Oleh:
Muhammad Nur Muzakki
16.01.00.34
PRODI HUKUM
EKONOMI SYARIAH (HES)
SEKOLAH TINGGI
ILMU SYARIAH NAHDLATUL ULAMA (STISUNU)
Abstrak
Suatu
perjanjian harus dibuat berdasarkan pada syarat-syarat keabsahan perjanjian
yang telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Salah
satu syarat sahnya adalah adanya sepakat antara para pihak yang akan terikat
dalam perjanjian tersebut. Kata “sepakat” ini bukan hanya dalam ucapan saja,
namun memiliki berbagai aspek penting, yakni mengenai kehendak. Apabila
terdapat cacat kehendak, maka perjanjian tersebut dapat berakibat batal. Adapun
tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui, menganalisis dan memahami
mengenai Putusan Mahkmah Agung Republik Indonesia Nomor 472 K/ Pdt/ 2012 telah
tepat atau tidak jika dikaitkan dengan aturan Pasal 1320 dan Pasal 1321 KUHPerdata
tentang syarat keabsahan perjanjian. Jenis penelitian adalah normatif, yang
dilakukan dengan beberapa pendekatan yakni pendekatan undang undang (statute
approach) dan pendekatan kasus (case approach).
Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari bahan hukum
primer dan bahan hukum sekunder. Pengumpulan bahan hukum menggunakan teknik
studi kepustakaan dan analisis bahan hukum menggunakan teknik preskriptif.
Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa Majelis Hakim kurang dalam
penerapan hukum yakni tidak memberikan pertimbangan mengenai adanya cacat
kehendak dalam perjanjian jual beli antara Penggugat dan Tergugat serta tidak
memberikan pertimbangan bahwa perjanjian tersebut tidak sesuai dengan ketentuan
Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Dalam Putusan mahkamah Agung
Nomor 472 K/ Pdt/ 2012 tersebut terdapat pendapat berbeda (dissenting opinion)
dari sesama Hakim yang memutus perkara tersebut namun dissenting opinion
tersebut tidak digunakan dalam menjatuhkan putusan.
Kata Kunci: Perjanjian,
Cacat Kehendak, Putusan Mahkamah Agung
A.
PENDAHULUAN
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengatur mengenai syarat sah
perjanjian yang tertuang pada Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Perdata yang
menyebutkan bahwa “Perjanjian dapat dikatakan sah bila empat syarat terpenuhi
yaitu: sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, kecakapan untuk membuat suatu
perikatan, suatu hal tertentu, dan suatu sebab yang halal.” Dua syarat yang
pertama disebut sebagai syarat subyektif, karena menyangkut orang atau subyek
yang mengadakan perjanjian. Dua syarat yang kedua merupakan syarat obyektif
yang menyangkut perjanjian itu sendiri atau obyek dari perbuatan hukum yang
dilakukan. Apabila syarat subyektif tidak dipenuhi maka perjanjiannya dapat
dibatalkan, sedangkan apabila syarat obyektif tidak dipenuhi maka perjanjiannya
batal demi hukum.
Satu hal penting dalam suatu perjanjian adalah adanya kata sepakat.
Pentingnya kesepakatan dalam suatu perjanjian diatur dalam Pasal 1321 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata. Pasal tersebut menjelaskan bahwa: “Tiada sepakat
yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya
dengan paksaan atau penipuan”. Pasal tersebut menerangkan tentang kesepakatan
yang cacat. Walaupun dikatakan tiada sepakat yang sah, tetapi tidak berarti
perjanjian itu serta-merta batal karena sebenarnya telah terjadi kesepakatan,
hanya saja kesepakatan yang telah dicapai tersebut mengalami kecacatan karena
kesepakatannya terjadi karena adanya kekhilafan, paksaan atau penipuan.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengatur cacat kehendak terjadi
bilamana terjadi Paksaan (dwang), Penipuan (bedrog), Kesesatan/Kekeliruan
(dwaling). Paksaan yang dimaksud disini adalah paksaan jiwa (psychis). Yang
diancamkan harus suatu perbuatan yang terlarang. Tidak dapat dikatakan sebagai
ancaman atau paksaan bila tindakan tersebut diizinkan oleh undang-undang.
