Oleh:
Muhammad Nur Muzakki
STISNU NUSANTARA TANGERANG
Abstrak
Wakaf dan hibah adalah ibadah dalam Islam yang memiliki manfaat
dalam perkembangan sosial di dalam masyarakat. Wakaf dan hibah adalah sebagai
sarana ibadah mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah SWT, serta sebagai
bentuk tanggung jawab dan kepedulian sosial terhadap orang lain, baik secara
individu maupun masyarakat. Syariat waqaf dan hibah sudah ada sejak zaman
Rasulullah SAW, dan waqaf pertama kali dilaksanakan oleh sahabat Nabi Muhammad
SAW yaitu Umar Bin Khatab. Dan dikembangkan lebih jauh hingga zaman sekarang,
dan diharapkan menjadi keseimbangan dalam perekonomian. Wakaf dan hibah menjadi
jalan bershodaqoh dan bersilaturahmi Disini dijelaskan tentang syarat-syarat
hibah agar memudahkan penggunaan harta dalam kehidupan. Serta juga tidak lupa
dijelaskan konsekuensi dalam akad wakaf dan hibbah ini.
keyword: definisi,dalil, struktur, dan konsekuensi
A.
Pendahuluan
Islam telah mengatur segala hal di dunia ini, segala hal telah ada
hukumnya tidak ada yang terlewatkan. Dalam hal ibadah maupun dalam hal dunia
kehidupan keseharian seiring bertambahnya zaman maka setiap permasalahanpun
bertambah banyak.
Islam hadir dalam kehidupan manusia bukan hanya mengatur tentang
hubungan manusia dengan tuhannya tetapi disamping itu islampun mengatur
hubungan antara manusia dengan manusia lainnya salah satunya dalam hal wakaf dan
hibah, diatur dan dikemas dengan sedemikian rupa. Wakaf dan hibah adalah ibadah
dalam Islam yang memiliki dua dimensi, yaitu demensi ubudiyyah dan dimensi
ijtima’iyyah, dimensi ubudiyah wakaf dan hibah adalah sebagai sarana ibadah
mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah SWT, sementara dimensi ijtima’iyyah
adalah sebagai bentuk tanggung jawab dan kepedulian sosial terhadap orang lain,
baik secara individu maupun masyarakat. Dan dikembangkan lebih jauh hingga
zaman sekarang, dan diharapkan menjadi keseimbangan dalam perekonomian. Disini
dijelaskan tentang syarat-syarat hibah agar memudahkan penggunaan harta dalam
kehidupan.
B.
Pembahasan
1.
Definisi wakaf dan dalil wakaf
Wakaf menurut bahasa berasal dari kata Bahasa Arab yaitu dari kata
“WAQOFA” yang berarti “menahan” atau “berhenti” atau “diamdi
tempat” atau “tetap berdiri”.[1]
Sedangkan menurut pengertian syara’, wakaf berarti ”menahan harta
yang bisa dimanfaatkan dengan tetap menjaga zatnya, memutus pemanfaatan
terhadap zat dengan bentuk pemanfaatan lain yang mubah yang ada.”
Melihat dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa harta yang
boleh diwakafkan harus berupa benda tertentu yang memiliki dan bukan yang
dimaksudkan adalah uang dirham dan dinar sebab keduanya akan hilang jika sudah ditukarkan
tidak ada zatnya lagi dan syarat harta wakaf harus tetap terjaga zatnya
walaupun dimanfaatkan, jika pemanfaatan mengakibatkan hilangnya zat seperti
makanan, maka akad wakaf tidak sah sebab akad wakaf untuk terus-menerus dan
selama-lamanya, dan benda yang diwakafkan ini jika diwakafkannya, maka tidak
ada pemanfaatannya pada zatnya tidak boleh dijual dan digadaikan.[2]
Menurut Imam Abu Hanifah mendefinisikan wakaf dengan: “menahan
materi benda orang yang berwakaf dan menyedehkahkan manfaatnya untuk kebajikan.”
