Monday, November 5, 2018

HUKUM WAQAF DAN HIBAH

Oleh:
Muhammad Nur Muzakki

STISNU NUSANTARA TANGERANG

Abstrak
Wakaf dan hibah adalah ibadah dalam Islam yang memiliki manfaat dalam perkembangan sosial di dalam masyarakat. Wakaf dan hibah adalah sebagai sarana ibadah mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah SWT, serta sebagai bentuk tanggung jawab dan kepedulian sosial terhadap orang lain, baik secara individu maupun masyarakat. Syariat waqaf dan hibah sudah ada sejak zaman Rasulullah SAW, dan waqaf pertama kali dilaksanakan oleh sahabat Nabi Muhammad SAW yaitu Umar Bin Khatab. Dan dikembangkan lebih jauh hingga zaman sekarang, dan diharapkan menjadi keseimbangan dalam perekonomian. Wakaf dan hibah menjadi jalan bershodaqoh dan bersilaturahmi Disini dijelaskan tentang syarat-syarat hibah agar memudahkan penggunaan harta dalam kehidupan. Serta juga tidak lupa dijelaskan konsekuensi dalam akad wakaf dan hibbah ini.
keyword: definisi,dalil, struktur, dan konsekuensi

A.                Pendahuluan
Islam telah mengatur segala hal di dunia ini, segala hal telah ada hukumnya tidak ada yang terlewatkan. Dalam hal ibadah maupun dalam hal dunia kehidupan keseharian seiring bertambahnya zaman maka setiap permasalahanpun bertambah banyak.
Islam hadir dalam kehidupan manusia bukan hanya mengatur tentang hubungan manusia dengan tuhannya tetapi disamping itu islampun mengatur hubungan antara manusia dengan manusia lainnya salah satunya dalam hal wakaf dan hibah, diatur dan dikemas dengan sedemikian rupa. Wakaf dan hibah adalah ibadah dalam Islam yang memiliki dua dimensi, yaitu demensi ubudiyyah dan dimensi ijtima’iyyah, dimensi ubudiyah wakaf dan hibah adalah sebagai sarana ibadah mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah SWT, sementara dimensi ijtima’iyyah adalah sebagai bentuk tanggung jawab dan kepedulian sosial terhadap orang lain, baik secara individu maupun masyarakat. Dan dikembangkan lebih jauh hingga zaman sekarang, dan diharapkan menjadi keseimbangan dalam perekonomian. Disini dijelaskan tentang syarat-syarat hibah agar memudahkan penggunaan harta dalam kehidupan.