Paksaan dimungkinkan dilakukan oleh pihak ketiga.
Perjanjian yang dibuat dengan kekhilafan, paksaan ataupun penipuan
dapat dilakukan pembatalan, hal tersebut sesuai dengan aturan dalam Pasal 1449
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang mengatur bahwa: “Perikatan-perikatan
yang dibuat dengan paksaan, kekhilafan atau penipuan, menerbitkan suatu
tuntutan untuk membatalkannya.” Pasal tersebut menerangkan tentang cacat
kehendak, yaitu tentang perjanjian yang lahir dari adanya paksaan, kekhilafan
atau penipuan dapat dimintakan pembatalan.
Berdasarkan uraian diatas, penulis mengadakan penelitian terhadap
“Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 472 K/ PDT/ 2012” tentang
permohonan pembatalan perjanjian pengikatan jual-beli rumah. Kasus hukum pada
putusan tersebut bermula dari adanya gugatan yang dilayangkan ke Pengadilan
Negeri Lamongan oleh Penggugat yakni saudari Muawanah yang mengajukan
permohonan untuk membatalkan Perjanjian Pengikatan Jual Beli Nomor 225 dengan
pihak Tergugat yakni Desi Cahyaningtyas dan pihak Turut Tergugat yakni saudara
Erdi Yanto yang merupakan suami penggugat. Perjanjian tersebut dibuat dalam
keadaan tidak bebas, ada tekanan dari Tergugat dan kedua orangtuanya terhadap
Penggugat dan Turut Tergugat. Tekanan tersebut dilakukan Tergugat dengan
mendatangkan oknum Mabes Polri dan Polda yang membuat Penggugat ketakutan dan
terpaksa membuat perjanjian ke Notaris pada tanggal 23 Juni 2009. Sesuai Pasal 1321 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, perjanjian yang dibuat dengan paksaan dapat dilakukan pembatalan.
Namun berdasarkan pengakuan Tergugat, pemaksaan yang dilakukan oleh Tergugat
adalah pemaksaan yang beralasan, yakni pemaksaan tersebut dilakukan karena
Penggugat dan suaminya telah merugikan pihak Tergugat.
Berdasarkan keterangan dari para pihak, Majelis Hakim Pengadilan
Negeri Lamongan akhirnya menjatuhkan Putusan dengan menolak semua gugatan yang
diajukan Penggugat dan perjanjian pengikatan jual-beli rumah tersebut dianggap
sah. Atas dijatuhkannya putusan tersebut, Penggugat melakukan upaya banding ke
Pengadilan Tinggi Surabaya, dimana Pengadilan Tinggi Surabaya akhirnya
menguatkan putusan Pengadilan Negeri Lamongan. Penggugat yang masih tidak puas
dengan putusan tersebut akhirnya melakukan upaya hukum tingkat kasasi.
Berdasarkan memori kasasi yang diajukan Penggugat/ Pemohon Kasasi, Majelis
Hakim Mahkamah Agung tetap menolak memori kasasi yang diajukan oleh Penggugat/
Pemohon Kasasi.
Putusan yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim Mahkamah Agung tersebut
bertentangan dengan norma tertulis yang mengatur hukum perjanjian yakni Pasal
1321 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Atas dijatuhkannya putusan tersebut,
terdapat perbedaan pendapat antara Majelis Hakim. Perbedaan pendapat dalam
putusan tersebut mengungkapkan bahwa perjanjian pengikatan jual-beli rumah
tersebut dapat dibatalkan karena syarat subyektif perjanjian yang diatur dalam
Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak terpenuhi. Atas putusan
tersebut, Penulis melakukakan penelitian untuk mengetahui dasar pertimbangan
hakim dalam putusan yang dijatuhkan Mahkamah Agung tersebut.