Imam Abu Hanifah memandang akad wakaf tidak mengikat, dalam artian, bahwa
orangorang yang berwakaf boleh saja mencabut wakafnya kembali dan boleh
memperjualbelikan oleh pemilik semula.
Menurut Jumhur Ulama termasuk Imam Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan
Asy-Syaibani, keduanya ahli fikih mazhab Imam Hanafi, mendefinisikan wakaf
dengan:”menahan tindakan hukum orang yang berwakaf terhadap hartanya yang telah
diwakafkan dengan tujuan untuk dimanfaatkan bagi kepentingan umumdan kebajikan
dalam rangka mendekatkan diri pada Allah SWT. sedangkan materinya tetap utuh.[3]
Wakaf ada bedasarkan atau bersumber dalam dalil Al-Qur’an dan
hadist, yaitu di dalam Al-Qur’an surat Ali Imron ayat ke-92
لنَ
تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ
شَيْءٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ
Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna),
sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang
kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya. Qs.3:92
Adapun dalil sunnah antara lain hadist Nabi Saw. yang diriwatkan
oleh Imam Muslim:
إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ
مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ وَعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ وَوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
“Jika seseorang meninggal dunia, maka
terputuslah amalannya kecuali tiga perkara (yaitu): sedekah jariyah, ilmu yang
dimanfaatkan, atau do’a anak yang shalih” (HR. Muslim no. 1631)
.[4]
Sebagian ulama menerjemahkan sedekah jariah sebagai wakaf, sebab jenis sedekah yang lain tidak ada yang tetap
mengalir namun langsung dimiliki zat dan manfaatnya adapun wasiat manfaat
walaupun termasuk hadist tetapi sangat jarang. Dengan begitu menerjemahkan
sedekah dalam hadist dengan arti wakaf lebih utama.
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا
أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ ۖ وَلَا تَيَمَّمُوا الْخَبِيثَ مِنْهُ ت ُنْفِقُونَ وَلَسْتُمْ بِآخِذِيهِ إِلَّا أَنْ
تُغْمِضُوا فِيهِ ۚ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ
“Dari Ibnu Umar r.a, berkata, bahwa Sahabat Umar r.a. memperoleh
sebidang tanah di Khaibar, kemudian menghadap kepada Rasulullah untuk memohon
petunjuk. Umar berkata: “ya Rasulullah, saya mendapatkan sebidang tanah di
Khaibar, saya belum pernah mendapatkan harta sebaik itu, maka apakah yang
engkau perintahkan kepadaku?’ Rasulullah bersabda: “Bila kau suka, kau
tahan(pokoknya) tanah itu, dan engkau shodaqohkan (hasilnya).” Kemudian Umar
melakukan shodaqoh, tidak dijual, tidak diwarisi dan tidak juga dihibahkan.
Berkata Ibnu Umar: “Umar menyedekahkannya kepada orang-orang fakir, kaum
kerabat, budak belian, sabilillah, ibnu sabil, dan tamu. Dan tidak
mengapa/tidak dilarang bagi yang menguasai tanah wakaf itu(pengurusnya) makan
dari hasilnya dengan cara baik (sepantasnya) atau makan orang lain dengan tidak
bermaksud menumpuk harta.”(HR. Muslim )[5]
2.
Struktur Wakaf
Struktur
wakaf terdiri dari 4 rukun. Yaitu : waqif, mauquf, mauquf ‘alaih, dan
shigah.[6]
·
Waqif
Waqif ialah dalam arti
mewakafkan di syaratkan haruslah orang yang memiliki kemampuan untuk
menyumbangkan harta, dengan kualifikasi baligh berakal, dan kehendak sendiri (
tanpa paksaan). Barang siapa memenuhi syarat-syarat ini, maka wakafnya sah,
walupaun ia orang kafir. Wakaf orang kafir sah, karena wakaf bukan bentuk taqarrub,
berbeda halnya dengan nazar yang tidak sah dari orang kafir sebab termasuk
amalan taqarrub kepada Allah, SWT.
·
Mauquf
Mauquf ialah syaratnya, ia harus berupa benda yang jelas menjadi
hak milik yang brpindahkan dan jika tidak hilang bisa memeberikan manfaat mubah
yang menjadi tujuan.