B.                 Pembahasan
1.         Definisi wakaf dan dalil wakaf
Wakaf menurut bahasa berasal dari kata Bahasa Arab yaitu dari kata “WAQOFA” yang berarti “menahan” atau “berhenti” atau “diamdi tempat” atau “tetap berdiri”.[1]
Sedangkan menurut pengertian syara’, wakaf berarti ”menahan harta yang bisa dimanfaatkan dengan tetap menjaga zatnya, memutus pemanfaatan terhadap zat dengan bentuk pemanfaatan lain yang mubah yang ada.”
Melihat dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa harta yang boleh diwakafkan harus berupa benda tertentu yang memiliki dan bukan yang dimaksudkan adalah uang dirham dan dinar sebab keduanya akan hilang jika sudah ditukarkan tidak ada zatnya lagi dan syarat harta wakaf harus tetap terjaga zatnya walaupun dimanfaatkan, jika pemanfaatan mengakibatkan hilangnya zat seperti makanan, maka akad wakaf tidak sah sebab akad wakaf untuk terus-menerus dan selama-lamanya, dan benda yang diwakafkan ini jika diwakafkannya, maka tidak ada pemanfaatannya pada zatnya tidak boleh dijual dan digadaikan.[2]
Menurut Imam Abu Hanifah mendefinisikan wakaf dengan: “menahan materi benda orang yang berwakaf dan menyedehkahkan manfaatnya untuk kebajikan.” Imam Abu Hanifah memandang akad wakaf tidak mengikat, dalam artian, bahwa orangorang yang berwakaf boleh saja mencabut wakafnya kembali dan boleh memperjualbelikan oleh pemilik semula.
Menurut Jumhur Ulama termasuk Imam Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani, keduanya ahli fikih mazhab Imam Hanafi, mendefinisikan wakaf dengan:”menahan tindakan hukum orang yang berwakaf terhadap hartanya yang telah diwakafkan dengan tujuan untuk dimanfaatkan bagi kepentingan umumdan kebajikan dalam rangka mendekatkan diri pada Allah SWT. sedangkan materinya tetap utuh.[3]
Wakaf ada bedasarkan atau bersumber dalam dalil Al-Qur’an dan hadist, yaitu di dalam Al-Qur’an surat Ali Imron ayat ke-92
لنَ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ
Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya. Qs.3:92
Adapun dalil sunnah antara lain hadist Nabi Saw. yang diriwatkan oleh Imam Muslim:
إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ وَعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ وَوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara (yaitu): sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau do’a anak yang shalih” (HR. Muslim no. 1631) .[4]
Sebagian ulama menerjemahkan sedekah jariah sebagai wakaf, sebab jenis sedekah yang lain tidak ada yang tetap mengalir namun langsung dimiliki zat dan manfaatnya adapun wasiat manfaat walaupun termasuk hadist tetapi sangat jarang. Dengan begitu menerjemahkan sedekah dalam hadist dengan arti wakaf lebih utama.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ ۖ وَلَا تَيَمَّمُوا الْخَبِيثَ مِنْهُ ت  ُنْفِقُونَ وَلَسْتُمْ بِآخِذِيهِ إِلَّا أَنْ تُغْمِضُوا فِيهِ ۚ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ
Dari Ibnu Umar r.a, berkata, bahwa Sahabat Umar r.a. memperoleh sebidang tanah di Khaibar, kemudian menghadap kepada Rasulullah untuk memohon petunjuk. Umar berkata: “ya Rasulullah, saya mendapatkan sebidang tanah di Khaibar, saya belum pernah mendapatkan harta sebaik itu, maka apakah yang engkau perintahkan kepadaku?’ Rasulullah bersabda: “Bila kau suka, kau tahan(pokoknya) tanah itu, dan engkau shodaqohkan (hasilnya).” Kemudian Umar melakukan shodaqoh, tidak dijual, tidak diwarisi dan tidak juga dihibahkan. Berkata Ibnu Umar: “Umar menyedekahkannya kepada orang-orang fakir, kaum kerabat, budak belian, sabilillah, ibnu sabil, dan tamu. Dan tidak mengapa/tidak dilarang bagi yang menguasai tanah wakaf itu(pengurusnya) makan dari hasilnya dengan cara baik (sepantasnya) atau makan orang lain dengan tidak bermaksud menumpuk harta.”(HR. Muslim )[5]

2.         Struktur Wakaf
Struktur wakaf terdiri dari 4 rukun. Yaitu : waqif, mauquf, mauquf ‘alaih, dan shigah.[6]
·      Waqif
Waqif ialah  dalam arti mewakafkan di syaratkan haruslah orang yang memiliki kemampuan untuk menyumbangkan harta, dengan kualifikasi baligh berakal, dan kehendak sendiri ( tanpa paksaan). Barang siapa memenuhi syarat-syarat ini, maka wakafnya sah, walupaun ia orang kafir. Wakaf orang kafir sah, karena wakaf bukan bentuk taqarrub, berbeda halnya dengan nazar yang tidak sah dari orang kafir sebab termasuk amalan taqarrub kepada Allah, SWT.
·      Mauquf
Mauquf ialah syaratnya, ia harus berupa benda yang jelas menjadi hak milik yang brpindahkan dan jika tidak hilang bisa memeberikan manfaat mubah yang menjadi tujuan.
Kriteria benda sebagai syarat harta wakaf mengeluarkan sesuatu hanya berbentuk manfaat (bukan orang) dan wakaf yang wajib dalam tanggungan. Wakaf demikian tidak sah kecuali jika berupa benda-benda walaupun hasil rampasan atau tak terlihat sebab barang hasil rampasan sudah menjadi hak miliknya, juga tidak sah melihat barang yang akan diwakafkan.