Adapun rumusan masalah dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
Apakah Putusan Majelis Hakim Republik Indonesia Nomor 472 K/ Pdt/ 2012 telah
tepat jika dikaitkan dengan aturan Pasal 1320 dan Pasal 1321 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata tentang syarat keabsahan perjanjian, dimana putusan
tersebut menolak permohonan kasasi dari Penggugat atas gugatan permohonan
pembatalan perjanjian jual beli yang mengandung cacat kehendak, yang dibuat
dalam keadaan tidak bebas/ ada paksaan pada salah satu pihaknya.
Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui, memahami dan
menganalisis apakah Putusan yang akan diteliti telah tepat jika dikaitkan
dengan aturan Pasal 1320 dan Pasal 1321 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
tentang syarat keabsahan perjanjian, dimana putusan tersebut menolak permohonan
kasasi dari Penggugat atas gugatan permohonan pembatalan perjanjian jual beli
yang mengandung cacat kehendak, yang dibuat dalam keadaan tidak bebas/ ada
paksaan pada salah satu pihaknya.
B.
METODE
Penelitian ini menggunakan dua pendekatan penelitian, yaitu:
pertama pendekatan perundang-undangan, yakni dengan menelaah semua peraturan
perundang-undangan yang bersangkut paut dengan isu hukum yang diteliti dan
kedua yakni pendekatan kasus berkaitan dengan isu yang diteliti.
Bahan hukum primer dalam penelitian ini yaitu: pertama, Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata); kedua Putusan Mahkamah Agung Republik
Indonesia Nomor 472 K/ Pdt/ 2012; ketiga Putusan Putusan Pengadilan Tinggi
Surabaya Nomor 325/PDT/2011/PT SBY; keempat Putusan Pengadilan Negeri Lamongan
Nomor 09/PDT.G/2010/PN LMG. Sedangkan bahan hukum sekunder adalah bahan hukum
yang diperoleh dari studi pustaka yang berupa buku-buku teks dan jurnal.
Pengumpulan bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah
dengan studi kepustakaan. Teknik analisis bahan hukum yang digunakan yakni
metode preskriptif, dengan cara memberikan argumentasi hukum atas isu hukum
yang diteliti.
C.
HASIL PENELITIAN
Hasil Penelitian kasus ini bermula pada bulan Maret 2009, pihak
Termohon Kasasi yakni Desi Cahyanigtyas mengadakan perjanjian kerjasama dengan
suami dari pihak Pemohon Kasasi yakni saudara Erdi Yanto. Desi Cahyanigtyas
bekerja sama dengan Erdi untuk memberangkatkan tenaga kerja dari Indonesia ke
New Zealand. Desi Cahyaningtyas memberikan sejumlah uang kepada Erdi untuk
biaya operasional pemberangkatan tenaga kerja tersebut. Hingga Juni 2009,
pemberangkatan tenaga kerja ke New Zealand belum juga dilakukan oleh Erdi. Erdi
diketahui berada di Jakarta. Merasa ada yang tidak beres, Desi Cahyaningtyas
melaporka Erdi ke Mabes Polri atas tuduhan penipuan. Desi Cahyaningtyas meminta
Erdi mengembalikan sejumlah uang yang telah diberikan. Erdi menyatakan sanggup
mengembalikan uang Desi Cahyaningtyas dengan menjaminkan aset berupa tanah dan
rumah di Lamongan.
Desi Cahyaningtyas dan Erdi pergi ke Lamongan dengan didampingi
anggota Mabes Polri dan Polda Lamongan untuk mengecek kebenaran adanya aset
yang akan dijaminkan tersebut. Aset tersebut ternyata atas nama istri Erdi
yakni saudara Muawanah yakni pihak Pemohon Kasasi. Aset tersebut merupakan
harta bawaan Muawanah dan tidak ada kesepakatan antara Erdi dan Muawanah untuk
menjaminkan aset tersebut. Desi Cahyaningtyas meminta untuk langsung membuat
perjanjian jual-beli atas rumah yang dijaminkan tersebut di depan Notaris.
