Monday, November 5, 2018

HUKUM PERIKATAN ISLAM DAN HUKUM PERIKATAN NASIONAL

Oleh:
Muhammad Nur Muzakki

Abstrak
Perikatan atau perjanjian merupakan kegiatan manusia dalam menjalin suatu perbuatan hukum dan menjadi hukum bagi mereka sendiri yang telah melakukan perjanjian. Hal ini dilakukan untuk melindungi hak-hak manusia dalam kehidupan sosial. Perjanjian atau kontrak adalah suatu peristiwa di mana seorang atau satu pihak berjanji kepada seorang atau pihak lain atau di mana dua orang atau dua pihak itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal (Pasal 1313 Kitab Undang-undang Hukum Perdata Indonesia). Hukum perikatan memiliki arti yang luas daripada perjanjian karena mengatur juga suatu hubungan hukum yang tidak bersumber dari persetujuan atau perjanjian.4 Hukum perikatan memungkinkan suatu perjanjian diatur oleh suatu aturan yang berlaku.
Hukum perikatan Islam merupakan seperangkat kaedah hukum yang berasal dari bersumber dari Al-Qur'an, As-Sunnah Al-Hadits, dan Ar-Ra'yu yaitu Ijtihad yang mengatur dua orang atau lebih yang saling melakukan suatu perikatan. Ada dua hal yang mendasari berlakunya hukum perikatan Islam. Yang pertama adalah dasar Akidah yang berkaitan dengan keyakinan yang memaksa pelaksanaannya dalam melakukan bertransaksi, dan dasar kedua adalah Syariah yang mengharamkan riba. Dalam hukum Islam, perikatan disebut iltizam yang menurut istilah fiqh, perikatan iltizam ini didefinisikan sebagai suatu tindakan yang meliputi pemunculan, pemindahan, dan pelaksanaan hak.