·      Mauquf ‘alaih
Penerima wakaf bisa di klasifikasikan menjadi dua bagian : Tertentu (Definitif) dan tidak tertentu ( Undefinitif ).
a.       Penerima wakaf definitif terdiri dari satu atau dua orang atau lebih memanfaatkan harta wakaf tersebut secara langsung ketika menerimanya, sebab akad wakaf pada dasarnya adalah akad manfaat. Karena itu, tidak sah mewakafkan sesuatu yang tidak ada seperti mewakafkan masjid yang baru akan di bangun, atau mewakafkannya  untuk anaknya sementara si anak tidak ada, atau untuk anak- anaknya yang miskin sedangkan mereka tidak ada yang miskin, atau mewakafkan bacaan di kuburan atau kuburan ayahnya yang masih hidup.
b.      Penerima wakaf undefinitif adalah organisasi-organisasi sosial, misalnya wakaf untuk pelajar, orang kafir, atau pembangun masjid, rumah sakit. Jika seorang muslim atau kafir djimmi mewakafkan harta untuk maksiat, seperti wakaf untuk pembangunan gereja dan tempat-tempat ibadah orang kafir atau permadani dan lampu-lampunya dan yang lainnya.
·      Shighat
Shighat hendaknya di ucapkan dengan ucapan yang menunjukan maksud dari akad dari seorang yang mampu berbicara karena kepemilikan dalam wakaf tergantung kepada proses perpindahannya untuk orang yang menerima wakaf melalui ucapan qabul.

3.         Konsekuensi Hukum Akad Wakaf
Setelah akad wakaf terpenuhi rukun dan syarat-syaratnya, selanjutnya akan menetapkan beberapa konsekuensi hukum, diantaranya sebagai berikut.
·           Hak milik atas mauquf
Ketika akad wakaf telah sah, maka setatusnya menjadi mengikat (lazim), dan hak tasaruf waqif atas aset waqaf (mauquf) menjadi hilang. Hanya saja, mengenai hak kepemilikan waqif atas fisik mauquf terdapat dua pendapat. Menurut qoul shahih, waqaf bisa menghilangkan kepemilikan waqif atas fisik mauquf, sebagaimana memerdekakan budak (‘itqu), sebab waqaf merupakan sebab yang dapat menghilangkan hak tasaruf, baik pada fisik (‘ain) atau manfaat mauquf. Sedangkan menurut Imam Malik, hak milik waqif atas fisik mauquf tidak hilang, sebab waqaf hanyalah membekukan tasaruf pada fisik.
·           Hak mauquf ‘alaih
Setelah akad waqaf sah, mauquf ‘alaih yang bersifat individual (mu’ayyani) berstatus memiliki atas dua macam, yaitu nilai guna (manfa’ah) dari mauquf dan hasil produktivitas (fa’idah) dari mauquf.
Sedangkan mauquf ‘alaih yang bersifat sosial-kolektif (jihah), tidak berstatus memiliki atas nilai guna (manfa’ah) dari mauquf . [7]
·           Syarath al-waqif
Syarath al-waqif adalah segala ketentuan yang ditetapkan oleh pihak waqif berkaitan dengan alokasi, sistem alokasi, managemen pengelolaan wakaf, dll. Secara hukum, segala ketentuan yang diterapkan oleh waqif bersifat otoritatif, mengikat, dan harus dipatuhi, demi menjaga kepentingan pihak waqif.
·           Taghyir al-waqfi
Taghyir al-waqfi adalah keadaan alokasi waqaf dari alokasi yang telah ditetapkan atau disyaratkan oleh pihak waqif.
·           Istibdhal al-waqfi
Syafiiyah : dalam madzhab Syafi’iyah, tidak dilegalkan mengganti aset waqaf (mauquf) dengan barang lain, baik masih bisa digunakan atau tidak. Formulasi hukum waqaf yang sangat ketat dalam madzhab Syafi’iyah ini, karena dilandasi pemikiran bahwa, status fisik mauquf telah terbebas dari kepemilikan seseorang, dan bersifat abadi sebagai aset waqaf, sehingga tidak ada celah hukum untuk melakukan penjualan aset waqaf, sebab jual beli mensyaratkan adanya kepemilikan barang.
Hanafiyah : ada tiga bentuk, yaitu istibdaldisyaratkan oleh pihak waqif pada saat akad waqaf, Istibdal tidak disyaratkan namun keadaan mauquf mengalami kerusakan atau kehilangan dan istibdal tidak disyaratkan, dan juga mauquf tidak mengalami kerusakan atau kehilangan.
Malikiyah : istibdal al-waqfihaya pada aset waqaf yang bergerak (mauquf) saja, ketika didukung kemaslahatan.[8] Dan dalam madzhab Hanabilah adalah yang paling longgar, istibdal hukumnya boleh dengan ketentuan penggantinya memiliki kualitas lebih baik.[9]