Kriteria benda sebagai syarat harta
wakaf mengeluarkan sesuatu hanya berbentuk manfaat (bukan orang) dan wakaf yang
wajib dalam tanggungan. Wakaf demikian tidak sah kecuali jika berupa
benda-benda walaupun hasil rampasan atau tak terlihat sebab barang hasil
rampasan sudah menjadi hak miliknya, juga tidak sah melihat barang yang akan
diwakafkan.
·
Mauquf
‘alaih
Penerima wakaf bisa di klasifikasikan menjadi dua bagian : Tertentu
(Definitif) dan tidak tertentu ( Undefinitif ).
a.
Penerima
wakaf definitif terdiri dari satu atau dua orang atau lebih memanfaatkan harta
wakaf tersebut secara langsung ketika menerimanya, sebab akad wakaf pada
dasarnya adalah akad manfaat. Karena itu, tidak sah mewakafkan sesuatu yang
tidak ada seperti mewakafkan masjid yang baru akan di bangun, atau
mewakafkannya untuk anaknya sementara si
anak tidak ada, atau untuk anak- anaknya yang miskin sedangkan mereka tidak ada
yang miskin, atau mewakafkan bacaan di kuburan atau kuburan ayahnya yang masih
hidup.
b.
Penerima
wakaf undefinitif adalah organisasi-organisasi sosial, misalnya wakaf untuk pelajar,
orang kafir, atau pembangun masjid, rumah sakit. Jika seorang muslim atau kafir
djimmi mewakafkan harta untuk maksiat, seperti wakaf untuk pembangunan
gereja dan tempat-tempat ibadah orang kafir atau permadani dan lampu-lampunya
dan yang lainnya.
·
Shighat
Shighat hendaknya di ucapkan dengan ucapan yang menunjukan maksud
dari akad dari seorang yang mampu berbicara karena kepemilikan dalam wakaf
tergantung kepada proses perpindahannya untuk orang yang menerima wakaf melalui
ucapan qabul.
3.
Konsekuensi Hukum Akad Wakaf
Setelah
akad wakaf terpenuhi rukun dan syarat-syaratnya, selanjutnya akan
menetapkan beberapa konsekuensi hukum, diantaranya sebagai berikut.
·
Hak
milik atas mauquf
Ketika akad wakaf telah sah, maka
setatusnya menjadi mengikat (lazim), dan hak tasaruf waqif atas
aset waqaf (mauquf) menjadi hilang. Hanya saja, mengenai hak kepemilikan waqif
atas fisik mauquf terdapat dua pendapat. Menurut qoul shahih, waqaf bisa
menghilangkan kepemilikan waqif atas fisik mauquf, sebagaimana memerdekakan
budak (‘itqu), sebab waqaf merupakan sebab yang dapat menghilangkan hak
tasaruf, baik pada fisik (‘ain) atau manfaat mauquf. Sedangkan menurut
Imam Malik, hak milik waqif atas fisik mauquf tidak hilang, sebab waqaf
hanyalah membekukan tasaruf pada fisik.
·
Hak
mauquf ‘alaih
Setelah akad waqaf sah, mauquf
‘alaih yang bersifat individual (mu’ayyani) berstatus memiliki atas
dua macam, yaitu nilai guna (manfa’ah) dari mauquf dan hasil
produktivitas (fa’idah) dari mauquf.
Sedangkan mauquf ‘alaih yang
bersifat sosial-kolektif (jihah), tidak berstatus memiliki atas nilai
guna (manfa’ah) dari mauquf . [7]
·
Syarath
al-waqif
Syarath al-waqif adalah segala ketentuan yang ditetapkan oleh pihak waqif
berkaitan dengan alokasi, sistem alokasi, managemen pengelolaan wakaf, dll.
Secara hukum, segala ketentuan yang diterapkan oleh waqif bersifat otoritatif,
mengikat, dan harus dipatuhi, demi menjaga kepentingan pihak waqif.
·
Taghyir
al-waqfi
Taghyir al-waqfi adalah keadaan alokasi waqaf dari alokasi yang
telah ditetapkan atau disyaratkan oleh pihak waqif.
