Oleh:
M. Nur
Muzakki
Abstrak
Dalam
lalu lintas ekonomi, ijarah memiliki intensitas yang tinggi, baik dilakukan
orang perorang, lembaga keuangan dengan orang perorang maupun lembaga keuangan
dan lembaga hukum lainnya. Ijarah yang merupakan jual beli manfaat barang
maupun jasa (baik jasa profesional maupun non profesional) mengharuskan adanya
dua pihak yang mengikatkan diri dalam suatu diktum-diktum kesepakatan dengan
tenggat taktu dan tujuan tertentu, sehingga ia memiliki syarat dan rukun
sebagai parameter keabsahannya. Para pakar hukum Islam klasik dan kontemporer
berkonsensus bahwa syarat ijarah adalah: Kerelaan kedua belah pihak, manfaat
obyek ijarah diketahui dengan pasti, barang sewaan berspesifikasi tertentu,
obyek sewaan sesuatu yang mubah, bisa diserah-terimakan, bukan suatu
kewajibandan upah adalah sesuatu yang bernilai. Adapun rukunnya adalah: Dua
pihak yang bertransaksi, redaksi transaksi, manfaat dan upah. Dalam kajian
hukum Islam kontemporer, kajian ijarah meliputi sektor perburuhan dan perbankan
dan non perbankan. Transaksi ijarah berakhir bila ada hal-hal berikut: Adanya cacat atau kerusakan pada barang
sewaan, meninggalnya salah satu pihak dan tujuan transaksi telah tercapai.
A. Pendahuluan
Allah SWT menciptakan alam raya dengan
berpasang-pasanga, ada siang ada malam, ada laki-laki ada perempuan, ada pintar
ada bodoh, ada kaya ada miskin, dan seterusnya. Syari’at Islam diturunkan
kepada umat Nabi Muhammad SAW sebagai pedoman hidup duniawi dan ukhrowi, salah
satunya adalah ijarah yang dalam
hukum perdata konvensional dan Islam dikenal dengan istilah sewa-menyewa dan
upah mengupah.
Bursa lapangan kerja baik domestik, regional
maupun internasional secara global diklasifikasilan pada sektor formal dan
informal. Kedua sektor ini membutuhkan payung hukum untuk memediasi kedua belah
pihak memperoleh rasa keadilan. Dari pihak majikan dipandang adil, bila tenaga buruh
dibayar secara proporsional, baik dari sisi kapital maupun kalkulasi
bebefitnya. Dan dari pihak buruh dipandang adil, bila tenaga dan ketrampilan
yang dikeluarkan mendapat imbalan berupa gaji yang proporsional pula.
Begitu
pula dalam jasa sewa-menyewa, penyewa akan merasa mendapat keadilan bila barang
yang disewa dengan harga tertentu dan kriteria tertentu untuk tujuan manfaat
tertentu, ternyata benar adanya. Di sisi lain, pihak yang menyewakan barang
baik perorangan maupun lembaga keuangan akan merada mendapat keadilan bila
barang sewaannya dengan spesifikasi tertentu, mendapat upah sewa yang
kompetitif dan proporsional.
Makalah
sederhana ini mencoba menyajikan tema ijarah
dengan beberapa contoh kasus yang relefan untuk menjawab pertanyaan berikut:
1.
Apakah substansi transaksi ijarah dan dasar hukumnya?
2.
Bagaimana parameter suatu ijarah dipandang sah dan legal dalam aktifitas ekonomi suatu
masyarakat?
3.
Bagaimana karakter dan ragam transaksi ijarah
sehingga dapat memenuhi kebutuhan hukum masyarakat?
4.
Apakah faktor-faktor yang menyebabkan transaksi
ijarah berakhir?
B. Pembahasan
1. Pengertian Ijarah
Kata “ijarah”
berasal dari bahasa Arab dari asal kata “al-ajru” yang berarti “al-iwadu”
(ganti), oleh karena itu as-Sawab (pahala) dinamai ajru (upah).[1]
Secara termonilogi, ijarah adalah suatu jenis akad untuk mengambil manfaat
dengan jalan penggantian.[2]
Berikut beberapa pendapat
ulama tentang makna ijarah. Ulama Hanafiyyah mendefinisikan dengan:
عقد
علي منفعة بعوض
Artinya: Transaksi terhadap suatu manfaat
dengan imbalan.
