Monday, November 5, 2018

FIQIH II (MUAMALAT) IJARAH URGENSI IJARAH DALAM PERILAKU EKONOMI MASYARAKAT

Oleh:
 M. Nur Muzakki

Abstrak

Dalam lalu lintas ekonomi, ijarah memiliki intensitas yang tinggi, baik dilakukan orang perorang, lembaga keuangan dengan orang perorang maupun lembaga keuangan dan lembaga hukum lainnya. Ijarah yang merupakan jual beli manfaat barang maupun jasa (baik jasa profesional maupun non profesional) mengharuskan adanya dua pihak yang mengikatkan diri dalam suatu diktum-diktum kesepakatan dengan tenggat taktu dan tujuan tertentu, sehingga ia memiliki syarat dan rukun sebagai parameter keabsahannya. Para pakar hukum Islam klasik dan kontemporer berkonsensus bahwa syarat ijarah adalah: Kerelaan kedua belah pihak, manfaat obyek ijarah diketahui dengan pasti, barang sewaan berspesifikasi tertentu, obyek sewaan sesuatu yang mubah, bisa diserah-terimakan, bukan suatu kewajibandan upah adalah sesuatu yang bernilai. Adapun rukunnya adalah: Dua pihak yang bertransaksi, redaksi transaksi, manfaat dan upah. Dalam kajian hukum Islam kontemporer, kajian ijarah meliputi sektor perburuhan dan perbankan dan non perbankan. Transaksi ijarah berakhir bila ada hal-hal berikut:  Adanya cacat atau kerusakan pada barang sewaan, meninggalnya salah satu pihak dan tujuan transaksi telah tercapai.


A.  Pendahuluan

Allah SWT menciptakan alam raya dengan berpasang-pasanga, ada siang ada malam, ada laki-laki ada perempuan, ada pintar ada bodoh, ada kaya ada miskin, dan seterusnya. Syari’at Islam diturunkan kepada umat Nabi Muhammad SAW sebagai pedoman hidup duniawi dan ukhrowi, salah satunya adalah ijarah yang dalam hukum perdata konvensional dan Islam dikenal dengan istilah sewa-menyewa dan upah mengupah.
Bursa lapangan kerja baik domestik, regional maupun internasional secara global diklasifikasilan pada sektor formal dan informal. Kedua sektor ini membutuhkan payung hukum untuk memediasi kedua belah pihak memperoleh rasa keadilan. Dari pihak majikan dipandang adil, bila tenaga buruh dibayar secara proporsional, baik dari sisi kapital maupun kalkulasi bebefitnya. Dan dari pihak buruh dipandang adil, bila tenaga dan ketrampilan yang dikeluarkan mendapat imbalan berupa gaji yang proporsional pula.
 Begitu pula dalam jasa sewa-menyewa, penyewa akan merasa mendapat keadilan bila barang yang disewa dengan harga tertentu dan kriteria tertentu untuk tujuan manfaat tertentu, ternyata benar adanya. Di sisi lain, pihak yang menyewakan barang baik perorangan maupun lembaga keuangan akan merada mendapat keadilan bila barang sewaannya dengan spesifikasi tertentu, mendapat upah sewa yang kompetitif dan proporsional.
 Makalah sederhana ini mencoba menyajikan tema ijarah dengan beberapa contoh kasus yang relefan untuk menjawab pertanyaan berikut:
1.        Apakah substansi transaksi ijarah dan dasar hukumnya?
2.        Bagaimana parameter suatu ijarah dipandang sah dan legal dalam aktifitas ekonomi suatu masyarakat?
3.        Bagaimana karakter dan ragam transaksi ijarah sehingga dapat memenuhi kebutuhan hukum masyarakat?
4.        Apakah faktor-faktor yang menyebabkan transaksi ijarah berakhir? 