Kedatangan Desi Cahyaningtyas bersama Erdi dengan anggota Mabes Polri dan Polda
Lamongan tersebut tidak terduga oleh Muawanah. Muawanah ketakutan, ia takut
akan terjadi sesuatu pada suaminya yakni Erdi, sehingga Muawanah langsung
mengiyakan permintaan Desi Cahyaningtyas untuk membuat perjanjian di hadapan
Notaris. Timbul perjanjian jual-beli Nomor 225 tanggal 23 Juni 2009 yang dibuat
oleh Notaris/ PPAT Hj. Siti Reynar, SH.
Bulan Maret di tahun 2010, Muawanah mengajukan gugatan ke PN
Lamongan untuk memohon pembatalan perjanjian jual-beli rumah tersebut, dengan
alasan gugatan Muawanah telah mengupayakan pengembalian uang yang dibawa
suaminya yakni Erdi kepada Desi Cahyaningtyas, namun Desi Cahyaningtyas masih
melakukan tekanan kepada Muawanah. Selain itu, perjanjian jual-beli rumah yang
dibuat tahun 2009 tersebut dibuat dalam keadaan tidak bebas pada pihak Muawanah
dengan adanya tekanan yakni didatangkannya oknum Mabes Polri dan Polda.
Pengadilan Negeri Lamongan menjatuhkan putusan bahwa perjanjian
tersebut sah dan tidak dapat dibatalkan. Muawanah mengajukan banding ke
Pengadilan Tinggi Jawa Timur menguatkan putusan PN Lamongan. Muawanah
mengajukan permohonan kasasi ke Mahkamah Agung, namun permohonan kasasinya
ditolak. Dalam putusan Mahkamah Agung tersebut terdapat pendapat berbeda
(dissenting opinion) dari salah satu hakim bahwa sebenarnya perjanjian
jual-beli rumah tersebut tidak sah dan dapat dibatalkan.
Terhadap alasan penolakan kasasi Mahkamah Agung berpendapat bahwa:
pertama, Alasan tersebut tidak dapat dibenarkan, karena tidak terdapat
kekhilafan Hakim serta kesalahan dalam penerapan hukum pada putusan Judes
Facti.
D.
PEMBAHASAN
Analisis dasar pertimbangan hakim: “dalil gugatan Penggugat tidak
dapat dibuktikan, proses pembuatan perjanjian pengikatan jual beli secara sadar
telah dilakukan oleh Penggugat dan Turut Tergugat.” Sesuai ketentuan Pasal 1320
dan Pasal 1321 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Majelis Hakim berpendapat bahwa Perjanjian jual beli dilakukan
secara sadar oleh Penggugat dan Turut Tergugat, namun dalam memberikan
pertimbangan hukumnya Majelis Hakim tidak menginterpretasikan gugatan Penggugat
yang mendalilkan bahwa perjanjian jual beli tersebut dibuat dalam keadaan tidak
bebas dimana dalam proses penyelesaian sengketa antara Penggugat dan Tergugat,
Tergugat melibatkan oknum Mabes Polri dan oknum Polda yang membuat Penggugat
ketakutan dan terpaksa mengikuti kemauan Tergugat. Sesuai ketentuan syarat sah
perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,
kesepakatan yang terbentuk mengandung kehendak yang cacat sehingga perjanjian
tersebut tidak dapat dikatakan sah. Untuk sahnya suatu perjanjian, sesuai
ketentuan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, diperlukan empat syarat
yaitu: pertama, sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; kedua, kecakapan untuk
membuat suatu perikatan; ketiga, suatu hal tertentu; keempat, suatu sebab yang
halal. Persesuaian kehendak berupa kata sepakat menjadi pokok pembahasan dalam
penelitian ini.