Sedangkan ulama Syafi’iyyah mendefinisikan ijarah
sebagai:
Artinya: Transaksi terhadap suatu manfaat yang
dituju, tertentu, bersifat mubah dan boleh dimanfaatkan dengan imbalan
tertentu.
Tetapi ulama Malikiyyah dan Hanabilah
berpendapat bahwa ijarah adalah:
تمليك
منافع شيء مباحة مدة معلوم بعوض
Artinya: Pemilikan manfaat sesuatu yang
dibolehkan dalam waktu tertentu dengan suatu imbalan.
Dalam istilah Perbankan Syari’ah, ijarah dapat diartikan sebagai lease contract dan juga hire contract.[4] Lease contract adalah suatu lembaga
keuangan menyewakan peralatan (equipment)
baik dalam sebuah bangunan maupun barang-barang, seperti mesin, pesawat terbang
dan lain semisalnya. Sedangkan hire
contract adalah akad sewa sebagaimana dalam kajian sewa-menyewa pada hukum
perdata dan hukum Islam pada umumnya.[5]
Dalam praktik perbankan,
akad ijarah diartikan sebagai akad yang memberikan kesempatan kepada penyewa, untuk
mengambil manfaat dari barang sewaan, untuk jangka waktu tertentu dengan
imbalan yang besarnya telah disepakati.[6]
Dalam kasus sewa atas tanah, ijarah atau sewa berarti nilai surplus sebidang tanah, yang tersisa
setelah dikurangi dengan biaya penggarapannya. Atau dapat juga diartikan
sebagai sejumlah hasil atau pembayaran, yang dibayar oleh petani atau penggarap
kepada pemilik tanah.[7]
Dari beberapa terminologi tersebut
diatas, dapat dipahami bahwa:
1) Akad ijarah adalah akad atau transaksi
pemindahan hak guna atas suatu barang atau jasa ketrampilan tertentu melalui
pembayaran upah (sewa) secara proporsional.
2) Akad
ijarah tidak berakibat pada pemindahan kepemilikan atasbarang tertentu atau jasa
ketrampilan tertentu.
3) Akad
ijarah ditentukan untuk masa tertentu dan tujuan tertentu dari barang atau jasa
yang disewa.
Seseorang yang menyewakan pohon kepada orang
lain dengan tujuan untuk memanfaatkan buahnya, maka tidak sah hukumnya, karena
buah bukan manfaat dari suatu pohon tersebut. Demikian pula halnya bila
seseorang menyewakan dua jenis mata uang (emas dan perak), makanan untuk
dimakan, barang yang dapat ditakar dan ditimbang, karena jenisjenis barang
tersebut tidak dapat dimanfaatkan, kecuali dengan menggunakan barang itu
sendiri. [8]
Manfaat terkadang berbentuk manfaat barang,
seperti rumah untuk ditempati atau mobil untuk dikendarai, bisa juga berbentuk
karya, seperti karya seorang arsitek taman, pekerja bangunan, tukang mebel,
tukang jahit, tukang binatu dan lain semisalnya. Orang yang menyewakan manfaat
disebut muajjir (orang yang
meyewakan), orang yang menyewa disebut musta’jir
(orang yang menyewa). Adapun sesuatu yang diakadkan untuk diambil
manfaatnya adalah ma’jur (sewaan). Sedangkan
jasa yang diberikan sebagai imbalan manfaat disebut ajran atau ujrah (upah).[9]
Manakala
akad sewa menyewa telah berlangsung, maka penyewa sudah berhak untuk mengambil
manfaat. Orang yang menyewakan berhak pula untuk mengambil upah, karena akad ini
adalah akad mu’awadhah (penggantian).[10]
2. Dasar Hukum Ijarah
Akad sewa menyewa ini disyariatkan berdasarkan Alqur’an, al-Sunnah dan alIjma’. Firman Allah dalam QS al-Thalaq sebagai berikut:
أَسْكِنُوهُنَّ
مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِنْ وُجْدِكُمْ وَلا تُضَارُّوهُنَّ لِتُضَيِّقُوا
عَلَيْهِنَّ وَإِنْ كُنَّ أُولاتِ حَمْلٍ فَأَنْفِقُوا عَلَيْهِنَّ حَتَّى
يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ
وَأْتَمِرُوا بَيْنَكُمْ بِمَعْرُوفٍ وَإِنْ تَعَاسَرْتُمْ فَسَتُرْضِعُ لَهُ
