Oleh: Muhammad
Nur Muzakki
Abstrak
Pada era globalisasi dan perdagangan bebas (pasar
global) pembangunan perekonomian di Indonesia khususnya di bidang perindustrian
dan perdagangan telah membawa manfaat yang cukup besar bagi semua pihak (pelaku
bisnis), yaitu semakin banyaknya pilihan barang atau jasa yang ditawarkan,
dengan berbagai jenis, tipe, harga dan kualitas. Sehingga masyarakt akan lebih
mudah dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari, khususnya bagi para konsumen. Namun
disisi lain konsumen juga dapat menjadi objek bagi para pelaku bisnis yang
sengaja mencari keuntungan yang sebesar-besarnya, baik melalui piomosi maupun
penjualan yang seringkali merugikan para konsumen. Hal ini karena rendahnya
pendidikan, pemafaaman dan etos kerja dari para pelaku bisnis. Disamping itu
juga karena tidak adanya etika dalam berbisnis. Untuk itu perlulah dibuat
peraturan perundang-undangan yang dapat menjamin semua pihak-pihak yang
dirugikan
Kata
kunci: hukum bisnis Islam, perlindungan
konsumen.
A. Pendahuluan
Pembangunan
perekonomian di Indonesia, khususnya dibidang perindustrian dan perdagangan
telah membawa manfaat yang besar bagi semua pihak (pelaku ekonomi), terutama
bagi konsumen, yaitu semakin banyaknya pilihan barang dan jasa yang ditawarkan,
dengan berbagai jenis, tipe, harga dan kualitas.
Pada era globalisasi
dan perdagangan bebas (pasar bebas), dan dengan dukungan ilmu pengetahuan dan
teknologi canggih, maka semakin luas arus keluar-masuknya barang dan jasa yang
menembus ke suatu negara, sehingga masyarakat dapat lebih mudah dalam memenuhi
kebutuhan sehari-hari baik berupa barang maupun jasa.[1]
Dengan demikian akan
dapat memberi banyak manfaat khususnya bagi konsumen. Namun disisi lain
konsumen dapat menjadi objek atau sasaran bagi para pelaku ekonomi (bisnismen)
yang sengaja mencari keuntungan yang sebesarbesarnya, baik melalui promosi
maupun penjualan yang sering kali merugikan para konsumen.
Hal yang harus disadari
adalah lemahnya kedudukan konsumen, hal ini disebabkan karena tingkat kesadaran
dan pendidikan konsumen yang relatif rendah, disamping itu juga pemahaman
terhadap kegiatan ekonomi dan etos kerja yang rendah. Misalnya bisnis harus
bertujuan mencari keuntungan semata tanpa memperhatikan mana yang halal dan
mana yang haram, bisnis tidak memiliki etika (nurani), dan lain sebagainya.
Untuk iru perhatian terhadap konsumen sangat diperlukan, karena setiap orang
pada suatu waktu tertentu, baik sndiri maupun berkelompok, dalam situasi dan
kondisi apapun pasti akan menjadi konsumen (pihak pemakai), baik terhadap
barang maupun jasa, oleh karena itu diperlukan pemberdayaan konsumen.
Sekarang ini telah
tumbuh kesadaran masyarakat tentang perlunya perlindungan konsumen yang dimulai
di negara-negara maju. Apabila di masa-masa lalu pihak industriawan yang
dipandang sangat beijasa bagi perkembangan perekonomian negara mendapat
perhatian sangat besar, maka dewasa ini perlindungan terhadap konsumen lebih
mendapat perhatian sesuai dengan semakin meningkatnya perlindungan terhadap hak
asasi manusia.[2]
Perlindungan terhadap
konsumen sangat berkaitan dengan kegiatan bisnis, yakni perdagangan barang dan
jasa dalam lingkup kegiatan ekonomi. Namun demikian tidak dapat dilepaskan dari
aspek-aspek lain, baik hukum, agama, pendidikan, sosial dan budaya. Oleh karena
itu berkaitan dengan perlindungan konsumen, maka perlu ditelaah dari berbagai
sudut pandang.