B.  Pembahasan

1.  Pengertian Ijarah

Kata “ijarah” berasal dari bahasa Arab dari asal kata “al-ajru” yang berarti “al-iwadu” (ganti), oleh karena itu as-Sawab (pahala) dinamai ajru (upah).[1] Secara termonilogi, ijarah adalah suatu jenis akad untuk mengambil manfaat dengan jalan penggantian.[2] Berikut beberapa pendapat ulama tentang makna ijarah. Ulama Hanafiyyah mendefinisikan dengan:
عقد علي منفعة بعوض
Artinya: Transaksi terhadap suatu manfaat dengan imbalan.
Sedangkan ulama Syafi’iyyah mendefinisikan ijarah sebagai:
عقد على منفعة مقصودة معلومة مباحة قابلة للبدل والابا حة بعوض معلوم [3]
Artinya: Transaksi terhadap suatu manfaat yang dituju, tertentu, bersifat mubah dan boleh dimanfaatkan dengan imbalan tertentu.
Tetapi ulama Malikiyyah dan Hanabilah berpendapat bahwa ijarah adalah:
تمليك منافع شيء مباحة مدة معلوم بعوض
Artinya: Pemilikan manfaat sesuatu yang dibolehkan dalam waktu tertentu dengan suatu imbalan.
Dalam istilah Perbankan Syari’ah, ijarah dapat diartikan sebagai lease contract dan juga hire contract.[4] Lease contract adalah suatu lembaga keuangan menyewakan peralatan (equipment) baik dalam sebuah bangunan maupun barang-barang, seperti mesin, pesawat terbang dan lain semisalnya. Sedangkan hire contract adalah akad sewa sebagaimana dalam kajian sewa-menyewa pada hukum perdata dan hukum Islam pada umumnya.[5] Dalam praktik perbankan, akad ijarah diartikan sebagai akad yang memberikan kesempatan kepada penyewa, untuk mengambil manfaat dari barang sewaan, untuk jangka waktu tertentu dengan imbalan yang besarnya telah disepakati.[6]
Dalam kasus sewa atas tanah, ijarah atau sewa berarti nilai surplus sebidang tanah, yang tersisa setelah dikurangi dengan biaya penggarapannya. Atau dapat juga diartikan sebagai sejumlah hasil atau pembayaran, yang dibayar oleh petani atau penggarap kepada pemilik tanah.[7] Dari beberapa terminologi tersebut
diatas, dapat dipahami bahwa:
1)   Akad ijarah adalah akad atau transaksi pemindahan hak guna atas suatu barang atau jasa ketrampilan tertentu melalui pembayaran upah (sewa) secara proporsional.
2)   Akad ijarah tidak berakibat pada pemindahan kepemilikan atasbarang tertentu atau jasa ketrampilan tertentu.
3)   Akad ijarah ditentukan untuk masa tertentu dan tujuan tertentu dari barang atau jasa yang disewa.
Seseorang yang menyewakan pohon kepada orang lain dengan tujuan untuk memanfaatkan buahnya, maka tidak sah hukumnya, karena buah bukan manfaat dari suatu pohon tersebut. Demikian pula halnya bila seseorang menyewakan dua jenis mata uang (emas dan perak), makanan untuk dimakan, barang yang dapat ditakar dan ditimbang, karena jenisjenis barang tersebut tidak dapat dimanfaatkan, kecuali dengan menggunakan barang itu sendiri. [8]
Manfaat terkadang berbentuk manfaat barang, seperti rumah untuk ditempati atau mobil untuk dikendarai, bisa juga berbentuk karya, seperti karya seorang arsitek taman, pekerja bangunan, tukang mebel, tukang jahit, tukang binatu dan lain semisalnya. Orang yang menyewakan manfaat disebut muajjir (orang yang meyewakan), orang yang menyewa disebut musta’jir (orang yang menyewa). Adapun sesuatu yang diakadkan untuk diambil manfaatnya adalah ma’jur (sewaan). Sedangkan jasa yang diberikan sebagai imbalan manfaat disebut ajran atau ujrah (upah).[9]
 Manakala akad sewa menyewa telah berlangsung, maka penyewa sudah berhak untuk mengambil manfaat. Orang yang menyewakan berhak pula untuk mengambil upah, karena akad ini adalah akad mu’awadhah (penggantian).[10]