Kata Kunci: Hukum Perikatan, Perjanjian.
A.    Pendahuluan
Di dalam kehidupan sosial manusia setiap hari, memerlukan suatu bentuk interaksi guna menjalin hubungan satu manusia dengan manusia lainnya. Hubungan tersebut guna melangsungkan kehidupan yang layak yang memenuhi kebutuhan bagi individu manusia masing-masing. Di dalam hubungan tersebut membutuhkan apa yang disebut dengan perjanjian. Perjanjian ini berfungsi untuk mengikatkan diri satu sama lain untuk menjalin kesepakatan dalam memenuhi kebutuhan ekonomi masing-masing individu. Selain itu pula, perjanjian berfungsi untuk melindungi hak-hak manusia tersebut dari sikap dan perilaku yang menyimpang manusia lainnya.
Beberapa unsur-unsur dalam perikatan ataupun perjanjian antara lain:
1.      Adanya suatu hubungan hukum;
2.      Di antar dua pihak, yaitu pihak yang memiliki kewajiban (debitur) dan pihak yang memperoleh hak (kreditur);
3.      Berada di bidang hukum harta kekayaan;
4.      Tujuannya adalah prestasi.
Perikatan atau perjanjian merupakan kegiatan manusia dalam menjalin suatu perbuatan hukum dan menjadi hukum bagi mereka sendiri yang telah melakukan perjanjian. Hal ini dilakukan untuk melindungi hak-hak manusia dalam kehidupan sosial. Perjanjian atau kontrak adalah suatu peristiwa di mana seorang atau satu pihak berjanji kepada seorang atau pihak lain atau di mana dua orang atau dua pihak itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal (Pasal 1313 Kitab Undang-undang Hukum Perdata Indonesia).[1] Hukum perikatan memiliki arti yang luas daripada perjanjian karena mengatur juga suatu hubungan hukum yang tidak bersumber dari persetujuan atau perjanjian. Hukum perikatan memungkinkan suatu perjanjian diatur oleh suatu aturan yang berlaku.
Perjanjian telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1313, yaitu bahwa perjanjian atau persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Kata persetujuan tersebut merupakan terjemahan dari perkataan overeekomst dalam bahasa Belanda. Kata overeekomst tersebut lazim diterjemahkan juga dengan kata perjanjian. Jadi persetujuan dalam Pasal 1313 KUH Perdata tersebut sama artinya dengan perjanjian.
Hukum perikatan didefinisikan sebagai hukum yang mengatur hubungan hukum antara dua orang atau lebih yang terletak dalam lapangan harta kekayaan dimana pihak yang satu wajib berprestasi, dan pihak lainnya berhak atas prestasi dan berlaku pada wilayah tertentu. Dengan demikian berlakunya hukum perjanjian tersebut sesuai dengan aturan hukum yang diberlakukan pada wilayah tertentu sesuai dengan hukum yang dianutnya. Hukum tersebut berlaku di wilayah tertentu dan menjadi kesepakatan antara pihak yang telah melakukan perjanjian sebagai hukum yang berlaku bagi para pihak yang melakukan perjanjian.
Berlakunya hukum pada suatu Negara bergantung pada hukum yang berlaku pada waktu itu juga. Hukum nasional yang merupakan hukum positif merupakan hukum yang berlaku di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hukum positif bersifat memaksa, berlaku pada seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan harus ditaati dan dipatuhi oleh seluruh rakyat Indonesia. Hukum berfungsi sebagai sarana mengatur masyarakat kearah yang lebih baik, tertib, dan aman. Oleh sebab itu, hukum wajib dipatuhi oleh semua masayarakat demi terciptanya suasana yang kondusif. Pelanggaran terhdap hukum tersebut memunculkan sanksi agar menimbulkan efek jera pada pelaku kejahatan ataupun pelanggaran.
Dalam hukum perikatan di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia muncul dua aturan yang mengatur tentang perikatan menurut hukum Islam dan perjanjian menurut hukum Nasional. Permasalahan yang muncul adalah berlakunya kedua aturan hukum tersebut, baik perikatan menurut hukum Islam ataupun perikatan menurut hukum Nasional.  Dalam pembahasan yang akan kita kaji yaitu meliputi berlakunya kedua aturan hukum tersebut yaitu perikatan menurut Islam dan perjanjian menurut hukum Nasional.
Hukum perikatan Islam dan hukum perjanjian nasional memang berjalan saling beriringan. Dengan asas kebebasan berkontrak yang diatur di dalam undang-undang, maka perjanjian maupun perikatan memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada pihak yang malakukan perjanjian dalam menentukan perjanjian atau perikatan mereka masing-masing. Negara kita adalah Negara hukum, oleh sebab itu dalam asas kebebasan berkontrak tersebut tidak boleh mengesampingkan aturan hukum yang berlaku. Aturan hukum tetap menjadi tonggak utama dalam menegakkan keadilan. Aturan hukum Islam maupun aturan hukum nasional membutuhkan kejelasan berlakunya agar tidak menimbulkan tumpang tindihnya aturan yang berlaku di Negara Kesatuan Republik Indonesia.