Salah satu hal penting
yang perlu penelaahan adalah masalah perlindungan konsumen dalam perspektif hukum
bisnis Islam (bisnis syari'ah). Hal ini penting karena penduduk Indonesia
mayoritas beragama Islam, dengan demikian seharusnya nilai-nilai ajaran Islam
mendasari peraturan perundang-undangan yang mengatur kegiatan perekonomian
masyarakat, sehingga pada akhirnya akan mempengaruhi perilaku masyarakat dalam
berbagai bidang. Oleh sebab itu perlu ditelaah apakah Islam memberikan
rambu-rambu mengenai perlindungan konsumen dan apakah rambu-rambu (ketentuan)
tersebut sudah sesuai dengan nilai-nilai hukum bisnis Islam (bisnis syari'ah).
B.
Pembahasan
1.
Etika
Bisnis Menurut Pandangan Pelaku Ekonomi
Penggunaan barang dan
jasa, dalam hal ini konsumen keberadaannya sangat tidak terbatas, dengan
tingkatan atau kelas yang bermacam-macam menyebabkan pihak produsen melakukan
kegiatan pemasaran dan distribusi barang atau jasa dengan cara-cara yang
seefektif mungkin dengan tujuan dapat menarik konsumen yang sangat beraneka
ragam (majmuk) tersebut. Oleh karena itu berbagai usaha dilakukan demi mencapai
sasaran atau tujuan tersebut. Usahausaha yang dilakukan tersebut kadang-kadang
dapat menjurus pada hal yang negatif, bahkan dari awal sudah sengaja dengan
i'tikad yang tidak baik, misalnya memberikan infonnasi yang tidak benar,
informasi yang menyesatkan, barang (kualitas) jelek dikatakan bagus, cara-cara
penjualan yang bersifat memaksa dan lain sebagainya.
Usaha-usaha yang
dilakukan tersebut seringkali lebih diperburuk oleh pandangan-pandangan atau
mitos-mitos bisnis itu sendiri. Misalnya bisnis adalah kotor, bisnis itu kejam,
bisnis tidak mengenal saudara, sedikit berbohong dalam bisnis adalah wajar,
bisnis dengan jujur tidak akan untung dan lain sebagainya[3].
Oleh karena mitos-mitos bisnis seperti itu, maka menurut sebagian pelaku bisnis
itu tidak memerlukan etika, bahkan sebagian pendapat lain mengatakan bahwa
dalam berbisnis yang disertai berfikir dan bermoral adalah hal yang mustahil,
karena dianggap akan membuang-buang waktu saja, bahkan bisa menimbulkan
kebangkrutan.
Berkaitan dengan hal
tersebut di atas, maka ada beberapa pandangan yang pro dan kontra tentang perlu
tidaknya etika dalam berbisnis:
a.
Pandangan
yang tidak mendukung perlunya etika dalam melakukan kegiatan bisnis beranggapan
bahwa[4]:
-
Bisnis
adalah persaingan. Maksudnya bahwa semua pelaku dalam persaingan ingin keluar
sebagai pemenang. Setiap persaingan adalah pertarungan dan pertarungan itu
mempunyai aturan sendiri.
-
Bisnis
adalah asocial. Maksudnya bahwa aturan bisnis tidak bisa dikaitkan dengan
aturan moral sosial. Bisnis mempunyai aturan sendiri yang tidak mungkin
dicampuradukkan dengan yang lain. Perasaan sosial apabila dituangkan dalam
kegiatan bisnis akan dapat mengganggu dan membuat lemah bisnis itu sendiri.
-
Bisnis
harus bertujuan untuk keuntungan. Maksudnya bahwa tujuan utama bisnis adalah
keuntungan, maka tanggung jawab sosial adalah tidak sesuai dan bertentangan
dengan efisiensi.
-
Bisnis
harus berkonsentrasi. Maksudnya bahwa dalam berbisnis tidak boleh banyak
tujuan, apabila ada tujuan rangkap, misalnya tujuan ekonomi dan tujuan sosial,
maka akan dapat membingungkan manajer.
-
Bisnis itu
makan biaya. Maksudnya bahwa untuk menggerakkan kegiatan bisnis diperlukan
biaya yang besar, apalagi apabila harus dibebani dengan biaya sosial, tentunya
akan lebih berat lagi.