2.  Dasar Hukum Ijarah

Akad sewa menyewa ini disyariatkan berdasarkan Alqur’an, al-Sunnah dan alIjma’. Firman Allah dalam QS al-Thalaq sebagai berikut:
أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِنْ وُجْدِكُمْ وَلا تُضَارُّوهُنَّ لِتُضَيِّقُوا عَلَيْهِنَّ وَإِنْ كُنَّ أُولاتِ حَمْلٍ فَأَنْفِقُوا عَلَيْهِنَّ حَتَّى يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ وَأْتَمِرُوا بَيْنَكُمْ بِمَعْرُوفٍ وَإِنْ تَعَاسَرْتُمْ فَسَتُرْضِعُ لَهُ أُخْرَى
Artinya: Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin. Jika mereka menyusukan (anak-anak) mu, maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik dan jika kamu menemui kesulitan, maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya. (Q.S. Al-Talaq: 65: 6)
Ayat tersebut diatas menjelaskan tentang perintah memberi upah bagi para ibu yang telah diceraikan suaminya kemudian menyusui anak dari hasil perkawinan sebelumnya. Tradisi bangsa Arab pada zaman dahulu adalah menyusukan anaknya kepada orang lain, dari sini muncul istilah saudara satu susuan atau ibu susu. Sebagaimana Rasulullah SAW yang disusukan kepada Halimah al-Sa’diyah. Rasulullah SAW dalam hadis yang berasal dari Abu Hurairah bersabda:

عن أبي هريرة رضي ﷲ عنه عن النبي صل ﷲ عليه وسلم قال: قال ﷲ تعالى ثلاثة أنا خصمهم يوم القيامة رجل أعطى بي ثم غدر و رجل باع فاكل ثمنه و رجل استـأجرأجيرا فاستوفى منه و لم يعطيه أجره (رواه متفق عليه).[11]

Artinya: Dari Abi Hurairah ra, dari Rasulullah SAW bersabda: Allah SWT berfirman: Tiga golongan manusia yang menjadi musuhku dihari kiamat nanti, yaitu seseorang yang memberi kemudian ia menghianatinya dan seseorang yang menjual sesuatu tetapi ia memakan harganya dan seseorang yang menyewa seseorang untuk dipekerjakan, ia memanfaatkannya tetapi belum membayar upahnya.
Hadis di atas menjelaskan betapa Rasulullah menghargai seseorang yang telah memberikan tenaganya untuk dimanfaatkan oleh orang lain, sehingga beliau mengecam orang yang memanfaatkan tenaga pekerja dan tidak memberinya upah, dengan ancaman menjadi salah satu musuh Rasulullah SAWdi hari akhir kelak.
  Fuqaha mengutip hadis Rasulullah SAW yang lain sebagai berikut:

قال رسول ﷲ صلى ﷲ عليه وسلم :اعطوا الأجير أجرة قبل أن يجفو عرفه (رواه ابو يعلي و ابن ماجة و الطبري و الترميذي).[12]

Artinya: Berikanlah upah (jasa) pada orang yang kamu pekerjakan sebelum kering keringat mereka.

قال رسول ﷲ صلى ﷲ عليه وسلم : كنا نكرى الأرض بما على السوافى من الزرع فنهى رسول ﷲ صلى ﷲ عليه وسلم ذلك وأمرنا بذهب أو ورق (رواه مسلم).[13]

 Artinya: Rasulullah SAW bersabda: Dahulu kami menyewa tanah dengan jalan membayar dengan tanaman yang tumbuh, lalu Rasulullah SAW melarang kami cara itu dan memerintahkan kami agar membayarnya uang emas atau uang perak.
Ayat Alqur’an dan dua hadis tersebut di atas menjadi landasan konsensus fuqaha tentang kebolehan akad ijarah dan tak seorang ulama pun yang meniadakan kebolehannya. Ijarah disyariatkan berdasarkan hajat umat manusia, guna memenuhi kebutuhan hidup mereka seharihari, baik kebutuhan pokok atau kebutuhan bukan pokok lainnya yang menunjang keberlangsungan hidup umat manusia.