·
Istibdhal
al-waqfi
Syafiiyah : dalam madzhab Syafi’iyah, tidak dilegalkan mengganti
aset waqaf (mauquf) dengan barang lain, baik masih bisa digunakan atau
tidak. Formulasi hukum waqaf yang sangat ketat dalam madzhab Syafi’iyah ini,
karena dilandasi pemikiran bahwa, status fisik mauquf telah terbebas
dari kepemilikan seseorang, dan bersifat abadi sebagai aset waqaf, sehingga
tidak ada celah hukum untuk melakukan penjualan aset waqaf, sebab jual beli
mensyaratkan adanya kepemilikan barang.
Hanafiyah : ada tiga bentuk, yaitu istibdaldisyaratkan oleh
pihak waqif pada saat akad waqaf, Istibdal tidak disyaratkan
namun keadaan mauquf mengalami kerusakan atau kehilangan dan istibdal tidak
disyaratkan, dan juga mauquf tidak mengalami kerusakan atau kehilangan.
Malikiyah : istibdal al-waqfihaya pada aset waqaf yang
bergerak (mauquf) saja, ketika didukung kemaslahatan.[8] Dan dalam
madzhab Hanabilah adalah yang paling longgar, istibdal hukumnya boleh dengan
ketentuan penggantinya memiliki kualitas lebih baik.[9]
4.
Dalil Dan Definisi Hibbah
Dalil
yang mendasari legilitas hibah adalah Al-Quran, al-hadist dan ijma’
وَتَعَاوَنُوا عَلَى البِرِّ
وَالتَّقْوَى (المائدة )
Hibah secara bahasa berasal dari kata ”wahaba” yang berarti lewat
dari satu tangan yang lain atau dengan arti lain kesadaran untuk melakukan
kebaikan atau diambil dari kata hubub ar-rih(angin berhembus) dikatakan dalam
kitab AL Fath, diartikan dengan makna yang lebih umum berupa ibra’(membebaskan
utang orang),yaitu menghibahkan utang orang lain dan sedekah yaitu menghibahkan
sesuatu yang wajib demi mencari pahala akhirat, dan ja’alah yaitu sesuatu yang
wajib diberikan kepada orang lain sebagai upah, dan dikhususkan kepada yang
masih hidup agar dapat mengeluarkan wasiat, juga terbagi kepada tiga jenis,
hibah dipakai untuk menyebutkan makna yang lebih khusus dari pada sesuatu yang
mengharapkan ganti, dan dengan ini sangat tepat dengan ucapan orang yang
mengatakan hibah adalah pemberian hak milik tanpa ganti, dan inilah makna hibah
menurut syara’.
Hibah menurut terminologi/syara’
adalah “pemberian hak milik secara langsung dan mutlak terhadap satu benda
ketika masih hidup tanpa ganti walaupun dari orang yang lebih tinggi,” atau
kita katakan : “pemberian hak milik secara sukarela ketika masih hidup dan yang
ini lebih utama dan singkat”.[11]
تَهَادُو
تَحَابُوا
“saling memberi hadiahlah kalian , maka kalian akan saling
mencintai”[12]
Hibah hukumnya mandub (Dianjurkan) sesua dengan hadit yang
diriwayatkan oleh Aisyah ra. Bahwasanya Nabi SAW bersabda :
تَهَادُو
تَحَابُوا
“saling memberi hadiahlah kalian , maka kalian akan saling
mencintai”
Dan dalam hibah ada makna silaturahmi.
5.
Struktur akad hibah
Struktur akad hibbah ada tiga rukun, yaitu Dua belah pihak
yang berakad (aqidain), Shighat (ucapan), dan harta yang dihibahkan (mauhub).
a.
Kedua
belah pihak yang berakad (Aqidain)
Ada beberapa syarat untuk pemberi
hibah (wahib), yakni harus memiliki hak milik atas barang yang
dihibahkan dan mempunyai kebebasan mutlak untuk berbuat terhadap hartanya, Oleh
karena itu, hibah tidak sah bila diwakilkan oleh seorang wali.
