Monday, November 5, 2018

CACAT KEHENDAK DALAM PERJANJIAN JUAL-BELI (Analisis Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 472 K/ PDT/ 2012)

Oleh:
Muhammad Nur Muzakki
16.01.00.34

PRODI HUKUM EKONOMI SYARIAH (HES)
SEKOLAH TINGGI ILMU SYARIAH NAHDLATUL ULAMA (STISUNU)

Abstrak
Suatu perjanjian harus dibuat berdasarkan pada syarat-syarat keabsahan perjanjian yang telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Salah satu syarat sahnya adalah adanya sepakat antara para pihak yang akan terikat dalam perjanjian tersebut. Kata “sepakat” ini bukan hanya dalam ucapan saja, namun memiliki berbagai aspek penting, yakni mengenai kehendak. Apabila terdapat cacat kehendak, maka perjanjian tersebut dapat berakibat batal. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui, menganalisis dan memahami mengenai Putusan Mahkmah Agung Republik Indonesia Nomor 472 K/ Pdt/ 2012 telah tepat atau tidak jika dikaitkan dengan aturan Pasal 1320 dan Pasal 1321 KUHPerdata tentang syarat keabsahan perjanjian. Jenis penelitian adalah normatif, yang dilakukan dengan beberapa pendekatan yakni pendekatan undang undang (statute approach) dan pendekatan kasus (case approach).  Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Pengumpulan bahan hukum menggunakan teknik studi kepustakaan dan analisis bahan hukum menggunakan teknik preskriptif. Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa Majelis Hakim kurang dalam penerapan hukum yakni tidak memberikan pertimbangan mengenai adanya cacat kehendak dalam perjanjian jual beli antara Penggugat dan Tergugat serta tidak memberikan pertimbangan bahwa perjanjian tersebut tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Dalam Putusan mahkamah Agung Nomor 472 K/ Pdt/ 2012 tersebut terdapat pendapat berbeda (dissenting opinion) dari sesama Hakim yang memutus perkara tersebut namun dissenting opinion tersebut tidak digunakan dalam menjatuhkan putusan.