4.         Dalil Dan Definisi Hibbah
Dalil yang mendasari legilitas hibah adalah Al-Quran, al-hadist dan ijma’

وَتَعَاوَنُوا عَلَى البِرِّ وَالتَّقْوَى (المائدة  )
"Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa. (QS.  Almaidah: 2)[10]
Hibah secara bahasa berasal dari kata ”wahaba” yang berarti lewat dari satu tangan yang lain atau dengan arti lain kesadaran untuk melakukan kebaikan atau diambil dari kata hubub ar-rih(angin berhembus) dikatakan dalam kitab AL Fath, diartikan dengan makna yang lebih umum berupa ibra’(membebaskan utang orang),yaitu menghibahkan utang orang lain dan sedekah yaitu menghibahkan sesuatu yang wajib demi mencari pahala akhirat, dan ja’alah yaitu sesuatu yang wajib diberikan kepada orang lain sebagai upah, dan dikhususkan kepada yang masih hidup agar dapat mengeluarkan wasiat, juga terbagi kepada tiga jenis, hibah dipakai untuk menyebutkan makna yang lebih khusus dari pada sesuatu yang mengharapkan ganti, dan dengan ini sangat tepat dengan ucapan orang yang mengatakan hibah adalah pemberian hak milik tanpa ganti, dan inilah makna hibah menurut syara’.
Hibah menurut terminologi/syara’ adalah “pemberian hak milik secara langsung dan mutlak terhadap satu benda ketika masih hidup tanpa ganti walaupun dari orang yang lebih tinggi,” atau kita katakan : “pemberian hak milik secara sukarela ketika masih hidup dan yang ini lebih utama dan singkat”.[11]
تَهَادُو تَحَابُوا
“saling memberi hadiahlah kalian , maka kalian akan saling mencintai”[12]
Hibah hukumnya mandub (Dianjurkan) sesua dengan hadit yang diriwayatkan oleh Aisyah ra. Bahwasanya Nabi SAW bersabda :
تَهَادُو تَحَابُوا
“saling memberi hadiahlah kalian , maka kalian akan saling mencintai”
Dan dalam hibah ada makna silaturahmi.
5.         Struktur akad hibah
Struktur akad hibbah ada tiga rukun, yaitu Dua belah pihak yang berakad (aqidain), Shighat (ucapan), dan harta yang dihibahkan (mauhub).
a.         Kedua belah pihak yang berakad (Aqidain)
Ada beberapa syarat untuk pemberi hibah (wahib), yakni harus memiliki hak milik atas barang yang dihibahkan dan mempunyai kebebasan mutlak untuk berbuat terhadap hartanya, Oleh karena itu, hibah tidak sah bila diwakilkan oleh seorang wali.
Sedangkan syarat penerima hibah (mauhub lah)adalah, orang yang memiliki kriteria sah atau kompetensi untuk menerima kepemilikan, baik mukkalaf atau tidak, seperti anak kecil, orang gila dan sebagainya.[13]
b.         Barang yang dihibahkan (mauhub bih)
Kriterianya adalah setiap benda yang boleh diperjualbelikan boleh dihibahkan.[14] Sebaliknya barang yang tidak boleh diperjualbelikan tidak boleh dihibbahkan. Batasan ini hanya bersifat umum, sehingga pengecualian beberapa hal berikut:
ü  budak perempuan yang digadaikan
ü  harta anak kecil yang dibawah otoritas pengelola atau orang yang diwasiati, sah dijual namu tidak sah dihibbahkan
ü  manfaaat atau jasa
ü  harta yang tidak memilki nilai nominal
ü  buah yang belum layak konsumsi[15]
c.         shighah (akad)
Shigah dalam akad hibbah adalah pernyataan berupa ijab dan qobul yang menunjukkan pemberian dan penerimaan hak milik barang tanpa imbalan, disyaratkan sebagai berikut:
ü  Ijab dan qobul yang melalui lisan harus secara kesinambungan
ü  Tidak dapat penangguhan pada syarat tertentu (ta’liq bi syarth) ; dan
ü  Tidak dapat limitasi waktu kepemilikan (ta’qit).