أُخْرَى
Artinya: Tempatkanlah mereka (para isteri) di
mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan
mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Jika mereka (isteri-isteri yang sudah
ditalaq) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga
mereka bersalin. Jika mereka menyusukan (anak-anak) mu, maka berikanlah kepada
mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan
baik dan jika kamu menemui kesulitan, maka perempuan lain boleh menyusukan
(anak itu) untuknya. (Q.S. Al-Talaq: 65: 6)
Ayat tersebut diatas menjelaskan tentang
perintah memberi upah bagi para ibu yang telah diceraikan suaminya kemudian
menyusui anak dari hasil perkawinan sebelumnya. Tradisi bangsa Arab pada zaman
dahulu adalah menyusukan anaknya kepada orang lain, dari sini muncul istilah
saudara satu susuan atau ibu susu. Sebagaimana Rasulullah SAW yang disusukan
kepada Halimah al-Sa’diyah. Rasulullah SAW dalam hadis yang berasal dari Abu
Hurairah bersabda:
عن أبي هريرة رضي ﷲ عنه عن النبي صل ﷲ عليه وسلم قال:
قال ﷲ تعالى ثلاثة أنا خصمهم يوم القيامة رجل أعطى بي ثم غدر و رجل باع فاكل ثمنه و رجل استـأجرأجيرا فاستوفى منه و لم يعطيه أجره (رواه متفق عليه).[11]
Artinya: Dari Abi Hurairah ra, dari Rasulullah
SAW bersabda: Allah SWT berfirman: Tiga golongan manusia yang menjadi musuhku
dihari kiamat nanti, yaitu seseorang yang memberi kemudian ia menghianatinya
dan seseorang yang menjual sesuatu tetapi ia memakan harganya dan seseorang
yang menyewa seseorang untuk dipekerjakan, ia memanfaatkannya tetapi belum
membayar upahnya.
Hadis di atas menjelaskan betapa Rasulullah
menghargai seseorang yang telah memberikan tenaganya untuk dimanfaatkan oleh
orang lain, sehingga beliau mengecam orang yang memanfaatkan tenaga pekerja dan
tidak memberinya upah, dengan ancaman menjadi salah satu musuh Rasulullah SAWdi
hari akhir kelak.
Fuqaha mengutip hadis Rasulullah SAW yang lain
sebagai berikut:
قال رسول ﷲ صلى ﷲ عليه وسلم :اعطوا الأجير أجرة قبل أن
يجفو عرفه (رواه ابو يعلي و ابن ماجة و الطبري و الترميذي).[12]
Artinya: Berikanlah upah (jasa) pada orang yang
kamu pekerjakan sebelum kering keringat mereka.
قال رسول ﷲ صلى ﷲ عليه وسلم : كنا نكرى الأرض بما على
السوافى من الزرع فنهى رسول ﷲ صلى ﷲ عليه وسلم ذلك وأمرنا بذهب أو ورق (رواه مسلم).[13]
Artinya:
Rasulullah SAW bersabda: Dahulu kami menyewa tanah dengan jalan membayar dengan
tanaman yang tumbuh, lalu Rasulullah SAW melarang kami cara itu dan
memerintahkan kami agar membayarnya uang emas atau uang perak.
Ayat Alqur’an dan dua hadis tersebut di atas menjadi
landasan konsensus fuqaha tentang kebolehan akad ijarah dan tak seorang ulama
pun yang meniadakan kebolehannya. Ijarah disyariatkan
berdasarkan hajat umat manusia, guna memenuhi kebutuhan hidup mereka
seharihari, baik kebutuhan pokok atau kebutuhan bukan pokok lainnya yang
menunjang keberlangsungan hidup umat manusia.
3. Rukun Ijarah
Kalangan Hanafiah berkesimpulan bahwa rukun ijarah terdiri dari, ijab
dan qabul, tetapi menurut Jumhur
fuqaha adalah aqidaini yaitu (muajjir dan musta’jir) dan shighat (ijab dan qabul) kemudian upah dan manfaat.[14]
Adapun Sayyid Sabiq berpendapat bahwa ijarah menjadi sah dengan ijab
dan qabul, lafaz sewa atau yang berhubungan dengannya, serta lafaz ungkapan apa saja yang dapat
menunjukkan hal tersebut. Untuk kedua pihak yang melakukan akad disyaratkan
berkemampuan, yaitu keduaduanya berakal dan dapat membedakan baik dan benar.