Kata Kunci: Perjanjian, Cacat Kehendak, Putusan Mahkamah Agung


A.    PENDAHULUAN
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengatur mengenai syarat sah perjanjian yang tertuang pada Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Perdata yang menyebutkan bahwa “Perjanjian dapat dikatakan sah bila empat syarat terpenuhi yaitu: sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, kecakapan untuk membuat suatu perikatan, suatu hal tertentu, dan suatu sebab yang halal.” Dua syarat yang pertama disebut sebagai syarat subyektif, karena menyangkut orang atau subyek yang mengadakan perjanjian. Dua syarat yang kedua merupakan syarat obyektif yang menyangkut perjanjian itu sendiri atau obyek dari perbuatan hukum yang dilakukan. Apabila syarat subyektif tidak dipenuhi maka perjanjiannya dapat dibatalkan, sedangkan apabila syarat obyektif tidak dipenuhi maka perjanjiannya batal demi hukum.
Satu hal penting dalam suatu perjanjian adalah adanya kata sepakat. Pentingnya kesepakatan dalam suatu perjanjian diatur dalam Pasal 1321 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Pasal tersebut menjelaskan bahwa: “Tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan”. Pasal tersebut menerangkan tentang kesepakatan yang cacat. Walaupun dikatakan tiada sepakat yang sah, tetapi tidak berarti perjanjian itu serta-merta batal karena sebenarnya telah terjadi kesepakatan, hanya saja kesepakatan yang telah dicapai tersebut mengalami kecacatan karena kesepakatannya terjadi karena adanya kekhilafan, paksaan atau penipuan.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengatur cacat kehendak terjadi bilamana terjadi Paksaan (dwang), Penipuan (bedrog), Kesesatan/Kekeliruan (dwaling). Paksaan yang dimaksud disini adalah paksaan jiwa (psychis). Yang diancamkan harus suatu perbuatan yang terlarang. Tidak dapat dikatakan sebagai ancaman atau paksaan bila tindakan tersebut diizinkan oleh undang-undang. Paksaan dimungkinkan dilakukan oleh pihak ketiga.
Perjanjian yang dibuat dengan kekhilafan, paksaan ataupun penipuan dapat dilakukan pembatalan, hal tersebut sesuai dengan aturan dalam Pasal 1449 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang mengatur bahwa: “Perikatan-perikatan yang dibuat dengan paksaan, kekhilafan atau penipuan, menerbitkan suatu tuntutan untuk membatalkannya.” Pasal tersebut menerangkan tentang cacat kehendak, yaitu tentang perjanjian yang lahir dari adanya paksaan, kekhilafan atau penipuan dapat dimintakan pembatalan.
Berdasarkan uraian diatas, penulis mengadakan penelitian terhadap “Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 472 K/ PDT/ 2012” tentang permohonan pembatalan perjanjian pengikatan jual-beli rumah. Kasus hukum pada putusan tersebut bermula dari adanya gugatan yang dilayangkan ke Pengadilan Negeri Lamongan oleh Penggugat yakni saudari Muawanah yang mengajukan permohonan untuk membatalkan Perjanjian Pengikatan Jual Beli Nomor 225 dengan pihak Tergugat yakni Desi Cahyaningtyas dan pihak Turut Tergugat yakni saudara Erdi Yanto yang merupakan suami penggugat. Perjanjian tersebut dibuat dalam keadaan tidak bebas, ada tekanan dari Tergugat dan kedua orangtuanya terhadap Penggugat dan Turut Tergugat. Tekanan tersebut dilakukan Tergugat dengan mendatangkan oknum Mabes Polri dan Polda yang membuat Penggugat ketakutan dan terpaksa membuat perjanjian ke Notaris pada tanggal 23 Juni 2009.  Sesuai Pasal 1321 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, perjanjian yang dibuat dengan paksaan dapat dilakukan pembatalan. Namun berdasarkan pengakuan Tergugat, pemaksaan yang dilakukan oleh Tergugat adalah pemaksaan yang beralasan, yakni pemaksaan tersebut dilakukan karena Penggugat dan suaminya telah merugikan pihak Tergugat.
Berdasarkan keterangan dari para pihak, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Lamongan akhirnya menjatuhkan Putusan dengan menolak semua gugatan yang diajukan Penggugat dan perjanjian pengikatan jual-beli rumah tersebut dianggap sah. Atas dijatuhkannya putusan tersebut, Penggugat melakukan upaya banding ke Pengadilan Tinggi Surabaya, dimana Pengadilan Tinggi Surabaya akhirnya menguatkan putusan Pengadilan Negeri Lamongan. Penggugat yang masih tidak puas dengan putusan tersebut akhirnya melakukan upaya hukum tingkat kasasi. Berdasarkan memori kasasi yang diajukan Penggugat/ Pemohon Kasasi, Majelis Hakim Mahkamah Agung tetap menolak memori kasasi yang diajukan oleh Penggugat/ Pemohon Kasasi.
Putusan yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim Mahkamah Agung tersebut bertentangan dengan norma tertulis yang mengatur hukum perjanjian yakni Pasal 1321 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Atas dijatuhkannya putusan tersebut, terdapat perbedaan pendapat antara Majelis Hakim. Perbedaan pendapat dalam putusan tersebut mengungkapkan bahwa perjanjian pengikatan jual-beli rumah tersebut dapat dibatalkan karena syarat subyektif perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak terpenuhi. Atas putusan tersebut, Penulis melakukakan penelitian untuk mengetahui dasar pertimbangan hakim dalam putusan yang dijatuhkan Mahkamah Agung tersebut.
Adapun rumusan masalah dari penelitian ini adalah sebagai berikut: Apakah Putusan Majelis Hakim Republik Indonesia Nomor 472 K/ Pdt/ 2012 telah tepat jika dikaitkan dengan aturan Pasal 1320 dan Pasal 1321 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tentang syarat keabsahan perjanjian, dimana putusan tersebut menolak permohonan kasasi dari Penggugat atas gugatan permohonan pembatalan perjanjian jual beli yang mengandung cacat kehendak, yang dibuat dalam keadaan tidak bebas/ ada paksaan pada salah satu pihaknya.
Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui, memahami dan menganalisis apakah Putusan yang akan diteliti telah tepat jika dikaitkan dengan aturan Pasal 1320 dan Pasal 1321 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tentang syarat keabsahan perjanjian, dimana putusan tersebut menolak permohonan kasasi dari Penggugat atas gugatan permohonan pembatalan perjanjian jual beli yang mengandung cacat kehendak, yang dibuat dalam keadaan tidak bebas/ ada paksaan pada salah satu pihaknya.