3.  Rukun Ijarah                                                                                                             

Kalangan Hanafiah berkesimpulan bahwa rukun ijarah terdiri dari, ijab dan qabul, tetapi menurut Jumhur fuqaha adalah aqidaini yaitu (muajjir dan musta’jir) dan shighat (ijab dan qabul) kemudian upah dan manfaat.[14]
Adapun Sayyid Sabiq berpendapat bahwa ijarah menjadi sah dengan ijab dan qabul, lafaz sewa atau yang berhubungan dengannya, serta lafaz ungkapan apa saja yang dapat menunjukkan hal tersebut. Untuk kedua pihak yang melakukan akad disyaratkan berkemampuan, yaitu keduaduanya berakal dan dapat membedakan baik dan benar. Jika salah seorang yang berakad itu gila atau anak kecil yang belum mumayyiz, maka akad tersebut menjadi tidak sah. Madzhab Imam Syafi’I menambahkan satu rukun lagi yaitu baligh, menurut mereka akad anak kecil sekalipun dapat membedakan itu tidak sah.[15]
Dari beberapa pendangapat di atas baik dari kalangan Hanafi, Syafi’i dan pendapat faqih kontemporer yang satu sama lain saling menyempurnakan, dapat disimpulkan bahwa rukun ijarah adalah:
1)   Adanya dua pihak yang bertransaksi (Muajir dan musta’jir)           
2)   Shighat transaksi ijarah
3)   Adanya manfaat dan 
4)   Adanya Upah.[16]

4.  Syarat Sah Ijarah

Syarat sah ijarah adalah sebagai berikut:
1)   Kerelaan dua belah pihak yang melakukan ijarah, untuk kedua orang yang berakad menurut ulama Syafi’iyyah dan Hanabilah, disyaratkan telah baligh dan berakal. Oleh karena itu bagi orang yang belum berakal atau tidak berakal, seperti anak kecil dan orang gila, menyewakan harta mereka atau diri mereka (sebagai buruh) menurut mereka tidak sah akad ijarahnya. Akan tetapi ulama Hanafiah dan Malikiyyah berpendapat bahwa kedua orang berakad itu tidak harus mencapai usia baligh, tetapi anak yang telah mumayyiz pun boleh melakukan akad ijarah. Namun menurut mereka apabila anak yang belum mumayyiz melakukan akad ijarah atas hartanya maka ia harus mendapat persetujuan dahulu dari walinya.[17]
2)   Mengetahui manfaat dengan sempurna barang yang akan diakadkan sehingga mencegah terjadinya perselisihan. Apabila salah seorang di antara mereka terpaksa melakukan akad itu, maka akadnya tidak sah. Hal ini berdasarkan firman Allah:
يُرِيدُ اللَّهُ لِيُبَيِّنَ لَكُمْ وَيَهْدِيَكُمْ سُنَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَيَتُوبَ عَلَيْكُمْ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. (Q.S. Al-Nisa: 4:26)
Ayat diatas menjelaskan bahwa hal yang terpenting dalam muamalah itu adalah keridaan kedua belah pihak dalam berakad.
3)   Hendaklah barang yang dapat dijadikan transaksi (akad) dapat dimanfaatkan kegunaannya menurut kriteria, realita dan Syara’. Apabila manfaat yang akan menjadi objek ijarah itu tidak jelas, maka akadnya tidak sah. Kejelasan manfaat ini dapat dilakukan dengan menjelaskan jenis manfaatnya, dan penjelasan berapa lama manfaat ditangan penyewa.
4)   Bahwa manfaat adalah hal yang mubah, bukan yang diharamkan.
5)   Obyek ijarah bisa diserahkan dan dapat dipergunkana secara langsung dan tidak cacat. Fuqaha berpendapat bahwa tidak dibolehkan menyewakan sesuatu yang tidak bisa diserahterimakan dan dimanfaatkan langsung oleh penyewa, seperti: Apabila seseorang menyewa rumah, maka ia harus menerima kunci rumah tersebut dan langsung dapat menempati rumah itu. Bila rumah tersebut masih berada pada penguasaan tanga orang lain, maka akan ijarah tersebut adalah batal.
6)   Obyek yang disewakan adalah bukan sesuatu kewajiban bagi penyewa. Misalnya menyewa seseorang untuk melaksanakan shalat wajib untuk penyewa atau menyewa orang yang belum haji menggantikan haji penyewa.
7)   Obyek ijarah adalah sesuatu yang biasa disewakan secara umum, seperti: Rumah, kendaraan, hewan ternak untuk tunggangan atau pekerjaan. Akad ijarah tidak sah terhadap kasus menyewa sebatang pohon untuk menjemur kain cucian, karena secara umum bahwa pemanfaatan pohon adalah untuk diambil kayu atau buahnya.
8)   Bahwa imbalan atau upah itu harus berbentuk harta yang mempunyai nilai jelas diketahui, baik dengan menyaksikan atau dengan menginformasikan ciri-cirinya.
9)   Fuqaha Hanafiyah menambahkan bahwa upah sewa tidak sejenis dengan manfaat yang disewa. Sebagai contoh: Fulan menyewakan rumah kepada Fulanah dan Fulanah menyewakan rumah kepada Fulan sebagai bayaran atau upahnya dengan tipe dan fasilitas rumah yang
secara garis besar adalah sama.[18]
Jumhur fuqaha berkonsensus bahwa tidak sah menyewakan barang yang dilarang karena barangnya, juga setiap manfaat yang dilarang oleh karena barangnya, juga setiap manfaat yang dilarang oleh Syara’. Seperti upah tukang meratap dan menyanyi, dan juga setiap perkara yang merupakan fardhuain bagi setiap orang berdasarkan ketentuan Syara’, seperti shalat dan sebagainya.