B.     Pembahasan
1.      Perjanjian Menurut Hukum Nasional
Hukum perikatan/perjanjian didefinisikan sebagai hukum yang mengatur hubungan hukum antara dua orang atau lebih yang terletak dalam lapangan harta kekayaan dimana pihak yang satu wajib berprestasi, dan pihak lainnya berhak atas prestasi. Dengan demikian yang menjadi obyek hukum dari suatu perikatan adalah prestasi atau pemenuhan perikatan. Dalam hukum Nasional suatu perikatan dapat muncul atau bersumber dari dua hal, yaitu dari perjanjian (kontrak/akad), dan dari undang-undang. Perikatan yang bersumber dari undang-undang dibedakan menjadi dua macam yaitu perikatan yang bersumber dari undang-undang saja, dan perikatan yang bersumber dari undang-undang yang berkaitan dengan perbuatan manusia baik yang sesuai hukum maupun yang melawan hukum.[2]
Asas kebebasan berkontrak dalam hukum Nasional di Indonesia menganut asas terbuka,yang artinya hukum perjanjian memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian yang berisi apa saja sesuai denga kehendak para pihak yang melakukan perjanjian. Asas terbuka yang mengandung asas kebebasan berkontrak itu pada dasarnya disimpulkan dari pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang berbunyi “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.[3] Pasal tersebut jelas, dalam perjanjian para pihak membuat hukum bagi dirinya sendiri untuk dilaksanakan sesuai dengan asas pacta sunt servanda (Asas Kepastian Hukum).
Sudikno Mertokusumo berpendapat bahwa ada tiga asas perjanjian yaitu:
a.       Asas konsensualisme, yakni suatu persesuaian kehendak (berhubungan dengan lahirnya suatu perjanjian);
b.      Asas kekuatan mengikat suatu perjanjian (berhubungan dengan akibat perjanjian; dan
c.       Asas kebebasan berkontak (berhubungan dengan isi perjanjian).[4]
Hukum perjanjian memberikan kebebasan seluasluasnya kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian yang berisi apa saja asalkan tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan. Pasal-pasal dalam hukum perjanjian hanya merupakan pasal pelengkap, dalam arti boleh diabaikan manakala dikehendaki oleh pihak-pihak yang membuat suatu perjanjian. Perjanjian memungkinkan mengindahkan aturan-aturan yang sudah ada dengan syarat perjanjian tersebut masih dalam koridor kewajaran dan kesepakatan antara kedua belah pihak yang melakukan perjanjian.
Asas kebebasan berkontrak ini dalam penerapannya harus diimbangi dan dibatasi. Oleh karena itu, dalam hukum Nasional Indonesia dikenal pula asas konsensualitas yang disimpulkan dari pasal 1320 KUH Perdata, yang berbunyi “Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan adanya empat syarat yaitu kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya, kecakapan untuk berbuat sesuatu, dan suatu sebab yang halal”. Dengan asas konsensualitas ini diartikan bahwa pada dasarnya suatu perjanjian dan perikatan yang muncul, sebenarnya sudah ada sejak tercapainya kesepakatan. Dengan kata lain perjanjian itu sudah sah apabila kedua belah pihak sudah sepakat tentang hal-hal yang pokok dan tidak memerlukan suatu formalitas.
Menurut Pasal 1320 KUH Perdata, suatu perjanjian itu sah harus terpenuhi empat syarat, yaitu:
1.      Adanya kata sepakat;
2.      Kecakapan untuk membuat perjanjian;
3.      Adanya suatu hal tertentu;
4.      Adanya causa yang halal.[5]
Selain sepakat yang disetujui antara kedua belah pihak, dalam Pasal 1329 KUH Perdata menyebutkan bahwa setiap orang adalah cakap untuk membuat suatu perjanjian dengan ketentuan oleh undang-undang tidak ditentukan lain yaitu ditentukan sebagai orang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian. Selanjutnya Pasal 1330 KUH Perdata menyebutkan bahwa orang yang tidak cakap membuat perjanjian:
1.      Orang yang belum dewasa,
2.      Mereka yang berada di bawah pengampuan/perwalian, dan
3.      Orang perempuan/isteri dalam hal telah ditetapkan oleh Undang-undang dan semua orang kepada siapa undangundang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu. 
Seperti yang telah disebutkan di atas, pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, dinyatakan semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Jadi, dalam pasal ini terkandung 3 macam asas utama dalam perjanjian, yaitu asas kebebasan berkontrak. Asas kebebasan berkontrak merupakan tiang dari sistem huku perdata, khususnya hukum perikatan yang telah diatur di dalam buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tentang Perikatan. Menurut Rutten dalam Purwahid, “hukum perdata, khususnya hukum perjanjian, seluruhnya didasarkan pada asas kebebasan berkontrak”.[6]
Asas konsensualisme yaitu perjanjian harus timbul adanya kesepakatan, dan asas pacta sunt servanda yang merupakan hukum bagi para pihak yang membuat perjanjian. Asas kebebasan berkontak memberikan wewenang seluas-luasnya kepada para pihak yang melakukan perjanjian untuk menentukan perjanjiannya termasuk isi perjanjian tersebut dan dapat mengesampingkan buku III KUHPer yang berperan sebagai hukum pelengkap. Sedangkan asas konsensualisme meliputi bentuk perjanjian itu lahir atas dasar sepakat yang dilakukan oleh kedua belah pihak dalam melakukan perjanjian. Perjanjian yang timbul menjadi undang-undang bagi pihakpihak yang telah sepakat melakukan perjanjian yaitu sesuai dengan asas pacta sunt-servanda.[7]
Dalam hukum Nasional suatu perikatan dapat muncul atau bersumber dari dua hal, yaitu dari perjanjian (kontrak/akad), dan dari undang-undang. Perikatan yang bersumber dari undang-undang dibedakan menjadi dua macam yaitu perikatan yang bersumber dari undang-undang saja, dan perikatan yang bersumber dari undang-undang yang berkaitan dengan perbuatan manusia baik yang sesuai hukum maupun yang melawan hukum. Perjanjian dalam hukum nasional diatur dalam asas-asas perjanjian yang telah tertuang di dalam peraturan perundang-undangan.[8]