B.     METODE
Penelitian ini menggunakan dua pendekatan penelitian, yaitu: pertama pendekatan perundang-undangan, yakni dengan menelaah semua peraturan perundang-undangan yang bersangkut paut dengan isu hukum yang diteliti dan kedua yakni pendekatan kasus berkaitan dengan isu yang diteliti.
Bahan hukum primer dalam penelitian ini yaitu: pertama, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata); kedua Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 472 K/ Pdt/ 2012; ketiga Putusan Putusan Pengadilan Tinggi Surabaya Nomor 325/PDT/2011/PT SBY; keempat Putusan Pengadilan Negeri Lamongan Nomor 09/PDT.G/2010/PN LMG. Sedangkan bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang diperoleh dari studi pustaka yang berupa buku-buku teks dan jurnal.
Pengumpulan bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan studi kepustakaan. Teknik analisis bahan hukum yang digunakan yakni metode preskriptif, dengan cara memberikan argumentasi hukum atas isu hukum yang diteliti.

C.    HASIL PENELITIAN
Hasil Penelitian kasus ini bermula pada bulan Maret 2009, pihak Termohon Kasasi yakni Desi Cahyanigtyas mengadakan perjanjian kerjasama dengan suami dari pihak Pemohon Kasasi yakni saudara Erdi Yanto. Desi Cahyanigtyas bekerja sama dengan Erdi untuk memberangkatkan tenaga kerja dari Indonesia ke New Zealand. Desi Cahyaningtyas memberikan sejumlah uang kepada Erdi untuk biaya operasional pemberangkatan tenaga kerja tersebut. Hingga Juni 2009, pemberangkatan tenaga kerja ke New Zealand belum juga dilakukan oleh Erdi. Erdi diketahui berada di Jakarta. Merasa ada yang tidak beres, Desi Cahyaningtyas melaporka Erdi ke Mabes Polri atas tuduhan penipuan. Desi Cahyaningtyas meminta Erdi mengembalikan sejumlah uang yang telah diberikan. Erdi menyatakan sanggup mengembalikan uang Desi Cahyaningtyas dengan menjaminkan aset berupa tanah dan rumah di Lamongan.
Desi Cahyaningtyas dan Erdi pergi ke Lamongan dengan didampingi anggota Mabes Polri dan Polda Lamongan untuk mengecek kebenaran adanya aset yang akan dijaminkan tersebut. Aset tersebut ternyata atas nama istri Erdi yakni saudara Muawanah yakni pihak Pemohon Kasasi. Aset tersebut merupakan harta bawaan Muawanah dan tidak ada kesepakatan antara Erdi dan Muawanah untuk menjaminkan aset tersebut. Desi Cahyaningtyas meminta untuk langsung membuat perjanjian jual-beli atas rumah yang dijaminkan tersebut di depan Notaris. Kedatangan Desi Cahyaningtyas bersama Erdi dengan anggota Mabes Polri dan Polda Lamongan tersebut tidak terduga oleh Muawanah. Muawanah ketakutan, ia takut akan terjadi sesuatu pada suaminya yakni Erdi, sehingga Muawanah langsung mengiyakan permintaan Desi Cahyaningtyas untuk membuat perjanjian di hadapan Notaris. Timbul perjanjian jual-beli Nomor 225 tanggal 23 Juni 2009 yang dibuat oleh Notaris/ PPAT Hj. Siti Reynar, SH.
Bulan Maret di tahun 2010, Muawanah mengajukan gugatan ke PN Lamongan untuk memohon pembatalan perjanjian jual-beli rumah tersebut, dengan alasan gugatan Muawanah telah mengupayakan pengembalian uang yang dibawa suaminya yakni Erdi kepada Desi Cahyaningtyas, namun Desi Cahyaningtyas masih melakukan tekanan kepada Muawanah. Selain itu, perjanjian jual-beli rumah yang dibuat tahun 2009 tersebut dibuat dalam keadaan tidak bebas pada pihak Muawanah dengan adanya tekanan yakni didatangkannya oknum Mabes Polri dan Polda.
Pengadilan Negeri Lamongan menjatuhkan putusan bahwa perjanjian tersebut sah dan tidak dapat dibatalkan. Muawanah mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Jawa Timur menguatkan putusan PN Lamongan. Muawanah mengajukan permohonan kasasi ke Mahkamah Agung, namun permohonan kasasinya ditolak. Dalam putusan Mahkamah Agung tersebut terdapat pendapat berbeda (dissenting opinion) dari salah satu hakim bahwa sebenarnya perjanjian jual-beli rumah tersebut tidak sah dan dapat dibatalkan.
Terhadap alasan penolakan kasasi Mahkamah Agung berpendapat bahwa: pertama, Alasan tersebut tidak dapat dibenarkan, karena tidak terdapat kekhilafan Hakim serta kesalahan dalam penerapan hukum pada putusan Judes Facti.