6.         Konsekuensi hukum akad hibbah
Setelah akad hibah terpenuhi rukun dan syarat-syaratnya, selanjutnya menetapkan konsekuensi hukum sebagai berikut.
1.         Status akad
Status akad hibbah adalah lazim dari kedua belah pihak, pihak wahib dan mauhub lah. Hanya saja, status lazim ini terhitung sejak penerimaan barang hibbah (qabdl) atas izin wahib, bukan sejak akad ( bi nafs al- ‘aqd ) sebagaimana akad ijarah. Artinya, hak kepemilikan mauhub lah atas barang hibbah, terhitung sejak penerimaan, bukan sejak akad. Pada masa akad hingga penerimaan barang, akad masih berstatus ja’iz. Hanya saja, menurut satu versi, ketika salah satu pihak mengalami kondisi ketidaklayakan tasaruf, seperti mati, gila, pingsan, dll., pada masa ini, akad hibbah tidak batal.
2.         Rujuk Hibbah
Ketika akad hibbah telah berstatus lazim dengan penerimaan (qabdl) atas izin wahib, maka hibbah bersifat mengikat dan tidak bisa dibatalkan atau dirujuk kembali. Akan tetapi, hukum ini tidak berlaku untuk selain hibbah dari orang tua kepada anaknya.
Hak rujuk hibbah orang tua kepada anak ini disyaratkan :
a.         Barang yang dihibbahkan masih berada dalam otoritas (salathah) anak. Karena itu, orang tua tidak memiliki hak hak rujuk lagi apabila anak telah menjual barang hibbah, mewaqafkannya, menghibbahkannya, memerdekakannya, atau bentuk tasaruf lain yang menghilangkan kepemilikannya atas barang hibbah. Sedangkan barang hibbah yang dicuri, dighasab, digadaikan, disewakan, atau dihibbahkan sebelum terjadi penerimaan (qabdl), orang tua tetap memiliki hak rujuk, sebab anak masih memiliki otoritas atas barang hibbah. Apabila barang hibbah yang telah hilang dari otoritas anak tersebut dimiliki kembali, baik melalui pembelian, pengembalian karena aib (radd), iqalah, warisan, dll., menurut satu versi orang tua tidak memiliki hak rujuk, sebab otorutas yang dimiliki anak bersifat baru. Dan menurut versi lain, orang tua tetap memiliki hak rujuk, karena melihat pada otoritas lama.
b.         Hibbah berupa barang yang tertentu secara fisik (a’yan), bukan berupa barang yang barada dalam tanggungan (dain). Karena itu, ketika orang tua telah menghibbahkan hutang (ibra’) yang menjadi tanggungan anak kepada orang tua, maka orang tua tidak memiliki hak rujuk, sebab barang yang berada dalam tanggungan (fi dzimmah), bersifat abstrak atau tidak tertentu, sehingga secara hukum, seperti barang yang telah rusak di tangan orang lain, sebagaimana ketika orang tua hibbah benih atau telur kepada anak, lau benih telah bertunas telur telah menetas.
c.         Status anak merdeka, sebab hibbah kepada anak yang berstatus budak, adalah hibbah kepada sayyidnya.
3.         Hibbah bi Ats-Tsawab
Hibbah yang dimutlakkan dari atasan kepada bawahan, seperti guru kepada siswa, pemimpin kepada rakyat, dll., maka tidak mewajibkan imbalan (tsawab), sebab motivasi hibbah demikian lebih karena untuk menjalin silaturrahim (shilah). Demikian juga hibbah kepada pihak yang setara, sebab motivasinya lebih untuk membangun kasih sayang dan persahabatan.
Sedangkan hibbah mutlak dari bawahan kepada atasan, terdapat dua pendapat. Versi qaul qadim, wajib memberikan imbalan, sebab secara ‘urf, motivasi hibbah dari bawahan kepada atasan adalah menginginkan imbalan, sehingga sepert halnya hibbah dengan syarat imbalan (tsawab). Sedangkan versi qaul jadid, tidak menetapkan imbalan, sebab hibbah adalah pemberian hak milik tanpa imbalan.
Jika mengacu pada qaul jadid, ketika dalam hibbah disyaratkan ada imbalan yang ma’lum, maka terdapat dua pendapat. Satu versi mengatakan sah, sebab termasuk transaksi jual beli dengan shighah hibbah, dan berlaku seluruh ketentuan akad jual beli. Sedangkan menurut versi lain hukumnya batal, baik hibbah maupun bai’.[16]