2.      Hukum Perikatan Islam
Hukum perikatan Islam merupakan seperangkat kaedah hukum yang berasal dari bersumber dari Al-Qur'an, As-Sunnah Al-Hadits, dan Ar-Ra'yu yaitu Ijtihad yang mengatur dua orang atau lebih yang saling melakukan suatu perikatan. Ada dua hal yang mendasari berlakunya hukum perikatan Islam. Yang pertama adalah dasar Akidah yang berkaitan dengan keyakinan yang memaksa pelaksanaannya dalam melakukan bertransaksi, dan dasar kedua adalah Syariah yang mengharamkan riba. Dalam hukum Islam, perikatan disebut iltizam yang  menurut istilah fiqh, perikatan iltizam ini didefinisikan sebagai suatu tindakan yang meliputi pemunculan, pemindahan, dan pelaksanaan hak.
Perikatan dalam perspektif hukum Islam sering diidentikan para ahli dengan akad, karena sama-sama menyangkut keterlibatan kedua belah pihak sehingga menimbulkan hak dan kewajiban atau prestasi yang harus dipenuhi.[9] Perikatan dalam Islam atau akad secara terminologi adalah berasal dari bahasa Arab yaitu al-rabth yang berarti “tali atau ikatan”, al-aqdatu yang berarti “sambungan” dan al-‘ahdu yang berarti “janji”.[10] Dapat disimpulkan bahwa perikatan menurut Islam merupakan janji yang harus ditepati antara kedua belah pihak yang saling melakukan perikatan atau perjanjian. Ditekankan lagi oleh Al-Shiddieqy bahwa “akad merupakan suatu perbuatan yang dibuat dengan sengaja oleh kedua belah pihak berasarkan kesepakatan atau kerelaan bersama.[11]
Dalam hukum Islam, perikatan yang disebut dengan iltizam, menurut istilah fiqh, perikatan Iltizam ini didefinisikan sebagai suatu tindakan yang meliputi pemunculan, pemindahan, dan pelaksanaan hak. Definisi perikatan ini sejalan dengan pengertian akad (perjanjian) dalam arti umumnya selain juga tercakup kedalamnya pengerian tasaruf dan kehendak pribadi. Perikatan dapat muncul dari perseorangan maupun dari dua belah pihak. Perikatan menurut Islam dibentuk guna memberikan aturan-aturan sesuai anjuran agama agar sejalan dengan perintah agama. Tidak menyimpang dari ajaran agama dengan akad (perjanjian) sehingga terciptalah perikatan yang memberikan manfaat bagi pihak-pihak yang melakukan perikatan.
Di dalam suatu peraturan tentunya berasal dari sumbersumber yang diketahui dan dipercayai kebenarannya. Kebenaran ini merupakan kebenaran secara koheren, korespondensi dan pragmatik yaitu kebenaran yang diakui sejak adanya kebenaran tersebut secara turun temurun, diakui oleh orang banyak dan dalam kenyataan kebenaran tersebut memberikan manfaat bagi umat manusia. Dalam Islam juga memiliki sumber-sumber hukumnya tersendiri. Sumber-sumber perikatan dalam hukum Islam meliputi akad, kehendak pribadi, perbuatan melawan hukum, perbuatan sesuai hukum dan syari’ah. Macam-macam sumber perikatan tersebut pada hakekatnya dapat dikelompokkan menjadi tiga macam yaitu akad, Undang-undang atau yang disebut dengan qanun, dan kehendak perorangan.
Dalam hukum perikatan Islam dikenal juaga asas kebebasan berkontrak. Nilai-nilai dasar asas kebebasan berkontrak dalam hukum Islam antara lain dapat dilihat dalam Q.S Al-Maidah (5:1), dalam hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Al-Tirmizi dari Abdurrahman bin Auf yang artinya “Dengan demikian kaum Muslimin dapat memasukan syarat apapun ke dalam perjanjian mereka dalam batas-batas ketentuan halal dan haram, serta batas-batas ketertiban umum syari’at, dan akad tersebut wajib untuk dipenuhi”. Hadits tersebut menjelaskan bahwa bentuk perjanjian tidak boleh mengindahkan laranganlarangan agama yang menentukan batasan-batasan halal dan batasan-batsan haram.[12]
Dalam hukum Nasional dinyatakan bahwa kebebasan berkontrak pada asasnya adalah bebas dalam batas-batas ketertiban umum dan kesusilaan, maka nampak dibatasi agar tidak bertentangan dengan Kitab Allah, atau tidak ada dalil yang mengharamkannya. Perbedaan yang muncul dari perjanjian menurut Islam dan menurut hukum nasional adalah perilaku manusia dalam memegang aliran kepercayaannya. Melakukan perjanjian dengan dasar hukum nasional dengan berpegang teguh pada kepercayaan masing-masing. Berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa untuk menciptakan perikatan ataupun perjanjian yang tidak melanggar hukum agama dan hukum nasional.
Beberapa asas perjanjian dalam Hukum Islam antara lain adalah:
1.      Asas Ibahah (mabda’ al-Ibahah),
2.      Asas Kebebasan Beraqad (mabda’ huriyyah atta’aqud),
3.      Asas Konsensualisme (mabda’ ar-radhaiyyah),
4.      Asas Janji Mengikat,
5.      Asas Keseimbangan (mabda’ at-tawazun fi almu’awadhah),
6.      Asas Kemaslahatan (tidak memberatkan),
7.      Asas Amanah,
8.      Asas Keadilan.[13]
Asas diatas merupakan dasar dalam melakukan perjanjian menurut hukum Islam dan merupakan panutan atau patokan dalam melakukan suatu perjanjian untuk mencapai kesepakatan menurut Islam. Perjanjian menurut Islam dibatasi oleh aturanaturan yang berasal dari hukum Islam. Aturan-aturan tersebut tentunya tidak boleh diindahkan karena aturan-aturan tersebut merupakan perintah dan larangan dari Allah SWT yang wajib hukumnya untuk dilaksanakan. Hukum perikatan Islam merupakan hukum yang berasal dari perintah dan larangan Allah SWT, membedakan dan memberikan batasan-batasan antara yang haram dan yang halal dalam melakukan akad atau perjanjian.