D.    PEMBAHASAN
Analisis dasar pertimbangan hakim: “dalil gugatan Penggugat tidak dapat dibuktikan, proses pembuatan perjanjian pengikatan jual beli secara sadar telah dilakukan oleh Penggugat dan Turut Tergugat.” Sesuai ketentuan Pasal 1320 dan Pasal 1321 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Majelis Hakim berpendapat bahwa Perjanjian jual beli dilakukan secara sadar oleh Penggugat dan Turut Tergugat, namun dalam memberikan pertimbangan hukumnya Majelis Hakim tidak menginterpretasikan gugatan Penggugat yang mendalilkan bahwa perjanjian jual beli tersebut dibuat dalam keadaan tidak bebas dimana dalam proses penyelesaian sengketa antara Penggugat dan Tergugat, Tergugat melibatkan oknum Mabes Polri dan oknum Polda yang membuat Penggugat ketakutan dan terpaksa mengikuti kemauan Tergugat. Sesuai ketentuan syarat sah perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, kesepakatan yang terbentuk mengandung kehendak yang cacat sehingga perjanjian tersebut tidak dapat dikatakan sah. Untuk sahnya suatu perjanjian, sesuai ketentuan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, diperlukan empat syarat yaitu: pertama, sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; kedua, kecakapan untuk membuat suatu perikatan; ketiga, suatu hal tertentu; keempat, suatu sebab yang halal. Persesuaian kehendak berupa kata sepakat menjadi pokok pembahasan dalam penelitian ini.
Undang-undang tidak menjelaskan apa yang dimaksudkan dengan kata “sepakat”. Akan tetapi, ketentuan Pasal 1321 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan bahwa kata “Sepakat” tidak terbentuk, yaitu jika sepakat diberikan karena “kekhilafan atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan.” Menurut J. Satrio, kata sepakat harus merupakan perwujudan kehendak yang bebas, tanpa paksaan (ketakutan), kesesatan, atau penipuan. Teori Kehendak yang dikemukakan Munir Fuady dalam bukunya menyatakan bahwa kehendak (will) adalah dasar dari keseluruhan hukum keperdataan. Menurut teori ini, faktor yang menentukan adanya perjanjian adalah kehendak. Suatu kehendak harus dinyatakan. Konsekuensi dari teori ini adalah bahwa jika pernyataan dari seseorang tidak sesuai dengan keinginannya, tidak akan terbentuk perjanjian. Dalam suatu kontrak, yang terpenting bukan apa yang dilakukan oleh para pihak dalam kontrak tersebut, tetapi apa yang mereka inginkan.
Penggugat dalam hal ini menyampaikan kesepakatan atas dasar paksaan secara psikis yang dilakukan Tergugat dengan mengancam jika keinginan Tergugat untuk membuat Perjanjian Jual Beli Nomor 225 tidak dipenuhi maka suami Penggugat akan dimasukkan ke penjara atau dengan kata lain perkara tersebut akan dibawa ke ranah pidana.  Disini tidak terdapat kehendak bebas di pihak Penggugat dalam terbentuknya kesepakatan. Dalam putusan yang diteliti, ada ketidaksesuaian antara kehendak dan pernyataan dari Penggugat dalam memberikan kesepakatan perjanjian pengikatan jual beli rumah atas nama dirinya tersebut. Penggugat menyampaikan pernyataan yang sebenarnya tidak diinginkannya.  Pernyataan yang tidak diinginkan tersebut timbul karena adanya paksaan secara psikis. Dalam perkara dalam penelitian ini, Penggugat menerima paksaan secara psikis karena Tergugat mendatangkan anggota Mabes Polri agar Penggugat mau mengikuti kemauan Tergugat. Bila tidak, Tergugat akan memasukkan suami Penggugat ke penjara. Perjanjian Jual-Beli tersebut tidak memenuhi unsur sepakat pada kedua belah pihak dimana unsur sepakat ini merupakan unsur terpenting dari lahirnya suatu perjanjian.
Analisis Dasar Pertimbangan Hakim: “Perjanjian jual-beli dianggap sah dibuktikan dengan adanya tanda tangan yang dibubuhkan oleh Penggugat dalam akta tersebut” sesuai ketentuan Pasal 1866, Pasal 1323, Pasal 1324, dan Pasal 1449 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Dalam memberikan pertimbangan hukumnya, Majelis Hakim berdasar pada Pasal 1866 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tentang alat bukti tulisan pada pembuktian perkara perdata. Dalam Akta perjanjian jual beli tersebut terdapat tanda tangan yang dibubuhkan oleh kedua pihak dalam perjanjian yakni Penggugat daan Tergugat. Adanya tanda tangan pada perjanjian tersebut menunjukkan bahwa adanya kesepakatan antara para pihak yang mengadakan perjanjian, sehingga dalam memberikan pertimbangan hukumnya Majelis Hakim berpendapat bahwa telah terjadi kesepakatan dalam perjanjian tersebut.
Mahkamah Agung tidak mempertimbangkan fakta bahwa Penggugat tidak ingin menjual, penandatanganan Akta dilakukan karena tekanan dan Paksaan dari Tergugat apabila tidak bersedia maka kasus yang melibatkan suami penggugat akan dibawa ke ranah pidana. Adanya tanda tangan dalam Perjanjian Jual-Beli tersebut menunjukkan bahwa salah satu Pihak yakni Penggugat menyatakan pernyataan yang sebenarnya tidak diinginkan. Dalam hasil penelitian, terungkap bahwa perjanjian tersebut tidak dibuat dalam keadaan bebas dengan adanya tekanan dari Tergugat kepada Penggugat untuk mengikuti kemauan Tergugat membawa sertifikat rumah ke Notaris untuk segera melakukan perjanjian jual beli.
Pasal 1321 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengatur bahwa: “Tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan.” Tanda tangan yang menjadi wujud kesepakatan diberikan dengan paksaan sehingga menimbulkan perjanjian yang tidak sah.
Pernyataan yang tidak diinginkan terjadi akibat adanya pakaaan meupun tekanan yang dilakukan pihak Tergugat dengan mendatangkan anggota Mabes Polri dalam proses pembuatan perjanjian tersebut. Paksaan maupun tekanan tersebut menimbulkan adanya cacat pada kehendak yang dapat berakibat pada batalya perjanjian. Paksaan yang dapat membatalkan perjanjian dapat terjadi karena paksaan secara fisik ataupun psikis. Paksaan secara psikis dilakukan dengan mengancam atau menakut-nakuti seseorang untuk melakukan sesuatu. Dalam hal adanya paksaan, maka tidak terjadi kesepakatan akibat adanya kehendak yang cacat.