-
Selanjutnya
Sony Keraf memberikan contoh tentang pendapat para pelaku bisnis yang
berpandangan bahwa bisnis itu amoral, menurut pandangan tersebut bisnis adalah
bisnis. Bisnis tidak bisa dicampuradukkan dengan etika.[5]
b.
Pandangan
yang mendukung perlunya etika dalam melakukan kegiatan bisnis beranggapan bahwa[6]:
-
Bisnis
mempertaruhkan segalanya
-
Bisnis
menyangkut hubungan antar manusia
-
Bisnis
harus mengikuti kemauan masyarakat
-
Bisnis
harus disertai kewajiban moral
-
Bisnis
harus mengingat sumber daya yang terbatas
-
Bisnis
harus menjaga lingkungan sosial
-
Bisnis
harus menjaga keseimbangan, tanggung jawab dan sosial
-
Bisnis
harus menggali sumber daya yang bermanfaat Bisnis harus dapat memberi
keuntungan jangka panjang Legalitas bisnis berkatian dengan moralitas.
Oleh karena kegiatan
bisnis memerlukan etika, maka perlu disusun prinsip etika bisnis. Bahkan
menurut Mahmoedin bahwa prinsip etika bisnis berkaitan dengan sistem nilai
masyarakat. Oleh sebab itu prinsip etika bisnis yang berlaku di Indonesia
berkatian dengan sistem nilai masyarakat kita. Hal ini sejalan dengan apa yang
dikemukakan oleh Sony Keraf bahwa secara umum prinsip-prinsip yang berlaku
dalam kegiatan bisnis yang baik sebenarnya tidak dapat dilepaskan dari
kehidupam kita sebagai manusia pada umumnya. Demikian pula prinsip-prinsip yang
berlaku dalam kegiatan bisnis yang baik sebenarnya tidak dapat dilepaskan dari
kehidupan kita sebagai manusia pada umumnya. Demikian pula prinsip-prinsip itu
sangat erat terkait dengan sistem nilai yang dianut oleh masyarakat
masing-masing. Adapun prinsip-prinsip etika bisnis antara lain:
-
Bersifat
bebas, artinya para pengusaha tahu apa yang baik dan apa yang buruk serta tahu
mengenai bidang kegiatannya.
-
Bertanggung
jawab, yakni baik terhadap diri sendiri, kepada pemberi amanah, kepada orang
yang terlibat, baik kepada masyarakat/konsumen.
-
Bersikap
jujur
-
Bersikap
adil Berbuat baik
-
Bersikap
hormat dan inovatif.[7]
Menurut Sony Keraf bahwa prinsip-prinsip bisnis adalah[8]:
a)
Prinsip
otonomi
Otonomi adalah sikap dan kemauan manusia
untuk bertindak berdasarkan kesadarannya sendiri tentang apa yang dianggap baik
untuk dilakukan.
b)
Prinsip
kejujuran
Prinsip kejujuran terwujud dalam
pemenuhan syarat-syarat perjanjian (akad) sebuah transaksi, penawaran terhadap
barang dan jasa tentang kualitasnya, serta hubungan kerja perusahaan.
c)
Prinsip
tidak bertabiat jahat (non maleficence) dan
prinsip berbuat baik (beneficence)
Prinsip baik menuntut agar secara aktif
dan maksimal berbuat hal baik kepada orang lain, sedangkan prinsip pasif
menuntut agar kita tidak berbuat jahat kepada orang lain.
d)
Prinsip
keadilan
Prinsip ini menuntut agar kita selalu
memperlakukan orang lain sesuai dengan haknya.
e)
Prinsip
hormat kepada din sendiri
Prinsip ini menuntut agar kita pandai
menghormati din sendiri, sehingga kita dihormati orang lain.
Berdasarkan uraian di
atas, dapat dipahami bahwa setiap pelaku bisnis memiliki pandangan yang berbeda
tentang perlu tidaknya etika dalam kegiatan bisnis. Pandangan tersebut tentunya
dipengaruhi oleh banyak faktor, baik faktor intern maupun faktor ekstern. Faktor
intern seperti pemahaman terhadap agama dan kepercayaan yang dianutnya, latar
belakang pendidikannya, faktor biologis dan lain sebagainya. Sedangkan faktor
ekstern seperti faktor lingkungan alam dan lingkungan masyarakat.
2.