5.  Sifat Akad Ijarah

 Fuqaha berbeda pendapat tentang sifat akad ijarah, apakah bersifat mengikat kedua belah pihak atau tidak. Ulama Hanafiah berpendapat akad ijarah bersifat mengikat, tetapi boleh dibatalkan secara sepihak apabila terdapat uzur (halangan) dari salah satu pihak yang berakad, seperti salah satu pihak meninggal dunia atau kehilangan kecakapan dalam bertindak hukum. Jumhur fuqaha yang berpendapat bahwa akad ijarah bersifat mengikat, kecuali ada kecacatan yang menyebabkan barang tersebut tidak bisa dimanfaatkan.

6.  Macam-macam Ijarah

Apabila dilihat dari segi objeknya, fuqaha membagi akad ijarah menjadi dua macam yaitu yang bersifat manfaat dan bersifat pekerjaan (jasa). Akad ijarah yang bersifat manfaat umpamanya adalah sewa-menyewa rumah, toko, tanah, kendaraan, pakaian dan perhiasan. Apabila manfaat tersebut merupakan manfaat yang dibolehkan Syara’ untuk dipergunakan, maka fuqaha sepakat menyatakan kebolehannya untuk dijadikan objek sewa.[19]
Dalam kasus sewa atas tanah ada dua prinsip yang mendasarinya yaitu: Keadilan dan hemurahan Hati, yang merupakan penentu dasar dari sewa atas tanah. Kata “keadilan” yang dimaksud adalah sewa dibebankan kepada   petani   penggarap   sesuai dengan kemampuan mereka untuk membayar sehingga mereka merasa gembira dan puas, hal ini menjadi faktor pendorong bagi pekerja untuk bekerja sungguh-sungguh untuk meningkatkan produktivitas kerja mereka. Sedangkan maksud dari kata “kemurahan hati” adalah bahwa sewa yang hanya akan dipungut ketika yang mereka hasilkan melebihidi atas kebutuhan mereka. [20]
Akad ijarah yang bersifat pekerjaan ialah dengan cara memperkerjakan seseorang untuk melakukan suatu pekerjaan. Ijarah seperti ini menurut fuqaha hukumnya boleh apabila jenis pekerjaannya jelas, seperti buruh bangunan, tukang jahit, buruh pabrik dan lain sebagainya. Dalam praktek di dunia perbankan Islam, akad ijarah ini dibagi menjadi dua yaitu: al-Ijarah dan Ijarah muntahiyah bi al-tamlik. Akad ijarah (operational leasing) yaitu akad pemindahan guna atas barang atau jasa melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan (owner ship/milkiyyah) atas barang tersebut. Sedangkan ijarah muntahiyah bi al-tamlik (financial lease with purchase option) adalah sejenis perpaduan antara kontrak jual beli dan sewa atau lebih tepatnya akad sewa yang diakhiri dengan kepemilikan barang ditangan si penyewa, sifat kepemilikan inilah yang membedakan dengan ijarah biasa.[21]
Bank Islam yang mengoperasikan produk ijarah dapat melakukan leasing baik dalam bentuk operating leasing maupun financial lease, akan tetapi pada umumnya bank Syari’ah lebih banyak menggunakan ijarah muntahiyahbi al-tamlik, dikarenakan lebih sederhana dari sisi pembukuan, selain itu bank tidak direpotkan untuk mengurus pemeliharaan aset, baik pada saat leasing maupun sesudahnya.