Keadaan dan kodrat manusia juga menjadi pertimbangan adanya unsur paksaan. Dalam perkara ini, Penggugat yang merupakan seorang wanita mengalami tekanan dan merasa ketakutan akan keselamatan suaminya. Menurut J. Satrio, pada manusia terdapat pembawaan umum alami, bahwa orang laki-laki lebih berani menghadapi bahaya daripada wanita. Karenanya Pasal 1326 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mempertimbangkan faktor usia, kelamin, dan kedudukan seseorang untuk dipertimbangkan.
Selain unsur Paksaan, adanya unsur Kesesatan dalam pembentukan kesepakatan juga menimbulkan cacat kehendak yang menimbulkan perjanjian yang tidak sah. Kesesatan yang menjadi penyebab cacatnya kehendak dalam perjanjian jual beli tersebut termasuk dalam kategori Kesesatan yang sebenarnya (Eigelijke Dwaling). Pada kesesatan yang sebenarnya, kehendak dan pernyataannya sama/ sesuai, karena disini memang ada kehendak dan pernyataannya sama dengan kehendaknya, namun kehendak tersebut terpengaruh oleh keadaan yang tidak benar. Dalam perjanjian jual beli tersebut terdapat kata sepakat yang lahir karena ada yang sesat.
Tanda tangan yang dibubuhkan Penggugat dalam Perjanjian jual beli tersebut merupakan hasil dari kehendak yang sesat dipaksakan sehingga ksepakatan yang terbentuk bukanlah kesepakatan yang bebas dan murni sehingga perjanjian seharusnya dapat dibatalkan. Batalnya suatu perjanjian dapat dilakukan apabila perjanjian tidak memenuhi syarat subyektif dari sah nya suatu perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yakni syarat sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.
Analisis dasar pertimbangan hakim: “permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon tidak didukung oleh bukti yang mendukung permohonan kasasi.” sesuai ketentuan Pasal 1866 dan Pasal 1923 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Dalam memberikan pertimbangan hukum, Mahkamah Agung berpendapat bahwa permohonan kasasi tidak dikuatkan bukti yang mendukung permohonan kasasi tersebut, sehingga dalil gugatan tidak terbukti. Mahkamah Agung tidak memberikan pertimbangannya mengenai terungkapnya fakta di persidangan bahwa telah jelas Penggugat tidak ingin menjual rumah atas nama Penggugat tersebut, penandatanganan Akta dilakukan karena tekanan dan paksaan dari Tergugat yang mendatangkan anggota Mabes Polri dalam proses pembuatan Akta tersebut, apabila tidak bersedia maka kasus tersebut akan dibawa ke ranah pidana. Hal tersebut dibuktikani dari pengakuan Tergugat sendiri yang mendatangkan anggota Mabes Polri, juga terbukti dari Pengakuan Saksi Tergugat yaitu kesaksian Deny Nurul Fuad.
Alat bukti dalam acara perdata diatur secara enueratif dalam Pasal 1866 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pasal 164 Herziene Inlandsch Reglement (HIR), yang terdiri dari bukti tulisan, bukti dengan saksi, persangkaan, pengakuan dan sumpah.
Didatangkannya anggota Mabes Polri yang secara tidak langsung menjadi tekanan bagi Penggugat dalam menyakana kesepakatannya dibuktikan dengan keteragan dari saksi Deny Nurul Fuad yang menyatakan bahwa ia membenarkan perkataan Tergugat yang menyatakan bahwa jika Penggugat tidak bersedia menjual dan menandatangani akta perjanjian jual beli maka suami Penggugat (akan dimasukkan ke penjara. Pembuktian dalam hukum acara perdata tidak selamanya harus dengan bukti tertulis. Mengenai perkara permohonan perjanjian yang mengandung cacat kehendak, Penggugat tidak dapat membuktikan dalil gugatannya dengan alat bukti tertulis karena berkaitan dengan pembentukan kesepakatan yakni satu kehendak tidak tertulis. Majelis Hakim Mahkamah Agung dalam menjatuhkan putusan seharusnya mempertimbangkan kehendak yang cacat tersebut, tidak hanya mempertimbangkan alat bukti tertulis dari Tergugat yang mematahkan dalil gugatan Penggugat, sehingga tercipta keadilan bagi para pihak dalam perkara tersebut.
Selain alat bukti saksi yang mengungkap bahwa Perjanjian jaul-beli tersebut dibuat dalam keadaan tidak bebas untuk menentukan kehendaknya, dalam persidangan terdapat Pengakuan yang dinyatakan oleh Tergugat mengenai didatangkannya anggota Mabes Polri dalam pembuatan perjanjian tersebut. Herziene Inlandsch Reglement (HIR) mengatur bahwa Pengakuan merupakan salah satu alat bukti yang mempunyai kekuatan hukum dalam hukum acara perdata.
Majelis Hakim Mahkamah Agung dalam putusan yang dilakukan pnelitian juga tidak menerapkan hukum sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 1321 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengatur bahwa: “Tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan.” Pendapat penulis disini berpihak pada pendapat berbeda (dissenting opinion) dari Hakim Agung yang memeriksa dan memutus perkara ini,
Hakim Pembaca I yakni Syamsul Ma’arif, S.H., L.L.M., Ph.D mendasarkan pendapatnya pada ketentuan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata atas dasar akta perjanjian jual beli Nomor 225 tersebut tidak memenuhi salah satu syarat sahnya perjanjian dan terdapat cacat dalam persamaan kehendak diantara pihak-pihaknya sehingga perjanjian dapat dibatalkan. Batalnya suatu perjanjian dapat dilakukan apabila perjanjian tidak memenuhi syarat subyektif dari sah nya suatu perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Terbentuknya kesepakatan dalam suatu perjanjian berkaitan erat dengan adanya cacat kehendak dalam perjanjian yakni adanya unsur kesesatan, paksaan, penipuan, maupun penyalahgunaan kehendak.
Majelis Hakim dalam menjatuhkan putusan dalam suatu perkara hendaknya menerapkan aturan yang berlaku secara tepat. Dalam perkara ini, Majelis Hakim hanya mempertimbangkan kerugian yang dialami Tergugat dan tidak mempertimbangkan adanya kesepakatan yang cacat dari Penggugat selaku pemilik Sertifikat Rumah Asli yang dijadikan jaminan.
Menurut penulis, Majelis Hakim dalam menjatuhkan putusan seharusnya didasarkan pada ketentuan Pasal 1320 dan Pasal 1321 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tentang syarat sahnya perjanjian. Hal tersebut sesuai dengan perkara yang sedang ditangani yakni mengenai tidak terpenuhinya syarat subyektif perjanjian. Atas adanya cacat kehendak dalam perjanjian tersebut seharusnya Majelis Hakim dapat memutus seadil-adilnya dengan mempertimbangkan semua fakta yang terungkap di persidangan sehingga tercapai nilai keadilan bagi para pihaknya.