Jika salah seorang yang berakad itu gila atau anak kecil yang belum mumayyiz, maka akad tersebut menjadi
tidak sah. Madzhab Imam Syafi’I menambahkan satu rukun lagi yaitu baligh, menurut mereka akad anak kecil
sekalipun dapat membedakan itu tidak sah.[15]
Dari beberapa pendangapat di atas baik dari
kalangan Hanafi, Syafi’i dan pendapat faqih kontemporer yang satu sama lain saling
menyempurnakan, dapat disimpulkan bahwa rukun ijarah adalah:
1) Adanya
dua pihak yang bertransaksi (Muajir dan
musta’jir)
2) Shighat
transaksi ijarah
3) Adanya
manfaat dan
4) Adanya
Upah.[16]
4. Syarat Sah Ijarah
Syarat
sah ijarah adalah sebagai berikut:
1) Kerelaan
dua belah pihak yang melakukan ijarah,
untuk kedua orang yang berakad menurut ulama Syafi’iyyah dan Hanabilah, disyaratkan
telah baligh dan berakal. Oleh karena
itu bagi orang yang belum berakal atau tidak berakal, seperti anak kecil dan
orang gila, menyewakan harta mereka atau diri mereka (sebagai buruh) menurut
mereka tidak sah akad ijarahnya. Akan
tetapi ulama Hanafiah dan Malikiyyah berpendapat bahwa kedua orang
berakad itu tidak harus mencapai usia baligh,
tetapi anak yang telah mumayyiz pun
boleh melakukan akad ijarah. Namun
menurut mereka apabila anak yang belum mumayyiz
melakukan akad ijarah atas
hartanya maka ia harus mendapat persetujuan dahulu dari walinya.[17]
2) Mengetahui
manfaat dengan sempurna barang yang akan diakadkan sehingga mencegah terjadinya
perselisihan. Apabila salah seorang di antara mereka terpaksa melakukan akad
itu, maka akadnya tidak sah. Hal ini berdasarkan firman Allah:
يُرِيدُ اللَّهُ
لِيُبَيِّنَ لَكُمْ وَيَهْدِيَكُمْ سُنَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَيَتُوبَ
عَلَيْكُمْ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
Artinya: Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali
dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah
kamu membunuh dirimu Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. (Q.S.
Al-Nisa: 4:26)
Ayat
diatas menjelaskan bahwa hal yang terpenting dalam muamalah itu adalah keridaan kedua
belah pihak dalam berakad.
3) Hendaklah
barang yang dapat dijadikan transaksi (akad) dapat dimanfaatkan kegunaannya
menurut kriteria, realita dan Syara’.
Apabila manfaat yang akan menjadi objek ijarah
itu tidak jelas, maka akadnya tidak sah. Kejelasan manfaat ini dapat
dilakukan dengan menjelaskan jenis manfaatnya, dan penjelasan berapa lama
manfaat ditangan penyewa.
4) Bahwa
manfaat adalah hal yang mubah, bukan yang diharamkan.
5) Obyek
ijarah bisa diserahkan dan dapat dipergunkana secara langsung dan tidak cacat.
Fuqaha berpendapat bahwa tidak dibolehkan menyewakan sesuatu yang tidak bisa
diserahterimakan dan dimanfaatkan langsung oleh penyewa, seperti: Apabila
seseorang menyewa rumah, maka ia harus menerima kunci rumah tersebut dan
langsung dapat menempati rumah itu. Bila rumah tersebut masih berada pada
penguasaan tanga orang lain, maka akan ijarah
tersebut adalah batal.
6) Obyek
yang disewakan adalah bukan sesuatu kewajiban bagi penyewa. Misalnya menyewa
seseorang untuk melaksanakan shalat wajib untuk penyewa atau menyewa orang yang
belum haji menggantikan haji penyewa.