C.    Kesimpulan
Dari pembahasan mengenai berlakunya hukum perikatan/perjanjian di Indonesia, maka dapat dirumuskan kesimpulan meliputi berlakunya hukum perikatan menurut Islam dan hukum perjanjian menurut hukum nasional. Hukum agama diakui oleh masyarakat sebagai aturan hukum yang sah. Hukum nasional mempunyai kedudukan yang sama dengan hukum agama karena hukum agama merupakan sumber hukum bagi hukum nasional di Indonesia. Hukum nasional berlaku sebagai hukum positif yang diakui oleh masyarakat sebagai aturan hukum yang sah. Dengan demikian antara hukum perikatan menurut Islam dan hukum perjanjian menurut hukum nasional berlaku secara berdampingan dan berpegang teguh pada asas-asas dalam hukum perjanjian.
Berlakunya hukum perikatan menurut Islam harus tetap berjalan seiring sejalan dengan hukum nasional karena  hukum Islam merupakan bagian dari sumber hukum nasional. Berjalannya penegakan hukum yang seiring sejalan tersebut tentunya tidak boleh saling tumpang tindih dalam implementasinya, dikarenakan hukum nasional tetap memiliki peran yang sangat penting bagi terciptanya kepastian, keadilan dan manfaat. Hukum Islam harus tetap digunakan sebagai sumber hukum nasional, dikarenakan kehidupan sosial di Indonesia mayoritas memeluk agam Islam, sehingga implementasi antara hukum Islam dan hukum nasional harus tetap berdampingan seiring sejalan terutama dalam pengaturan hukum perikatan/perjanjian.