C.                PENUTUP 
1.         Kesimpulan
Wakaf menurut bahasa berasal dari kata Bahasa Arab yaitu dari kata “WAQOFA” yang berarti “menahan” atau “berhenti” atau “diamdi tempat” atau “tetap berdiri”. Serta pengertian syara’, wakaf berarti ”menahan harta yang bisa dimanfaatkan dengan tetap menjaga zatnya, memutus pemanfaatan terhadap zat dengan bentuk pemanfaatan lain yang mubah yang ada.”
Struktur wakaf terdiri dari 4 rukun. Yaitu : waqif(orang yang berwakaf), mauquf(barang yang diwakafkan),mauquf ‘alaih(orang yang diwakafkan),dan shigah(ijab qobul dari pewakaf dan penerima wakaf). Setelah akad wakaf terpenuhi rukun dan syarat-syaratnya, selanjutnya akan menetapkan beberapa konsekuensi hukum, diantaranya sebagai berikut:
·                    Hak milik atas mauquf
·                    Syarath al-waqif
·                    Taghyir al-waqfi
·                    Istibdhal al-waqfi
Adapun Hibah secara bahasa berasal dari kata ”wahaba” yang berarti lewat dari satu tangan yang lain atau dengan arti lain kesadaran untuk melakukan kebaikan atau diambil dari kata hubub ar-rih (angin berhembus) dikatakan dalam kitab AL Fath, diartikan dengan makna yang lebih umum berupa ibra’(membebaskan utang orang), yaitu menghibahkan utang orang lain dan sedekah yaitu menghibahkan.
Hibah menurut terminologi/syara’ adalah “pemberian hak milik secara langsung dan mutlak terhadap satu benda ketika masih hidup tanpa ganti walaupun dari orang yang lebih tinggi,” atau kita katakan: “pemberian hak milik secara sukarela ketika masih hidup dan yang ini lebih utama dan singkat”.
Struktur akad hibbah ada tiga rukun.yaitu  Dua belah pihak yang berakad (aqidain), Shighat (ucapan),dan harta yang dihibahkan (mauhub). Sedangkan konsekuensi dalam akad hibah ada tiga yaitu, statud akad, rujuk hibbah serta hibbah bi ats-Tsawab.
Dengan demikian ketika seseorang telah melakukan hal semacam itu bukan hanya ibadah/nilai pahala yang akan ia peroleh dari Allah SWT tapi nilai kebersamaan sosialpun akan terjalin erat antar manusia, “Hablu’mmina’allah wahablu’mmina’nash”


