7.  Berakhirnya Akad Ijarah

Akad ijarah adalah jenis akad lazim, suatu akad yang mana salahsatu pihak yang berakad tidak mempunyai hak fasakh, karena ia merupakan akad pertukaran, kecuali jika di dapati hal yang mewajibkan fasakh. Ijarah tidak menjadi fasakh dengan meninggalnya salah satu pihak yang berakad, pewaris memegang peranan warisan, apakah sebagai pihak muajjir atau musta’jir. Dan tidak menjadi fasakh dengan dijualnya barang (ain) yang disewakan untuk pihak penyewa atau lainnya, dan pembeli menerimanya jika ia bukan sebagai penyewa sesudah berakhirnya masa ijarah.
Ijarah menjadi fasakh (batal) dengan hal, sebagai berikut:
1)   Terjadi aib pada barang sewaan yang kejadiannya ditangan penyewa atau aib lama padanya.
2)   Rusaknya barang yang disewakan, seperti rumah dan binatang yang menjadi ain
3)   Terpenuhinya manfaatyang diakadkan, atau selesainya pekerjaan, atau berakhirnya masa, kecuali jika terdapat halangan syar’I yang mencegah fasakh. Seperti jika masa ijarah tanah pertanian berakhir sebelum tanaman dipanen, maka ia tetap berada ditangan penyewa sampai masa ketam berakhir.
4)   Wafatnya salah seorang yang berakad, karena akad ijarah tidak dapat diwariskan. Menurut Hanafiyah. Sedangkan Jumhur Fuqaha berpendapat bahwa akad ijarah tidak batal karena wafatnya salah satu pihak yang berakad karena manfaat bisa diwariskan dan akad ijarah sama dengan jual beli.
5)   Fuqaha Hanafiyah berpendapat bahwa: Boleh memfasakhkan ijarah, karena ada halangan syar’I sekalipun dari salah satu pihak. Seperti seseorang yang menyewa toko untuk berdagang, kemudian hartanya terbakar, atau dicuri atau dirampas atau bangkrut, maka ia berhak memfasakhkan ijarahnya.


C. Kesimpulan

Pada bagian akhir ini, akan disajikan inti sari dari paparan sebelunya yang merupakan jawaban dari beberapa pertanyaan dalam pendahuluan, sebagai berikut:
1.      Ijarah adalah salah satu bentuk transaksi dalam syari’at Islam yang intinya adalah adanya dua pihak yang menyepakati menyewakan barang atau jasa (tenaga dan atau profesionalitas) dengan imbalan tertentu. Adapun nash yang mendasarinya adalah QS. 65: 6, beberapa hadis Rasulullah SAW dan konsensus fuqaha.
2.      Suatu transaksi yang akuntabel, ijarah delengkapi piranti syarat dan rukun sebagai alat ukur apakah transaksi tersebut sah, fasakh atau batal. Adapun syaratnyaadalah: Kerelaan kedua belah pihak, manfaat obyek ijarah diketahui dengan pasti, barang sewaan berspesifikasi tertentu, obyek sewaan sesuatu yang mubah, bisa diserah-terimakan, bukan suatu kewajiban dan upah adalah sesuatu yang bernilai. Adapun rukunnya adalah: Dua pihak yang bertransaksi, redaksi transaksi, manfaat dan upah.
3.      Karakter transaksi ijarah bersifat mengikat pihak-pihak yang telah membuat kesepakatan transaksi tersebut. Adapun ragamnya adalah rental, sewa beli dan perburuhan.
4.      Transaksi ijarah dapat berakhir bila tela tercapai tujuannya atau limit tenggat waktunya, wanprestasi salah satu pihak atau meninggalnya salah satu pihak.