DAFTAR PUSTAKA

Al-shiddieqy, Hasbi, Pengantar Fiqh Mu’amalah, Jakarta: Bulan Bintang, 1974.
Anwar Syamsul, Hukum Perjanjian Syari’ah: Studi tentang Teori Akad dalam Fikih Muamalat, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007.
Kuzari Achmad, Nikah Sebagai Perikatan, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995.
Mertokusumo Sudikno, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta: Liberty, 1985.
Muhammad Abdulkadir, Hukum Perikatan, Bandung: Citra Aditiya Bakti, 1990.
Panggabean Henry P., Penyalahgunaan Keadaan, (Misbruik van Omstandigheden) sebagai alasan (baru) untuk Pembatalan Perjanjian (berbagai Perkembangan Hukum di Belanda), Yogyakarta: Liberty, 1999.
Syafe’i Rachmat, Fiqih Muamalah, Bandung: Pustaka Pelajar, 2001.
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta: PT. Intermasa, 2001.
 ---------, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta: Pradnya Paramita, 1995.
Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata Dalam Sistem Hukum Nasional, Jakarta: Kencana, 2008.
Wikepedia, dalam https://id.m.wikipedia.org/wiki/Perjanjian. pada 16 Okt 2018. Pkl. 00:30 wib





[1]Wikepedia, dalam https://id.m.wikipedia.org/wiki/perjanjian, diakses pada 16 Okt 2018. Pkl. 00:30 wib
[2]Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, (Bandung: Citra Aditiya Bakti, 1990), H. 78.
[3]Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1995.)
[4]Henry P. Panggabean, Penyalahgunaan Keadaan, (Misbruik van Omstandigheden) sebagai alasan (baru) untuk Pembatalan Perjanjian (berbagai Perkembangan Hukum di Belanda), (Yogyakarta: Liberty, 1999), h. 7.
[5] Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: PT. Intermasa, 2001), h. 36.
[6]Purwahid Patrik, Asas Iktikad Baik dan Kepatutan Dalam Perjanjian, (Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1986), h. 3.
[7]Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 1985), h. 97.
[8]Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata Dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta: Kencana, 2008), 221.
[9]Achmad Kuzari, Nikah Sebagai Perikatan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), h. 2.
[10]Rachmat Syafe’I, Fiqih Muamalah, (Bandung: Pustaka Pelajar, 2001), h. 43.
[11]Hasbi Al-shiddieqy, Pengantar Fiqh Mu’amalah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), h. 34.
[12]Hasbi Al-shiddieqy, Pengantar Fiqh Mu’amalah, h. 37.
[13]Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syari’ah : Studi tentang Teori Akad dalam Fikih Muamalat, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), h. 92.

No comments:

Post a Comment

Definisi Hukum Acara Pidana

MAKALAH DEFINISI HUKUM ACARA PIDANA Diajukan Sebagai Tugas Mata Kuliah Hukum Acara Pidana Program Studi Hukum Ekonomi Syari’ah (HES) Di Se...