Sedangkan syarat penerima hibah (mauhub
lah)adalah, orang yang memiliki kriteria sah atau kompetensi untuk menerima
kepemilikan, baik mukkalaf atau tidak, seperti anak kecil, orang gila dan
sebagainya.[13]
b.
Barang
yang dihibahkan (mauhub bih)
Kriterianya adalah setiap benda yang
boleh diperjualbelikan boleh dihibahkan.[14]
Sebaliknya barang yang tidak boleh diperjualbelikan tidak boleh dihibbahkan.
Batasan ini hanya bersifat umum, sehingga pengecualian beberapa hal berikut:
ü budak perempuan yang digadaikan
ü harta anak kecil yang dibawah otoritas pengelola atau orang yang
diwasiati, sah dijual namu tidak sah dihibbahkan
ü manfaaat atau jasa
ü harta yang tidak memilki nilai nominal
ü buah yang belum layak konsumsi[15]
c.
shighah
(akad)
Shigah dalam akad hibbah adalah pernyataan
berupa ijab dan qobul yang menunjukkan pemberian dan penerimaan hak milik
barang tanpa imbalan, disyaratkan sebagai berikut:
ü Ijab dan qobul yang melalui lisan harus secara kesinambungan
ü Tidak dapat penangguhan pada syarat tertentu (ta’liq bi syarth) ;
dan
ü Tidak dapat limitasi waktu kepemilikan (ta’qit).
6.
Konsekuensi hukum akad hibbah
Setelah
akad hibah terpenuhi rukun dan syarat-syaratnya, selanjutnya menetapkan
konsekuensi hukum sebagai berikut.
1.
Status akad
Status akad hibbah adalah lazim dari kedua belah pihak,
pihak wahib dan mauhub lah. Hanya saja, status lazim ini
terhitung sejak penerimaan barang hibbah (qabdl) atas izin wahib, bukan
sejak akad ( bi nafs al- ‘aqd ) sebagaimana akad ijarah. Artinya, hak kepemilikan
mauhub lah atas barang hibbah, terhitung sejak penerimaan, bukan sejak akad. Pada
masa akad hingga penerimaan barang, akad masih berstatus ja’iz. Hanya
saja, menurut satu versi, ketika salah satu pihak mengalami kondisi
ketidaklayakan tasaruf, seperti mati, gila, pingsan, dll., pada masa ini, akad
hibbah tidak batal.
2.
Rujuk Hibbah
Ketika akad hibbah telah berstatus lazim dengan penerimaan (qabdl)
atas izin wahib, maka hibbah bersifat mengikat dan tidak bisa dibatalkan atau
dirujuk kembali. Akan tetapi, hukum ini tidak berlaku untuk selain hibbah dari
orang tua kepada anaknya.
Hak rujuk hibbah orang tua kepada anak ini disyaratkan :
a.
Barang
yang dihibbahkan masih berada dalam otoritas (salathah) anak. Karena
itu, orang tua tidak memiliki hak hak rujuk lagi apabila anak telah menjual
barang hibbah, mewaqafkannya, menghibbahkannya, memerdekakannya, atau bentuk
tasaruf lain yang menghilangkan kepemilikannya atas barang hibbah. Sedangkan
barang hibbah yang dicuri, dighasab, digadaikan, disewakan, atau dihibbahkan
sebelum terjadi penerimaan (qabdl), orang tua tetap memiliki hak rujuk,
sebab anak masih memiliki otoritas atas barang hibbah. Apabila barang hibbah
yang telah hilang dari otoritas anak tersebut dimiliki kembali, baik melalui
pembelian, pengembalian karena aib (radd), iqalah, warisan, dll.,
menurut satu versi orang tua tidak memiliki hak rujuk, sebab otorutas yang
dimiliki anak bersifat baru. Dan menurut versi lain, orang tua tetap memiliki
hak rujuk, karena melihat pada otoritas lama.
b.