Undang-undang tidak menjelaskan apa yang dimaksudkan dengan kata
“sepakat”. Akan tetapi, ketentuan Pasal 1321 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
menyebutkan bahwa kata “Sepakat” tidak terbentuk, yaitu jika sepakat diberikan
karena “kekhilafan atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan.” Menurut J.
Satrio, kata sepakat harus merupakan perwujudan kehendak yang bebas, tanpa
paksaan (ketakutan), kesesatan, atau penipuan. Teori Kehendak yang dikemukakan
Munir Fuady dalam bukunya menyatakan bahwa kehendak (will) adalah dasar dari
keseluruhan hukum keperdataan. Menurut teori ini, faktor yang menentukan adanya
perjanjian adalah kehendak. Suatu kehendak harus dinyatakan. Konsekuensi dari
teori ini adalah bahwa jika pernyataan dari seseorang tidak sesuai dengan
keinginannya, tidak akan terbentuk perjanjian. Dalam suatu kontrak, yang
terpenting bukan apa yang dilakukan oleh para pihak dalam kontrak tersebut,
tetapi apa yang mereka inginkan.
Penggugat dalam hal ini menyampaikan kesepakatan atas dasar paksaan
secara psikis yang dilakukan Tergugat dengan mengancam jika keinginan Tergugat
untuk membuat Perjanjian Jual Beli Nomor 225 tidak dipenuhi maka suami
Penggugat akan dimasukkan ke penjara atau dengan kata lain perkara tersebut
akan dibawa ke ranah pidana. Disini
tidak terdapat kehendak bebas di pihak Penggugat dalam terbentuknya
kesepakatan. Dalam putusan yang diteliti, ada ketidaksesuaian antara kehendak
dan pernyataan dari Penggugat dalam memberikan kesepakatan perjanjian
pengikatan jual beli rumah atas nama dirinya tersebut. Penggugat menyampaikan
pernyataan yang sebenarnya tidak diinginkannya.
Pernyataan yang tidak diinginkan tersebut timbul karena adanya paksaan
secara psikis. Dalam perkara dalam penelitian ini, Penggugat menerima paksaan
secara psikis karena Tergugat mendatangkan anggota Mabes Polri agar Penggugat
mau mengikuti kemauan Tergugat. Bila tidak, Tergugat akan memasukkan suami
Penggugat ke penjara. Perjanjian Jual-Beli tersebut tidak memenuhi unsur
sepakat pada kedua belah pihak dimana unsur sepakat ini merupakan unsur
terpenting dari lahirnya suatu perjanjian.
Analisis Dasar Pertimbangan Hakim: “Perjanjian jual-beli dianggap
sah dibuktikan dengan adanya tanda tangan yang dibubuhkan oleh Penggugat dalam
akta tersebut” sesuai ketentuan Pasal 1866, Pasal 1323, Pasal 1324, dan Pasal
1449 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Dalam memberikan pertimbangan hukumnya, Majelis Hakim berdasar pada
Pasal 1866 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tentang alat bukti tulisan pada
pembuktian perkara perdata. Dalam Akta perjanjian jual beli tersebut terdapat
tanda tangan yang dibubuhkan oleh kedua pihak dalam perjanjian yakni Penggugat daan
Tergugat. Adanya tanda tangan pada perjanjian tersebut menunjukkan bahwa adanya
kesepakatan antara para pihak yang mengadakan perjanjian, sehingga dalam
memberikan pertimbangan hukumnya Majelis Hakim berpendapat bahwa telah terjadi
kesepakatan dalam perjanjian tersebut.
Mahkamah Agung tidak mempertimbangkan fakta bahwa Penggugat tidak
ingin menjual, penandatanganan Akta dilakukan karena tekanan dan Paksaan dari
Tergugat apabila tidak bersedia maka kasus yang melibatkan suami penggugat akan
dibawa ke ranah pidana. Adanya tanda tangan dalam Perjanjian Jual-Beli tersebut
menunjukkan bahwa salah satu Pihak yakni Penggugat menyatakan pernyataan yang
sebenarnya tidak diinginkan. Dalam hasil penelitian, terungkap bahwa perjanjian
tersebut tidak dibuat dalam keadaan bebas dengan adanya tekanan dari Tergugat
kepada Penggugat untuk mengikuti kemauan Tergugat membawa sertifikat rumah ke
Notaris untuk segera melakukan perjanjian jual beli.