DAFTAR PUSTAKA


Afzalurrahman, Doktrin Ekonomi Islam, (Yogyakarta: Dana Bakti Wakaf, 1995)
Al-Bukhāri Abu Abdillah Muhammad bin Ismail, shahih al-Bukhari, (Istambul: Dar al-Sahnun, 1992)
Al-Haitamy Ali bin Abi Bakar, Majma ’az-Zawiid wamanba’ual Fawaid, (Beirut: Daral-Kutub al-Aroby, 1407H)
As-Sabiq Sayyid, Fiqh al-Sunnah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1995)
Az-Zuhaily Wahbah, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, (Beirut: Dar al-Fikr, 1997)
Antonio Muhammad Syafi’I, Bank Islam dari Teori kePraktek (Jakarta: Gema Insani, 2001)
Antonio Muhammad Syafi’I dan Karnaen Perwata atmadja, Apa dan Bagaimana Bank Islam, (Yogyakarta: Dana Bakti Prima Yasa, 1992)
Dahlan Abdul Aziz Dkk, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997)
Hornby A. S., Oxford Advenced Leaner’s Dictionary, (Oxfort: Oxfort University Press, 1998)
Harun Nasrun, Fiqih Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000)
Ma’luf Louis, Kamusal-Munjid, (Beirut: Daral-Masyrik, 1975)
Mardani, Fiqih Ekonomi Syari’ah, (Jakarta: Kencana, 2012)
Muslim Imam, Shahih Muslim: Bab Kara al-Ardh bi al-Dzahab wa al-Wariq, hadis nomer: 1548 dan 1549
Syahdeni Sutan Remy, Perbankan Islam, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1999)



[1] Louis Ma’luf, Kamus al-Munjid, (Beirut: Daral-Masyrik, 1975), hal.4
[2] Sayyid as-Sabiq, Fiqh al-Sunnah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1995), hal.144
[3] Wahbah az-Zuhaily, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, (Beirut: Dar al-Fikr, 1997), hal.3800
[4] Sutan Remy Syahdeni, Perbankan Islam, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1999), hal.70
[5] A. S. Hornby, Oxford Advenced Leaner’s Dictionary, (Oxfort: Oxfort University Press, 1998), hal589

[6] Muhammad Syafi’I Antonio dan Karnaen Perwata atmadja, Apa dan Bagaimana Bank Islam, (Yogyakarta: Dana Bakti Prima Yasa, 1992), hal.29
[7] Afzalurrahman, Doktrin Ekonomi Islam, (Yogyakarta: Dana Bakti Wakaf, 1995), hal.177
[8] Mardani, Fiqih Ekonomi Syari’ah, (Jakarta: Kencana, 2012), hal.79
[9] Sayyid as-Sabiq, Fiqh al-Sunnah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1995), hal.144
[10] Sayyid as-Sabiq, Fiqh al-Sunnah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1995), hal.144
[11] Abu Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, shahih al-Bukhari, (Istambul: Dar al-Sahnun, 1992), hal.50

[12] Ali bin Abi Bakar al-Haitamy, Majma ’az-Zawiid wamanba’ual Fawaid, (Beirut: Daral-Kutub al-Aroby, 1407H), hal.98
[13] Imam Muslim, Shahih Muslim: Bab Kara al-Ardh bi al-Dzahab wa al-Wariq, hadis nomer: 1548 dan 1549

[14] Wahbah az-Zuhaily, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, (Beirut: Dar al-Fikr, 1997), hal.3803
[15] Sayyid as-Sabiq, Fiqh al-Sunnah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1995), hal.145
[16] Abdul Aziz Dahlan Dkk, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997), hal.660

[17] Harun Nasrun, Fiqih Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000), hal.232
[18] Abdul Aziz Dahlan Dkk, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997), hal.661-662

[19] Harun Nasrun, Fiqih Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000), hal.236
[20] Afzalurrahman, Doktrin Ekonomi Islam, (Yogyakarta: Dana Bakti Wakaf, 1995), hal.178

[21] Syafi’I Antonio, Bank Islam dari Teori kePraktek (Jakarta: Gema Insani, 2001), hal.117-118

No comments:

Post a Comment

Definisi Hukum Acara Pidana

MAKALAH DEFINISI HUKUM ACARA PIDANA Diajukan Sebagai Tugas Mata Kuliah Hukum Acara Pidana Program Studi Hukum Ekonomi Syari’ah (HES) Di Se...