7) Obyek ijarah adalah sesuatu yang biasa
disewakan secara umum, seperti: Rumah, kendaraan, hewan ternak untuk tunggangan
atau pekerjaan. Akad ijarah tidak sah
terhadap kasus menyewa sebatang pohon untuk menjemur kain cucian, karena secara
umum bahwa pemanfaatan pohon adalah untuk diambil kayu atau buahnya.
8) Bahwa
imbalan atau upah itu harus berbentuk harta yang mempunyai nilai jelas
diketahui, baik dengan menyaksikan atau dengan menginformasikan ciri-cirinya.
9) Fuqaha
Hanafiyah menambahkan bahwa upah sewa tidak sejenis dengan manfaat yang disewa.
Sebagai contoh: Fulan menyewakan rumah kepada Fulanah dan Fulanah menyewakan
rumah kepada Fulan sebagai bayaran atau upahnya dengan tipe dan fasilitas rumah
yang
secara garis besar adalah sama.[18]
Jumhur
fuqaha berkonsensus bahwa tidak sah menyewakan barang yang dilarang karena
barangnya, juga setiap manfaat yang dilarang oleh karena barangnya, juga setiap
manfaat yang dilarang oleh Syara’.
Seperti upah tukang meratap dan menyanyi, dan juga setiap perkara yang
merupakan fardhuain bagi setiap orang
berdasarkan ketentuan Syara’, seperti
shalat dan sebagainya.
5. Sifat Akad Ijarah
Fuqaha
berbeda pendapat tentang sifat akad ijarah,
apakah bersifat mengikat kedua belah pihak atau tidak. Ulama Hanafiah
berpendapat akad ijarah bersifat
mengikat, tetapi boleh dibatalkan secara sepihak apabila terdapat uzur (halangan) dari salah satu pihak
yang berakad, seperti salah satu pihak meninggal dunia atau kehilangan
kecakapan dalam bertindak hukum. Jumhur
fuqaha yang berpendapat bahwa akad ijarah
bersifat mengikat, kecuali ada kecacatan yang menyebabkan barang tersebut
tidak bisa dimanfaatkan.
6. Macam-macam Ijarah
Apabila
dilihat dari segi objeknya, fuqaha membagi akad ijarah menjadi dua macam yaitu yang bersifat manfaat dan bersifat
pekerjaan (jasa). Akad ijarah yang
bersifat manfaat umpamanya adalah sewa-menyewa rumah, toko, tanah, kendaraan, pakaian
dan perhiasan. Apabila manfaat tersebut merupakan manfaat yang dibolehkan Syara’ untuk dipergunakan, maka fuqaha
sepakat menyatakan kebolehannya untuk dijadikan objek sewa.[19]
Dalam kasus sewa atas tanah ada dua prinsip
yang mendasarinya yaitu: Keadilan dan hemurahan Hati, yang merupakan penentu dasar
dari sewa atas tanah. Kata “keadilan” yang dimaksud adalah sewa dibebankan
kepada petani penggarap
sesuai dengan kemampuan mereka untuk membayar sehingga mereka merasa
gembira dan puas, hal ini menjadi faktor pendorong bagi pekerja untuk bekerja
sungguh-sungguh untuk meningkatkan produktivitas kerja mereka. Sedangkan maksud
dari kata “kemurahan hati” adalah bahwa sewa yang hanya akan dipungut ketika
yang mereka hasilkan melebihidi atas kebutuhan mereka. [20]
Akad ijarah yang bersifat pekerjaan ialah
dengan cara memperkerjakan seseorang untuk melakukan suatu pekerjaan. Ijarah seperti ini menurut fuqaha
hukumnya boleh apabila jenis pekerjaannya jelas, seperti buruh bangunan, tukang
jahit, buruh pabrik dan lain sebagainya. Dalam praktek di dunia perbankan
Islam, akad ijarah ini dibagi menjadi
dua yaitu: al-Ijarah dan Ijarah muntahiyah bi al-tamlik. Akad ijarah (operational leasing) yaitu akad pemindahan guna atas barang atau
jasa melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan (owner ship/milkiyyah) atas barang
tersebut. Sedangkan ijarah muntahiyah bi al-tamlik (financial lease with purchase option) adalah sejenis perpaduan antara
kontrak jual beli dan sewa atau lebih tepatnya akad sewa yang diakhiri dengan
kepemilikan barang ditangan si penyewa, sifat kepemilikan inilah yang
membedakan dengan ijarah biasa.[21]
Bank Islam yang mengoperasikan produk ijarah dapat melakukan leasing baik dalam bentuk operating leasing maupun financial lease, akan tetapi pada
umumnya bank Syari’ah lebih banyak menggunakan ijarah muntahiyahbi al-tamlik, dikarenakan lebih sederhana dari
sisi pembukuan, selain itu bank tidak direpotkan untuk mengurus pemeliharaan
aset, baik pada saat leasing maupun
sesudahnya.