Pasal 1321 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengatur bahwa: “Tiada
sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau
diperolehnya dengan paksaan atau penipuan.” Tanda tangan yang menjadi wujud
kesepakatan diberikan dengan paksaan sehingga menimbulkan perjanjian yang tidak
sah.
Pernyataan yang tidak diinginkan terjadi akibat adanya pakaaan
meupun tekanan yang dilakukan pihak Tergugat dengan mendatangkan anggota Mabes
Polri dalam proses pembuatan perjanjian tersebut. Paksaan maupun tekanan
tersebut menimbulkan adanya cacat pada kehendak yang dapat berakibat pada
batalya perjanjian. Paksaan yang dapat membatalkan perjanjian dapat terjadi
karena paksaan secara fisik ataupun psikis. Paksaan secara psikis dilakukan
dengan mengancam atau menakut-nakuti seseorang untuk melakukan sesuatu. Dalam
hal adanya paksaan, maka tidak terjadi kesepakatan akibat adanya kehendak yang
cacat.
Keadaan dan kodrat manusia juga menjadi pertimbangan adanya unsur
paksaan. Dalam perkara ini, Penggugat yang merupakan seorang wanita mengalami
tekanan dan merasa ketakutan akan keselamatan suaminya. Menurut J. Satrio, pada
manusia terdapat pembawaan umum alami, bahwa orang laki-laki lebih berani
menghadapi bahaya daripada wanita. Karenanya Pasal 1326 ayat (2) Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata mempertimbangkan faktor usia, kelamin, dan kedudukan
seseorang untuk dipertimbangkan.
Selain unsur Paksaan, adanya unsur Kesesatan dalam pembentukan
kesepakatan juga menimbulkan cacat kehendak yang menimbulkan perjanjian yang
tidak sah. Kesesatan yang menjadi penyebab cacatnya kehendak dalam perjanjian
jual beli tersebut termasuk dalam kategori Kesesatan yang sebenarnya (Eigelijke
Dwaling). Pada kesesatan yang sebenarnya, kehendak dan pernyataannya sama/
sesuai, karena disini memang ada kehendak dan pernyataannya sama dengan
kehendaknya, namun kehendak tersebut terpengaruh oleh keadaan yang tidak benar.
Dalam perjanjian jual beli tersebut terdapat kata sepakat yang lahir karena ada
yang sesat.
Tanda tangan yang dibubuhkan Penggugat dalam Perjanjian jual beli
tersebut merupakan hasil dari kehendak yang sesat dipaksakan sehingga
ksepakatan yang terbentuk bukanlah kesepakatan yang bebas dan murni sehingga
perjanjian seharusnya dapat dibatalkan. Batalnya suatu perjanjian dapat
dilakukan apabila perjanjian tidak memenuhi syarat subyektif dari sah nya suatu
perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,
yakni syarat sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.
Analisis dasar pertimbangan hakim: “permohonan kasasi yang diajukan
oleh Pemohon tidak didukung oleh bukti yang mendukung permohonan kasasi.”
sesuai ketentuan Pasal 1866 dan Pasal 1923 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Dalam memberikan pertimbangan hukum, Mahkamah Agung berpendapat
bahwa permohonan kasasi tidak dikuatkan bukti yang mendukung permohonan kasasi
tersebut, sehingga dalil gugatan tidak terbukti. Mahkamah Agung tidak
memberikan pertimbangannya mengenai terungkapnya fakta di persidangan bahwa
telah jelas Penggugat tidak ingin menjual rumah atas nama Penggugat tersebut,
penandatanganan Akta dilakukan karena tekanan dan paksaan dari Tergugat yang
mendatangkan anggota Mabes Polri dalam proses pembuatan Akta tersebut, apabila
tidak bersedia maka kasus tersebut akan dibawa ke ranah pidana. Hal tersebut
dibuktikani dari pengakuan Tergugat sendiri yang mendatangkan anggota Mabes
Polri, juga terbukti dari Pengakuan Saksi Tergugat yaitu kesaksian Deny Nurul
Fuad.
