Al-Tirmizi dari Abdurrahman bin Auf yang artinya “Dengan
demikian kaum Muslimin dapat memasukan syarat apapun ke dalam perjanjian mereka
dalam batas-batas ketentuan halal dan haram, serta batas-batas ketertiban umum
syari’at, dan akad tersebut wajib untuk dipenuhi”. Hadits tersebut menjelaskan bahwa
bentuk perjanjian tidak boleh mengindahkan laranganlarangan agama yang
menentukan batasan-batasan halal dan batasan-batsan haram.[12]
Dalam hukum Nasional dinyatakan bahwa
kebebasan berkontrak pada asasnya adalah bebas dalam batas-batas ketertiban
umum dan kesusilaan, maka nampak dibatasi agar tidak bertentangan dengan Kitab
Allah, atau tidak ada dalil yang mengharamkannya. Perbedaan yang muncul dari
perjanjian menurut Islam dan menurut hukum nasional adalah perilaku manusia
dalam memegang aliran kepercayaannya. Melakukan perjanjian dengan dasar hukum
nasional dengan berpegang teguh pada kepercayaan masing-masing. Berdasarkan
atas Ketuhanan Yang Maha Esa untuk menciptakan perikatan ataupun perjanjian
yang tidak melanggar hukum agama dan hukum nasional.
Beberapa asas perjanjian dalam Hukum Islam
antara lain adalah:
1. Asas Ibahah (mabda’ al-Ibahah),
2. Asas Kebebasan Beraqad (mabda’ huriyyah
atta’aqud),
3. Asas Konsensualisme (mabda’ ar-radhaiyyah),
4. Asas Janji Mengikat,
5. Asas Keseimbangan (mabda’ at-tawazun fi
almu’awadhah),
6. Asas Kemaslahatan (tidak memberatkan),
7. Asas Amanah,
8. Asas Keadilan.[13]
Asas diatas merupakan dasar dalam melakukan
perjanjian menurut hukum Islam dan merupakan panutan atau patokan dalam
melakukan suatu perjanjian untuk mencapai kesepakatan menurut Islam. Perjanjian
menurut Islam dibatasi oleh aturanaturan yang berasal dari hukum Islam.
Aturan-aturan tersebut tentunya tidak boleh diindahkan karena aturan-aturan
tersebut merupakan perintah dan larangan dari Allah SWT yang wajib hukumnya
untuk dilaksanakan. Hukum perikatan Islam merupakan hukum yang berasal dari
perintah dan larangan Allah SWT, membedakan dan memberikan batasan-batasan
antara yang haram dan yang halal dalam melakukan akad atau perjanjian.
C. Kesimpulan
Dari pembahasan mengenai berlakunya hukum
perikatan/perjanjian di Indonesia, maka dapat dirumuskan kesimpulan meliputi
berlakunya hukum perikatan menurut Islam dan hukum perjanjian menurut hukum
nasional. Hukum agama diakui oleh masyarakat sebagai aturan hukum yang sah. Hukum
nasional mempunyai kedudukan yang sama dengan hukum agama karena hukum agama
merupakan sumber hukum bagi hukum nasional di Indonesia. Hukum nasional berlaku
sebagai hukum positif yang diakui oleh masyarakat sebagai aturan hukum yang
sah. Dengan demikian antara hukum perikatan menurut Islam dan hukum perjanjian
menurut hukum nasional berlaku secara berdampingan dan berpegang teguh pada
asas-asas dalam hukum perjanjian.
Berlakunya hukum perikatan menurut Islam harus
tetap berjalan seiring sejalan dengan hukum nasional karena hukum Islam merupakan bagian dari sumber
hukum nasional. Berjalannya penegakan hukum yang seiring sejalan tersebut
tentunya tidak boleh saling tumpang tindih dalam implementasinya, dikarenakan hukum
nasional tetap memiliki peran yang sangat penting bagi terciptanya kepastian,
keadilan dan manfaat. Hukum Islam harus tetap digunakan sebagai sumber hukum
nasional, dikarenakan kehidupan sosial di Indonesia mayoritas memeluk agam
Islam, sehingga implementasi antara hukum Islam dan hukum nasional harus tetap
berdampingan seiring sejalan terutama dalam pengaturan hukum
perikatan/perjanjian.
DAFTAR PUSTAKA
Al-shiddieqy, Hasbi, Pengantar Fiqh
Mu’amalah, Jakarta: Bulan Bintang, 1974.
Anwar Syamsul, Hukum Perjanjian
Syari’ah: Studi tentang Teori Akad dalam Fikih Muamalat, Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2007.
Kuzari Achmad, Nikah Sebagai
Perikatan, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995.
Mertokusumo Sudikno, Hukum Acara
Perdata Indonesia, Yogyakarta: Liberty, 1985.
Muhammad Abdulkadir, Hukum
Perikatan, Bandung: Citra Aditiya Bakti, 1990.
Panggabean Henry P., Penyalahgunaan
Keadaan, (Misbruik van Omstandigheden) sebagai alasan (baru) untuk Pembatalan
Perjanjian (berbagai Perkembangan Hukum di Belanda), Yogyakarta: Liberty, 1999.
Syafe’i Rachmat, Fiqih Muamalah,
Bandung: Pustaka Pelajar, 2001.
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata,
Jakarta: PT. Intermasa, 2001.
---------, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,
Jakarta: Pradnya Paramita, 1995.
Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata
Dalam Sistem Hukum Nasional, Jakarta: Kencana, 2008.
[1]Wikepedia,
dalam https://id.m.wikipedia.org/wiki/perjanjian,
diakses pada 16 Okt 2018. Pkl. 00:30 wib
[4]Henry P. Panggabean, Penyalahgunaan Keadaan, (Misbruik van
Omstandigheden) sebagai alasan (baru) untuk Pembatalan Perjanjian (berbagai
Perkembangan Hukum di Belanda), (Yogyakarta: Liberty, 1999), h. 7.
[6]Purwahid
Patrik, Asas Iktikad Baik dan Kepatutan Dalam Perjanjian, (Semarang:
Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1986), h. 3.
[9]Achmad Kuzari, Nikah Sebagai Perikatan, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1995), h. 2.
[10]Rachmat Syafe’I, Fiqih Muamalah, (Bandung: Pustaka Pelajar, 2001),
h. 43.
[11]Hasbi Al-shiddieqy, Pengantar Fiqh Mu’amalah, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1974), h. 34.
[12]Hasbi Al-shiddieqy, Pengantar Fiqh Mu’amalah, h. 37.
[13]Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syari’ah : Studi tentang Teori Akad
dalam Fikih Muamalat, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), h. 92.
No comments:
Post a Comment