Etika
Bisnis Menurut Islam

Islam merupakan agama yang komprehensif dan universal. Dikatakan komprehensif, karena Islam mengatur seluruh aspek kehidupan manusia. Hal ini sebagaimana firman Allah SWT:
“Dan Kami (Allah) tidak mengutus kamu
(Muhammad), melainkan kepada manusia seluruhnya, untuk membawa berita gembira
dan peringatan. Akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui".
Dikatakan universal
karena daya jangkauan (berlakunya) tidak terbatas oleh waktu dan tempat
Masalah bisnis atau perdagangan atau
perekonomian merupakan salah satu bidang muamalah, dimana Islam telah
menyediakan atau menetapkan rambu-rambu (ketentuanketentuannya).

Kaitannya dengan
ibadah, Islam telah tegas menetapkan hukumnya, yakni tidak ada ibadah kecuali
yang diatur dalam Al-Qur'an dan Al-Sunnah. Hal ini sebagaimana finnan Allah
SWT:

“Dan Kami tidak akan menghukum
(mengazab) sebelum mengutus seorang rasul".
Oleh karena itu ibadah
yang dilakukan diluar ketentuan Al-Qur'an dan AlSunnah tidak dibenarkan.
Sedangkan untuk bidang muamalah. Islam hanya mengatur prinsip-prinsipnya saja,
semua kegiatan muamalah dapat dilakukan selama tidak bertentangan dengan
prinsip-prinsip tersebut dan tidak merugikan pihak lain.
Berbicara tentang etika
bisnis, kita harus merujuk kepada prinsip-prinsip ekonomi Islam. Dalam hal ini
Islam menetapkan prinsip-prinsip perekonomian sebagai berikut[9] :
a.
Islam
menentukan berbagai macam kerja yang halal dan yang haram, tetapi hanya kerja
yang halal saja yang dipandang sah oleh Islam.
b.
Kerjasama
kemanusiaan yang bersifat gotong royong dalam usaha memenuhi kebutuhan harus
dikembangkan.
c.
Nilai
keadilan dalam kerjasama kemanusiaan harus selalu ditegakkan.
Secara khusus Islam
telah menetapkan nilai-nilai atau etika yang harus dipatuhi dalam kegiatan
bisnis. Salah satunya adalah etika dalam berdagang (berbisnis) yang merupakan
salah satu bentuk dari kegiatan ekonomi. Prinsip dasar yang telah ditetapkan
Islam mengenai perdagangan atau perniagaan merupakan tolok ukur kejujuran,
kepercayaan dan ketulusan. Menurut Abdul Manan, sekarang ini banyak
ketidaksempurnaan pasar yang seharusnya dapat dilenyapkan jika prinsip ini
diterima oleh inasyarakat bisnis dari bangsa-bangsa yang ada di dunia.[10]
Prinsip perdagangan atau perniagaan ini
sebenarnya sudah banyak dijelaskan dalam Al-Qur'an maupun Al-Sunnah,
diantaranya:
-
Larangan
sumpah palsu
![]() |
Dalam berdagang (berbisnis), kita dilarang menggunakan sumpah palsu demi terjualnya barang-barang dagangannya. Hal ini sebagaimana sabda Nabi saw.
“Bersumpah (palsu)
dapat mempercepat lakunya dagangan, tetapi dapat menghilangkan berkah (yang
terkandung didalamnya)".
-
Takaran
yang benar
![]() |
Dalam berdagang (berbisnis), nilai timbangan dan ukuran yang tepat dan standar benar-benar harus diutamakan, artinya kita tidak boleh mengurangi atau melebihkan timbangan atau takaran. Hal ini sebagaimana firman Allah
“Kecelakaan besarlah
bagi orang-orang yang curang, yaitu orang-orang yang apabila menerima takaran
dari orang lain mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau
menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi".
-
Itikad
baik
Dalam berdagang
(berbisnis), i'tikad baik merupakan hakekat dari bisnis itu sendiri, artinya
dalam berbisnis hendaklah didasarkan pada i'tikad dan tujuan yang baik,
sehingga menguntungkan semua pihak tanpa merugikan salah satu pihak. I'tikad
baik juga dapat menimbulkan hubungan yang baik dalam usaha. Oleh karena itu
Islam menganjurkan apabila melakukan transaksi sebaiknya dinyatakan secara
tertulis dengan menjelaskan rukun dan syarat-syaratnya.