E.     PENUTUP
1.      Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 472 K/ Pdt/ 2012 tidak sesuai jika dikaitkan dengan ketentuan dalam KUHPerdata serta teori-teori yang dikemukakan para sarjana hukum terkait cacat kehendak dalam perjanjian. Hal tersebut disebabkan karena Majelis Hakim Mahkamah Agung dalam menjatuhkan putusannya tidak mempertimbangkan fakta yang terungkap di persidangan bahwa terdapat adanya paksaan yang dilakukan pada Penggugat yakni Muawanah dalam melakukan perjanjian yakni Perjanjian Pengikatan Jual-Beli Nomor 225 tanggal 23 Juni 2009.
Alasan penolakan kasasi yang diajukan oleh Majelis Hakim Mahkamah Agung dinilai kurang dalam menerapkan hukum karena Majelis Hakim tidak mendasarkan pada ketentuan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tentang syarat sahnya perjanjian, Pasal 1321 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tentang tidak dapat dikatakannya sepakat yang sah apabila kesepakatan tersebut diperoleh dengan paksaan atau ancaman, serta Pasal 1323 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tentang paksaan sebagai alasan dapat dibatalkannya perjanjian.
Pendapat berbeda yang terdapat dalam Putusan yang dilakukan peneitian tidak membawa akibat positif pada Penggugat yakni Mu’awanah karena Majelis Hakim mengambil suara terbanyak saat menjatuhkan putusan dimana dissenting opinion tersebut pada akhirnya tidak digunakan dalam penjatuhan putusan sehingga perjanjian yang mengandung cacat kehendak tersebut tetap dianggap sah.