Alat bukti dalam acara perdata diatur secara enueratif dalam Pasal
1866 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pasal 164 Herziene Inlandsch Reglement
(HIR), yang terdiri dari bukti tulisan, bukti dengan saksi, persangkaan,
pengakuan dan sumpah.
Didatangkannya anggota Mabes Polri yang secara tidak langsung
menjadi tekanan bagi Penggugat dalam menyakana kesepakatannya dibuktikan dengan
keteragan dari saksi Deny Nurul Fuad yang menyatakan bahwa ia membenarkan
perkataan Tergugat yang menyatakan bahwa jika Penggugat tidak bersedia menjual
dan menandatangani akta perjanjian jual beli maka suami Penggugat (akan
dimasukkan ke penjara. Pembuktian dalam hukum acara perdata tidak selamanya
harus dengan bukti tertulis. Mengenai perkara permohonan perjanjian yang
mengandung cacat kehendak, Penggugat tidak dapat membuktikan dalil gugatannya
dengan alat bukti tertulis karena berkaitan dengan pembentukan kesepakatan
yakni satu kehendak tidak tertulis. Majelis Hakim Mahkamah Agung dalam
menjatuhkan putusan seharusnya mempertimbangkan kehendak yang cacat tersebut,
tidak hanya mempertimbangkan alat bukti tertulis dari Tergugat yang mematahkan
dalil gugatan Penggugat, sehingga tercipta keadilan bagi para pihak dalam
perkara tersebut.
Selain alat bukti saksi yang mengungkap bahwa Perjanjian jaul-beli
tersebut dibuat dalam keadaan tidak bebas untuk menentukan kehendaknya, dalam
persidangan terdapat Pengakuan yang dinyatakan oleh Tergugat mengenai
didatangkannya anggota Mabes Polri dalam pembuatan perjanjian tersebut.
Herziene Inlandsch Reglement (HIR) mengatur bahwa Pengakuan merupakan salah
satu alat bukti yang mempunyai kekuatan hukum dalam hukum acara perdata.
Majelis Hakim Mahkamah Agung dalam putusan yang dilakukan pnelitian
juga tidak menerapkan hukum sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 1321 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengatur bahwa: “Tiada sepakat
yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya
dengan paksaan atau penipuan.” Pendapat penulis disini berpihak pada pendapat
berbeda (dissenting opinion) dari Hakim Agung yang memeriksa dan memutus
perkara ini,
Hakim Pembaca I yakni Syamsul Ma’arif, S.H., L.L.M., Ph.D mendasarkan
pendapatnya pada ketentuan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata atas
dasar akta perjanjian jual beli Nomor 225 tersebut tidak memenuhi salah satu
syarat sahnya perjanjian dan terdapat cacat dalam persamaan kehendak diantara
pihak-pihaknya sehingga perjanjian dapat dibatalkan. Batalnya suatu perjanjian
dapat dilakukan apabila perjanjian tidak memenuhi syarat subyektif dari sah nya
suatu perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata. Terbentuknya kesepakatan dalam suatu perjanjian berkaitan erat dengan
adanya cacat kehendak dalam perjanjian yakni adanya unsur kesesatan, paksaan,
penipuan, maupun penyalahgunaan kehendak.
Majelis Hakim dalam menjatuhkan putusan dalam suatu perkara
hendaknya menerapkan aturan yang berlaku secara tepat. Dalam perkara ini, Majelis
Hakim hanya mempertimbangkan kerugian yang dialami Tergugat dan tidak
mempertimbangkan adanya kesepakatan yang cacat dari Penggugat selaku pemilik
Sertifikat Rumah Asli yang dijadikan jaminan.