Berkaitan dengan
prinsip-prinsip tersebut di atas, lebih jauh Hamzah Ya'cub merinci
prinsip-prinsip moral dagang (bisnis) menurut Islam sebagai berikut[11]"
-
Jujur
dalam takaran
-
Menjual
barang yang halal
-
Menjual
barang yang baik mutunya
-
Tidak
boleh menyembunyikan barang yang cacat Tidak boleh main-main sumpah
-
Longgar
dan bermurah hati
-
Tidak
boleh menyaingi kawan, maksudnya bahwa kita dilarang kawan dengan cara yang
tidak benar.
-
Mencatat utang-piutang, maksudnya bahwa dalam transaksi utang-piutang hendaklah dicatat atau ditulis pihak yang memberi utang, pihak yang berutang, alamat keduanya, besarnya uang atau barang yang diutangkan, waktu terjadinya utang dan waktu pengembalian utang sebagai ikatan perjanjian. Hal ini sebagaimana firman Allah SWT:
![]() |
Mencatat utang-piutang, maksudnya bahwa dalam transaksi utang-piutang hendaklah dicatat atau ditulis pihak yang memberi utang, pihak yang berutang, alamat keduanya, besarnya uang atau barang yang diutangkan, waktu terjadinya utang dan waktu pengembalian utang sebagai ikatan perjanjian. Hal ini sebagaimana firman Allah SWT:
“Hai orang-orang yang
beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai (utang) untuk waktu yang
ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis
diantara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan
menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia
menulis, dan hendaklah orang yang berutang itu mengimlakkan (apa yang akan
ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia
mengurangi sedikitpun dari utangnya".
-
Mengeluarkan
zakat 2,5 persen sebagai pembersih harta.
-
Larangan riba, maksudnya bahwa kita dilarang mengambil manfaat dari suatu harta secara tidak benar, karena hal itu termasuk riba. Hal ini sebagaimana sabda Nabi:
![]() |
Larangan riba, maksudnya bahwa kita dilarang mengambil manfaat dari suatu harta secara tidak benar, karena hal itu termasuk riba. Hal ini sebagaimana sabda Nabi:
“Tiap-tiap piutang yang
mengambil manfaat, maka itu salah satu dari beberapa macam riba.
3.
Penegakan
Etika Bisnis Islam pada Masyarakat Global
Perlindimgan konsumen
dalam era globalisasi menjadi sangat penting, karena konsumen disamping
mempunyai hak-hak yang bersifat universal, juga mempunyai hak yang sangat
bersifat spesifik. Dengan demikian peraturan perundang-undangan tentang
perlindungan konsumen harus memuat nilai-nilai yang universal dan nilai-nilai
yang spesifik sesuai dengan nilai-nilai yang tumbuh dalam masyarakat dan
nilai-nilai dalam Islam.
Apabila dikaji dari
pasal demi pasal dalam undang-undang perlindungan konsumen, tampaknya banyak
ketentuan yang sesuai dengan nilai-nilai bisnis Islam walaupun dengan redaksi
yang berbeda tetapi substansi dan tujuannya sama, yaitu untuk melindungi
konsumen, jujur dalam takaran atau timbangan, beri'tikad baik dalam usaha,
menjual barang yang baik kualitasnya, larangan menyembunyikan barang yang
cacat, larangan bermain-main sumpah dan larangan persaingan tidak sehat.
Namun demikian dalam
beberapa hal (ketentuan) tertentu, etika bisnis Islam belum tersentuh dalam
Undang-undang Perlindungan Konsumen, misalnya: larangan memperjualbelikan
barang atau jasa yang haram, larangan riba dan keharusan mengeluarkan zakat.
Untuk itu perlu adanya dukungan dari berbagai lapisan masyarakat yang mayoritas
beragama Islam untuk mendesak pemerintah agar membuat peraturan-peraturan yang
mengandung nilai-nilai Islam.
Walaupun belum
seluruhnya mencerminkan nilai-nilai penegakan hukum Islam, namun perlu
dipikirkan bagaimana upaya penegakan hukum sesuai dengan etika bisnis Islam.