Hibbah
berupa barang yang tertentu secara fisik (a’yan), bukan berupa barang
yang barada dalam tanggungan (dain). Karena itu, ketika orang tua telah
menghibbahkan hutang (ibra’) yang menjadi tanggungan anak kepada orang
tua, maka orang tua tidak memiliki hak rujuk, sebab barang yang berada dalam
tanggungan (fi dzimmah), bersifat abstrak atau tidak tertentu, sehingga
secara hukum, seperti barang yang telah rusak di tangan orang lain, sebagaimana
ketika orang tua hibbah benih atau telur kepada anak, lau benih telah bertunas
telur telah menetas.
c.
Status
anak merdeka, sebab hibbah kepada anak yang berstatus budak, adalah hibbah
kepada sayyidnya.
3.
Hibbah bi Ats-Tsawab
Hibbah yang dimutlakkan dari atasan
kepada bawahan, seperti guru kepada siswa, pemimpin kepada rakyat, dll., maka
tidak mewajibkan imbalan (tsawab), sebab motivasi hibbah demikian lebih
karena untuk menjalin silaturrahim (shilah). Demikian juga hibbah kepada
pihak yang setara, sebab motivasinya lebih untuk membangun kasih sayang dan
persahabatan.
Sedangkan hibbah mutlak dari bawahan
kepada atasan, terdapat dua pendapat. Versi qaul qadim, wajib memberikan
imbalan, sebab secara ‘urf, motivasi hibbah dari bawahan kepada atasan
adalah menginginkan imbalan, sehingga sepert halnya hibbah dengan syarat
imbalan (tsawab). Sedangkan versi qaul jadid, tidak menetapkan
imbalan, sebab hibbah adalah pemberian hak milik tanpa imbalan.
Jika mengacu pada qaul jadid,
ketika dalam hibbah disyaratkan ada imbalan yang ma’lum, maka terdapat
dua pendapat. Satu versi mengatakan sah, sebab termasuk transaksi jual beli
dengan shighah hibbah, dan berlaku seluruh ketentuan akad jual beli.
Sedangkan menurut versi lain hukumnya batal, baik hibbah maupun bai’.[16]
C.
PENUTUP
1.
Kesimpulan
Wakaf menurut bahasa berasal dari kata Bahasa Arab yaitu dari kata
“WAQOFA” yang berarti “menahan” atau “berhenti” atau “diamdi
tempat” atau “tetap berdiri”. Serta pengertian syara’, wakaf berarti
”menahan harta yang bisa dimanfaatkan dengan tetap menjaga zatnya, memutus
pemanfaatan terhadap zat dengan bentuk pemanfaatan lain yang mubah yang ada.”
Struktur wakaf terdiri dari 4 rukun. Yaitu : waqif(orang yang
berwakaf), mauquf(barang yang diwakafkan),mauquf ‘alaih(orang yang diwakafkan),dan
shigah(ijab qobul dari pewakaf dan penerima wakaf). Setelah akad wakaf
terpenuhi rukun dan syarat-syaratnya, selanjutnya akan menetapkan
beberapa konsekuensi hukum, diantaranya sebagai berikut:
·
Hak
milik atas mauquf
·
Syarath
al-waqif
·
Taghyir
al-waqfi
·
Istibdhal
al-waqfi
Adapun Hibah secara bahasa berasal dari kata ”wahaba” yang berarti
lewat dari satu tangan yang lain atau dengan arti lain kesadaran untuk
melakukan kebaikan atau diambil dari kata hubub ar-rih (angin berhembus)
dikatakan dalam kitab AL Fath, diartikan dengan makna yang lebih umum berupa
ibra’(membebaskan utang orang), yaitu menghibahkan utang orang lain dan sedekah
yaitu menghibahkan.
Hibah menurut terminologi/syara’
adalah “pemberian hak milik secara langsung dan mutlak terhadap satu benda
ketika masih hidup tanpa ganti walaupun dari orang yang lebih tinggi,” atau
kita katakan: “pemberian hak milik secara sukarela ketika masih hidup dan yang
ini lebih utama dan singkat”.