Menurut penulis, Majelis Hakim dalam menjatuhkan putusan seharusnya
didasarkan pada ketentuan Pasal 1320 dan Pasal 1321 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata tentang syarat sahnya perjanjian. Hal tersebut sesuai dengan perkara
yang sedang ditangani yakni mengenai tidak terpenuhinya syarat subyektif
perjanjian. Atas adanya cacat kehendak dalam perjanjian tersebut seharusnya
Majelis Hakim dapat memutus seadil-adilnya dengan mempertimbangkan semua fakta
yang terungkap di persidangan sehingga tercapai nilai keadilan bagi para
pihaknya.
E.
PENUTUP
1.
Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 472 K/ Pdt/
2012 tidak sesuai jika dikaitkan dengan ketentuan dalam KUHPerdata serta
teori-teori yang dikemukakan para sarjana hukum terkait cacat kehendak dalam
perjanjian. Hal tersebut disebabkan karena Majelis Hakim Mahkamah Agung dalam
menjatuhkan putusannya tidak mempertimbangkan fakta yang terungkap di
persidangan bahwa terdapat adanya paksaan yang dilakukan pada Penggugat yakni
Muawanah dalam melakukan perjanjian yakni Perjanjian Pengikatan Jual-Beli Nomor
225 tanggal 23 Juni 2009.
Alasan penolakan kasasi yang diajukan oleh Majelis Hakim Mahkamah
Agung dinilai kurang dalam menerapkan hukum karena Majelis Hakim tidak
mendasarkan pada ketentuan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tentang
syarat sahnya perjanjian, Pasal 1321 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tentang
tidak dapat dikatakannya sepakat yang sah apabila kesepakatan tersebut
diperoleh dengan paksaan atau ancaman, serta Pasal 1323 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata tentang paksaan sebagai alasan dapat dibatalkannya perjanjian.
Pendapat berbeda yang terdapat dalam Putusan yang dilakukan
peneitian tidak membawa akibat positif pada Penggugat yakni Mu’awanah karena
Majelis Hakim mengambil suara terbanyak saat menjatuhkan putusan dimana
dissenting opinion tersebut pada akhirnya tidak digunakan dalam penjatuhan
putusan sehingga perjanjian yang mengandung cacat kehendak tersebut tetap
dianggap sah.
2.
Saran
Majelis Hakim Mahkamah Agung seharusnya lebih cermat dan teliti
dalam mempertimbangkan permohonan kasasi yang diajukan oleh Penggugat/ Pemohon
Kasasi serta menerapkan hukum sesuai dengan aturan yang ada dalam hal ini
adalah Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Majelis Hakim seharusnya juga lebih
mempertimbangkan dissenting opinion yang dikemukakan salah satu anggota Majelis
Hakim karena ada kemungkinan bahwa dissenting opinion yang dikemukakan tersebut
justru merupakan pendapat yang benar dalam penerapan hukum serta memberikan keadilan
bagi para pihaknya.
DAFTAR
PUSTAKA
Badrulzaman, Mariam
Darus. 2001. Kompilasi Hukum Perikatan.
Bandung: Citra Aditya Bakti.
Fuady, Munir. 2007. Hukum Kontrak (Dari Sudut
Pandang Hukum Bisnis). Bandung: Citra Aditya Bakti.
Harahap, Yahya. 2005. Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan,
Pembuktian, dan Putusan Pengadilan). Jakarta: Sinar Grafika
Sejono dan
Abdurrahman. 2003. Metode
Penelitian Hukum. Jakarta: Rineka
Cipta.
Prodjodikoro,
Wirjono. Azas-Azas Hukum Perjanjian. Bandung: CV. Mandar Maju.
Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata (Burgerlijk Wetboek)
https://putusan.mahkamahagung.go.id/putusan/7bc1fce6188c73d04eb2c0fd1372f2fe
Diakses hari Jumat, 29-Desember-2017, pada jam 02:00
No comments:
Post a Comment