Sesuai dengan fungsi hukum dalam masyarakat, hukum berfungsi untuk
mengintegrasikan proses-proses sosial, politik, ekonomi dan lain sebagainya
sehingga tercipta suatu pola-pola hubungan yang jelas dan mapan, yang mana
umumnya disebut dengan ketertiban umum[12].
Tetapi walau demikian hukum bukan merupakan sarana atau instrumen yang sudah
siap belaka, hukum juga bukan sarana yang utuh (sempurna), namun hukum
dipengaruhi banyak unsur dan faktor.
Lebih jauh Satjipto
Raharjo menjelaskan bahwa agar hukum dapat bekerja sesuai dengan harapan
masyarakat, maka diperlukan pembangunan hukum itu sendiri. Pembangunan hukum
tersebut diantaranya13:
a.
Produk
hukum yang baik, yaitu yang memiliki efektivitas tinggi untuk mencapai tujuan
yang diinginkan, sehingga diperlukan banyak fasilitas pendukungnya.
b.
Manusia-manusia
yang berhubungan dengan pelaksanaan hukum (pelaku hukum), sehingga disini
diperlukan mentalitas atau moralitas manusiamanusia yang patuh hukum, baik para
penegak hukum maupun masyarakat itu sendiri.
c.
Dukungan kekuatan-kekuatan dari
luar hukum yang
mantap yang memungkinkan hukum
itu dijalankan dengan baik, yaitu kemauan politik dari pemerintah untuk
menjalankan hukum yang benar.
C. Penutup
1.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian tersebut
di atas kiranya dapat dikemukakan beberapa kesimpulan sebagai berikut:
a.
Terdapat
perbedaan pendapat dari para pelaku bisnis tentang perlu tidaknya etika dalam
kegiatan bisnis. Satu pihak memandang bahwa etika sangat diperlukan dalam
kegiatan bisnis, tetapi satu pihak menganggap bahwa dalam kegiatan berbisnis
tidak perlu beretika.
b.
Islam
telah menentukan nilai-nilai etika bisnis yang bertujuan untuk memberikan
perlindungan kepada konsumen dengan cara beri'tikad baik, tidak boleh bersumpah
palsu, tidak boleh mengurangi takaran/timbangan, tidak boleh menjual barang
yang cacat, menghindari riba dan mengeluarkan zakat sebagai pembersih harta.
c.
Ketentuan-ketentuan
dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen yang behim tersentuh oleh etika
bisnis Islam adalah larangan jual beli barang atau jasa yang haram, larangan
riba dan keharusan mengeluarkan zakat.
d.
Usaha
penegakan etika bisnis Islam diperlukan berbagai langkah, diantaranya: pembuatan
peraturan yang baik yang ditunjang oleh sarana dan fasilitas, mental/moral
manusia sebagai pelaku hukum baik para penegak hukum maupun masyarakat itu
sendiri dan dukungan dari luar hukum yang berupa kemauan politik dari
pemerintah untuk menjalankan hukum yang baik.
2.
Saran-saran
Sesuai dengan
perkembangan zaman dan kesadaran masyarakat untuk membentuk masyarakat madani,
maka diperlukan usaha yang sungguh-sungguh dalam rangka menegakkan etika bisnis
Islam yang salah satu tujuannya adalah untuk memberikan perlindungan kepada
konsumen. Oleh karena itu penulis sarankan hal-hal sebagai berikut:
a.
Perlu
segera dibuat peraturan yang berkaitan dengan etika berbisnis dan sanksinya
sekaligus, serta tata cara menyelesaikan masalah bagi pihak-pihak yang
melanggar etika bisnis.
b.
Perlu
dibentuk Lembaga perlindungan/pengaduan konsumen untuk memberikan informasi
mengenai hak-hak konsumen dan membantu informasi mengenai hak-hak konsumen dan
membantu masyarakat dalam menyampaikan pengaduan jika merasa dirugikan oleh
pelaku bisnis.
c.
Etika
bisnis Islam hendaklah menjiwai seluruh peraturan perundangundangan, khususnya
yang berkaitan dengan perekonomian dan perdagangan.
d.
Hendaklah
semua lapisan masyarakat, baik para penegak hukum, pemerintah maupun masyarakat
itu sendiri mendukung semua ketentuan yang sudah ada demi jalannya hukum secara
baik dan benar.