7. Berakhirnya Akad Ijarah
Akad ijarah
adalah jenis akad lazim, suatu
akad yang mana salahsatu pihak yang berakad tidak mempunyai hak fasakh, karena ia merupakan akad
pertukaran, kecuali jika di dapati hal yang mewajibkan fasakh. Ijarah tidak menjadi fasakh
dengan meninggalnya salah satu pihak yang berakad, pewaris memegang peranan
warisan, apakah sebagai pihak muajjir atau
musta’jir. Dan tidak menjadi fasakh dengan dijualnya barang (ain) yang disewakan untuk pihak penyewa
atau lainnya, dan pembeli menerimanya jika ia bukan sebagai penyewa sesudah
berakhirnya masa ijarah.
Ijarah menjadi fasakh
(batal) dengan hal, sebagai berikut:
1) Terjadi
aib pada barang sewaan yang kejadiannya ditangan penyewa atau aib lama padanya.
2) Rusaknya
barang yang disewakan, seperti rumah dan binatang yang menjadi ain
3) Terpenuhinya
manfaatyang diakadkan, atau selesainya pekerjaan, atau berakhirnya masa,
kecuali jika terdapat halangan syar’I yang mencegah fasakh. Seperti jika masa ijarah
tanah pertanian berakhir sebelum tanaman dipanen, maka ia tetap berada
ditangan penyewa sampai masa ketam berakhir.
4) Wafatnya
salah seorang yang berakad, karena akad ijarah
tidak dapat diwariskan. Menurut Hanafiyah. Sedangkan Jumhur Fuqaha
berpendapat bahwa akad ijarah tidak
batal karena wafatnya salah satu pihak yang berakad karena manfaat bisa
diwariskan dan akad ijarah sama
dengan jual beli.
5) Fuqaha
Hanafiyah berpendapat bahwa: Boleh memfasakhkan
ijarah, karena ada halangan syar’I sekalipun dari salah satu pihak. Seperti
seseorang yang menyewa toko untuk berdagang, kemudian hartanya terbakar, atau
dicuri atau dirampas atau bangkrut, maka ia berhak memfasakhkan ijarahnya.
C. Kesimpulan
Pada bagian akhir ini, akan disajikan inti sari
dari paparan sebelunya yang merupakan jawaban dari beberapa pertanyaan dalam
pendahuluan, sebagai berikut:
1. Ijarah adalah salah satu bentuk transaksi dalam
syari’at Islam yang intinya adalah adanya dua pihak yang menyepakati menyewakan
barang atau jasa (tenaga dan atau profesionalitas) dengan imbalan tertentu.
Adapun nash yang mendasarinya adalah QS. 65: 6, beberapa hadis Rasulullah SAW
dan konsensus fuqaha.
2. Suatu
transaksi yang akuntabel, ijarah delengkapi
piranti syarat dan rukun sebagai alat ukur apakah transaksi tersebut sah,
fasakh atau batal. Adapun syaratnyaadalah: Kerelaan kedua belah pihak, manfaat
obyek ijarah diketahui dengan pasti,
barang sewaan berspesifikasi tertentu, obyek sewaan sesuatu yang mubah, bisa
diserah-terimakan, bukan suatu kewajiban dan upah adalah sesuatu yang bernilai.
Adapun rukunnya adalah: Dua pihak yang bertransaksi, redaksi transaksi, manfaat
dan upah.
3. Karakter
transaksi ijarah bersifat mengikat
pihak-pihak yang telah membuat kesepakatan transaksi tersebut. Adapun ragamnya
adalah rental, sewa beli dan perburuhan.
4. Transaksi
ijarah dapat berakhir bila tela
tercapai tujuannya atau limit tenggat waktunya, wanprestasi salah satu pihak
atau meninggalnya salah satu pihak.