Struktur akad hibbah ada tiga rukun.yaitu Dua belah pihak yang berakad (aqidain),
Shighat (ucapan),dan harta yang dihibahkan (mauhub). Sedangkan konsekuensi
dalam akad hibah ada tiga yaitu, statud akad, rujuk hibbah serta hibbah bi ats-Tsawab.
Dengan demikian ketika seseorang telah melakukan hal semacam itu
bukan hanya ibadah/nilai pahala yang akan ia peroleh dari Allah SWT tapi nilai
kebersamaan sosialpun akan terjalin erat antar manusia, “Hablu’mmina’allah wahablu’mmina’nash”
DAFTAR PUSTAKA
Azzam, Abdul
Aziz Muhammad,Fiqh Muamalat , jakarta: Amzah, 2010
Dahlan, Abdul
Azis (editor), Ensiklopedia Hukum
Islam, jilid 6. cet.6 Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, 2003.
al-Qarni, ‘Aidh, Bulugul Marom, cet.1 Jakarta : Tim Qisthi
Press, 2006.
Sumber: https://rumaysho.com/12119-hadits-wakaf-01-wakaf-termasuk-amal-jariyah.html
di download pukul 00.16 13-04-2017
Tim Laskar
Pelangi, metodologi fiqih muamalah, kediri: Lirboyo Press, 2015 cet. V
Team Kajian Ilmiah
Ahla_Suffah 103, Kamus Fiqh, cet.2 (Kediri: Lirboyo Press, 2014.
Usman,
Suparman, Hukum Perwakafan di
Indonesia, Jakarta: Darul Ulum Press, 1999
[1] Suparman, Hukum Perwakafan di Indonesia, (Jakarta:
Darul Ulum Press, 1999) hal. 23
[2] Abdul Aziz
Muhammad Azzam, Fiqh Muamalat ,(Jakarta:
Amzah, 2010), hal.395
[3] Abdul Azis
Dahlan (editor), Ensiklopedia Hukum
Islam, cet.6 (PT Ichtiar Baru van Hoeve: Jakarta, 2003) hal.1905 jil.6
[4]Sumber : https://rumaysho.com/12119-hadits-wakaf-01-wakaf-termasuk-amal-jariyah.html
di unduh pukul 00.16
13-04-2017
[5]Drs. H.
Suparman Usman, SH., Hukum Perwakafan di Indonesia, cet.2 (Darul Ulum
Press:Jakarta, 1999) hal.29
[6]Tim Laskar
Pelangi, metodologi fiqih muamalah, cet. V (Kediri: Lirboyo Pres 2015)
hal. 337
[7]Tim laskar
pelangi, Metodologi Fiqih Muamalah, Cet.1 (Kediri: Lirboyo Pres, 2015), hal.
346
[8]Tim laskar
pelangi, metodologi fiqih muamalah, Cet.1(Kediri: Lirboyo Pres, 2015)
hal. 345-352
[9]Team Kajian
Ilmiah Ahla_Suffah 103, Kamus Fiqh, cet.2 (Kediri: Lirboyo Pres, 2014),
hal.359
[10]Tim laskar
pelangi, Metodologi Fiqih Muamalah,Cet.1 (Kediri:
Lirboyo Pres 2015),hal.358
[11]Abdul Aziz
Muhammad Azzam, Fiqh Muamalat ,(Jakarta:
Amzah, 2010), hal. 435-436
[12]Diriwayatan
oleh Al-Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad, dan Al-Baihaqi, ibnu wirdan, dari Abu
Hurairah dan isnadnya hasan (At-Talkhish Al-Habir, 3/69-70)
[13]Tim laskar
pelangi, Metodologi Fiqih Muamalah,
Cet.1 (Kediri: Lirboyo PresS 2015) hal.360
[14]Abdul Aziz
Muhammad Azzam, Fiqh Muamalat, (Jakarta:
Amzah, 2010), hal.395
[15]Tim laskar
pelangi, Metodologi Fiqih Muamalah, Cet.1(Kediri: Lirboyo Press, 2015)
hal. 361-362
[16]Tim laskar pelangi, Metodologi Fiqih Muamalah, Cet.1 (Kediri:
lirboyo press, 2015) hal. 367-368
No comments:
Post a Comment