DAFTAR
PUSTAKA
Ali, Zainuddin, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Sinar
Grafika, Jakarta, 2006.
Anonim, Al-Qur'an dan Terjemahannya, Depag RI,
Jakarta, 197l
Bashir, Ahmad Azhar, Prinsip-prinsip Ekonomi Islam dalam Berbagai
Aspek Ekonomi Islam, FE UII Bekerjasama dengan Tiara Wacana, Yogyakarta,
1992.
Keraf, Sony dan
Robert Haryonolmam, Etika Bisnis
Membangun Citra Bisnis Sebagai Profesi Luhur, Pustaka Filsafat, Yogyakarta,
1995.
Labib, MZ, Etika Bisnis dalam Islam, Bintang Usaha Jaya, Surabaya, 2006.
Lubis, Suhrawardi K, Hukum Ekonomi Islam, Sinar Grafika, Jakarta, 2000.
Mahmoedin, ES, Etika Bisnis Perbankan, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1994.
Manan, Abdul, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, Dana
Bakti Wakaf. Yogyakarta, 1995.
Mardiono,
Hartono, Menjalankan Syari 'at Islam
dalam Bermuamalah yang Sah Menurut Hukum Nasional, Studia Press, Jakarta,
2000.
Pasaribu, Chairuman,
dkk, Hukum Perjanjian dalam Islam, Sinar
Grafika, Jakarta, 1994.
Raharjo, Satjipto,
Pembangunan Hukum yang Diarahkan kepada
Tujuan Nasional, FH Undip, Semarang, 1982.
Saefullah,
E., Product Liability Tanggung Jawab
Produsen di Era Perdagangan Bebas, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 5, 1998.
Sri,
Imaniyati, Neni, Hukum Ekonomi dan
Ekonomi Islam dalam Perkembangan, Mandar Maju, Bandung, 2002.
Suhendi, Hendi, Fiqih Mu 'amalah. Raja Grafindi Persada, Jakarta, 2002,
Wilson,
Rodney, Bisnis Menurut Islam Teori dan
Praktek Intermasa. Jakarta, 1988.
Ya'cub,
Hamzah, Etika Islam: Pembinaan Akhlaqul
Karimah (Suatu Pengantar), CV. Diponegoro, Bandung, 1996.
[1] Neni Sri Imaniyati, Hukwn
Ekonomi dan Ekonomi Islam dalam Perkembangan, (Bandung: Mandar Maju, 2002), Hal.161.
[2] E. Saefullah, Product
Liability Tanggung Jawab Prodwen di Era Perdagangan Bebas, (Jurnal Hukum
Bisnis, Volume 5, 1998), hal.34.
[3] Neni Sri Imaniyati, Hukum
Ekonomi dan Ekonomi Islam dalam Perkembangan, hal. 163
[4]
Mahmoedin, Etika Bisnis Perbankan, (Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan, 1994), hal.72.
[5] Sony Keraf dan Robert Haryono Imam, Etika Bisnis Membangun Citra Bisnis Sebagai Profesi Luhur, (Yogyakarta:
Pustaka Filsafat, 1995), hal.56.
[6]
Mahmoedin, Etika Bisnis Perbankan. Hal.
76.
[7] Mahmoedin, Etika Bisnis
Perbankan, hal.80.
[8] Sony Keraf dan Robert Haryono Imam, Etika Bisnis Membangun Citra Bisnis Sebagai Profesi Luhur, hal.70-73.
[9] Ahmad Azhar Bashir, Prinsip-prinsip
Ekonomi Islam dalam Berbagai Aspek Ekonomi Islam, (Yogyakarta: Tiara
Wacana, 1992), hal.13-14.
[10] Abdul Manan, Teori dan
Praktek Ekonomi Islam, (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995), hal.288.
[11] Hamzah Ya'cub, Etika Islam:
Pembinaan Akhlaqul Karimah (Suatu Pengantar), (CV. Diponegoro, 1996),
hal.161-164.
[12] Satjipto Raharjo, Pembangunan
Hukum yang Diarahkan kepada Tujuan NasionaL, (FH Undip, 1982), hal.2. 13
Ibid, hal.7.
No comments:
Post a Comment