DAFTAR PUSTAKA
Afzalurrahman, Doktrin Ekonomi Islam, (Yogyakarta: Dana
Bakti Wakaf, 1995)
Al-Bukhāri
Abu Abdillah Muhammad bin Ismail, shahih al-Bukhari, (Istambul: Dar
al-Sahnun, 1992)
Al-Haitamy Ali
bin Abi Bakar, Majma ’az-Zawiid
wamanba’ual Fawaid, (Beirut: Daral-Kutub al-Aroby, 1407H)
As-Sabiq Sayyid, Fiqh al-Sunnah, (Beirut: Dar al-Fikr,
1995)
Az-Zuhaily
Wahbah, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu,
(Beirut: Dar al-Fikr, 1997)
Antonio Muhammad
Syafi’I, Bank Islam dari Teori kePraktek (Jakarta:
Gema Insani, 2001)
Antonio Muhammad
Syafi’I dan Karnaen Perwata atmadja, Apa
dan Bagaimana Bank Islam, (Yogyakarta: Dana Bakti Prima Yasa, 1992)
Dahlan Abdul Aziz
Dkk, Ensiklopedi Hukum Islam,
(Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997)
Hornby A. S., Oxford Advenced Leaner’s Dictionary, (Oxfort:
Oxfort University Press, 1998)
Harun Nasrun, Fiqih Muamalah, (Jakarta: Gaya Media
Pratama, 2000)
Ma’luf Louis, Kamusal-Munjid, (Beirut: Daral-Masyrik,
1975)
Mardani, Fiqih Ekonomi Syari’ah, (Jakarta:
Kencana, 2012)
Muslim Imam, Shahih Muslim: Bab Kara al-Ardh bi al-Dzahab
wa al-Wariq, hadis nomer: 1548 dan 1549
Syahdeni Sutan
Remy, Perbankan Islam, (Jakarta:
Pustaka Utama Grafiti, 1999)
[1] Louis Ma’luf, Kamus al-Munjid, (Beirut: Daral-Masyrik, 1975), hal.4
[2] Sayyid as-Sabiq, Fiqh al-Sunnah, (Beirut: Dar al-Fikr,
1995), hal.144
[3] Wahbah az-Zuhaily, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu,
(Beirut: Dar al-Fikr, 1997), hal.3800
[4] Sutan Remy Syahdeni, Perbankan Islam, (Jakarta: Pustaka Utama
Grafiti, 1999), hal.70
[5] A. S. Hornby, Oxford Advenced Leaner’s Dictionary, (Oxfort: Oxfort University
Press, 1998), hal589
[6] Muhammad Syafi’I Antonio dan Karnaen
Perwata atmadja, Apa dan Bagaimana Bank
Islam, (Yogyakarta: Dana Bakti Prima Yasa, 1992), hal.29
[7] Afzalurrahman, Doktrin Ekonomi Islam, (Yogyakarta: Dana Bakti Wakaf, 1995),
hal.177
[10] Sayyid as-Sabiq, Fiqh al-Sunnah, (Beirut: Dar al-Fikr,
1995), hal.144
[11] Abu Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, shahih
al-Bukhari, (Istambul: Dar al-Sahnun, 1992), hal.50
[12] Ali bin Abi Bakar al-Haitamy, Majma ’az-Zawiid wamanba’ual Fawaid, (Beirut:
Daral-Kutub al-Aroby, 1407H), hal.98
[13] Imam Muslim, Shahih Muslim: Bab Kara al-Ardh bi al-Dzahab wa al-Wariq, hadis
nomer: 1548 dan 1549
[14] Wahbah az-Zuhaily, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu,
(Beirut: Dar al-Fikr, 1997), hal.3803
[15] Sayyid as-Sabiq, Fiqh al-Sunnah, (Beirut: Dar al-Fikr,
1995), hal.145
[16] Abdul Aziz Dahlan Dkk, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve,
1997), hal.660
[17] Harun Nasrun, Fiqih Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000), hal.232
[18] Abdul
Aziz Dahlan Dkk, Ensiklopedi Hukum Islam,
(Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997), hal.661-662
[19] Harun Nasrun, Fiqih Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000), hal.236
[20] Afzalurrahman, Doktrin Ekonomi Islam, (Yogyakarta: Dana Bakti Wakaf, 1995), hal.178
No comments:
Post a Comment