2.      Saran
Majelis Hakim Mahkamah Agung seharusnya lebih cermat dan teliti dalam mempertimbangkan permohonan kasasi yang diajukan oleh Penggugat/ Pemohon Kasasi serta menerapkan hukum sesuai dengan aturan yang ada dalam hal ini adalah Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Majelis Hakim seharusnya juga lebih mempertimbangkan dissenting opinion yang dikemukakan salah satu anggota Majelis Hakim karena ada kemungkinan bahwa dissenting opinion yang dikemukakan tersebut justru merupakan pendapat yang benar dalam penerapan hukum serta memberikan keadilan bagi para pihaknya.



DAFTAR PUSTAKA

Badrulzaman, Mariam Darus. 2001. Kompilasi Hukum Perikatan. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Fuady, Munir. 2007.  Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis). Bandung: Citra Aditya Bakti.
Harahap, Yahya. 2005. Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan). Jakarta: Sinar Grafika
Sejono dan Abdurrahman.  2003.  Metode Penelitian Hukum.  Jakarta: Rineka Cipta.
Prodjodikoro, Wirjono.  Azas-Azas Hukum Perjanjian.  Bandung: CV. Mandar Maju.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek)
https://putusan.mahkamahagung.go.id/putusan/7bc1fce6188c73d04eb2c0fd1372f2fe Diakses hari Jumat, 29-Desember-2017, pada jam 02:00




No comments:

Post a Comment

Definisi Hukum Acara Pidana

MAKALAH DEFINISI HUKUM ACARA PIDANA Diajukan Sebagai Tugas Mata Kuliah Hukum Acara Pidana Program Studi Hukum Ekonomi Syari’ah (HES) Di Se...