DAFTAR PUSTAKA

Azzam, Abdul Aziz Muhammad,Fiqh Muamalat , jakarta: Amzah, 2010

Dahlan, Abdul Azis (editor),  Ensiklopedia Hukum Islam, jilid 6. cet.6 Jakarta:  PT Ichtiar Baru van Hoeve, 2003.

al-Qarni, ‘Aidh, Bulugul Marom, cet.1 Jakarta : Tim Qisthi Press, 2006.


Tim Laskar Pelangi, metodologi fiqih muamalah, kediri: Lirboyo Press, 2015 cet. V

Team Kajian Ilmiah Ahla_Suffah 103, Kamus Fiqh, cet.2 (Kediri: Lirboyo Press, 2014.

Usman, Suparman,  Hukum Perwakafan di Indonesia, Jakarta: Darul Ulum Press, 1999















[1] Suparman,  Hukum Perwakafan di Indonesia, (Jakarta: Darul Ulum Press, 1999) hal. 23
[2] Abdul Aziz Muhammad Azzam,  Fiqh Muamalat ,(Jakarta: Amzah, 2010), hal.395
[3] Abdul Azis Dahlan (editor),  Ensiklopedia Hukum Islam, cet.6 (PT Ichtiar Baru van Hoeve: Jakarta, 2003) hal.1905 jil.6
[5]Drs. H. Suparman Usman, SH., Hukum Perwakafan di Indonesia, cet.2 (Darul Ulum Press:Jakarta, 1999) hal.29
[6]Tim Laskar Pelangi, metodologi fiqih muamalah, cet. V (Kediri: Lirboyo Pres 2015) hal. 337
[7]Tim laskar pelangi, Metodologi Fiqih Muamalah, Cet.1 (Kediri: Lirboyo Pres, 2015), hal. 346
[8]Tim laskar pelangi, metodologi fiqih muamalah, Cet.1(Kediri: Lirboyo Pres, 2015) hal. 345-352
[9]Team Kajian Ilmiah Ahla_Suffah 103, Kamus Fiqh, cet.2 (Kediri: Lirboyo Pres, 2014), hal.359
[10]Tim laskar pelangi, Metodologi Fiqih Muamalah,Cet.1 (Kediri: Lirboyo Pres 2015),hal.358
[11]Abdul Aziz Muhammad Azzam,  Fiqh Muamalat ,(Jakarta: Amzah, 2010), hal. 435-436
[12]Diriwayatan oleh Al-Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad, dan Al-Baihaqi, ibnu wirdan, dari Abu Hurairah dan isnadnya hasan (At-Talkhish Al-Habir, 3/69-70)
[13]Tim laskar pelangi,  Metodologi Fiqih Muamalah,  Cet.1 (Kediri: Lirboyo PresS 2015) hal.360
[14]Abdul Aziz Muhammad Azzam,  Fiqh Muamalat, (Jakarta: Amzah, 2010), hal.395
[15]Tim laskar pelangi, Metodologi Fiqih Muamalah, Cet.1(Kediri: Lirboyo Press, 2015) hal. 361-362
[16]Tim laskar pelangi, Metodologi Fiqih Muamalah, Cet.1 (Kediri: lirboyo press, 2015) hal. 367-368

No comments:

Post a Comment

Definisi Hukum Acara Pidana

MAKALAH DEFINISI HUKUM ACARA PIDANA Diajukan Sebagai Tugas Mata Kuliah Hukum Acara Pidana Program Studi Hukum Ekonomi Syari’ah (HES) Di Se...